Juknistbhiv 2013
Juknistbhiv 2013
9
Ind
p
PETUNJUK TEKNIS
TATA LAKSANA KLINIS
KO-INFEKSI TB-HIV
6.6.9
Ind
p
PETUNJUK TEKNIS
TATA LAKSANA KLINIS
KO-INFEKSI TB-HIV
KATA PENGANTAR
Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang
berdampak pada meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan
terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak
akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan infeksi
oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada ODHA (orang dengan HIV-AIDS).
Kolaborasi kegiatan bagi kedua program merupakan keharusan agar mampu mengendalikan kedua
penyakit tersebut secara efektif dan efiisien.
Dalam melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV maka telah disusun pedoman kebijakan pelaksanaan
kolaborasi TB-HIV di Indonesia. Pedoman tersebut merupakan kebijakan tentang hal-hal yang harus
dilakukan dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV. Oleh karena itu, masih diperlukan petunjuk lebih lanjut
dalam operasionalnya baik dalam aspek manajemen program maupun aspek tatalaksana klinis. Selain
itu strategi dan kegiatan yang akan dilaksanakan dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN)
Kolaborasi TB-HIV 2011-2014.
Penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua pihak, baik perorangan maupun
lembaga yang terlibat dalam penyusunan dan penyempurnaan buku petunjuk teknis ini. Terutama
kepada tim penyusun dan para kontributor yang telah memberikan sumbang saran sehingga buku
ini dapat diterbitkan.
Semoga dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................................................................................
ii
C. TUJUAN ...................................................................................................................................................... 2
D. SASARAN.................................................................................................................................................... 2
A. TUBERKULOSIS ........................................................................................................................................ 4
ii
BAB VII PENCEGAHAN PENGENDALIAN INFEKS DAN KEWASPADAAN STANDAR ...................... 108
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
C. PRINSIP KEWASPADAAN UNIVERSAL DAN PENGENDALIAN INFEKSI .................................. 110
TB DI FASYANKES
iii
E.
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Stadium klinis HIV dewasa .................................................................................................................. 10
Tabel 2. Stadium klinis HIV anak ....................................................................................................................... 12
Tabel 3. Gambaran foto toraks tipikal atau tidak tipikal ..................................................................... 22
Tabel 4. Kemungkinan diagnosis yang dinilai berdasarkan kelainan pada foto toraks ................ 23
yang sering di interprestasikan sebagai TB Paru
Tabel 5. Diagnosis banding TB meningen ..................................................................................................... 31
Tabel 6. Tampilan klinis yang biasa muncul dan pemeriksaan untuk penegakan ........................ 32
diagnosis bentuk lain TB ekstraparu yang jarang ditemukan
Tabel 7. Ringkasan petunjuk untuk suspek TB ekstraparu dan tanda utama .................................. 34
TB ekstraparu untuk membantu diagnosis
Tabel 8. Diagnosis dan Tatalaksana segera kasus suspek TB Ekstraparu ............................................ 35
Tabel 9. Manifestasi klinis dan gambaran foto toraks PCP dan TB Paru .............................................. 40
Tabel 10. Gambaran klinis dugaan terdapatnya ko-infeksi HIV pada pasien TB ................................ 63
Tabel 11. Keuntungan dan kerugian dari tes antibodi HIV ........................................................................ 69
Tabel 12. Obyektifitas, strategi dan intrepretasi dari pemeriksaan HIV ................................................. 70
Tabel 13. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1 .................................................................................... 72
Tabel 14. Memulai pengobatan TB pada ODHA di Puskesmas ................................................................ 75
Tabel 15. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB ...................................................... 76
Tabel 16. Pemberian Kotrimoksasol sebagai profilaksis primer ............................................................... 80
Tabel 17. Protokol desensitisasi kotrimoksasol .............................................................................................. 81
Tabel 18 Protokol desensitisasi cepat kotrimoksasol .................................................................................. 81
Tabel 19 Tatalaksana efek samping ringan untuk pasien TB yang tidak dalam ................................ 82
pengobatan ARV
Tabel 20. Tatalaksana efek samping berat untuk pasien TB yang tidak dalam pengobatan ARV... 83
Tabel 21. Tatalaksana Efek Samping Obat pada pasien dengan pengobatan .................................... 84
ko-infeksi TB-HIV
Tabel 22. Penyakit infeksi dan non infeksi penyebab SPI pada ODHA ................................................... 89
Tabel 23. Gejala dan Penanganan IRIS .............................................................................................................. 90
Tabel 24. Pemantauan klinis dan laboratorium yang dianjurkan selama pemberian ..................... 91
paduan ARV Lini Pertama
Tabel 25. Potensi toksisitas OAT MDR dan ART .............................................................................................. 97
Tabel 26. Jadual Pemantauan Pengobatan ko-infeksi TB MDR/ HIV ....................................................... 103
Tabel 27. Penatalaksanaan efek samping pengobatan OAT MDR dan ART ......................................... 104
Tabel 28. Lima Langkah Penatalaksanaan Pasien Untuk Mencegah Penularan TB ........................... 113
di Fasyankes
Tabel 29. Penilaian Pajanan untuk Profilaksis Pasca Pajanan HIV ............................................................ 117
Tabel 30. Definisi Operasional pasien TB yang terdaftar ............................................................................ 126
Tabel 31. Definisi operasional data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang ............................. 127
belum periksa HIV
Tabel 32. Definisi operasional Data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang ............................. 129
belum periksa HIV
Tabel 33. Definisi Operasional Pelaporan kolaborasi TB-HIV dari Unit HIV .......................................... 131
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Faktor Risiko Kejadian TB .................................................................................................................... 7
Gambar 2. Alur diagnosis TB paru pada ODHA dengan rawat jalan ......................................................... 24
Gambar 3. Alur diagnosis TB paru pada ODHA dengan sakit berat ......................................................... 26
Gambar 4. Tatalaksana umum anak terinfeksi HIV .......................................................................................... 60
Gambar 5. Bagan Alur Pemerikaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa .................................................... 71
Gambar 6. Algoritma diagnosis MDR TB pada ODHA .................................................................................... 93
vii
HIV
AIDS
PITC - PITC
KTIPK - PITC
Konseling dan tes HIV atas Inisiasi Petugas Kesehatan (Lihat PITC)
KTS - VCT
PDP
ODHA
WHO
UNAIDS
PMTCT
UNGASS
TB
Tuberkulosis
viii
three C
KIA
IMS
ANC
ART
SDM
DEPKES
ix
DAFTAR KONTRIBUTOR
TIM PENYUSUN
Pengarah :
Prof. dr. Tjandra Y Aditama, Sp.P (K), MARS, DTM&H, DTCE
Dr. H. Muhammad Subuh, MPPM
Penanggung jawab :
Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH
Dr. Siti Nadia Tarmizi, MEpid
Kontributor :
1. Dr. Toni Wandra, M.Kes, Phd
9. Dr. Novayanti
(PDPI)
(PDPI)
(PAPDI)
(PDPI)
(Konsultan TB)
(KNCV)
(WHO TB)
(WHO)
(WHO)
(FHI 360)
(FHI 360)
(FHI 360)
(FHI 360)
(FHI 360)
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. DASAR HUKUM
Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis ko infeksi TB-HIV di Indonesia berlandaskan pada:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3273);
2. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia;
4. Kepmenkes No. 1507/Menkes/SK/V/2005 tentang Pedoman Konseling dan Testing HIV dan AIDS
secara sukarela (VCT);
5. Kepmenkes No 832/Menkes/SK/X/2006 tentang Penetapan RS Rujukan ODHA dan standar
pelayanan rumah sakit rujukan ODHA dan satelitnya;
6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
7. Kepmenkes Republik Indonesia No. 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis (TB);
8. Kepmenkes Republik Indonesia No 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 565/Menkes/Per/III/2011 tentang Strategi
Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011 2014;
10. Kepmenkes No 782/Menkes/SK/IV/2011 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV
AIDS (ODHA);
11. Kepmenkes No 1932/Menkes/SK/IX/2011 tentang Kelompok Kerja Pengendalian HIV/AIDS dan
IMS
12. Kepmenkes No 2571/Menkes/SK/XII/2011 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV
AIDS (ODHA)
C. TUJUAN
Buku Petunjuk teknis ini ditujukan sebagai panduan teknis klinis dalam tatalaksana kolaborasi TB-HIV
di Indonesia, sesuai dengan Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV.
D. SASARAN
Sasaran Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-infeksi ini ditujukan kepada petugas kesehatan yang
melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV.
E. RUANG LINGKUP
Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-infeksi ini membahas aspek klinis kegiatan kolaborasi TB
HIV. Ruang lingkup pembahasan meliputi gambaran umum ko-infeksi TB-HIV, Tatalaksana TB dan HIV
baik untuk Dewasa dan Anak serta pencatatan dan pelaporan.
BAB II
PELAKSANAAN PENGENDALIAN
KO-INFEKSI TB-HIV
A. TUBERKULOSIS
1. Pengertian
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2. Epidemiologi TB
Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB
meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada negara
yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden
countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB
sebagai kedaruratan dunia (global emergency).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
99 Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi
atau pergolakan masyarakat.
Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur
kependudukan.
3. Riwayat Alamiah TB
Pasien TB dapat mengeluarkan kuman TB dalam bentuk droplet yang infeksius ke udara pada waktu
pasien TB tersebut batuk (sekitar 3.000 droplet) dan bersin (sekitar 1 juta droplet). Droplet tersebut
dengan cepat menjadi kering dan menjadi partikel yang sangat halus di udara. Ukuran diameter
droplet yang infeksius tersebut hanya sekitar 1 5 mikron.
Pada umumnya droplet yang infeksius ini dapat bertahan dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
Pada keadaan gelap dan lembab kuman TB dalam droplet tersebut dapat hidup lebih lama sedangkan
jika kena sinar matahari langsung (sinar ultra-violet) maka kuman TB tersebut akan cepat mati.
Pasien TB yang tidak diobati maka setelah 5 tahun akan:
50% meninggal.
30% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi.
(Tuberculosis, A Manual for medical students by Nadia ait-Khaled and Donaldo. Enarson, WHO, 2003).
4. Patogenesis TB
Seseorang akan terinfeksi kuman TB kalau dia menghirup droplet yang mengandung kuman TB yang
masih hidup dan kuman tersebut mencapai alveoli paru (catatan: Seseorang yang terinfeksi biasanya
asymptomatic/tanpa gejala). Sekali kuman tersebut mencapai paru maka kuman ini akan ditangkap
oleh makrofag dan selanjutnya dapat tersebar ke seluruh tubuh.
Orang yang terinfeksi kuman TB dapat menjadi sakit TB bila kondisi daya tahan tubuhnya menurun.
Sebagian dari kuman TB akan tetap tinggal dormant dan tetap hidup sampai bertahun-tahun dalam
tubuh manusia. Hal ini dikenal sebagai infeksi TB laten. Seseorang dengan infeksi TB laten tidak
mempunyai gejala TB aktif dan tidak menular.
Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Penularan TB
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan seorang yang terpajan dengan kuman TB
menjadi terinfeksi, yaitu:
Jika seorang hidup atau tidur sekamar dengan pasien TB maka mereka mempunyai risiko besar untuk
menghirup droplet yang infeksius. Hanya droplet halus yang dapat mencapai alveoli paru.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan meningkatnya risiko penularan
pasien TB:
Pasien tidak menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin.
Biasanya setelah pengobatan TB dimulai maka dalam waktu singkat pasien TB menjadi tidak menular
(sekitar 2 minggu). Jadi, seorang petugas kesehatan dapat dikatakan turut berkontribusi pada
penularan TB, bila:
Melakukan prosedur yang dapat merangsang batuk (misalnya bronkoskopi atau induksi sputum)
tanpa memperhatikan pengamanan perorangan.
Kurangnya ventilasi untuk mengalirkan udara sehingga terjadi pengenceran dan pembuangan
droplet infeksius.
Jadi, makin dekat dan makin lama seorang kontak dengan pasien TB yang menular (Pasien TB paru
BTA positif yang belum diobati) maka makin besar risiko yang bersangkutan terinfeksi TB.
Risiko Berkembangnya Penyakit Setelah Infeksi
Tidak semua orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan jadi sakit TB. Hanya sekitar 10%
saja yang akan berkembang menjadi sakit TB aktif. Biasanya risiko menjadi sakit TB ini terjadi sebelum
1 tahun setelah terjadinya infeksi.
Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga yang bersangkutan mudah
berkembang menjadi sakit TB aktif, misalnya: malnutrisi, kondisi yang menurunkan sistem imunitas
(infeksi HIV, diabetes, penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif lain dalam jangkapanjang).
Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi sakit TB selama hidupnya. Seperti
telah dijelaskan di atas maka pada orang dengan HIV negatif, risiko ini jauh lebih rendah yaitu hanya
sekitar 10%. Faktor risiko kejadian TB secara ringkas digambarkan pada gambar berikut ini.
transmisi
Jumlah kasus TB BTA+
Faktor lingkungan :
Ventilasi
Kepadatan
Dalam ruangan
Faktor Perilaku
HIV(+)
SEMBUH
PAJANAN
INFEKSI
Konsentrasi Kuman
Lama kontak
10%
Malnutrisi
Penyakit DM,
immuno-supresan
TB
MATI
Keterlambatan diagnosis
dan pengobatan
Tatalaksana tak memadai
Kondisi kesehatan
sebanyak 4449 kasus AIDS dengan proporsi terbanyak menurut jenis kelamin yaitu pada laki-laki
sebesar 80,8%, terbanyak pada kelompok umur 20-29 tahun (46,8%) dengan faktor risiko terbanyak
pada heteroseksual (71%).
3. Riwayat Alamiah infeksi HIV
a. Infeksi HIV akut
Infeksi HIV akut disebut juga infeksi HIV primer atau sindrom serokonversi akut. Sekitar 40% - 90%
infeksi HIV baru, memiliki gejala. Jangka waktu sejak terpajan sampai timbulnya gejala penyakit
biasanya sekitar 2-4 minggu. Beberapa orang mengalami gejala seperti mononukleosis infeksiosa
(glandular-fever): demam, ruam, pegal-pegal dan limpadenopati. Terkadang pasien mengalami
sindrom saraf akut yang sering kali sembuh sendiri . Sindrom ini mencakup meningitis aseptik,
neuropati perifer, ensefalitis dan mielitis. Sebagian besar pasien yang memiliki gejala akan berusaha
mencari pertolongan medis. Meskipin demikian, diagnosis jarang dapat ditegakkan karena petugas
kesehatan tidak menyangka gejala-gejala tersebut adalah sebagai gejala infeksi HIV; gejala klinis
nonspesifik sehingga dipikirkan disebabkan oleh penyebab lain misalnya malaria; tes serologi standar
pada tahap infeksi akut ini biasanya negatif. Tes serologis positif biasanya terjadi setelah 4 - 12 minggu
setelah terinfeksi dengan lebih dari 95% pasien serokonversi dalam waktu 6 bulan. Diagnosis infeksi
HIV akut paling baik ditegakkan dengan pemeriksaan HIV RNA pada plasma.
Infeksi HIV asimtomatis (tanpa gejala)
Pada orang dewasa terdapat periode laten yang berlangsung lama dan bervariasi dari terinfeksi HIV
hingga onset gejala HIV dan AIDS. Seseorang yang terinfeksi bisa tidak memiliki gejala sampai 10
tahun atau lebih. Sebagian besar anak terinfeksi HIV pada periode perinatal. Periode tanpa gejala
pada anak-anak tidak diketahui. Beberapa bayi akan sakit di minggu-minggu pertama setelah lahir.
