Anda di halaman 1dari 15

THORIUM :

Oleh
Bob Soelaiman Effendi*
April 2015

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sehat, yang bukan bergantung dari konsumsi tapi produksi
maka di perlukan pertumbuhan sektor industri manufaktur yang maju sedangkan salah satu komponen
penting dalam industri adalah listrik khususnya industri hulu yang mana komponen listrik dapat mencapai
40%, seperti Industri Baja dan Smelter sehingga untuk menjadi kompetitif dibutuhkan harga listrik yangf
murah sementara komponen listrik industri hilir hanya 20% sehingga lebih dapat menyerap harga listrik yang
mahal. Harga listrik di Indonesia tergolong mahal bahkan menurut beberapa pengamat energi TERMAHAL DI
DUNIA. Rata-rata harga listrik yang di jual ke Industri pada kisaran Rp 1000 1300 per Kwh atau setara
dengan USD 11 cent Dollar. Ini menyebabkan industri hulu di Indonesia tidak dapat bersaing dan
menyebabkan industri manufaktur secara keseluruhn tidak dapat berkembang bahkan merosot dan tidak
dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi, bahkan menurut BPS kontribusi manufaktur terhadap GDP
merosot tajam dari 27,8% pada tahun 2000 menjadi 20% pada tahun 2014 bandingkan dengan Malaysia
yang kontribusi sektor manufaktur terhadap GDP mencapai 43% yang menyebabkan Malaysia memiliki
ekonomi yang kuat.

Untuk memiliki daya saing Industri membutuhkan biaya listrik di kisaran Rp 700 800 per Kwh, saat ini untuk
mencapai angka tersebut Industri yang mampu dapat membangun pembangkit listrik sendiri memakai batu
bara yang biaya produksi di kisaran Rp 500 per Kwh tetapi batu bara memiliki biaya externalitas yaitu
dampak lingkungan dari sisi pencemaran udara dan pencemaran air tanah yang tidak pernah di hitung oleh
perusahaan tetapi terserap oleh Negara dan masyarakat. Subroto, mantan menteri Pertambangan dan
Energi (1978 1988) mengatakan bahwa batubara mengeluarkan emisi 1000 gram per Kwh atau 1 ton emisi
per jam per MW atau dalam 1 hari 24 ton. Emisi tersebut berupa : CO2, SO2, Nox dan abu (flyash) yang
semuanya adalah salah satu penyebab utama Efek Rumah Kaca yang juga memiliki juga dampak langsung
kesehatan terutama bagi yang tinggal berdekatan dengan PLTU tersebut.
Meningkatkan pembangunan PLTU berbahan bakar batubara jelas berseberangan bahkan kontradiktif
dengan komitmen Pemerintah untuk menurunkan emisi rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan
41% dengan bantuan multilateral pada tahun 2020 yang di sampaikan oleh Presiden SBY saat menghadiri
komperensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-19 (COP19 UNFCCC) di Warsawa, Polandia, tahun 2013. Ini

terbukti dengan data Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang di keluarkan oleh Kemnterian LH yang
menunjukan penurunan terus Indeks dari 65.50 pada tahun 2011 menjadi 63.13 pada 2013 yang mengukur :
Kualitas Udara, Air dan Hutan.
Bukan hanya biaya externalitas saja tetapi penalti ekonomi yang di masa depan akan di berikan oleh negaranegara maju (Eropa, Amerika dan Jepang) untuk produk-produk yang di produksi tanpa memperdulikan
aspek lingkungan seperti pencemaran udara, pencemaran tanah, penggudulan hutan yang semuanya
mengakibatkan meningkatnya Green House Effect akan dikenakan. Hal ini pernah menimpa Industri kelapa
Sawit Indonesia yang tidak dapat masuk pasaran Eropa tanpa terlebih dahulu merobah sistim produksi sawit
menjadi lebih tidak merusak lingkungan atau ekosistim yang disebut RSPO (Round Table on Sustainable Palm
Oil).
Belum lagi bahwa cadangan batubara kalori tinggi yang saat ini dipakai sebagai bahan bakar PLTU di
perkirakan tidak akan bertahan lebih dari 20 tahun, maka sesudah itu Indonesia akan menjadi net importer
batubara senasib dengan minyak bumi, sebuah keadaan yang ironis. Cadangan terbesar batubara Indonesia
adalah batubara muda kalori rendah atau disebut liginite, yang bilamana dibakar akan menimbulkan
pencemaran yang jauh lebih besar di tambah karena kalorinya yang rendah PLTU akan beroperasi tidak
efisien.
Jelas dari pemaparan di atas bukanlah sebuah rencana yang rasionil bila Indonesia mengandalkan produksi
listrik dari batubara.
Mengingat cadangan yang sangat terbatas dan harga batubara yang murah bila di jadikan bahan bakar maka
seharusnya batubara hanya di bakar untuk dijadikan sumber bahan baku untuk Industri Petrokimia yang
jelas memiliki nilai tambah yang jauh lebih tinggi.
Walaupun masih ada solusi lainnya yang ramah lingkungan seperti Panas Bumi dimana Indonesia memiliki
potensi tersebesar tetapi masalahnya biaya listrik panas bumi masih tergolong cukup mahal. Begitu juga
sumber energi terbarukan lainnya seperti Tenaga Surya dan Angin yang belum bisa di andalkan sebagai
energi primer karena sifatnya yang intermitten, yaitu tidak konsisten selama 24 jam dan tidak dapat di
kontrol.
Solusi terbaik energi murah dan tanpa emisi adalah Nuklir yang biaya listriknya di kisaran USD 3 - 5 sen per
Kwh.
Bila di lihat dari bahan baku dengan asumsi dibutuhkan 0.47 kg batubara per kwh maka untuk 1000 MW di
butuhkan 4 Juta ton per tahun. Bila harga batubara USD 50/ton maka di butuhkan USD 200 Juta atau lebih
dari 2,5 Triliun Rupiah hanya untuk bahan baku Bandingkan dengan bahan baku Thorium untuk 1000 MW
per tahun tidak lebih dari USD 500,000 atau hanya 5,5 Milyar Rupiah.
Bila di lihat dari Energy Density untuk PLTU, 1 Kg Batubara hanya akan menghasilkan 2 Kwh listrik dan PLTN
(Uranium) 1 Kg U235 menghasilkan 289.000 Kwh saking tinggi densitas enegi Nuklir maka kebutuhan listrik
kota Jakarta sekitar 4000 MW cukup di suplai dengan 1 truck kecil berisi 4 ton thorium untuk 1 tahun.
Jelas hanya dari sisi densitas energi PLTU vs PLTN jelas siapa pemenangnya.