Sebagian besar anak-anak mulai sakit sebelum mencapai usia 2 tahun. Hanya sedikit yang tetap sehat
selama beberapa tahun awal kehidupan.
Perjalanan sejak infeksi HIV sampai timbul penyakit terkait HIV dan AIDS
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV jika tidak diobati akan mengalami penyakit terkait HIV
dan AIDS. Berapa orang mengalami ini lebih cepat dari yang lain. Laju perkembangan menjadi AIDS
tergantung pada karakteristik virus maupun orang yang terinfeksi. Karakteristik virus adalah tipe
dan subtipe HIV-1 dan beberapa subtipe HIV-1 bisa menyebabkan progresivitas yang lebih cepat.
Karakteristik orang yang bisa mempercepat progresi ini antara lain berumur kurang dari 5 tahun,
berumur lebih dari 40 tahun, terdapat ko-infeksi dan faktor genetik.
Immunosupresi yang terus berlanjut
Ketika infeksi HIV terus berkembang dan sistem kekebalan tubuh menurun maka pasien akan lebih
rentan terkena infeksi termasuk TB, pneumonia, infeksi jamur pada kulit, orofaring dan herpes zoster.
Infeksi ini bisa terjadi kapanpun dalam perjalanan infeksi HIV. Beberapa pasien dapat mengalami
gejala konstitusional (demam dan penurunan berat badan dengan penyebab yang tidak jelas) dulu
dikenal dengan nama AIDS-related complex (ARC). Beberapa pasien mengalami diare kronik dengan
diikuti penurunan berat badan sering dikenal sebagai slim disease.
Beberapa penyakit terkait HIV terjadi terutama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang sangat
berat. Hal ini termasuk beberapa infeksi oportunistik (misalnya meningitis kriptokokus) dan beberapa
tumor (misalnya Sarkoma Kaposi). Pada stadium lanjut jika pasien tidak mendapat ART maka mereka
biasanya meninggal dalam waktu kurang dari 2 tahun. Stadium lanjut ini kadang dikenal sebagai fullblown AIDS.
b. Stadium Klinis
Sistem klasifikasi stadium klinis WHO untuk infeksi HIV dan penyakit terkait HIV
WHO telah mengembangkan sistem stadium klinis (awalnya untuk menentukan prognosis)
berdasarkan kriteria klinis. Kondisi klinis menunjukkan apakah pasien berada pada stadium 1, 2, 3
atau 4. Stadium klinis merupakan hal yang penting sebagai kriteria untuk memulai terapi ARV.
Dewasa
Stadium klinis WHO dapat membantu untuk memperkirakan tingkat defisiensi kekebalan tubuh
pasien. Pasien dengan gejala pada stadium klinis 1 atau 2 biasanya tidak mempunyai gejala defisiensi
kekebalan tubuh yang serius. Pasien yang mempunyai gejala dan tanda stadium klinis 3 atau 4
biasanya mempunyai penurunan kekebalan tubuh yang berat dan tidak mempunyai cukup banyak
sel CD4 sehingga memudahkan terjadinya infeksi oportunistik (IO).
Beberapa kondisi IO memerlukan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut sehingga mungkin
perlu dirujuk untuk penegakan diagnosis dan pengobatan yang sesuai. Kondisi tersebut diberi tanda
bintang* di dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Stadium klinis HIV dewasa
Gejala/
tanda
10
Stadium klinis 1:
Asimtomatik
Stadium klinis 2:
Sakit ringan
Berat badan
turun 5-10%
Luka pada
sudut mulut
(keilitis
angularis)
Dermatitis
Seboroik:
Lesi kulit
bersisik pada
batas antara
wajah dan
rambut serta
sisi hidung
Stadium klinis 3:
Sakit sedang
Stadium 4 :
Sakit berat (AIDS)
Berat badan
turun > 10%
Kandidiasis
mulut:
Bercak putih
yang menutupi
daerah di dalam
mulut
Oral hairy
leukoplakia:
Garis vertikal putih
di samping lidah,
tidak nyeri, tidak
hilang jika dikerok
Stadium klinis 1:
Asimtomatik
Stadium klinis 2:
Sakit ringan
Stadium klinis 3:
Sakit sedang
Stadium 4 :
Sakit berat (AIDS)
Prurigo:
Lesi kulit yang
gatal pada
lengan dan
tungkai
Herpes zoster:
Papul disertai
nyeri pada
satu sisi tubuh,
wajah atau
ekstremitas
ISPA berulang:
Infeksi
tenggorokan
berulang,
sinusitis atau
infeksi telinga
Ulkus pada
mulut
berulang
Lebih dari 1
bulan:
Diare:
kadang-kadang
intermiten
Demam tanpa
sebab yang jelas:
kadang-kadang
intermiten
Infeksi bakteri
yang berat:
Pneumonia,
piomiositis dan
lain-lain
TB paru
HB < 8 g, Lekosit
< 500, Trombosit
< 50.000
Gingivitis/
periodontitis
ulseratif
nekrotikan akut
Limfoma*:
Sarkoma Kaposi:
Lesi berwarna gelap
(ungu) dikulit dan/
atau mulut, mata, paru,
usus dan sering disertai
edema
Kanker serviks
invasif*:
Retinitis CMV
Pneumonia
pneumosistis*:
Pneumonia berat
disertai sesak napas
dan batuk kering
TB Ekstraparu*:
Contoh : pada tulang
atau meningitis
Meningitis
kriptokokus*:
Meningitis dengan atau
tanpa kaku kuduk
Abses otak
Toksoplasmosis*
Ensefalopati HIV *:
(Gangguan neurologis
yang tidak disebabkan
oleh faktor lain,
seringkali membaik
dengan pengobatan
ARV)
Catatan:
Keadaan yang ditandai dengan tanda bintang (*) membutuhkan diagnosis dokter data didapat dari
rekam medis sebelumnya. Piomiositis, pneumosistis atau pneumonia berat lainnya, toksoplasmosis,
meningitis kriptokokus, dan TB ekstraparu adalah semua infeksi yang harus dirujuk untuk diagnosis dan
perawatan di RS.
11
Stadium Klinis 2
Hepatosplenomegali persisten tanpa penyebab yang jelas
Papular pruritic eruptions
Infeksi virus kutil yang meluas
Moluskum kontagiosum yang meluas
Ulserasi di mulut yang berulang
Pembesaran parotis persisten tanpa penyebab yang jelas
Lineal gingival erythema
Hespeszoster
ISPA kronis atau berulang (otitis media, otorea, sinusitis, tonsilitis)
Infeksi jamur pada kuku
Stadium Klinis 3
Malnutrisi sedang tanpa penyebab jelas dan tidak respon dengan baik terhadap terapi standar
Diare persisten tanpa penyebab jelas (14 hari atau lebih)
Demam persisten tanpa penyebab jelas (di atas 37.5 C, interminten atau konstan, lebih lama
dari satu bulan
Kandidiasis oral persisten (setelah usia 6 minggu)
Oral hairy leukoplakia
Acute necrotizing ul cerative gingivitis/periodontitis
TB kelenjar
Pneumonia bakteri rekuren berat
Symptpmatic lymphoid interstitial pneumonitis
Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk bronkiektasis
Anemia tanpa penyebab jelas (<8.0 g/dl), neutropenia (<0.5x109/L3) atau trombositopenia
kronik (<50x109/L3)
12
Stadium Klinis 4
Wasting, stunting tanpa penyebab jelas dan berat atau malnutrisi berat dan tidak respon
terhadap terapi standar
Penumosistis pneumonia
Infeksi bakteri berat dan berulang (empyema pyomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis
tidak termasuk pneumonia)
Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, atau kutaneus selama lebih dari satu bulan, atau
viseral)
TB Ekstraparu
Sarkoma kaposi
Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis trakea, bronki atau paru)
Toksoplamosis sistem saraf pusat (setelah periode neonatus)
Ensefalopati HIV
Sitimegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV yang mengenai organ lain, pada umur kurang
dari satu bulan
Kriptokokosis ektraparu termasuk meningitis
Mikosis endemik meluas (histoplasmosis ekstraparu, koksidiodomikosis, penisiliosis)
Kriptospori diosis jronik (dengan diare)
Isosporidiosis kronik
Infeksi mikrobakterium non-TB meluas
Limfoma non-Hodgkin sel B atau serebral
Leukoensefalopati multifokal progresif
Nefropati atau kardiomiopati terkait-HIV
Beberapa keadaan spesifik tambahan dapat juga dimasukkan di dalam klarifikasi regional (misal,
penisiliosis di Asia, fistula rektovagina terkait-HIV di Afrika Selatan, reaktivasi tipanosomiasis di Amerika
Latin)
Ref: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/HIVstaging150307.pdf )
4. Imunopatogenesis Infeksi HIV
Bagaimana HIV menyerang sel
Human immunodeficiency virus menyerang sel yang mempunyai molekul antigen CD4 pada
permukaannya. Sel ini pada dasarnya adalah subset sel limfosit T helper, yang sangat penting dalam
respon imun yang dimediasi sel. Sel-sel ini disebut limfosit-T CD4+. Beberapa tahun belakangan
juga diketahui bahwa HIV memerlukan molekul lain yang dikenal sebagai kemokin yang terdapat
13
pada permukaan sel dan berguna untuk masuk ke dalam sel. Pasien yang tidak memiliki beberapa
kemokin spesifik ini (misalnya CCR5) lebih resisten terhadap infeksi HIV. Pada pasien lain yang memiliki
perubahan molekul pada reseptor kemokin ini akan lebih lambat mengalami progresivitas menuju
AIDS.
Bagaimana HIV menghancurkan sistem kekebalan tubuh
Akibat paling penting dari infeksi HIV adalah penurunan jumlah limfosit-T CD4+ yang progresif. Di
samping itu limposit-T CD4+ yang tersisa tidak mempunyai kinerja yang sama seperti ketika belum
terinfeksi. Dengan demikian infeksi HIV yang progresif akan mengakibatkan penurunan sistem
kekebalan tubuh yang progresif pula.
Transmisi HIV
Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular
seksual lainnya (terutama yang menyebabkan ulkus genital) akan meningkatkan risiko penularan
HIV. Jalur penularan HIV sangat beragam. Penularan HIV di sub Sahara Afrika terutama adalah
melalui hubungan seksual, darah dan dari ibu ke bayi. Di sebagian besar negara dengan pendapatan
perkapita yang rendah, kira-kira jumlah laki-laki dan perempuan yang terinfeksi HIV seimbang. Virus
ini juga dapat ditularkan melalui transfusi darah, injeksi dengan alat suntik yang terkontaminasi dan
penggunaan peralatan tindik yang tidak steril, serta penggunaan napza suntik.
Sekitar sepertiga bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi juga terinfeksi HIV dengan cara penularan
yang terjadi terutama pada saat proses kelahiran. Risiko penularan pada saat menyusui tetap ada
namun lebih kecil. Meskipun demikian, di banyak negara dengan pendapatan perkapita yang rendah
ASI dianggap lebih aman dibandingkan susu formula.
Tidak ada bukti bahwa HIV menular melalui kontak yang terjadi sehari-hari seperti berpelukan,
berciuman, makanan atau minuman, gigitan nyamuk atau serangga lain.
C. KO-INFEKSI TB-HIV
1. Pengertian
Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan
risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada
ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra
paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB.
Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB
karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai
infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun misalnya ODHA maka
infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang
yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya;
14
sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif.
Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan
jumlah kasus TB dalam masyarakat.
Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV.
Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak
14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun
ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di
atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh,
beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan
kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa
keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan
HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.
a. Tuberkulosis pada perjalanan infeksi HIV
Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko berkembangnya TB meningkat
secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh.
b. Konsekuensi ko-infeksi HIV dan M.tuberculosis
Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali
lebih besar untuk mendapatkan TB. Notifikasi TB telah meningkat pada populasi di mana infeksi HIV
dan M.tuberculosis merupakan hal yang biasa. Seroprevalensi HIV pada TB pasien ini di atas 70%.
c. Dampak pada pengendalian TB
Prinsip pengendalian TB tetap sama meskipun terdapat banyak pasien ko-infeksi TB-HIV. Meskipun
demikian, di populasi yang banyak terdapat pasien ko-infeksi TB-HIV maka layanan kesehatan
berjuang untuk menanggulangi meluasnya dan meningkatnya jumlah pasien TB. Konsekuensinya
sebagai berikut:
Meningkatnya penularan strain M.tb yang resisten obat pada pasien yang terinfeksi HIV pada
lingkungan yang padat seperti lapas/rutan.
15
TB Paru
Lanjutan
Gambaran klinis
Sering positif
Sering negatif
Gambaran radiologi
g. Tuberkulosis ekstraparu
Bentuk yang paling sering ditemukan pada TB ekstraparu adalah efusi pleura, limpadenopati, penyakit
perikardium, milier, meningitis, TB diseminata/meluas (dengan mikobakteriemia).
h. TB-HIV pada anak
Seperti pada orang dewasa, riwayat alamiah TB pada anak yang terinfeksi HIV tergantung pada stadium
infeksi HIV. Pada awal infeksi HIV, ketika sistem kekebalan masih bagus maka gejala TB mirip dengan
anak-anak yang tidak terinfeksi HIV. Ketika infeksi HIV berkembang dan kekebalan menurun maka
penyebaran TB menjadi hal yang biasa terjadi. Dapat terjadi meningitis TB, TB milier dan limfadenopati
TB yang meluas.
i. Dampak TB pada HIV
Pada individu yang terinfeksi HIV, terdapatnya infeksi lain termasuk TB dapat membuat virus HIV
berkembang biak dengan lebih cepat sehingga progresivitas penyakit menjadi lebih cepat.
16
17
kolaborasi secara paralel dan beberapa menggunakan model pelayanan secara terintegrasi (pelayanan
satu atap).
Pelatihan kolaborasi TB-HIV untuk petugas diawali dengan disusunnya Modul Pelatihan Kolaborasi
TB-HIV untuk petugas KTS dan PDP. Menyusul kemudian dengan pelatihan untuk petugas TB dengan
menggunakan modul pelatihan kolaborasi TB-HIV yang telah disusun bersama.
Konselor, manajer kasus HIV dan kelompok penjangkau dari LSM yang bekerja pada komunitas risiko
tinggi (misalnya pengguna napza suntik, waria, penjaja seks) telah mendapatkan pelatihan untuk
mengenali dan mencari gejala dan tanda TB serta membantu mengawasi kepatuhan pengobatan
TB pada ODHA melalui pelatihan TB-HIV dengan menggunakan modul khusus yang telah
dikembangkan.
Perencanaan bersama antara program pengendalian TB dan program pengendalian AIDS juga
telah dilaksanakan yang menghasilkan luaran rencana kegiatan TB-HIV tahunan. Namun kegiatan
monitoring evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV hingga saat ini belum dilaksanakan secara rutin di
setiap tingkatan.
Sebagai bahan edukasi kepada pasien TB dan ODHA maka telah dikembangkan dan didistribusikan
media KIE TB-HIV berupa lembar balik, poster dan brosur. Pelaksanaan pemberian KIE TB-HIV
dilaksanakan di masing-masing fasyankes.
2.2. Kegiatan menurunkan beban TB pada ODHA
Kegiatan intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA yang dimulai dengan penerapan skrining gejala
dan tanda TB pada ODHA telah dijalankan secara rutin di klinik Konseling dan tes HIV secara sukarela
(KTS) dan PDP di beberapa RS rujukan ARV dan Puskesmas dengan menggunakan formulir skrining
TB. Dari 18 provinsi yang telah melaporkan data TB-HIV pada tahun 2011, ditemukan bahwa sebanyak
63% ODHA telah diskrining untuk gejala dan tanda TB; 9,2% di antaranya didiagnosis TB. Untuk
menjamin penegakan diagnosis TB yang berkualitas pada ODHA dengan suspek TB telah dibangun
jejaring antara unit KTS/PDP dengan unit DOTS. Beberapa unit KTS/PDP sudah dapat memulai dan
atau meneruskan pengobatan TB termasuk mengisi dan melengkapi formulir TB.01.
Kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV belum memasukkan pemberian Isoniazid preventive therapy (IPT)
pada ODHA sebagai standar layanan rutin sehingga belum ada praktek pemberian IPT pada ODHA
yang dilaporkan. Tetapi mulai bulan Mei 2012 telah dilaksanakan kegiatan pendahuluan pemberian
INH profilaksis untuk ODHA di 2 Provinsi (Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat), 4 RS (RS Persahabatan,
RS Cipto Mangunkusumo, RS Hasan Sadikin dan RS Marzuki Mahdi). Penerapan pengendalian infeksi
TB di unit KTS/PDP dilakukan melalui penguatan tim pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) RS
melalui pelatihan petugas yang diselenggarakan dengan kerjasama antara Subdit TB dengan Subdit
RS Khusus Ditjen Bina Upaya Kesehatan Spesialistik dan Perdalin. Sedangkan Pengendalian Infeksi
di Puskesmas dan Lapas/Rutan dimulai dengan melakukan assessment dan sosialisasi di 7 provinsi
bekerja sama dengan Subdit Institusi Ditjen Bina Upaya Kesehatan Dasar dan Ditjen Pemasyarakatan.
Pemasangan poster cara menutup mulut dan hidung pada waktu batuk/bersin dan penyediaan
masker untuk klien dan ODHA yang mempunyai gejala batuk sudah diimplementasikan di beberapa
fasyankes.
18
19
BAB III
B. MANIFESTASI KLINIS
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Di samping itu, dapat juga diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, berkeringat pada malam hari tanpa aktifitas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise dan badan terasa lemas. Gejala sesak napas dan nyeri
dada dapat ditemukan bila terdapat komplikasi (efusi pleura, pneumotoraks dan
pneumonia).
Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering
ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari
10%). Di samping itu, dapat ditemukan gejala lain terkait TB ekstraparu (TB pleura,
TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen) seperti diare terus
menerus lebih dari satu bulan, pembesaran kelenjar limfe di leher, sesak napas
dan lain-lain.
20
21
pasien hemoptisis.
pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya.
b. BTA negatif
Lakukan foto toraks pada pasien TB paru BTA negatif.
Kelainan gambaran radiologis yang ditemukan pada TB Paru
Tabel 3. Gambaran foto toraks tipikal atau tidak tipikal
TIPIKAL
TIDAK TIPIKAL
Infiltrat bilateral
Kavitas
Limfadenopati intratoraks
PETUNJUK PRAKTIS
Perubahan gambaran foto toraks pada pasien TB/HIV menggambarkan derajat tingkat
kekebalan. Pada penurunan tingkat kekebalan tubuh yang ringan gambaran foto toraks
masih menunjukkan gambaran tipikal (kavitas, infiltrat di apeks paru). Jika penurunan tingkat
kekebalan sudah lebih berat maka gambaran foto toraks menjadi tidak tipikal.
22
Tabel 4. Kemungkinan diagnosis yang dinilai berdasarkan kelainan pada foto toraks
yang sering dinterpretasikan sebagai TB Paru
Hasil temuan foto toraks
Kavitas
Kemungkinan Penyebab
Infeksi
Pneumonia bakterial
Nokardiosis
Melioidosis
Paragonimiasis
Abses paru
Beberapa infeksi jamur
Penyakit non-infeksi
Karsinoma bronkus
Penyakit jaringan kolagen
Penyakit paru akibat kerja
Pneumonia
Karsinoma bronkus
Pneumonia
Penyakit jaringan kolagen
Penyakit paru akibat kerja
Sarkoidosis
Limfadenopati mediastinal
Limfoma
Karsinoma bronkus
Sarkoidosis
E. ALUR DIAGNOSIS
1. Diagnosis TB Paru pada ODHA
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:
23
tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri
lain. Hindarilah penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons
terhadap M.tuberculosis dan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut.
24
Keterangan:
a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi
pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa
bantuan.
b. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 2 sediaan hasilnya
negatif.
c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.
d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia fasilitas)
dan rujukan untuk layanan HIV.
e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila
memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi sehingga mempercepat penegakan
diagnosis.
f.
Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal.
Kunjungan pertama: Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada kunjungan pertama.
Jika hasil pemeriksaan dahak BTA positif maka pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien
tersebut.
Kunjungan kedua: Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada kunjungan kedua perlu
dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks, ulangi pemeriksaan mikroskopis dahak, lakukan
pemeriksaan biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada kunjungan
kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di Fasyankes tersebut. Hasil
pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat penting untuk memutuskan apakah pasien tersebut
perlu mendapat pengobatan TB atau tidak. Penentuan stadium klinis HIV harus dikerjakan dan
pemberian PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.
Kunjungan ketiga: dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil pemeriksaan pada kunjungan
kedua. Pasien yang hasil pemeriksaannya mendukung TB (misalnya gambaran foto toraks
mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu mendapat
antibiotik spektrum luas (jangan menggunakan golongan fluorokuinolon) untuk mengobati
infeksi bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Juga perlu dilakukan penentuan stadium klinis
HIV dan PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.
25
(superimposed tuberculosis). Bagi pasien yang mempunyai respons yang kurang baik atau
tidak baik pada pengobatan PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri lainnya,
perlu dilakukan pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak.
Pasien dengan sakit berat dan batuk lebih 2 minggu disertai tanda
a
kegawatan
b,d
Bukan TB
Diobati TB
Mendukung TB
g
BTA positif
b,c
g
BTA negatif
Tidak ada
perbaikan
Perbaikan
setelah 3-5 hari
setelah 3-5
hari
Periksa ulang
Tidak mendukung
TB
b,d
h
untuk TB
Mulai pengobatan TB
Selesaikan antibiotik
Rujuk ke unit layanan
HIV dan TB
Keterangan:
a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi
pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila
tdk dibantu.
b. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila
memungkinkan) untuk mengurangi jumlah kunjungan sehingga dapat mempercepat penegakan
diagnosis.
c. Untuk daerah dengan angka prevalens HIV pada orang dewasa > 1% atau prevalens HIV di antara
pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk
26
tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes
HIV.
d. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal.
e. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.
f.
Bila tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien menolak untuk diperiksa)
penentuan tingkat klinis HIV tergantung kebijakan nasional.
g. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 2 sediaan hasilnya
negatif.
h. Periksa kembali untuk TB termasuk pemeriksaan BTA dan penilaian klinis.
Jika di Puskesmas dijumpai ODHA yang menderita sakit berat (mempunyai salah satu dari tanda
bahaya) maka pasien tersebut harus segera dirujuk ke Fasyankes yang mempunyai sarana lebih
lengkap. Jika rujukan tidak dapat segera dilaksanakan, upaya berikut harus dilakukan:
Segera berikan antibiotik spektrum luas suntikan selama 3 5 hari untuk mengatasi infeksi bakteri
kemudian lakukan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA).
Bila diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA positif ), mulailah
pengobatan TB dengan pemberian OAT. Pengobatan dengan antibiotik tetap terus dilanjutkan
sampai selesai.
Bila hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka harus diperhatikan bagaimana respons pemberian
antibiotik suntikan setelah pengobatan 3 5 hari. Jika tidak ada perbaikan maka pengobatan TB
dapat dimulai dengan pertimbangan dokter, misalnya kemungkinan terdapatnya TB ekstraparu.
Penentuan stadium klinis HIV harus dilakukan dan selanjutnya pasien perlu dirujuk ke Fasyankes
yang lebih lengkap untuk penegakan diagnosis TB maupun untuk layanan HIV. Bila tetap tidak
memungkinkan untuk dirujuk maka pengobatan TB diteruskan sampai selesai.
Bila rujukan ke Fasyankes yang lebih lengkap memungkinkan maka unit penerima rujukan harus
memberikan tatalaksana pasien tersebut sebagai pasien gawat darurat dan semua pemeriksaan
harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan untuk mendiagnosis TB.
27
Untuk pasien yang dicurigai TB ekstraparu yang pengobatan TB-nya sudah dimulai tanpa konfirmasi
bakteriologi atau histopatologi (diagnosis secara presumtif ), respons klinis dari pengobatan tersebut
harus dinilai setelah 1 bulan. Jika tidak terjadi perbaikan maka harus dilakukan penilaian klinis ulang
dan harus dipikirkan alternatif diagnosis lainnya.
a. Tuberkulosis Kelenjar limfe
Tuberkulosis kelenjar limfe dicurigai pada pasien dengan pembesaran kelenjar limfe, tidak simetris,
kenyal, berdiameter > 2 cm, teraba fluktuasi atau terbentuk fistula dalam beberapa bulan. Pada
umumnya menyerang kelenjar limfe di leher dan sulit dibedakan secara klinis dengan penyebabpenyebab lain pembesaran kelenjar limfe, misalnya pembesaran kelenjar limfe terkait HIV, keganasan
dan infeksi kelenjar limfe lainnya.
Aspirasi dengan jarum halus (Fine Needle Aspiration = FNA) perlu dilakukan segera saat ditemukan
terdapatnya pembesaran kelenjar limfe. Spesimen yang didapat dari aspirasi ini dilakukan pemeriksaan
bakteriologi dan sitologi karena mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dengan spesifisitas lebih dari
85%.
b. Tuberkulosis Perikard, Tuberkulosis Pleura, Tuberkulosis Abdomen
Infeksi TB dapat terjadi pada rongga tubuh yang mengandung cairan serosa seperti: rongga pleura,
perikardial atau peritoneal. Hal ini lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan HIV positif
dibandingkan dengan HIV negatif.
Penegakan diagnosis
Tanda dan gejala klinis umumnya bersifat sistemik dan lokal. Pada pemeriksaan cairan aspirasi secara
mikroskopis jarang ditemukan BTA karena cairan berasal dari reaksi peradangan.
Tuberkulosis Perikard
Bentuk TB ini lebih sering dijumpai pada ODHA dibandingkan pada orang dewasa dengan HIV
negatif.
Umumnya ditemukan gejala-gejala seperti: nyeri dada, sesak napas, batuk dan fatigue.
Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan diantaranya adalah: Takikardia, tekanan darah
rendah, pulsus paradoksus, meningkatnya tekanan vena jugular (JVP), bunyi jantung jauh dan
tanda tanda gagal jantung kanan (seperti, hepatomegali, asites, edema tungkai)
PETUNJUK PRAKTIS
Tanda-tanda tersebut sering sulit dinilai. Lakukan pemeriksaan seksama pada setiap pasien
dengan edema tungkai atau asites dengan kemungkinan efusi perikard.
28
Perikardiosentesis
Perikardiosentesis diperlukan jika terdapat tamponade jantung (cardiac tamponade) dan harus
dilakukan oleh pakar/dokter spesialis terkait.
Tuberkulosis Pleura
Gambaran klinis dapat bersifat sistemik dan lokal (nyeri dada; sesak napas; pergeseran trakea,
pernapasan dangkal, penurunan pergerakan dada). Pada pemeriksaan fisis ditemukan terdapatnya
fremitus yang melemah pada palpasi, redup pada perkusi dan penurunan suara pernapasan pada
auskultasi).
Gambaran foto toraks menunjukkan radiopaque pada satu atau dua sisi. Tuberkulosis pleura
biasanya unilateral.
Jika tersedia pemeriksaan ultrasonography (USG) dan terdapat penebalan pleura serta efusi yang
terlokalisir dapat dilakukan pengambilan cairan dengan bantuan USG. Untuk membedakan
apakah bayangan opaque tersebut cairan atau penebalan pleura atau massa maka dapat
dilakukan foto dekubitus lateral.
Sifat cairan aspirat TB pleura dapat dilihat pada tabel 8. Diagnosis dan Tatalaksana segera kasus
suspek TB Ekstraparu
Diagnosis Banding
Diagnosis banding efusi pleura eksudat termasuk diantaranya adalah efusi pada
keganasan dan abses amuba pada hati.
pneumonia,
Tuberkulosis Abdomen
Tuberkulosis abdomen dapat bermanifestasi sebagai TB peritoneal atau TB intestinal. Gejala utama
TB peritoneal berupa asites disertai pembesaran kelenjar limfe para-aorta dan mesenterik. Gejala
TB abdomen umumnya bersifat kronik dan sebagian kecil menimbulkan keadaan akut abdomen.
Gejala lain yang dapat ditemukan berupa distensi abdomen, nyeri perut, mual, muntah, diare,
konstipasi, perdarahan gastrointestinal (haemato-schezia lebih sering dibandingkan dengan
hematemesis). Selain gejala TB peritoneal, ditemukan pula gejala sistemik TB.
Cara penyebaran TB Abdomen adalah sebagai berikut:
a) dari KGB yang terdapat di sepanjang mesenterium
b) melalui darah
c) secara perkontinuitatum (melalui organ terinfeksi yang terdekat)
d) dari TB intestinal (pasien TB Paru dapat berkembang menjadi TB Usus karena tertelannya
dahak yang infeksius)
Penegakan diagnosis
Pada aspirasi asites, cairan aspirasi biasanya berwarna keruh atau berdarah. Cairan ini merupakan
eksudat, biasanya mengandung 300 leukosit per mm3 dan didominasi limfosit. Pemeriksaan foto
29
toraks dapat dilakukan untuk mencari kemungkinan terdapatnya TB Paru. Pada pemeriksaan USG,
dapat ditemukan gambaran TB berupa pembesaran KGB mesenterik atau paraaorta dan ditemukannya
cairan asites yang terlokalisir.
Diagnosis
Diagnosis biasanya bersifat presumtif. Diagnosis definitif berdasarkan pada biopsi peritoneal yang
hanya tersedia pada beberapa RS. Biopsi peritoneal melalui kulit mempunyai nilai diagnostik yang
rendah sedangkan melalui laparoskopi mempunyai nilai diagnostik yang tinggi. Diagnosis TB kolitis
melalui biopsi kolon. Pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis terkait.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding TB abdomen tergantung pada jenis cairan asites:
30
Sel putih
Protein
Glukosa
Mikroskopis
TB meningen
Meningkat
L > PMN
Meningkat
Menurun
BTA
Meningitis
Kriptokokkus*
meningkat
L > PMN
Meningkat
Menurun
Perawatan
parsial
meningitis
bakterial*
Meningkat
Meningkat
Menurun
Ditemukan bakteri
pada pewarnaan Gram
(jarang)
Meningitis virus
Meningkat
L > PMN
Meningkat
Normal
(rendah pada
parotitis atau H.
simplex)
Siphilis akut
Meningkat
L > PMN
Meningkat
Tripanosomiasis
stadium akhir
Meningkat
L > PMN
Meningkat
Menurun
Motile trypanosomes
Tumor
(Karsinoma/
limfoma)
Meningkat
L > PMN
Meningkat
Menurun
Pemeriksaan sitologi
menunjukkan
terdapatnya sel ganas
Leptospirosis
Meningkat
L > PMN
Meningkat
Menurun
Leptospira
Meningitis
Amuba
Meningkat
L > PMN
Meningkat
Menurun
Amuba
31
d. Tuberkulosis Tulang
Dapat bermanifestasi sebagai TB tulang belakang/spondilitis (paling sering), TB sendi panggul/koksitis
dan TB sendi lutut/ghonitis. Selain gejala sistemik TB, dapat ditemukan gejala spesifik berupa bengkak,
kaku, kemerahan dan nyeri pada pergerakan. Perjalanan penyakit bersifat kronik, sering ditemukan
setelah terjadi trauma. Tuberkulosis tulang belakang disebut gibbus, berupa tonjolan pada tulang
belakang berupa abses dingin. Tuberkulosis sendi panggul umumnya menunjukkan gejala berjalan
pincang atau kesulitan berdiri. Tuberkulosis sendi lutut ditandai dengan sulit berjalan dan berdiri serta
atrofi otot paha dan betis.