ENERGY DENSITY 1000 MWe


PLTU
PLTD
PLTA
Type of Fuel
Quantity of Fuel
Fuel Cost
land use
Investment Cost
Cost to produce Electricity
Capacity Factor

Coal
Diesel
TON/year
3.500.000 2.000.000
USD /Year
250.000.000 320.000.000
M2/GWH/Year
5.700
700
USD/MW
2.000.000 1.800.000
USD/Kwh
0,060
0,160
%
59.70
11.70

PTLN

PLTT

Water
Uranium
none
250
none 50.000.000
200.000
1.200
2.200.000 5.000.000
0,030
0,040
38.10
90.10

Thorium
1
500.000
500
2.000.000
0.03
90,5

Bobs oef - Thori um Worki ng Group - Apri l 2015

Kebanyakan orang ketika mendengar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) maka yang muncul pertama
adalah Fukushima kemudian mungkin menyusul Chernobyl. Kedua nama tersebut tidak lain adalah PLTN
yang terjadi kecelakaan yang disebut Meltdown dimana sistim pendingin air gagal bekerja karena satu dan
lain hal sehingga menyebabkan panas yang sangat tinggi dan melelehkan batang uranium yang sering
menyebabkan ledakan yang meruntuhkan struktur pelindung yang terbuat dari beton sangat tebal sehingga
uap panas beradiasi dengan tekanan tinggi keluar.
Walaupun banyak penyebab Meltdown tetapi sebagaian besar disebabkan oleh tidak befungsinya pompa air
pendingin reaktor dikarenakan genset yang tidak berfungsi dimana dalam kasus Fukushima di sebabkan air
laut yang masuk karena tsunami maka semua genset backup teredam air dan mati sementara dalam kasus
Chernobyl dikarenakan loncatan listrik (spike) yang terjadi saat melakukan ujicoba pematian reaktor dalam
keadaan darurat (emergency shutdown). Walaupun lebih dari 300,000 orang yang harus di ungsikan karena
radiasi tetapi tidak ada korban nyawa pada Fukushima dan hanya 31 orang yang tewas pada Chernobyl
itupun karena tertiban runtuhnya struktur pelindung (containment).

Secara umum tingkat keselamatan Pembangkit listrik


Tenaga Nuklir tergolong paling rendah dari
kecelakaan di banding jenis pembangkitan listrik
lainnya. Dalam waktu kurun 31 tahun (1969 2000)
hanya 31 orang yang tewas akibat kecelakaan pada
PLTN sementara lebih dari 29,000 orang yang tewas
pada kecelakaan di pembangkit tanaga air (PLTA) dan
menyusul sektor batubara sekitar 20,000 orang tewas.
Walau PLTN sesungguhnya aman tetapi ketika terjadi
kecelakaan menjadi pemberitaan yang luar biasa
besar.
Selain isu utama Meltdown dan kebocoran radiasi, isu lainnya menyangkut dari PLTN adalah Nuclear
Proliferation Treaty (NPT). Mengingat bahan baku PLTN hampir semuanya terbuat dari Uranium yang dapat
di proses untuk menjadi Plutonium yang kita tahu adalah bahan baku utama Bom Nuklir, tentunya negaranegara maju (baca : Negara Nuklir Power : AS, Inggris, Perancis, Rusia dan Cina ) ingin mengontrol siapa aja
yang dapat memproduksi senjata Nuklir tentunya adalah dengan mengaturnya melalui NPT. Maka Badan