Diagnosis banding
Tuberkulosis tulang belakang adalah keganasan dan Infeksi bakteri lain.
e. TB ekstra paru yang jarang ditemukan
Tabel 6.Tampilan klinis yang biasa muncul dan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis
bentuk lain TB ekstraparu yang jarang ditemukan
Area penyakit
32
Tampilan klinis
Diagnosis
Tulang belakang
Sakit punggung
Gibbus
Abses psoas
Sakit pada radikular
Kompresi saraf tulang belakang
Foto toraks
Magnetic Resonance Imaging
(MRI)
Biopsi jaringan
Tulang
Osteomielitis kronik
Biopsi jaringan
Peripheral joints
Biasanya monoartritis
khususnya pinggul atau lutut
Foto toraks
Biopsi sinovial
Gastrointestinal
Abdominal mass
Diare
Pemeriksaan barium
Liver
USG
Biopsi
Area penyakit
Tampilan klinis
Diagnosis
Urinary frequency
Disuria
Hematuria
Pinggang terasa sakit
Piuria steril
Biakan urine
Intravena
Pielogram
USG
Kelenjar adrenal
Gambaran hipoadrenal
(hipotensi, hiponatremia,
hiperkalemia/ normal, uremia,
hipoglikemia)
Sistem
pernapasan
bagian atas
Sistem kelamin
wanita
Ketidak suburan
Penyakit peradangan pelvis
Kehamilan ektopik
Pemeriksaan pelvis
Foto rontgen pada saluran
genitalia wanita
Ultrasound pelvis
Biopsi jaringan
Sistem kelamin
laki-laki
Epididimitis
33
34
Carilah:
Terdapatnya pembengkakan
kelenjar limfe pada leher atau
aksila.
Ini kemungkinan TB kelenjar
limfe
Tanda terdapatnya cairan di dada
Hilangnya suara pernapasan
Berkurangnya pergerakan dada
Suara pekak pada perkusi
Ini kemungkinan TB Pleuritis
Tanda terdapatnya cairan di
sekitar jantung
Bunyi jantung menjauh
Edema kaki dan/atau perut
Pelebaran pembuluh darah
vena pada leher dan lengan
Ini kemungkinan TB Perikarditis
Tanda dari meningitis
Kaku kuduk
Kesadaran menurun
Gerakan mata yang abnormal
Ini kemungkinan TB Meningitis
Pada tabel berikut diuraikan penatalaksanaan sederhana TB ekstraparu pada ODHA sehingga petugas
kesehatan diharapkan tidak terlambat mendiagnosis dan mengobati TB ekstraparu.
Tabel 8. Diagnosis dan Tatalaksana segera kasus suspek TB Ekstraparu
TB Kelenjar Limfe
Efusi Pleura
Pemeriksaan
penting
Test HIV (Rapid
Test)
Periksa dahak
jika batuk
Aspirasi Jarum
Halus (FNAB)
Pemeriksaan
penting
Test HIV (Rapid
Test)
Foto toraks
Periksa dahak jika
batuk
Lakukan aspirasi,
amati sifat cairan
aspirat (jernih,
keruh, membeku)
Hitung jenis sel
leukosit dan
kandungan
protein aspirat
tersebut
TB Diseminata
(TB Milier)
Pemeriksaan
penting
Test HIV (bila
tersedia Rapid
Test)
Foto toraks
Periksa darah
malaria
Periksa dahak
jika batuk
Biakan darah,
hitung sel darah
lengkap, dan
tes antigen
Cryptococcus
Efusi Perikardium
Pemeriksaan
penting
Test HIV (bila
tersedia Rapid
Test)
Foto toraks
Periksa dahak
jika batuk
USG jantung
(ideal)
EKG jika USG
tidak ada.
Meningitis TB
Pemeriksaan
penting
Test HIV (bila
tersedia Rapid
Test)
Pungsi lumbal
Pemeriksaan
mikroskopis
(pengecatatan
Gram dan BTA)/
pemeriksaan
protein dan
gula pada cairan
serebrospinal.
Antigen
Cryptococcus/
pengecatan
Cryptococcus
Periksa dahak
jika batuk
35
36
TB Kelenjar Limfe
Efusi Pleura
Sangat curiga
TB, jika
Pembesaran >
2cm
Asimetris
Tidak nyeri
Kenyal/
fluktuasi/fistula
Daerah leher
(servikal)
BB menurun,
keringat
malam, demam
TB Diseminata
(TB Milier)
Sangat curiga TB,
jika
BB menurun,
demam dan
batuk
Foto toraks
abonormal
(termasuk
gambaran
milier)
Pembesaran
limpa/hati
Keringat malam
Anemia
Efusi Perikardium
Meningitis TB
TB Kelenjar Limfe
Efusi Pleura
TB Diseminata
(TB Milier)
Kemungkinan
bukan TB
Pada HIV
positif, pikirkan
Salmonela,
Pneumokokus,
malaria,
Cryptococcus kalau
terdapat gejala/
tanda berikut:
Kekakuan
Sesak napas
(frekuensi > 30
kali per menit)
Diare berat
Feses berdarah
Antigen
Cryptococcus
positif, malaria
positif atau
kultur darah
positif untuk
kuman patogen
Efusi Perikardium
Meningitis TB
Sangat curiga
bukan TB, jika
Test HIV positif
(lebih mungkin
Penyakit
Cryptococcus
daripada TB)
Cairan
serebrospinal
keruh atau pada
pemeriksaan
mikroskopis
ada neutrofil
(kemungkinan
infeksi bakteri)
Tes Cryptococcus
positif
Mulainya cepat
Tekanan cairan
serebrospinal
sangat tinggi
(mungkin infeksi
Cryptococcus)
37
TB Kelenjar Limfe
Efusi Pleura
Tatalaksana
segera
Lakukan
aspirasi untuk
sitologi atau
pemeriksaan
BTA
Lakukan biopsi
bila aspirat
tidak bernilai
diagnostik,
kecuali:
HIV positif
dengan
kemungkinan
TB milier,
misalnya
kli-nis cepat
memburuk
Tatalaksana
segera
Kalau hanya
terdapat gambaran
TB --> mulai
pengobatan TB
Tuberkulosis
sangat
mungkin
secara klinis
dan biopsi
tidak mungkin
didapat dalam
2 minggu
Kalau bukan
gambaran TB -->
Kirim aspirat
tersebut utk
pemeriksaan
protein dan
hitung jenis sel
leukosit dan bila
tersedia lakukan
pemeriksaan
sitologi. Pikirkan
TB bila limfosit
>50% dan
protein >30 g/l
Beri pengobatan TB
jika aspirat
gagal membeku
atau diagnosis
lain tidak dapat
ditegakkan dalam
7 hari
TB Diseminata
(TB Milier)
Tatalaksana
segera
Kalau hanya
gambaran TB -->
mulai pengobatan
TB (tambahkan
antibiotik jika sakit
berat)
Kalau bukan
gambaran TB -->
Selidiki sebab
lain
Kalau sakit
berat mulai
pengobatan
ganda (OAT dan
antibiotik)
Efusi Perikardium
Meningitis TB
Tatalaksana
segera
Kalau hanya
gambaran TB -->
mulai pengobatan
TB
Rujuk untuk
aspirasi segera jika
sangat sesak napas.
Kalau bukan
gambaran TB-->
Selidiki sebab
lain (periksa urea
darah dan USG
jantung)
Mulai
pengobatan
TB jika USG
menunjukan
terdapatnya efusi
dan diagnosis
lain tidak dapat
ditegakkan
dalam 7 hari
Tatalaksana
segera
Kalau hanya
gambaran TB -->
mulai pengobatan
TB dan rawat inap
Kalau bukan
gambaran TB -->
Jika test
Cryptococcus
positif atau
test HIV positif
dan tidak ada
diagnosis lain -->
obati penyakit
Cryptococcus
Dikutip dari buku: Improving the diagnosis and treatment of smear negative pulmonary and
extrapulmonary tuberculosis among adult and adolescents, WHO, 2007
F. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit TB Paru maupun TB ekstraparu pada ODHA mempunyai kemiripan dengan penyakit lain
yang mempunyai gejala seperti batuk, demam dan kadang nyeri dada serta kemiripan gambaran foto
toraks. Pneumonia dapat terjadi sebagai ko-infeksi TB. Pada setiap kasus harus dilakukan pemeriksaan
klinis yang cermat. Lakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada pasien yang batuk selama 2 minggu
atau lebih.
38
Berikut ini adalah beberapa penyakit paru yang sering ditemukan pada ODHA:
1. Pneumonia Bakterial
Pneumonia ini bisa menyerang bayi, usia lanjut, ketergantungan alkohol, pasien dengan retardasi
mental, pasien pascaoperasi, pasien imunokompromais yang menderita penyakit pernapasan
lain atau infeksi virus sangat rentan terhadap pneumonia bakterial. Bakteri penyebab pneumonia
merupakan flora normal pada saluran napas atas. Pada saat daya tahan tubuh menurun maka bakteri
akan bermultiplikasi dan merusak parenkim paru.
Jika terjadi infeksi, sebagian besar parenkim paru terisi cairan dan infeksi dapat dengan cepat menyebar
ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Pneumokokus adalah penyebab tersering pneumonia
bakterial tersebut. Pneumonia bakterial didahului dengan infeksi saluran napas atas kemudian terjadi
aspirasi lendir ke saluran napas bagian bawah sehingga menyebabkan bakteri saluran napas atas
menginfeksi parenkim paru.
Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat disertai menggigil,
takikardia, takipneu sampai sianosis. Pada keadaan imunokompeten, tubuh mampu mengadakan
perlawanan tetapi tidak pada keadaan imunokompro-mais sehingga gejala klinis yang terjadi tidak
spesifik.
Pneumonia bakterial sering menjadi penyebab infeksi sekunder pada ko-infeksi TB-HIV. Infeksi
sekunder yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan sepsis. Hal ini sering ditemukan
namun sulit didiagnosis.
PETUNJUK PRAKTIS
Jika pasien dengan asumsi awal pneumonia gagal terhadap pengobatan antibiotik, perlu
dipertimbangkan kemungkinan M. tuberculosis.
2. Sarkoma Kaposi
Sarkoma kaposi ditandai oleh lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa berwarna biru kehitaman.
Sarkoma kaposi pada membran mukosa saluran napas menimbulkan gejala batuk, demam, hemoptisis
dan dispnea disertai lesi kulit di tempat lain. Foto toraks menunjukkan infiltrat nodular difus menyebar
dari hilus atau gambaran efusi pleura. Pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat membantu penegakan
diagnosis sarkoma kaposi.
3. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP)
Pneumonia Pneumocystis jirovecii pada orang dewasa sering terjadi pada ODHA dengan stadium klinis
4 (AIDS). Gejala klinis berupa batuk tidak produktif, demam dan sesak napas progresif. Penyakit ini
dapat dibedakan dengan TB paru berdasarkan gejala klinis dan foto toraks seperti tertera pada tabel
9.
39
Tabel 9. Manifestasi klinis dan gambaran foto toraks PCP dan TB Paru
Tampilan tipikal PCP
Gejala
batuk produktif
dahak purulen
nyeri dada pleuritik
Hemoptisis
Pemeriksaan fisis
Foto toraks
Diagnosis pasti PCP ditegakkan atas dasar penemuan kista pada dahak yang didapat dari bilasan
bronkoalveolar atau biopsi paru dengan pewarnaan methenamin silver. Diagnosis pada Fasyankes
dengan sarana terbatas dilakukan atas dasar gejala klinis dan foto toraks.
Pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang diagnosis PCP adalah analisis gas darah dan pemeriksaan
laktat dehidrogenase (LDH).
Penggunaan PPK menurunkan kasus PCP pada ODHA.
40
41
BAB IV
TATALAKSANA KLINIS
PASIEN TB-HIV ANAK
A. DIAGNOSIS TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV
B. MANIFESTASI PENYAKIT TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV
1. TUBERKULOSIS PARU DAN TB INTRATORAKAL LAIN
2. LIMFADENITIS TB
3. TUBERKULOSIS SUSUNAN SARAF PUSAT
4. TUBERKULOSIS ABDOMEN
5. TUBERKULOSIS KULIT
6. TUBERKULOSIS TULANG
C. PENGOBATAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV
1. PADUAN OBAT DAN LAMA PENGOBATAN
2. DOSIS OAT
3. PEMBERIAN OAT BERSAMA ARV
4. PEMANTAUAN DAN EVALUASI PEMBERIAN OAT
5. EFEK SAMPING DAN PENANGANANNYA
6. IMMUNE RECONSTITUTION INFLAMMATORY SYNDROME (IRIS)
D. PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV
1. PELACAKAN KONTAK (SENTRIPETAL DAN SENTRIFUGAL)
2. PENGENDALIAN INFEKSI
3. PEMBERIAN INH PROFILAKSIS
4. VAKSINASI BCG
E. INFEKSI HIV PADA TB ANAK
1. KECURIGAAN INFEKSI HIV PADA PASIEN TB
2. DIAGNOSIS INFEKSI HIV PADA ANAK
42
Tuberkulosis merupakan IO yang juga paling sering ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan
menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan angka kematian pada kelompok tersebut. Besarnya
angka kejadian TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat. Meningkatnya
jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis
dan kerentanan anak (CD4 kurang dari 15%, umur di bawah 5 tahun). Meningkatnya kasus HIV pada
orang dewasa telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur
yang rentan sehingga anak-anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama TB berat (milier dan
meningitis). Dengan demikian diperlukan suatu strategi dalam pencegahan dan pengobatan TB
terutama pada wilayah dengan jumlah kasus TB yang tinggi.
PETUNJUK PRAKTIS
Infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada anak terinfeksi HIV adalah TB.
Sumber penularan TB pada anak adalah orang dewasa (terutama anggota keluarga) dengan sputum
BTA positif. Jumlah kasus TB anak diperkirakan 10-20% dari seluruh kasus TB. Jumlah kasus TB anak
dipengaruhi jumlah sumber penularan, kedekatan anak dengan sumber penularan dan umur anak
ketika tertular TB. Hasil pemeriksaan BTA pada anak jarang positif sehingga secara umum anak bukan
merupakan sumber penularan. Meningkatnya jumlah kasus TB anak merupakan gambaran kegagalan
program pengendalian TB dewasa. Prioritas utama pengendalian TB adalah memberikan pengobatan
yang adekuat pada kasus yang infeksius (dewasa) dan TB anak karena dapat mengurangi angka
reaktivasi dan reinfeksi di kemudian hari.