PBB yang di beri nama IAEA (International Atomic Energy Agency) untuk mengontrol Sehingga negaranegara berkembang yang ingin juga mengembangkan energi nuklir untuk listrik mendapatkan kesulitan
seperti yang di alami oleh Iran.
Masalah ketiga yang membuat PLTN tidak dibangun oleh semua negara sesungguhnya adalah faktor
besarnya biaya investasinya. Salah satu penyebab bengkaknya biaya adalah kompleksitas reaktor yang
dibuat dengan pengamanan berlapis-lapis belum lagi struktur pelindung (contaiment) yang luar biasa tebal
dan besar. Yang menyebabkan biaya pembangunan PLTN adalah yang terbesar dibanding biaya
pembangunan pembangkitan listrik jenis lainnya.
Masalah terakhir tentunya adalah penyimpanan sisa bahan bakar radioaktif yang memiliki tingkat radioaktif
sangat tinggi sehingga lokasi harus di lokasi terpencil dengan desain struktur yang khusus dan kuat karena
struktur tersebut harus bertahun lebih dari 1000 tahun sampai tingkat radioaktif menurun ke level aman.
Walaupun sampai saat ini hal ini bukan masalah karena berdasarkan NPT sisa dari bahan bakar Nuklir tidak
dapat disimpan oleh negara-negara yang tidak mendapat ijin dari IAEA. Jadi sebagian besar di kirim ke
negara Nuclear Power seperti Amerika dan Inggris dimana oleh mereka di perkaya lebih lanjut sehingga
dapat menjadi bahan senjata Nuklir.
Jadi secara singkat masalah utama PLTN adalah :
1.
2.
3.
4.

Meltdown & Radiasi


Proliferasi (NPT)
Biaya Investasi yang mahal
Limbah Nuklir

Adalah sebuah impian bila dapat di bangun PLTN yang dapat menghasilkan listrik murah dibawah USD 5 sen
per Kwh tetapi TANPA KE 4 MASALAH DI ATAS tersebut. Jawabannya SANGAT BISA !! yaitu dengan bahan
baku Thorium.

Selain ke 4 masalah yang menyangkut uranium adalah masalah keberlanjutan bahan baku Uranium yang
langka di dunia yaitu hanya 4 ppm, dikarenakan uranium harus di perkaya dahulu dan hanya 0.71% dari
sumber daya Uranium Alam yang dapat di jadikan bahan baku. Sementara Thorium adalah unsur yang sangat
banyak di alam sebesar 13 ppm, bahkan hampir disemua negara di dunia memiliki deposit Thorium.
Sumber Thorium terbesar adalah pada Monasite yang mengandung Th sekitar 0,26-14,9% menjadi limbah
proses penambangan Timah yang saat ini tidak di manfaatkan. Cadangan sumber daya thorium di Bangka
Belitung diestimasikan sebesar 170 kilo ton (170.000 ton). Saat ini PT TIMAH dan BATAN telah bekerjasama
untuk mengolah produk samping Logam Tanah Jarang (di antaranya Y, La, Ce, Pr, Nd, Gd, Sc, Sm, Eu, Dy, dll)
yang harganya sangat mahal dan di butuhkan dalam industri high technology. Dengan adanya kemampuan
pembiakan, reaktor thorium hanya memerlukan 0,8 hingga 1 ton thorium per GWey dan dengan asumsi satu
PLTT berdaya 1000 MWe memerlukan 1 ton thorium per tahun, maka cadangan sumber daya thorium di
Bangka Belitung mampu mencukupi 170 reaktor thorium berdaya 1000 MWe (170 GWe) selama 1000 tahun.
Pada penggunaan thorium, proses konversi dan pengkayaan tidak diperlukan. Proses front end menjadi
makin sederhana jika digunakan Molten Salt Reactor (MSR) yang berbahan bakar cair karena proses fabrikasi
bahan bakar tidak diperlukan.

Sementara Deposit terbukti Uranium di Indonesia ada di Kalan (Kalimantan Barat) dengan besar 24 Kilo ton.
Dengan asumsi 1 PLTN dengan reaktor LWR (Light Water Reactor non breeder) membutuhkan 180 ton
Uranium alam per 1000 Mwe per tahun maka seluruh deposit yang ada di Kalan hanya cukup untuk 3 PLTN X
1000 Mwe selama maksimal 44 tahun Bandingkan dengan Thorium 160 PLTT X 1000 Mwe selama 1000
tahun. Jelas sekali pilihannya adalah Thorium.
Pada PLTT, thorium yang terdapat di reaktor sebagian besar akan dikonversi menjadi U-233 yang merupakan
bahan bakar fisil reaktor. PLTT menghasilkan limbah 1/10000 kali (jauh lebih sedikit) dibandingkan dengan
PLTN uranium.

Sejak awal pengembangan Nuklir pada tahun 1944, Throrium sudah menjadi pertimbangan untuk bahan
bakar seperti yang di rekomendasikan oleh Komitee Nuklir yang beranggotakan 3 penerima hadiah Nobel
untuk Fisika, DR Eugene Wigner, DR Enrico Fermi dan DR James Franck. Rekomendasi mereka kepada
Presiden AS, Franklin D Roosevelt untuk mendesain Reaktor pembangkit listrik untuk kepentingan damai
dengan bahan bakar Thorium dengan alasan Thorium lebih banyak dibanding Uranium dan tidak harus di
proses untuk di jadikan bahan bakar tetapi sayangnya rekomendasi tersebut tidak pernah di gubris.
Paska Hiroshima Angkatan Laut AS sudah mulai merencanakan pembangunan reaktor untuk propulsi Kapal
Perang yang akhirnya baru terealisasi pada tahun 1958 dalam bentuk kapal selam nuklir pertama. Angkatan
Udara AS pun juga tidak mau ketinggalan sehingga pada tahun 1946 AU AS memberi tugas DR Alvin
Weinberg, mantan anggota The Manhattan Project, Project yang membuat Bom Atom untuk mendesain
sebuah reaktor Nuklir mini yang dapat menjadi sumber energi untuk pesawat terbang Bomber jarak jauh
yang dapat terbang berbulan-bulan tanpa mengisi bahan bakar. Tentunya salah satu kriteria adalah reaktor
ini harus menghasilkan panas tinggi untuk dapat menjalankan turboprop secara efisein, yaitu 860 0 C jauh
diatas yang dapat di hasilkan oleh reaktor pendingin air hanya mampu mencapai 3150 C dan tentunya
bereaksi dalam tekanan normal. Untuk memenuhi Kreteria ini di butuhkan sumber bahan baku baru dan
jenis pendingin baru yang bukan air. Weinberg dan tim akhirnya memecahkannya dengan membuat bahan
bakar cair. Awalnya Uranium yang di cairkan dalam larutan sodium flouorides (garam) kemudian beralih ke
Thorium.
Walaupun pesawat dengan mesin Nuklir tersebut tidak pernah di buat tetapi desain reaktornya mini dan
compact dengan memakai bahan bakar cair bukan solid yang akhirnya menjadi dasar dari Molten Salt
Reactor. Desain reaktor tersebut sesungguhnya adalah sebuah terobosan yang sampai sekarang masih
kurang di apresiasi; Bayangkan reaktor yang menghasilkan daya 200 MW begitu kecil sehingga dapat masuk
kedalam badan pesawat bomber yang tidak lebih besar dari B-29. Dr. Alvin Weinberg selalu mempunyai visi
untuk membangun sebua reaktor yang mempunyai 2 kreteria penting : reaktor tidak dapat melt down &
tidak dapat di manfaatkan sebagai senjata.

Maka pada tahun 1969 akhirnya di bangun MSR pertama di Oakridge National Laboratory sebagai reaktor
eksperiment Thorium pertama yang menghasilkan listrik dengan daya 2,5 MW dan 8 MW dan beroperasi
selama 3 tahun tanpa ada kendala sampai di berhentikan pada tahun 1972 karena pembiayaan di
berhentikan karena prioritas beralih ke Uranium. Paska kejadian Fukushma perhatian dunia mulai beralih
kembali kepada MSR/Thorium sehingga menjadi desain MSR generasi II yang sering disebut Liquid Floride
Thorium Reactor (LFTR).

Desain reaktor PLTT adalah memakai pendingin garam cair (molten salt) dengan bahan bakar Thorium cair
maka pada saat beroperasi pendingin (coolant) dan bahan bakar sudah dalam keadaan cair (melt) bila terjadi
pemadaman listrik maka bahan bakar akan mendingin dan garam akan mengkristal menjadi padat sehingga
tidak akan keluar dari struktur dan karena reaksi terjadi pada tekanan normal maka tidak akan terjadi
ledakan atau over pressure seperti pada reaktor berbasis air.
Pada kebanyakan reaktor PLTN seperti LWR untuk mempertahankan keamanan reaktor maka listrik tidak
boleh padam, karena pompa harus bekerja terus, yang disebut active safety, yang selalu harus dimonitor
tetapi kenyataanya walau sudah di backup dengan berbagai backup generator tapi ternyata bencana alam
dapat mematikan seluruh generator backup sehingga terjadi meltdown. Berbeda dengan desain MSR yang
memakai pendekatan passive safety dimana tidak perlu ada intervensi manusia, ketika listrik padam,
reaktor akan shutdown sendiri, bahan baku cair akan mengalir sendiri ke tempat penampungan (emergency
dump tank) dan dalam beberapa menit akan membeku sendiri. Sehingga tidak akan terjadi kebocoran sama
sekali.