PETUNJUK PRAKTIS
Program Pengendalian TB yang baik merupakan cara paling efektif untuk mencegah TB anak
43
aspirasi cairan lambung, cairan pleura, induksi sputum, biopsi jarum halus pada kelenjar getah bening
(KGB) yang membesar dan biopsi jaringan lainnya.
Tanpa konfirmasi bakteriologi, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal yaitu: 1) kontak dengan
pasien TB dewasa terutama yang BTA positif; 2) uji tuberkulin positif ( 5 mm pada anak terinfeksi HIV);
3) gambaran sugestif TB secara klinis (misalnya gibbus) dan 4) gambaran sugestif TB pada foto toraks.
Diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV lebih sulit dibandingkan yang tidak terinfeksi HIV karena:
gagal tumbuh merupakan gejala utama anak terinfeksi HIV dan anak sakit TB.
kelainan foto toraks pada anak terinfeksi HIV sering disebabkan gejala respiratori selain karena
sakit TB.
PETUNJUK PRAKTIS
Diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV bersifat presumtif berdasarkan riwayat kontak dengan TB
dewasa, uji tuberkulin 5 mm, klinis dan foto toraks sugestif TB.
Riwayat kontak. Sumber penularan (kontak) yang paling sering ditemukan adalah ibu atau anggota
keluarga lain yang turut mengasuh anak. Pertanyaan yang diajukan adalah adakah anggota keluarga
yang sakit TB? Bagaimana gejala klinisnya? Kontak ini mungkin terjadi dalam 6 bulan sampai 2
tahun sebelumnya. Diagnosis TB pada sumber penularan sering baru ditemukan pada waktu anak
didiagnosis.
Uji tuberkulin. Tuberkulin merupakan protein kuman TB yang disebut purified protein derivative
(PPD). Setelah terinfeksi kuman TB maka seseorang akan mengalami hipersensitivitas terhadap PPD
ini. Dengan kata lain, uji tuberkulin positif pada seseorang yang pernah atau sedang terinfeksi kuman
TB. Reaksi dibaca 48-72 jam setelah penyuntikan intrakutan berupa diameter transversal terlebar
indurasi.
PETUNJUK PRAKTIS
Uji tuberkulin positif menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi kuman TB, tidak
menentukan tidak sakit/sakit TB aktif atau beratnya penyakit.
Pada anak terinfeksi HIV, uji tuberkulin dikatakan positif bila diameter 5 mm. Bila hasilnya < 5 mm,
TB belum dapat langsung disingkirkan karena ada beberapa keadaan yang menyebabkan negatif
palsu.
PETUNJUK PRAKTIS
Kondisi yang menyebabkan negatif palsu adalah infeksi HIV, malnutrisi berat, infeksi bakteri
berat, infeksi virus, obat imunosupresif dan prosedur penyuntikan yang salah.
44
Gejala klinis TB pada anak terinfeksi HIV sama dengan yang tidak terinfeksi HIV tetapi pada anak yang
terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB diseminata. Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV sering
sulit dibedakan dengan kondisi lain akibat infeksi HIV seperti Lymphocytic interstitial pneumonitis
(LIP), pneumonia bakteri, PCP, bronkiektasis dan Sarkoma Kaposi. Gejala klinis umum TB pada anak
terinfeksi HIV antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang tidak membaik setelah pemberian
antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat
malam yang menyebabkan anak sampai harus ganti pakaian, gejala umum non-spesifik lainnya dapat
berupa fatigue (kurang aktif, tidak bergairah). Indikator yang baik terdapatnya penyakit kronik dan TB
anak adalah gagal tumbuh meskipun keadaan ini dapat pula disebabkan kurang nutrisi, diare kronik
dan infeksi HIV.
Bila anak mengalami gejala respiratori tetapi tidak tampak tanda-tanda penyakit akut dan pasien telah
mendapat antibiotik spektrum luas maka dapat dicurigai TB. Beberapa kelainan jantung bawaan dan
kardiomiopati mempunyai gejala klinis menyerupai TB paru.
PETUNJUK PRAKTIS
Periksalah kartu catatan kesehatan anak atau kartu menuju sehat (KMS) dan perhatikan grafik
pertumbuhan berat badan anak bila anak dicurigai TB.
Gambaran radiologi sugestif TB pada anak terinfeksi HIV sama dengan yang tidak terinfeksi, antara
lain berupa pembesaran KGB hilus, efusi pleura, milier, gambaran pneumonia, atelektasis, kavitas
dan bronkiektasis. Pada anak terinfeksi HIV, gambaran radiologi LIP menyerupai TB milier. Di antara
berbagai gambaran radiologi tersebut, pembesaran KGB hilus merupakan gambaran yang paling
sering ditemukan
PETUNJUK PRAKTIS
Pengobatan TB pada anak terinfeksi HIV diberikan bila gejala klinis, pemeriksaan foto toraks dan
uji tuberkulin mendukung TB. Bila bukti klinis dan pemeriksaan penunjang tersebut lemah dan
anak tidak tampak sakit akut maka dilakukan observasi terlebih dulu. Namun bila anak sakit berat
maka dapat dicurigai TB meskipun bukti tidak kuat sehingga pengobatan TB dapat diberikan.
Dalam keadaan meragukan dan tidak emergensi, treatment trial tidak dibenarkan karena menimbulkan
beberapa masalah:
1. Rifampisin selain membunuh kuman TB juga membunuh bakteri lain sehingga respons terhadap
rifampisin bisa jadi merupakan respons terhadap bakteri lain.
2. Terjadi kecenderungan untuk cepat memberikan pengobatan tanpa didahului pendekatan
diagnosis yang teliti.
3. Menyebabkan dokter hanya fokus pada TB saja tanpa mempertimbangkan infeksi bakteri lain.
4. Bila pengobatan TB diberikan maka harus dilanjutkan sampai selesai sesuai paduan lama
pengobatan.
45
PETUNJUK PRAKTIS
Penyakit terkait HIV yang mempunyai gambaran foto toraks menyerupai TB milier adalah LIP.
46
histopatologi dapat ditegakkan bila ditemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit dan sel datia
Langhans.
3. Tuberkulosis susunan saraf pusat
Merupakan komplikasi TB paling serius dan berakibat fatal bila tidak diberikan pengobatan yang
tepat. Tuberkulosis SSP dapat bermanifestasi menjadi 3 bentuk yaitu meningitis (paling banyak),
tuberkuloma dan arakhnoiditis spinalis.
Gejala klinis meningitis TB pada anak dibagi menjadi fase prodromal (selama 2-3 minggu, berupa
malaise, sefalgia, demam tidak tinggi dan muntah) dan fase meningitik (gejala prodromal makin hebat,
defisit neurologis dan disfungsi nervus III, VI, VII) dan fase paralitik (penurunan kesadaran sampai
sopor atau koma, hipertensi, hidrosefalus dan deserebrasi). Pada pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS) memberikan gambaran khas berupa penurunan kadar glukosa kurang dari 50% glukosa darah,
peningkatan kadar protein >100 mg/dL, hitung sel 10-1000 atau ditemukan MTB. Salah satu faktor yang
memperburuk meningitis TB dan meningkatkan angka kematiannya adalah infeksi HIV. Meningitis TB
jarang ditemukan pada bayi umur < 3 bulan kecuali pada bayi yang terinfeksi HIV.
Tuberkuloma adalah massa seperti tumor yang terbentuk dari agregasi tuberkel perkijuan. Di wilayah
endemis TB, tuberkuloma ditemukan pada 40% anak yang didiagnosis tumor otak. Pada anak umumnya
infratentorial pada basis kranii di dekat serebelum sedangkan pada dewasa di supratentorial. Lesi dapat
tunggal atau multipel. Gejala klinisnya berupa sakit kepala, muntah, kejang, kelumpuhan ekstremitas
dan gejala umum TB. Uji tuberkulin umumnya positif dan foto toraks sering tidak ditemukan kelainan.
Tindakan operasi tidak diperlukan karena tuberkuloma membaik dengan pemberian OAT. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan Computed Tomography (CT)-scan kepala atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI).
4. Tuberkulosis Abdomen
Tuberkulosis abdomen dapat bermanifestasi sebagai peritonitis, TB intestinal (enteritis TB) atau bentuk
yang sangat jarang yaitu TB orofaring. Gejala utama peritonitis TB berupa asites disertai pembesaran
kelenjar para-aorta dan mesenterik. Kadang terjadi perlekatan antara peritoneum, omentum dan
KGB sehingga teraba sebagai massa ireguler, kasar dan tidak nyeri tekan. Selain gejala peritonitis TB,
ditemukan pula gejala sistemik TB. Uji tuberkulin umumnya positif.
Gejala TB abdomen umumnya bersifat kronik. Tuberkulosis enteritis dapat menimbulkan keadaan akut
abdomen. Tuberkulosis enteritis merupakan hasil penyebaran hematogen atau tertelannya tuberkel
kuman TB yang dibatukkan dari paru. Tempat yang paling sering terkena adalah jejunum dan ileum.
Gejala yang dapat ditemukan berupa distensi abdomen, nyeri perut, mual, muntah, diare, konstipasi
dan perdarahan gastrointestinal (hematosezia lebih sering dibandingkan dengan hematemesis). Bila
ditemukan gejala kronik saluran cerna disertai hasil uji tuberkulin positif maka sebaiknya dilakukan
pemeriksaan untuk konfirmasi TB (pemeriksaan kolonoskopi dan Ultrasonografi/USG Abdomen).
5. Tuberkulosis Kulit
Secara klinis, TB kulit yang paling sering ditemukan adalah skrofuloderma, terjadi akibat penjalaran
perkontinuitatum dari kelenjar getah bening di bawahnya yang terinfeksi MTB. Sekret yang keluar
47
dapat berupa cairan purulen atau kaseosa. Selanjutnya akan membentuk jaringan parut dan dapat
juga berupa massa yang fluktuatif. Gejala klinis sistemik dan pemeriksaan penunjang sama seperti TB
paru.
6. Tuberkulosis tulang
Dapat bermanifestasi sebagai TB tulang belakang atau spondilitis TB (paling sering), TB sendi panggul
atau koksitis TB dan TB sendi lutut atau ghonitis TB. Selain gejala sistemik TB, dapat juga ditemukan
gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, nyeri pada pergerakan. Perjalanan penyakit
bersifat kronik, sering ditemukan setelah terjadi trauma. Tuberkulosis tulang belakang disebut gibbus
yaitu berupa tonjolan pada tulang belakang yang merupakan abses dingin. Koksitis TB umumnya
menunjukkan gejala berjalan pincang atau kesulitan berdiri. Ghonitis TB ditandai dengan sulit
berjalan dan berdiri serta atrofi otot paha dan betis. Anak terinfeksi HIV lebih mudah terkena TB tulang
dibandingkan yang tidak terinfeksi HIV.
Pemeriksaan foto tulang belakang merupakan penunjang diagnosis yang utama. Gambaran foto
tulang belakang berupa destruksi di antara korpus vertebra yang berdekatan dengan jarak antara
dua korpus vertebra melebar, tepi korpus bagian anterior bergerigi, terbentuk gibbus dan kalsifikasi
jaringan lunak di sekitar korpus.
PETUNJUK PRAKTIS
Pada meningitis TB dan TB milier diberikan RHZES selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH sampai
12 bulan.
48
PETUNJUK PRAKTIS
Pada TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama, dilanjutkan RH sampai 12 bulan.
Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps yang lebih besar dibanding
anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini maka pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan
lebih lama yaitu minimal 9 bulan sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12
bulan. Mortalitas TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi karena
tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ yang terkena pada
anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan imunosupresi berat.
2. Dosis
PETUNJUK PRAKTIS
Dosis OAT yaitu INH 10 mg/KgBB/hari (maksimal 300 mg), Rifampisin 15 mg/KgBB/hari (maksimal
600 mg), PZA 35 mg/KgBB/hari (maksimal 2000 mg), Etambutol 20 mg/KgBB/hari (maksimal 1250
mg) dan Streptomisin 20 mg/KgBB/hari (maksimal 1000 mg).
Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernapasan, efusi pleura dan efusi perikardial diberikan
tambahan kortikosteroid berupa prednison 1 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6 minggu,
selanjutnya di-tapering-off selama 6 minggu.
3. Pemberian OAT pada anak terinfeksi HIV
Tuberkulosis sering didiagnosis sebelum status HIV seorang anak diketahui. Pemberian OAT pada anak
terinfeksi HIV yang akan atau sedang mendapat ARV harus memperhatikan interaksi antar obat karena
pemberian bersama-sama kedua obat ini dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal
serta meningkatkan risiko toksisitas. Apabila Rifampisin berinteraksi dengan beberapa Non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) maka kadar plasma NNRTI turun sebesar 20 60%; sedangkan
Protease inhibitor (PI) mmengakibatkan kadar plasma PI akan turun sebesar 80% atau lebih. Rifampisin
dapat diberikan bersama-sama dengan semua jenis nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI).
Rekomendasi pemberian OAT bersama ARV adalah 2 jenis NRTI dikombinasi dengan efavirenz (EFV).
Dosis OAT tidak memerlukan penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh ARV. Pemberian ARV dapat
dimulai bila anak telah mendapat OAT selama minimal 2-8 minggu selama syarat untuk pemberian
ARV telah terpenuhi.
PETUNJUK PRAKTIS
Pemberian Rifampisin bersama antiretroviral PI dan NNRTI menurunkan kadar kedua ARV tersebut
dalam darah dan menurunkan ambang toksik Rifampisin.
49
50
TB disertai penyulit seperti batuk berdarah atau TB meningitis, maka ARV dapat dimulai setelah 2-8
minggu pemberian OAT walaupun kemungkinan terjadinya IRIS lebih besar.
5. Efek samping OAT dan penanganannya
Infeksi HIV menyebabkan peningkatan terjadinya efek samping pada anak yang sedang mendapat
OAT terutama efek samping pada kulit dan hepatotoksisitas karena OAT dan kotrimoksasol.
Kulit
Efek samping pada kulit dapat berupa nekrolisis epidermal toksik yang mengancam kehidupan
maupun rash yang tersebar pada wajah, dada dan seluruh tubuh. Bila pasien mengalami gejala rash,
gatal dan demam segera setelah makan OAT, menunjukkan terdapatnya reaksi hipersensitivitas.
Apabila timbul rash ringan dan tidak ada rasa gatal maka OAT dilanjutkan; apabila disertai sedikit rasa
gatal maka diberikan antihistamin. Penyebab gatal yang lain perlu dipertimbangkan misalnya skabies.
Bila timbul rash disertai rasa gatal dengan atau tanpa efek samping berat yaitu nekrolisis epidermal
toksik atau Steven Johnson syndrome maka semua jenis OAT harus dihentikan sampai klinis membaik.
Bila rash sudah hilang maka OAT dapat diberikan lagi mulai dosis paling rendah (INH 50 mg, Rifampisin
75 mg) dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis yang sesuai dalam waktu 3 hari.
PETUNJUK PRAKTIS
Bila ada efek samping rash maka OAT diberhentikan sampai tidak ada gejala. Selanjutnya dimulai
lagi dari dosis rendah INH 50 mg dan rifampisin 75 mg ditingkatkan bertahap setiap hari selama
3 hari sampai dosis yang diinginkan.
Hepatotoksik
Pada anak sakit TB yang terinfeksi HIV maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan Uji fungsi hati sebelum
pengobatan dimulai. Selanjutnya pemeriksaan Uji fungsi hati sebaiknya diperiksa rutin setiap bulan.