Berbeda PLTN dimana bahan baku dalam bentuk solid dengan PLTT dengan reaktor MSR dengan Thorium
yang bercampur dengan garam dalam bentuk cair dan berekasi dalam tekanan normal (1 ATM) maka tidak di
butuhkan struktur pelindung yang masif dan kuat sehingga menyederhanakan desain dan biaya
pembangunan reaktor. Maka desain fail safe system nya pun sangat sederhana, ketika terjadi listrik gagal,
penyumbat akan terbuka secara otomatis tanpa ada operator cairan akan mengalir ke luar dari reaktor
secara aman menuju tempat penyimpanan dibawah tanah yang aman.
Beberapa keunggulan desain reaktor garam cair adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Footprint PLTT hanya 10% dibanding PLTN


Skalabilitas Dapat di bangun dalam skala kecil (min.50 MW)
Anti Meltdown Karena Fuel sudah dalam bentuk cair
Kapasitas dapat naik/turun sesuai kebutuhan tidak dapat di lakukan oleh PLTN
Shutdown reaktor lebih mudah & cepat turnover lebih cepat.
Tidak membutuhkan air yang banyak Tidak harus di bangun di pinggir laut.
Pembangunan modular (pre-fabrikasi) Waktu pembangunan lebih cepat

Thorium tidak dapat di jadikan sumber bahan baku senjata nuklir di karenakan Thorium tidak mempunyai
sifat Fisil seperti Uranium dan Plutonium dimana dapat mempertahankan reaksi berantai dan dalam proses
reaksinya Thorium tidak menghasilkan sisa Plutonium yang banyak yang dapat di proses menjadi senjata.
Walaupun Thorium sendiri tidak dapat menjadi bahan bakar tetapi U-233 yang di hasilkan oleh Thorium

terpakai 99.9% pada reaktor MSR sehingga tidak ada lagi sisa yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku
senjata.
Sehingga untuk memanfaatkan Thorium untuk dijadikan sumber bahan baku untuk senjata nuklir adalah
sebuah proses yang sangat sulit bahkan sia-sia. Itulah sebabnya Thorium kalah dengan Uranium sebagai
bahan bakar utama PLTN, dikarenakan Uranium menghasilkan Plutonium yang berkelebihan yang dapat di
manfaatkan untuk senjata nuklir.
Aspek menarik lain dari Th pemancar alpha ini adalah tidak memerlukan proses pemisahan isotop dan U-233
yang diperoleh tidak dengan mudah dapat dibuat senjata nuklir karena adanya kontaminan U-232. Oleh
karena itu, PLTN berbasis Th dengan BB jenis garam cair cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia,
sekaligus menghapus kecurigaan negara maju, karena pengguna PLTN berbasis Th sulit membuat senjata
nuklir. Sebaliknya, PLTN U di dunia memproduksi isotop Pu yang bila diproses-ulang, Pu-239 dapat digunakan
sebagai senjata nuklir.
Jadi jelas bahwa pemakaian Thorium tidak akan menimbulkan masalah dengan NPT artinya Jika dikemudian
hari Indonesia mengembangkan PLTT, Indonesia tidak akan dicurigai mengembangkan senjata Nuklir
sebagaimana yang terjadi dengan Iran.

Salah satu sebab tidak banyak negara membangun PLTN adalah biaya pembangunan yang luar biasa mahal
berdasarkan data yang di keluarkan Oleh US Energy Information Administration (2013) di perkirakan PLTN
(Uranium/LWR) dapat mencapai dikisaran USD 5,5 Juta/ MW dibanding PLTU yang hanya di kisaran USD 2,5
Juta/ MW dan Gas (Combined Cycle) di Kisaran USD 2 Juta/ MW.
Dikarenakan reaktor MSR atau LFTR karena memilki desain yang lebih sederhana dibanding reaktor
pendingin air maka dengan sendirinya memiliki biaya pembangunan yang jauh lebih rendah. Dalam laporan
MIT (2013) memperkirakan berada pasa kisaran USD 2 2,5 Juta/ MW. Tidak lebih mahal dari PLTU yang
memakai batubara.
Aspek lain yang membuat biaya produksi PLTT lebih murah dibanding PLTN adalah bahwa tidak seperti
Uranium yang harus di perkaya dulu, Thorium tidak perlu pengayaan. Di tambah ketersedian Thorium di
alam yang 4X lebih banyak di banding Uranium. Maka biaya produksi listrik PLTT sekitar 2.7 3.0 sen USD
per Kwh dibanding PLTN yang di kisaran 4.0 sen USD yang menjadikan PLTT menjadi TERMURAH dari semua
jenis pembangkit listrik yang ada.
Untuk menghasilkan 1000 MW (LFTR) selama 1 tahun hanya di butuhkan 1 ton Thorium dengan biaya USD
500,000 sementara di butuhkan 3,5 Juta ton batubara per tahun sekitar USD 250 Juta per tahun
bandingkan USD 500,000 untuk Thorium.
Dari sisi harga listrik per KWH maka PLTT hampir sama dengan biaya per KWH PLTA yaitu di kisaran USD
0.030 tetapi permasalahan dengan PLTA adalah membutuhkan lahan yang luar biasa luas di tambah dengan
persoalan pembebasan lahan. Faktor lainnya adalah rendahnya capacity factor dari PLTA yang dibawah 40%
bandingkan dengan PLTT yang di atas 90.5 %.
Jadi jelas secara ekonomis PLTT memiliki tingkat keekonomian yang sangat bagus, dengan investasi rendah,
biaya bahan baku rendah yang tentunya menghasilkan biaya produksi listrik per kwh yang sangat rendah.