Efek hepatotoksik OAT pada anak terinfeksi HIV lebih sering ditemukan dibanding anak yang tidak
terinfeksi HIV. Obat Anti TB lini pertama yang menimbulkan efek hepatotoksisitas adalah INH, Rifampisin
dan PZA. Karena ke-3 obat tersebut diberikan sebagai kombinasi maka agak sulit untuk menentukan
obat mana yang menjadi penyebab gangguan fungsi hati. Pemberian kembali OAT tersebut setelah
hepatotoksisitas hilang, umumnya tidak menimbulkan efek samping seperti sebelumnya. Streptomisin
dan Etambutol jarang sekali menimbulkan hepatotoksisitas. Gejala klinis hepatotoksisitas bervariasi
mulai dari gangguan fungsi hati ringan sampai kerusakan hati berat yang menyebabkan gagal hati.
Gejala konstitusional berupa lemah, mual, muntah, demam, mialgia, artralgia dan sakit perut. Druginduced hepatitis (DIH) karena OAT ini harus didiagnosis banding dengan hepatitis virus. Bila ditemukan
gejala klinis hepatotoksisitas maka OAT harus dihentikan kecuali bila tetap diperlukan pemberian OAT
maka dapat diberikan Streptomisin dan Etambutol. Obat Anti TB dapat diberikan kembali 2 minggu
setelah gejala klinis hepatotoksisitas hilang atau Uji fungsi hati normal kembali.
51
Gastrointestinal
Efek gastrointestinal akibat OAT yang paling banyak ditemukan adalah mual, muntah, dehidrasi
dan imbalans elektrolit. Efek samping gastrointestinal umumnya tidak memerlukan penghentian
obat. Efek gastrointestinal sering merupakan gejala awal efek hepatotoksisitas sehingga diperlukan
pemantauan klinis yang baik. Bila gejalanya ringan sampai sedang maka dapat diatasi dengan cara
minum OAT bersamaan dengan makanan atau diminum segera sebelum tidur atau memberikan anti
emetik. Bila gejala gartritis menonjol maka dapat diberikan antasid atau proton pump inhibitor (PPI)
walaupun antasid akan mengurangi absorpsi rifampisin sebesar 20-40%. Antasid atau PPI sebaiknya
diberikan 2 jam sebelum atau sesudah makan OAT.
6. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS)
Pemberian ART fase awal menyebabkan penekanan replikasi virus HIV secara cepat (90% virus dalam
1-2 minggu) sehingga terjadi pemulihan sistem imun, peningkatan CD4 yang besar pada fase inisial
yang dilanjutkan dengan penurunan jumlah virus. Immune reconstitution inflammatory syndrome
merupakan kumpulan gejala atau manifestasi klinis akibat respons imun yang meningkat secara
cepat terhadap berbagai infeksi maupun antigen non infeksius setelah pemberian ARV fase inisial.
Organisme yang paling sering menyebabkan IRIS adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium
avium, Cryptococcus neoformans dan Cytomegalovirus.
Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah:
a. Munculnya lagi gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah teratasi infeksinya.
Penyebab terbanyak IRIS adalah TB.
b. Munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik, umumnya disebabkan oleh Mycobacterium
avium, jarang oleh Mycobacterium tuberculosis.
c. Penyakit autoimun dan inflamasi seperti Sarkoidosis.
Gejala klinis IRIS bersifat sementara, misalnya demam, limfadenopati yang bertambah, tuberkuloma
intraserebral menjadi muncul kembali, efusi pleura, sindrom distress pernapasan, infeksi subklinis
menjadi manifest atau gejala klinis memburuk pada pengobatan TB yang adekuat. Perburukan klinis TB
pada pemberian ARV selain disebabkan oleh IRIS, dapat pula disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen Mycobacterium tuberculosis yang mati. Hal ini bukan suatu kegagalan pengobatan
dan bersifat sementara. Immune reconstitution inflammatory syndrome dapat juga disebabkan oleh
mikobakteria atipik, Pneumocystis jiroveci, Varicella zoster dan virus Herpes simpleks.
Beberapa kriteria yang mendukung diagnosis IRIS pada TB-HIV (3 dari kriteria sebagai berikut):
a. Manifestasi klinis atipikal setelah ARV mulai diberikan.
b. Viral load menurun 1 log10 per mL.
c. CD4 meningkat.
d. Bukan TB relaps atau resisten OAT.
e. Bukan karena ketidakpatuhan minum obat.
52
f.
53
HIV
Tata laksana
Balita
(+)/(-)
Ya
Balita
(+)/(-)
Tidak
Observasi
> 5 th
(-)
Ya
observasi
> 5 th
(+)
Ya
INH profilaksis
> 5 th
(-)
Tidak
observasi
> 5 th
(+)
Tidak
Observasi
Umur
HIV
Balita
(+)/(-)
Ya
Balita
(+)/(-)
Tidak
> 5 th
(-)
Ya
Observasi
> 5 th
(+)
Ya
INH profilaksis
> 5 th
(-)
Tidak
> 5 th
(+)
Tidak
INH profilaksis
b. Anak bukan TB
54
Tata laksana
INH profilaksis
Pikirkan diagnosis lain, bila perlu
dirujuk
55
Parotitis kronik: terdapatnya pembengkakan parotis unilateral atau bilateral (tepat di depan
telinga) selama 14 hari dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam.
Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran KGB pada dua atau lebih daerah ekstra
inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya.
Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tidak terdapat infeksi virus lain seperti
Sitomegalovirus (CMV).
D
emam yang menetap dan/atau berulang: demam (>38C) berlangsung 7 hari atau terjadi
lebih dari sekali dalam waktu 7 hari.
Disfungsi Neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefali, keterlambatan dalam
perkembangan, hipertonia atau bingung (mental confusion).
H
erpes zoster (shingles): ruam kemerahan yang nyeri dengan bisul kecil terbatas pada satu
dermatom di satu sisi.
Dermatitis HIV: Ruam yang eritematosa dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi infeksi
jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala serta Molluscum contagiosum (MC) yang
ekstensif.
Penyakit paru supuratif yang kronik (Chronic suppurative lung disease).
b. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan
pada anak sakit yang bukan infeksi HIV
Otitis media kronik: cairan keluar dari telinga selama 14 hari.
Diare
Persisten: diare yang berlangsung 14 hari.
G
izi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau memburuknya pertambahan
berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan pertumbuhan yang seharusnya,
sebagaimana yang tercantum dalam Kartu Menuju Sehat (KMS).
c. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV
Bila didapatkan: PCP, Kandidiasis esofagus, LIP atau Sarkoma Kaposi.
Skema permintaan Uji ini dinamakan Provider Initiated Testing and Counseling /PITC atau
Konseling dan tes HIV atas inisiatif petugas kesehatan/KTIPK tanpa melihat faktor risiko perilaku.
2. Diagnosis infeksi HIV pada anak
Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan pada masa perinatal dan pada anak kecil sangat sulit
karena antibodi maternal terhadap HIV yang didapat secara pasif mungkin masih ada di dalam darah
anak sampai anak berumur 18 bulan. Tantangan diagnostik meningkat bila anak sedang menyusu atau
pernah menyusu. Meskipun infeksi HIV tidak dapat disingkirkan sampai umur 18 bulan pada beberapa
anak, sebagian besar anak tidak lagi memiliki antibodi terhadap HIV pada umur 9 18 bulan.
56
PETUNJUK PRAKTIS
Pada anak umur kurang dari 18 bulan, diagnosis infeksi HIV bergantung pada gambaran klinis dan
hasil uji HIV yang positif pada ibu.
Semua uji diagnostik HIV harus:
rahasia.
Pada anak, hal ini berarti persetujuan orang tua atau pengasuh anak. Pada anak yang lebih tua biasanya
tidak diperlukan persetujuan orang tua untuk uji/pengobatan akan tetapi untuk remaja lebih baik jika
mendapat dukungan orangtua dan mungkin persetujuan diperlukan secara hukum.
PETUNJUK PRAKTIS
Ibu pasien diminta untuk mengajak ayah pasien dalam proses konseling. Biasanya lebih mudah
memberitahukan tentang kemungkinan ibu HIV positif sebelum tes daripada memberitahukan
setelah tes bahwa ibu HIV positif.
57
58
dapat dipercaya untuk mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV
pada anak yang tidak mendapat ASI.
Uji cepat HIV dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak malnutrisi atau keadaan
klinis berat lainnya di daerah dengan prevalens HIV yang tinggi. Untuk anak berumur < 18 bulan,
semua uji antibodi HIV yang positif harus dipastikan dengan uji virologi sesegera mungkin. Jika hal ini
tidak tersedia maka ulangi uji antibodi pada umur 18 bulan.
Uji virologi
Uji virologi untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang paling dipercaya untuk
mendiagnosis infeksi HIV pada anak berumur < 18 bulan. Beberapa laboratorium khusus dapat
melakukan uji ini. Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama
atau sesudah persalinan, uji virologi tidak dianjurkan sampai 48 minggu setelah lahir karena ZDV
mempengaruhi hasil. Satu uji virologi yang positif pada umur 48 minggu sudah cukup untuk
membuat diagnosis infeksi pada bayi muda. Jika bayi tersebut masih mendapat ASI dan uji virologi
RNA negatif maka uji tersebut perlu diulang 6 minggu setelah anak disapih untuk memastikan bahwa
anak tidak terinfeksi HIV.
4. Status HIV pada Anak
Anak dengan infeksi HIV diklasifikasikan berdasarkan kriteria klinis dan kriteria imunologis.
A. Kriteria Klinis
Klasifikasi WHO berdasarkan penyakit yang secara klinis berhubungan dengan HIV
Klinis
Asimtomatik
Ringan
Sedang
Berat
Pedoman klinis secara lebih detail dapat dibaca pada Buku Pedoman Tata Laksana Infeksi HIV pada
Anak di Indonesia.
B. Kriteria Imunologis
Klasifikasi WHO mengenai imunodefisiensi HIV menggunakan hitung CD4+ sebagai dasar menentukan
klasifikasi
59
> 35
> 30
> 25
> 500
Ringan
30 - 35
25 - 30
20- 25
350 - 499
Sedang
25 - 30
20 - 25
15 - 20
200 - 349
< 25
< 20
< 15
Tidak ada
Berat
60
Pemberian ARV bukan merupakan langkah segera. Oleh karena itu, dalam konteks ko-infeksi TB-HIV
maka harus dipastikan OAT dimulai terlebih dahulu sebelum ARV dipertimbangkan.
F. Pemberian ART
Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung diberikan ART tanpa
mempertimbangkan kadar CD4. Pada anak yang terinfeksi HIV, pemberian ART dimulai setelah pasien
mendapat pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi
terjadinya IRIS dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal yang paling penting
diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI
dengan Rifampisin.
Pilihan obat ARV lini pertama yang digunakan pada anak TB-HIV
Anak umur > 3 tahun
Pemberian ART dapat bersinergi dengan INH profilaksis. Dengan demikian pemberian ART dapat
dimulai bersama dengan pemberian INH profilaksis.
PETUNJUK PRAKTIS
Pilihan ARV untuk pasien TB-HIV anak usia 3 tahun adalah 2 NRTI (Zidovudin dan Stavudin)
ditambah Efavirenz, anak usia >3 tahun adalah 2 NRTI (Zidovudin dan Stavudin) ditambah
Nevirapin. Pada semua usia dapat pula diberikan 3 NRTI.
61
BAB V
62
Gejala
Tanda
PETUNJUK PRAKTIS
Pada pasien yang dicurigai lihat kelainan pada mulut. Luka yang banyak di mulut meningkatkan
dugaan terdapatnya infeksi HIV.
63
Pemeriksaan darah lengkap yang menunjukkan terdapatnya infeksi HIV adalah anemia, leucopenia
atau thrombocytopenia yang tidak terjelaskan penyebabnya
Diagnosis pasti infeksi HIV didapatkan dari hasil tes HIV 3 metode yang positif.
64
klinis dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa
mengetahui status HIV seseorang.
Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan dilaksanakan tidak dengan cara mandatori atau
wajib. Prinsip 3C (informed consent, confidentiality, counseling) dan 2 R (reporting and recording)
tetap harus diterapkan dalam pelaksanaannya.
Langkah KTIPK di unit DOTS meliputi:
1. Pemberian KIE mengenai kaitan TB dengan HIV.
2. Memeriksa tanda-tanda infeksi oportunistik lain pada kasus TB.
3. Identifikasi faktor risiko yang tampak, misalnya jejas suntikan, tindik berlebihan dan tato
permanen.
4. Pemberian informasi dan motivasi pasien TB yang berisiko HIV untuk menjalani tes.
5. Rujukan pasien TB ke layanan tes HIV dengan menggunakan formulir rujukan.
6. Pemberian informasi tentang hasil tes HIV kepada pasien TB dan tindak lanjutnya.
7. Pengisian format pencatatan (rekam medis, register, dll) pada setiap akhir layanan.
8. Kompilasi data pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV.
Pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiasi klien atau yang disebut konseling dan tes HIV sukarela
(Konseling dan Tes HIV-Voluntary Counselling and Testing/ Client Initiated Counseling and Testing =
CICT).
Konseling dan Tes HIV atas inisiasi klien (KTS) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan
sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV AIDS berkelanjutan. Konseling dan testing HIV
sukarela adalah suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan klien untuk memahami HIV
AIDS beserta risiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan keluarga serta orang di sekitarnya.
Tujuan utamanya adalah perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman.
Strategi Konseling dan tes HIV pada pasien TB:
a. Di wilayah dengan epidemi HIV yang meluas
Seluruh pasien TB di unit DOTS dilakukan konseling dan tes HIV secara rutin.
Di seluruh Fasyankes di daerah dengan prevalensi HIV pada pasien TB >5%, Konseling dan Tes
HIV harus ditawarkan secara rutin pada semua pasien TB.
Konseling dan tes HIV dapat dilaksanakan setiap saat selama pengobatan TB sehingga jika
ada pasien yang pada awalnya menolak tes HIV maka dapat ditawarkan kembali setelah
penyuluhan/penjelasan.
b. Di wilayah dengan epidemi HIV yang rendah dan terkonsentrasi
Dilakukan penilaian faktor risiko menggunakan formulir skrining (kuesioner) pada setiap
pasien TB.
65
Pasien TB dengan faktor risiko ditawarkan untuk konseling dan tes HIV (oleh petugas TB atau
dirujuk ke unit Konseling dan Tes HIV).
Beberapa Prinsip Layanan Konseling dan Tes HIV:
1. Sukarela dalam melaksanakan tes HIV. Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan
klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan.
2. Saling membangun kepercayaan dan menjaga konfidensialitas.
3. Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien/pasien. Semua
informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas
kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien. Semua informasi
tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak.
Konfidensialitas dapat dibagi sesuai kebutuhan klien/pasien.
4. Mempertahankan hubungan relasi yang efektif.
5. Konselor/Petugas Medis mendorong klien/pasien untuk kembali mengambil hasil tes dan
mengikuti konseling pasca tes untuk mengurangi perilaku berisiko. Di dalam Konseling dan Tes
HIV dibicarakan juga respon dan perasaan klien ketika menerima hasil tes pada sesi tahapan
penerimaan hasil tes positif.
Tahapan Pelayanan Konseling dan Tes HIV dalam KTS
1. Konseling Pra Tes
Konseling pra tes bertujuan membantu klien menyiapkan diri untuk pemeriksaan laboratorium,
memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi
tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Di dalam Konseling pra tes seorang konselor
harus dapat membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespons
kebutuhan emosi klien. Kebutuhan emosi yang menonjol adalah rasa takut melakukan tes HIV karena
berbagai alasan termasuk perlakuan diskriminasi dan stigmatisasi masyarakat dan keluarga. Bersama
antara konselor dengan orang yang sedang mempertimbangkan untuk melakukan tes, cari tahu
apakah orang: a) kemungkinan memiliki infeksi HIV, b) pengetahuan mengenai HIV, c) kemampuan
untuk menghadapi dengan positif dari hasil tes.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam konseling pra tes :
1) Periksa ulang nomor kode klien dalam formulir
2) Perkenalan dan arahan.
3) Membangun kepercayaan klien pada konselor yang merupakan dasar utama bagi terjaganya
konfidensialitas sehingga terjalin hubungan baik dan terbina sikap saling memahami.
4) Alasan kunjungan dan klarifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV.
5) Penilaian risiko untuk membantu klien mengetahui faktor risiko dan menyiapkan diri untuk
pemeriksaan darah.
6) Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi
66
67
hubungan social.
isu sosial, seperti pekerjaan.
kesehatan di masa yang akan datang.
3. Konfidensialitas
Persetujuan untuk mengungkapkan status HIV seorang individu kepada pihak ketiga seperti institusi
rujukan, petugas kesehatan yang secara tidak langsung melakukan perawatan kepada klien yang
terinfeksi dan pasangannya harus senantiasa diperhatikan. Persetujuan dituliskan dan dicantumkan
dalam catatan medik. Konselor dan petugas kesehatan yang menginisiasi tes mengkomunikasikan
secara jelas perluasan konfidensialitas yang ditawarkan kepada klien. Penjelasan rinci seperti ini
dilakukan dalam konseling pra tes atau sebelum saat penandatanganan persetujuan pemeriksaan
tes HIV. Berbagi konfidensialitas, artinya rahasia diperluas kepada petugas kesehatan yang akan
membantu pemulihan kesehatan klien. Konfidensialitas juga dapat dibuka jika diharuskan oleh
hukum (statutory) yang jelas. Contohnya ketika kepolisian membutuhkan pengungkapan status
untuk perlindungan kepada korban perkosaan. Korban perkosaan dapat segera dirujuk ke layanan
pengobatan untuk mendapatkan ART agar terlindung dari infeksi HIV.
4. Tes Dan Diagnosis HIV
Hubungan antara HIV dan TB perlu disosialisasikan kepada anggota masyarakat sehingga pasien TB
dapat waspada terhadap kemungkinan ko-infeksi HIV. Penting untuk menawarkan konseling dan tes
HIV terhadap pasien TB.
Keuntungan dari konseling dan tes HIV yang dicapai adalah:
a. pasien bisa mendapatkan kesempatan mengetahui status HIV mereka.
b. diagnosis yang lebih baik dan manajemen dari penyakit terkait HIV.
c. penghindaran pemakaian obat yang diasosiasikan dengan risiko tinggi dari efek samping obat
tersebut.
d. meningkatkan pemakaian kondom dan menurunkan transmisi HIV.
e. kemungkinan penggunaan kemoprofilaksis dengan kotrimoksasol untuk mencegah infeksi
oportunistik dan mengurangi angka mortalitas.
f.
g. kesempatan untuk berkonsultasi dengan pasien dan anggota keluarga mengenai infeksi HIV dan
mengenai perkiraan kondisi.
h. kesempatan untuk memberi saran kepada pasien dan anggota keluarganya mengenai cara yang
tepat untuk mencegah transmisi HIV lebih jauh.
Dianjurkan untuk melaksanakan konseling dan tes HIV pada hari yang sama menggunakan tes cepat.
Hal ini juga penting untuk menjaga kerahasiaan klien.
68
Kebijakan untuk mewajibkan pasien TB melakukan tes HIV (bahkan walaupun hal ini adalah legal) bisa
menjadi kontraproduktif. Tipe kebijakan seperti ini akan menimbulkan hasil sebagai berikut:
a. pasien akan dihalangi dalam mencari pengobatan.
b. akan terjadi penurunan penemuan kasus baru pada kelompok berisiko.
c. turunnya kredibilitas dari pelayanan kesehatan.
Infeksi HIV biasanya didiagnosis melalui deteksi dari antibodi terhadap virus. Produksi dari antibodi
biasanya dimulai 6 - 12 minggu setelah infeksi. Periode setelah infeksi tetapi antibodi masih belum
terdeteksi dikenal dengan istilah window period. Diagnosis dari infeksi HIV juga dimungkinkan dengan
mendeteksi virus (p24 antigen, berbasis tes nucleic-acid atau pembiakan) namun alat ini belum
tersedia luas dan cukup mahal. Strategi pemeriksaan antibody ataupun virus HIV secara lengkap
terdapat dalam buku Pedoman Tes HIV.
a. Tes antibodi HIV
Cara luas yang tersedia dalam mendeteksi individu terinfeksi HIV adalah dengan deteksi antibodi HIV
dengan serum atau contoh plasma. Tabel di bawah menunjukkan dua metode utama dari tes antibodi
HIV. Tes serogikal tersedia untuk kedua HIV-1 dan HIV-2. Tes diagnosis HIV sangat bisa diandalkan,
sangat sensitif dan spesifik. Kinerja dengan kualitas yang tinggi dari tes oleh staf laboratorium adalah
hal yang penting.
Tabel 11. Keuntungan dan kerugian dari tes antibodi HIV
Keuntungan
Kerugian
Dibutuhkan peralatan
laboratorium khusus
Staf teknis yang
mempunyai kemampuan
khusus (skill)
Power pasokan yang harus
selalu tersedia
Keseluruhan kotak (90-100
contoh) harus digunakan
Sederhana/
rapid
(misalnya rapid
immunobinding
assay)
Sederhana/ cepat
Lebih murah dibandingkan
immunoblot
Tidak dibutuhkan peralatan khusus
Dipasok sebagai penggunaan sendiri
sehingga spesimen individu bisa di tes
69
Strategi tes
Tes sampel dengan
menggunakan EIA atau
dengan tes sederhana/cepat
Intrepretasi hasil
Tes pertama negatif = pasien HIV
negatif atau tes harus diulang
Tes pertama positif + tes kedua
positif = pasien HIV positif
Tes pertama positif dan tes kedua
negatif ulangi kedua tes
Hasil tetap terjadi perbedaan
ulangi pengambilan sampel dan
ulangi tes
Surveilans (pada
populasi dengan
prevalensi HIV > 10%)
70
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu - 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang
disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil negatif
maka perlu dilakukan tes ulang terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
Gambar 5. Bagan Alur Pemerikaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa
Orang yang bersedia
Menjalani tes HIV
Ya
Antibodi HIV
Positif?
Adakah
manifestasi
klinis?
Tidak
Ulangi Tes A1
dan A2
Tidak
Antibodi HIV
Positif pada
salah satu?
Antibodi HIV
Positif pada
kedua nya
Ya
Tidak
A1 +, A2+,
A3+?
Tidak
Ya
Ya
Ya
Tidak
A1 +, dan
sala satu A2/
A3 +?
Tidak
Tidak
Tidak
A1 +, A2+,
A3+?
A1 +, A2+,
A3+?
Ya
Anggap tidak
ditemukan
antibodi HIV
Ya
Anggap
indeterminate
Diagnosis Pasti
infeksi HIV
71
Interpretasi
Non-reaktif
Tindak Lanjut
Bila yakin tidak ada faktor risiko dan atau
perilaku berisiko dilakukan LEBIH DARI
tiga bulan sebelumnya maka pasien
diberi konseling cara menjaga tetap
negatif.
Bila belum yakin ada tidaknya faktor
risiko dan atau perilaku berisiko
dilakukan DALAM tiga bulan terakhir
maka dianjurkan untuk TES ULANG
dalam 1 bulan.
Indeterminate
Indeterminate
Reaktif atau
Positif
72
73
BAB VI
74
Tindakan
Berikan pengobatan TB
Rujuk ke RS yang dapat memberikan
layanan ARV
75
Lini kedua
2 NRTI + EFV*
2 NRTI + NVP**
2 NRTI + PI/r
Keterangan:
*) EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (risiko kelainan janin) sehingga penggunaan
pada Wanita Usia Subur (WUS) harus mendapat perhatian khusus. Jika seorang ibu hamil trimester
ke 2 atau ke 3 sakit TB, paduan ART yang mengandung EFV dapat dipikirkan untuk diberikan.
**) Paduan yang mengandung NVP dapat digunakan bersama dengan paduan OAT yang mengandung
Rifampisin, bila tidak ada alternatif lain.
Pemberian NVP pada ODHA perempuan dengan jumlah CD4 > 250/mm3 harus hati-hati karena
dapat menimbulkan gangguan fungsi hati yang lebih berat atau meningkatnya hipersensitifitas.
Setelah pengobatan dengan Rifampisin selesai, NVP dapat diberikan kembali. Waktu mengganti
kembali (substitusi) dari EFV ke NVP tidak diperlukan lead-in dose (langsung dosis penuh).
Mengingat hal tersebut di atas, rencana pengobatan ko-infeksi TB-HIV seharusnya dilakukan minimal
oleh dokter di RS yang telah dilatih TB-HIV. Pasien yang akan mendapat pengobatan ko-infeksi TB-HIV
perlu diberi pengetahuan tentang efek samping pengobatan baik ringan maupun berat dan tindakan
yang harus dilakukan selanjutnya.
Petugas kesehatan di Puskesmas dapat melanjutkan pengobatan ko-infeksi TB-HIV setelah paduan
pengobatan yang diberikan oleh dokter di RS dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien.
76
Seperti halnya pada semua pasien HIV, sebelum memulai pengobatan ARV perlu diberikan konseling
kesiapan pasien untuk menerima pengobatan ARV dan implikasinya (pengobatan seumur hidup,
kepatuhan pada pengobatan dan kemungkinan efek samping).
Pada waktu memutuskan untuk memulai pengobatan ARV, penting juga difasilitasi untuk mendapatkan
akses dukungan nutrisi, psikososial, keluarga dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) untuk menjamin
kesinambungan perawatan dan pengobatan. Di bawah ini diberikan contoh pengobatan ko-infeksi
TB-HIV:
Contoh:
Mulai pengobatan ARV segera setelah pengobatan TB ditoleransi.
TB
Tahap Awal
Tahap Lanjutan
HIV
ART
Kotrimosakzol
Tahap Awal
Pengobatan
TB - sampai
ditoleransi
(HRZE):
Pagi*
CTX:
Sampai akhir
Tahap Awal
Selama Tahap
Lanjutan
Setelah
pengobatan
TB selesai
(HRZE):
(HR) 3 kali
seminggu
AZT+3TC (FDC)
AZT+3TC (FDC)
AZT+3TC (FDC)
Atau diganti
dengan
AZT+3TC (FDC)
+ NVP
CTX:
CTX:
CTX:
77
Tahap Awal
Pengobatan
TB - sampai
ditoleransi
Sampai akhir
Tahap Awal
Selama Tahap
Lanjutan
Setelah
pengobatan
TB selesai
AZT+3TC (FDC)
+EFV
AZT+3TC (FDC)
+EFV
AZT+3TC (FDC)
Malam*
Atau diganti
dengan
AZT+3TC (FDC)
+ NVP
Catatan:
* interval waktu pagi dan malam adalah 12 jam.
Selama pengobatan ko-infeksi TB-HIV diperlukan dukungan terhadap kepatuhan pengobatan sebab
banyaknya jumlah tablet yang harus ditelan, kemungkinan efek samping lebih banyak dan tumpang
tindih serta dapat terjadi IRIS atau dikenal juga sebagai Sindroma Pulih Imun/SPI. Pada IRIS/SPI,
gejala klinis TB bertambah buruk yang membuat pasien dan keluarga merasa tidak nyaman. Hal ini
tidak berarti bahwa terjadi penurunan efektifitas obat TB sehingga pengobatan TB tetap dapat
dilanjutkan. Penjelasan ini harus diberikan kepada pasien dan selanjutnya pasien dirujuk ke klinik
PDP untuk penanganan lebih lanjut.
Pilihan NRTI: Sama untuk semua ODHA. Tidak ada interaksi obat antara NRTI dan Rifampisin.
Pilihan NNRTI:
78
EFV adalah pilihan pertama dari NNRTI. Kadar EFV dalam darah akan menurun bila diberikan
bersama dengan Rifampisin. Dosis standar EFV adalah 600 mg per hari.
Kadar NVP juga menurun bila diberikan bersama Rifampisin. Namun dianjurkan pemberian
NVP tetap dengan dosis standar. Tetapi karena kemungkinan terdapatnya efek hepatotoksik,
paduan berisi NVP hanya digunakan bila tidak ada alternatif lain terutama pada perempuan yang
mendapat paduan OAT yang mengandung Rifampisin dengan jumlah CD4 > 250/mm3.
Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi
yang belum pernah diderita.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas PPK dalam menurunkan angka kematian dan
kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidens infeksi
oportunistik.
Penyakit oportunistik yang risikonya dapat dicegah dengan PPK:
Pneumonia Pneumocystis (PCP) dulu disebut Pneumocystis carinii pneumonia sekarang disebut
Pneumonia Pneumocystis Jirovecii. Gejala yang timbul: sesak napas bila beraktivitas, batuk kering,
demam dan hipoksemia (kadar oksigen dalam darah menurun). Prognosis sering kali buruk.
Abses otak toksoplasmosis: penyakit ini menyebabkan hemiparesis (kelemahan atau kelumpuhan
satu sisi tubuh) disertai sakit kepala dan demam.
Isospora belli: tipe mikroorganisme yang menyebabkan diare kronik yang disertai dengan
penurunan berat badan.
Malaria.
79
Saat penghentian
2 tahun setelah
penggunaan
kotrimoksasol jika
mendapatkan ARV
Bila tersedia
pemeriksaan
jumlah sel CD4
dan terjangkau,
kotrimoksasol
diberikan pada
pasien dengan
jumlah CD4 < 200
sel/mm3
Dosis
Pemantauan
Efek samping
berupa tanda
hipersensitivitas
seperti demam,
rash, sindrom Steven
Johnson,
tanda penekanan
sumsum tulang
seperti anemia,
trombositopenia,
leukopenia,
pansitopenia
Interaksi obat
dengan ARV dan
obat lain yang
digunakan dalam
pengobatan
penyakit terkait HIV
Trimetropim 8
10 mg/kg BB
dosis tunggal
ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3; dianjurkan untuk
memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut berguna untuk 1) tes kepatuhan
pasien dalam minum obat dan 2) menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara
kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping
yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
80
Desensitisasi Kotrimoksasol
Dalam keadaan terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap Kotrimoksasol dan kemudian akan memulai
lagi maka perlu dilakukan desensitisasi obat. Angka keberhasilan desensitisasi kotrimoksasol cukup
tinggi yaitu 70% ODHA yang pernah mengalami reaksi alergi yang ringan hingga sedang.
Desensitisasi jangan dicobakan pada ODHA dengan riwayat mengalami reaksi alergi yang berat
(derajat hipersensitivitas 3 atau 4), berarti ODHA tidak memperoleh terapi profilaksis. Untuk itu
perlu pengawasan ketat sebelum timbul infeksi oportunistik terkait dan mulai pemberian ARV untuk
mencegah pasien masuk dalam fase lanjut.