PLTN berbasis daur bahan bakar Uranium yang selama ini beroperasi, terbukti mengandung masalah yang
belum jelas penyelesaiannya, yaitu limbah nuklir yang berumur sangat panjang dan beracun, berumur
ratusan ribu tahun (masalah antar generasi). Sementara teknologi PLTT adalah teknologi yang lebih baru dan
diperhitungkan mampu menghilangkan masalah dari teknologi sebelumnya, sehingga aman, bersih, etis dan
bertanggung jawab.
PLTT memberikan keuntungan dalam wujud tidak adanya limbah nuklir berbahaya yang berumur panjang
dan beracun, tidak adanya produk fisi yang berpotensi untuk diselewengkan menjadi senjata, serta tidak ada
kebutuhan pengkayaan spesies nuklir tertentu.
1000 MW(e) PLTT memerlukan 1 Ton Thorium pertahun atau 60 Ton selama masa operasi PLTT ( 60 tahun).
Limbah nuklir yang dihasilkan cukup diamankan dan dimonitor selama maksimum 10 tahun saja. Sebagai
perbandingan PLTN menghasilkan limbah nuklir beracun sebanyak 1800 ton yang harus diamankan dan
dimonitor selama minimal 10000 tahun. Ini berarti PLTT adalah pilihan teknologi yang aman, bersih, etis dan
bertanggung jawab, khususnya bagi Indonesia. Problem antar generasi tidak ada.
Satu ton logam Th menghasilkan energi setara dengan 200 ton U (alam) atau 3.500.000 ton batu bara.
Reaktor Th dapat mengkonsumsi limbahnya sendiri dan menggunakan Pu sebagai sumber netron sekaligus
mengurangi jumlah Pu yang diproduksi oleh PLTN uranium, sehingga reaktor Th dianggap pula berfungsi
sebagai pembersih lingkungan. Hal ini yang di lakukan oleh sebuah perusahaan Norwegia, Thor Energy yang
sudah selama 5 tahun menjalankan reaktor LWR dengan bahan baku Thorium + Plutonium sehingga
Plutonium tersebut terpakai habis.

India sekarang memimpin dunia dalam perancangan reaktor nuklir berbasis Th. Sebuah reaktor mini 30 kW
dengan BB berbasis Th telah sukses dioperasikan di reaktor Kamini di Kalpakkam, India. Kesuksesan itu
mendorong India untuk memasang BB berbasis Th pada PLTN-nya. PLTN Kakrapar-1, di kota Surat, Gujarat,
adalah reaktor yang pertama kali menggunakan BB berbasis Th di dunia, dan menggunakan akselerator Pu
dalam teras reaktor. Percobaan menggunakan 500 kg Th pada Kakrapar-1 dan Kakrapar-2 dilakukan pada
tahun 1995. Kakrapar-1 mencapai operasi daya penuh selama 300 hari, dan Kakrapar-2 mencapai operasi
daya penuh selama 100 hari.
Desain PLTN berbasis Th 300 MW Kakrapar-1 menggunakan reaktor maju air berat bertekanan (AHWR) telah
diselesaikan th 2014 dan akan beroperasi paling lambat tahun 2025. Dalam desain itu, bahan bakar di bagian
tengah teras berupa 30 batang oksida Th-233/U-233 yang dikelilingi oleh 24 batang oksida Th-233/Pu-239.
Konfigurasi itu cukup menyediakan U-233 yang mandiri dengan menghasilkan keluaran tenaga nuklir sebesar
60%, yang diharapkan beroperasi selama 100 tahun. India menggunakan Th pula pada 5 reaktor lainnya,
yaitu di Kakrapar-2, Kaiga-1, Kaiga-2, Rajasthan-3 (Rawatbhata-3), dan Rajasthan-4.
India berencana 30% kebutuhan listriknya berasal dari PLTN berbasis Th pada tahun 2050 nanti. Hal itu
memungkinkan, karena India memiliki sekitar 25% cadangan Th dunia (lebih dari 932.000 ton).
Hasil-hasil penelitian India mendorong Amerika, Rusia (Institut Kurchatov Moskow), dan baru-baru ini
Norwegia dan Polandia untuk melakukan penelitian lebih dalam. Penelitian yang melibatkan Th di Julich
(Jerman), Winfrith (UK), dan Peach Bottom (AS) dihidupkan kembali yang sebelumnya sudah pernah mereka
lakukan.
Di Jepang initiator Thorium adalah Professor Kazuo Furukawa, yang sudah memegang berbagai posisi
penting dalam industri nuklir Jepang. Beliau adalah perancang reaktor MSR mini yang disebut reaktor Mini
FUJI yang di disain berdasarkan MSR rancangan Dr Alvin Weinberg yang sempat beroperasi selama 5 tahun
di Oak Ridge National Laboratory. Bahkan menurut Prof. Furukawa desain Mini Fuji dapat di jadikan propulsi
untuk kapal Niaga bertenaga Nuklir. Sayangnya Beliau sudah keburu wafat sebelum impiannya tercapai.
Di sisi lain, reaktor garam cair Th, LFTR menggunakan campuran garam ThF4-U233F4 yang disirkulasikan
melalui teras reaktor dan penukar panas yang memanasi gas Helium sebagai media hingga 930C dan gas He
tersebut diumpankan ke turbin gas dan balik ke penukar panas dalam siklus tertutup. Turbin akan
menggerakkan generator listrik.
Walaupun Cina memiliki deposit Th cina tergolong kecil hanya di kisaran 100,000 ton tetapi Cina memiliki
ambisi ingin menjadi pemain terbesar Thorium, bahkan untuk merelisasikan hal tersebut Cina adalah negara
pertama yang menanda tangan kerjasama dengan Oak Ridge Natioanl Lab. Pengembangan Th di Cina di
inisiasi pada tahun 2013 oleh Dr Jiang Mienheng, Kepada Cabang Shanghai dari Chinese Academy of Sciences
(CAS) yang juga putera mantan Presiden China Jiang Zemin (1993 2003). Komitmen Pemerintah China
dalam mengembangkan Thorium sebagai sumber energi utama masa depan terlihat dari budget awal
sebesar USD 350 Juta dengan merekrut 140 PhD dari Shanghai Institute of Nuclear and Applied Physisc
dengan target 10 tahun sebuah MSR dengan kapasitas 1000 MW sudah beroperasi.
Perusahaan swasta ThEMS (Thorium Energy & Molten-Salt Technology Inc) bertujuan pula untuk
memproduksi listrik menggunakan reaktor Th kecil (10 kW) dalam 5 tahun ke depan. ThEMS bertujuan
menjual listriknya sekitar 11 UScent per kWh (6,8 p/kWh) jauh lebih murah ketimbang feed-in tariff Inggris
yang berkisar antara 34,5 p/kWh untuk turbin angin kecil hingga 41,3 p/kWh untuk instalasi surya.

Thorium Power Canada (TPC, mengadopsi teknologi ThO2 padat milik DBI, $2juta/MW, dibangun dalam
waktu 2-3 tahun, modular) sedang dalam tahap pembuatan proposal untuk membangun Reaktor Th
berkapasitas 25 MW di Indonesia. Proyek tersebut berencana akan memasok tenaga listrik ke PLN. Bandung
dan Kalbar disebut-sebut menjalin kerjasama dengan Kanada guna mengkaji potensi Th sebagai sumber
listrik. BKM-PII menyinggung bahwa Th berpotensi pula di sektor otomotif sebagai pengganti BBM. BATAN
juga dikontak Kanada untuk mendemo PLTN Th skala kecil sekaligus TPC sebagai penyandang dana. TPC
(yang membeli paten DBI Century Fuels, Inc., California, AS) akan menjual listrik berkisar antara 4-7
cent/kWh dengan daya 25 MW (Indonesia) dan 10 MW (Chile).
Perusahaan saingan Flibe Energy, berasal dari Huntsville, Alabama, AS, diam-diam mengumumkan
kehadirannya dengan teknologi reaktor thorium garam cair, LiF (Lithium Fluorida) dan BeF2 (Berilium
Fluorida) (adopsi dari ORNL, operasi dengan tekanan atmosferik, modular, daya 20-30 MW sekitar $100juta
awal, menjadi setengahnya bila diproduksi massal).
Bahkan Bill Gates, pendiri Microsoft dan orang no 2 terkaya di dunia mendirikan perusahaan Terra Power
untuk melakukan pengembangan pembangkit listrik thorium. Karena menurut Bill Gates solusi terhadap
masalah negara dunia berkembang adalah listrik murah yang tidak merusak lingkungan dan dia hanya
melihat jawabnya ada pada Thorium.

Sesungguhnya keinginan untuk menguasai teknologi Nuklir sudah di nyatakan oleh Soekarno sejak akhir
1950an dalam salah satu pidatonya Untuk menjadi bangsa besar Indonesia kedepan harus menguasai
Nuklir dan Antariksa... Sehingga untuk merealisasikan mimpi tersebut Soekarno memerintahkan
membangun sebuah Reaktor eksperimen pertama TRIGA MK II yang di resmikan oleh Soekarno pada tahun
1965, satu tahun sebelum Jepang memiliki reaktor nuklir. Saat ini Jepang sudah memilki 22 PLTN dengan
total daya 42,000 MW dan Indonesia masih sebatas reaktor nuklir skala riset di Bandung, Serpong dan Jogya.
Berbagai usaha untuk mengembangkan PLTN di
Indonesia mengalami tantantangan dari
Masyarakat, mulai dari rencana PLTN Gunung
Muria, Gorontalo, Bangka Belitung dan terkahir
Kalimantan. Kesemuanya terkendala hanya sebatas
proposal dan kajian. Padahal UU No 10 tentang
Ketenaganukliran sudah di berlaku sejak 1997
tetapi nasib PLTN tetap masih sebuah impian.
Sesungguhnya berbagai penolakan yang terjadi di
masyarakat khususnya di Gunung Muria dan
Bangka Belitung terjadi karena 3 faktor. 1) kurangnya sosialisasi yang di lakukan oleh Pemerintah khususnya
BATAN 2) Pemahaman msayarakat tentang nuklir lebih banyak di pengaruhi isu daripada FAKTA 3) kurang
kuatnya political will pemerintah dalam masalah nuklir karena kepentingan pihak yang akan di rugikan bila
berdirinya PLTN.
Tentunya dengan pemilihan bahan baku Throrium akan sangat membantu dalam meredam ketegangan
masyarakat terhadap Nuklir. Bahkan dalam survey terkahir (2014) yang di rilis BATAN, menyatakan bahwa 72%
masyarakat sudah dapat menerima PLTN.

Bila Indonesia memilih untuk memiliki PLTN berbasis Th, misalnya dengan BB jenis garam cair Th seperti
yang diadopsi China, sudah saatnya para staf/operator di reaktor riset/PLTN terlibat pula dalam penelitian
bersama-sama (termasuk diklat) dengan bangsa lain untuk menguasai teknologi BB Th. Mereka juga sedang
berlomba-lomba mencari angka-angka yang diperlukan dalam pengoperasian reaktor mini/riset dan PLTN
dengan BB berbasis Th.
Saat ini Kementrian Perindustrian sudah secara tegas menyatakan mendukung pembangunan PLTT di
Indoensia karena merupakan solusi terbaik saat ini. Bahkan dalam sebuah diskusi tentang Energi yang di
adakan oleh Metro TV menteri ESDM juga menyatakan bahwa sudah waktunya Nuklir tidak lagi dilihat
sebagai solusi terakhir tetapi sebagai solusi utama.
Untuk mewujudkan harapan tersebut terlah di bentuk sebuah Kelompok Kerja Throrium yang terdiri dari PT
Industri Nuklir Indonesia (BUMN) Fakultas Tehnik Fisika Univeristas Gajah Mada Direktorat Jendral BIM
Kementerian Perindustrian dan berbagai pihak lainnya.
Jakarta April 15, 2015
* Penulis adalah pengamat energi terbarukan
Anggota Thorium Working Group
Email : bobse@outlook.com

Source :
Wow, Tarif Listrik Indonesia Termahal di Dunia
Patricia Vicka MetrotvNews - 07 Januari 2015 11:48 WIB
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/01/07/341778/wow-tarif-listrik-indonesia-termahal-di-dunia
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia Cenderung Menurun, Kabar24.com | Selasa, 14/10/2014
http://kabar24.bisnis.com/read/20141014/79/264783/indeks-kualitas-lingkungan-hidup-indonesiacenderung-menurun
Cadangan Batubara Indonesia akan Habis | tempo | Senin, 21 Maret 2011
http://www.tempo.co/read/news/2011/03/21/090321789/Cadangan-Batubara-Indonesia-Akan-Habis
Comparing Nuclear Accident Risks with Those from Other Energy Sources Nuclear Enegry Agency 2010
http://www.oecd-nea.org/ndd/reports/2010/nea6862-comparing-risks.pdf
Aircraft Nuclear Propulsion (WIKI) http://en.wikipedia.org/wiki/Aircraft_Nuclear_Propulsion
The Passion of Alvin Weinberg : The Humanatarian behind China Great Thorium Push
http://thebreakthrough.org/index.php/programs/energy-and-climate/the-passion-of-alvin-weinberg
Updated Capital Cost Estimates for Utility Scale Electricity Generating Plants | US Energy Information
Administration | http://www.eia.gov/forecasts/capitalcost/pdf/updated_capcost.pdf
Economics of Liquid Fluoride Thorium Reactors http://liquidfluoridethoriumreactor.glerner.com/2012economics-of-liquid-fluoride-thorium-reactors/
Chinese going for broke on thorium nuclear power, and good luck to them | The Telegraph, 2014
http://blogs.telegraph.co.uk/finance/ambroseevans-pritchard/100026863/china-going-for-broke-onthorium-nuclear-power-and-good-luck-to-them/
Bill Gatess Nuclear Company explores Molten Salt Reactor, Thorium http://www.the-weinbergfoundation.org/2013/07/23/bill-gates-nuclear-company-explores-molten-salt-reactors-thorium/
India Turns to Thorium as Future Reactor Fuel http://www.nei.org/News-Media/News/NewsArchives/india-turns-to-thorium-as-future-reactor-fuel
Riset Batan: Masyarakat Menerima Pembangunan PLTN
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/18/ngqvz1-riset-batan-masyarakat-menerimapembangunan-pltn

Anda mungkin juga menyukai