Tabel 17. Protokol desensitisasi kotrimoksasol
Langkah
Dosis
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 4
Hari 5
Hari 6
2 tablet dewasa SMX - TMP atau 1 tablet forte (800 mg SMX + 160 mg TMP
Dosis (TMP/SMX)
Dilusi (Pengenceran)
0,004/0,02mg
1:10.000 (5mL)
0,04/0,2mg
1:1.000 (5 mL)
0,4/2mg
1:100 (5mL)
4/20mg
1:10 (5 mL)
40/200mg
160/800mg
1 tablet forte
81
Penjelasan kepada pasien gejala efek samping sehingga pasien dapat segera melapor bila terjadi
efek samping OAT.
Melihat dan menanyakan terdapatnya tanda dan gejala efek samping pada waktu pasien
mengambil OAT.
Efek samping ringan yaitu efek samping yang menyebabkan perasaan tidak nyaman. Gejala
ini sering dapat ditanggulangi dengan obat simptomatik atau obat sederhana tetapi kadang
menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini, pemberian OAT diteruskan.
Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat mengancam jiwa pasien sampai fatal. Pada
pasien dengan efek samping berat, pemberian OAT harus dihentikan.
Tabel di bawah ini menjelaskan tatalaksana efek samping dengan pendekatan gejala untuk pasien TB
yang tidak dalam pengobatan ARV.
Tabel 19. Tatalaksana efek samping ringan untuk pasien TB
yang tidak dalam pengobatan ARV
Efek Samping
82
Penyebab
Penanganan
INH, Rifampisin
Nyeri sendi
Pirasinamid
INH
Rifampisin
Penyebab
Penanganan
Tuli/gangguan pendengaran,
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Hentikan streptomisin
Gangguan penglihatan
Etambutol
Hentikan Etambutol
Rifampisin
Hentikan Rifampisin
Catatan:
*) Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit: Jika seorang pasien
dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain.
Berikan antihistamin sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal tersebut pada
sebagian pasien hilang namun pada sebagian pasien terjadi kemerahan kulit. Bila terjadi keadaan
seperti ini maka hentikan semua OAT dan tunggu sampai kemerahan kulit hilang. Jika gejala efek
samping ini bertambah berat maka pasien perlu dirujuk
**) Muntah berulang harus segara dirujuk ke RS spesialistik. Muntah dengan gangguan kesadaran
merupakan masalah serius karena itu adalah tanda dari gagal hati (liver failure).
Di Fasyankes rujukan (RS spesialistik) penanganan pasien efek samping obat dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui maka pemberian kembali OAT harus
dengan cara drug challenging yaitu dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk
menentukan obat yang merupakan penyebab efek samping tersebut.
Bila jenis obat penyebab efek samping diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol atau
streptomisin maka pengobatan TB dapat dilanjutkan tanpa obat tersebut. Lamanya pengobatan
perlu diperpanjang untuk menurunkan risiko terjadinya kambuh.
Kadang-kadang, pada pasien terjadi reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap INH atau Rifampisin.
Kedua obat ini merupakan jenis OAT utama dalam pengobatan TB jangka pendek. Bila pasien dengan
reaksi hipersensitivitas terhadap INH atau Rifampisin tersebut HIV negatif, dapat dilakukan desensitisasi.
83
Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar
terjadi keracunan yang berat. Desensitisasi tidak dianjurkan dilakukan di Puskesmas.
Efek samping utama Streptomisin adalah:
Kerusakan nervus kranialis VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Kerusakan
alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan gejala telinga berdenging
(tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan
menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Risiko ini lebih meningkat pada pasien dengan
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak
boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin.
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi, berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Hentikan pengobatan dan segera rujuk pasien ke
RS spesialistik.
Pada pasien yang menerima pengobatan ko-infeksi TB-HIV, penanganan efek samping obat dijelaskan
pada tabel di bawah ini:
Tabel 21. Tatalaksana Efek Samping Obat pada pasien
dengan pengobatan ko-infeksi TB-HIV
Tanda / Gejala
84
Tatalaksana
Telan obat setelah makan. Jika paduan obat ARV mengandung ZDV,
jelaskan kepada pasien bahwa gejala ini akan hilang sendiri. Atasi
keluhan secara simptomatis.
Tablet INH dapat diberikan malam sebelum tidur.
Makanan yang dianjurkan adalah makanan lunak, porsi kecil dan
frekuensinya sering.
Nyeri sendi
Efek ini jeIas dijumpai bila INH diberi bersama ddI atau d4T, substitusi
ddl atau d4T sesuai pedoman. Berikan tambahan tablet vitamin B6
(piridoksin) 100 mg per hari. Jika tidak berhasil, gunakan amitriptilin
atau rujuk ke RS spesialistik.
Kencing warna
kemerahan / oranye
Jelaskan pada pasien bahwa itu adalah warna obat, jadi tidak
berbahaya.
Tanda / Gejala
Tatalaksana
Sakit kepala
Diare
Beri oralit atau cairan pengganti dan ikuti petunjuk penanganan diare.
Yakinkan pada pasien bahwa kalau disebabkan oleh obat ARV itu akan
membaik setelah beberapa minggu. Pantau dalam 2 minggu, kalau
belum membaik, pasien dirujuk
Kelelahan
Tegang, mimpi-buruk
Kuku kebiruan/
kehitaman
Yakinkan pasien bahwa hal ini biasa terjadi pada pengobatan dengan
AZT.
Perubahan dalam
distribusi lemak
Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB dan obat ARV dan
pasien dirujuk. Jika dalam pengobatan dengan NVP, periksa dengan
teliti: apakah lesi nya kering (kemungkinan alergi) atau basah
(kemungkinan Steven Johnson Syndrom). Mintalah pendapat ahli
Gangguan
pendengaran/
keseimbangan
Ikterus
85
Tanda / Gejala
Tatalaksana
Hentikan OAT dan obat ARV dan periksa fungsi hati (bila tersedia
sarana). Mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk. Nyeri perut
mungkin karena pankreatitis disebabkan oleh ddI atau d4T.
Muntah berulang
Penglihatan
berkurang
Demam
Pucat, anemi
Ukur kadar hemoglobin dan singkirkan IO. Bila pucat sekali atau kadar
Hb sangat rendah (< 8 gr/dL; < 7gr/dL pada ibu hamil), pasien dirujuk
(dan stop ZDV/diganti d4T).
Limfadenopati
Catatan:
*) SPI adalah singkatan dari Sindroma Pulih Imun (Immune Reconstitution Inflamatory Syndrom = IRIS)
99 Contoh tersering dari manifestasi SPI adalah herpes zoster atau TB, yang segera terjadi setelah
dimulai obat ARV
99 Mintalah pendapat ahli atau rujuk pasien untuk penanganannya.
3. Desensitisasi pengobatan TB-HIV
Jarang sekali pasien bereaksi hipersensitif terhadap dua OAT yang terkuat, yaitu INH dan Rifampisin.
Kedua obat ini merupakan obat dasar pengobatan jangka pendek. Jika pasien HIV negatif menunjukkan
reaksi (tetapi bukan reaksi berat) terhadap isoniazid atau rifampisin maka dapat dilakukan desensitisasi
pasien terhadap obat tersebut. Namun, perlu pertimbangan khusus untuk desensitisasi pada pasien
TB-HIV karena berisiko tinggi untuk terjadi efek samping serius. Oleh karena itu, desensitisasi harus
dilakukan di fasyankes (rawat inap di RS) yang mempunyai fasilitas penanganan gawat darurat.
86
Cara desensitisasi berikut mungkin dapat digunakan. Mulai desensitisasi dengan memberi obat
sebesar sepersepuluh dosis normal. Kemudian tingkatkan sepersepuluh dosis setiap hari, sampai
mencapai dosis penuh pada hari ke sepuluh. Setelah selesai desensitisasi, berikan obat tersebut
sebagai bagian dari paduan pengobatan biasa. Bila mungkin, selama desensitisasi berikan pasien
tersebut dua macam OAT yang belum pernah didapatnya. Hal ini untuk mengurangi risiko terjadi
resistensi obat selama desensitisasi.
87
Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid.
Beberapa ahli menganjurkan monitoring kimia serum secara reguler tetapi lebih diutamakan
untuk dilakukan atas dasar tanda dan gejala.
P
engukuran Viral Load (VL = HIV RNA) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memonitor
pasien dalam ART dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan HIV
DNA perlu dipertimbangkan untuk diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan HIV di usia
di bawah 18 bulan. Untuk dewasa, pemeriksaan VL digunakan untuk membantu diagnosis
gagal terapi. Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan hanya
menggunakan monitoring klinis dan pemeriksaan jumlah CD4.
c. Monitoring lain
Enam bulan sejak memulai ART merupakan masa yang kritis dan penting. Diharapkan dalam
masa tersebut akan terjadi perbaikan klinis dan imunologis, kadang terjadi toksisitas obat. Selain
itu bisa juga terjadi suatu SPI. Pada keadaan tersebut, pasien seolah-olah mengalami perburukan
klinis yang sebetulnya merupakan suatu keadaan pemulihan respons imunitas (yang kadang
sampai menimbulkan gejala peradangan/inflamasi berlebihan).
Sindrom Pulih Imun adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi berlebihan
pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral. Sindrom pulih imun
mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun non infeksi. Sindrom pulih imun
infeksi ini didefinisikan sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan infeksi akibat
perbaikan respons imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap ARV.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari organisme penyebab.
Organisme yang paling sering menyebabkan IRIS adalah M.tuberculosis, M.avium, Cryptococcus
neoformans dan Cytomegalovirus.
Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah:
a. Munculnya lagi gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah teratasi
infeksinya, penyebab terbanyak adalah TB.
b. Munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik, umumnya disebabkan oleh M.avium,
jarang oleh M.tuberculosis.
c. Penyakit autoimun dan inflamasi seperti sarkoidosis.
Gejala klinis IRIS bersifat sementara misalnya demam, limfadenopati yang bertambah, tuberkuloma
intraserebral menjadi muncul kembali, efusi pleura, sindrom distress pernapasan, infeksi subklinis
menjadi manifest atau gejala klinis memburuk pada pengobatan TB yang adekuat. Perburukan
klinis TB pada pemberian ARV selain disebabkan oleh IRIS, dapat pula disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen M.tuberculosis yang mati. Hal ini bukan suatu kegagalan
pengobatan dan bersifat sementara. IRIS dapat juga disebabkan oleh mikobakteria atipik, PCP,
Varicella zoster, virus herpes simplex.
Beberapa kriteria yang mendukung diagnosis IRIS pada TB-HIV (3 dari kriteria sebagai berikut):
a. Manifestasi klinis atipikal setelah ARV mulai diberikan.
88
Histoplasmosis capsulatum
Toksoplasmosis
Hepatitis B
Hepatitis C
Leukoensefalitis multifokal
progresif
Parvovirus B19 [110]
Strongyloides stercoralis
infection
Infeksi parasit lainnya
Molluscum contagiosum &
kutil genital
Sinusitis
Folikulitis
Sumber : Murdoch D. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS): review of common infectious
manifestations and treatment options. AIDS Research and Therapy 2007, 4:9 doi:10.1186/1742-64054-9
Gejala yang muncul dan terkait dengan TB antara lain demam, pembesaran limfonodi, infiltrat meluas,
distres pernapasan, nyeri kepala berat dan paralisis. Bila terjadi IRIS maka pemberian obat-obatan
OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) seperti Ibuprofen akan sangat membantu bila kasusnya
ringan. Pemberian kortikosteroid seperti Prednison dapat diberikan bila kasusnya berat. Dosis
Prednison adalah 0,5mg/kgBB yang diberikan selama 21 hari. Tidak disarankan untuk menghentikan
ART tanpa berkonsultasi kepada dokter spesialis di unit layanan HIV yang ada di RS.
89
Penanganan
Demam
Pemberian Ibuprofen
Pemberian Prednison
Distensi Abdominal
90
Minggu ke 2
Minggu ke 4
Minggu ke 8
Minggu ke 12
Minggu ke 24
Setiap 6 bulan
Evaluasi klinis
Berat badan
Evaluasi
Jika
diperlukan
(tergantung
gejala)
Klinis
Laboratorium
Tes antibodi HIV [a]
CD4
Hb [b]
Kimia darah
Keterangan:
[a] Hasil tes HIV (+) yang tercatat (meskipun sudah lama) sudah cukup untuk dasar memulai terapi ARV.
Bila tidak ada dokumen tertulis, dianjurkan untuk dilakukan tes HIV sebelum memulai terapi ARV.
[b] Bagi pasien yang mendapat AZT: perlu di periksa kadar hemoglobin sebelum terapi AZT dan pada
minggu ke 4, 8 dan 12, dan bila diperlukan (misal ada tanda dan gejala anemia atau terdapatnya
obat lain yang bisa menyebabkan anemia).
[c] Lakukan tes kehamilan sebelum memberikan EFV pada ODHA perempuan usia subur. Bila hasil tes
positif dan kehamilan pada trimester pertama maka jangan diberi EFV.
[d] Bila hasil tes kehamilan positif pada perempuan yang sudah terlanjur mendapatkan EFV maka segera
ganti dengan paduan yang tidak mengandung EFV.
[e] Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk
memulai terapi ARV atau sebagai alat pemantau respons pengobatan pada saat tersebut. Dapat
dipertimbangkan sebagai diagnosis dini terdapatnya kegagalan terapi atau menilai terdapatnya
ketidaksesuaian antara hasil CD4 dan keadaan klinis dari pasien yang diduga mengalami kegagalan
terapi ARV.
91
92
E
ksternal Fasyankes : Badan koordinasi yang selama ini terlibat dalam kolaborasi TB-HIV
juga harus diikutsertakan dalam penanganan kasus TB MDR/HIV. Keterlibatan dan kemitraan
dengan unsur masyarakat dan LSM peduli TB dan HIV juga perlu dikembangkan.
1. Diagnosis ko-infeksi TB MDR dan HIV
a. Tes HIV bagi pasien TB MDR
Semua pasien TB MDR terkonfirmasi yang status HIV-nya belum diketahui akan ditawari untuk
menjalani pemeriksaan HIV sesuai konsep KTIPK. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan besarnya
kemungkinan kegagalan pengobatan TB MDR bila ternyata juga mengalami ko-infeksi HIV yang
tidak diketahui.
b. Uji kepekaan M.tuberculosis bagi ODHA
Semua ODHA dengan ko-infeksi TB adalah suspek TB MDR, oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan.
Catatan :
Bila fasilitas tersedia maka ODHA yang dicurigai menderita TB juga akan menjalani pemeriksaan
rapid diagnostic TB misalnya menggunakan GeneXpert. Pemeriksaan tersebut selain mendeteksi
terdapatnya M.tuberculosis juga mengetahui resistensi terhadap Rifampisin, bila hasilnya positif
M.tuberculosis dan resisten rifampisin maka pasien akan ditatalaksana dengan pengobatan standar
TB MDR.
93
Pemeriksaan CD4.
94
e) OAT TB MDR yang diberikan adalah paduan standar yaitu Km-Lfx-Eto-Cs-Z-(E). Paduan OAT dapat
disesuaikan dengan hasil DST.
f ) Untuk mengurangi kemungkinan efek samping maka direkomendasikan pemberian obat dengan
dosis terbagi (obat yang memungkinkan : etionamid, sikloserin dan PAS).
g) Pengawasan menelan obat baik untuk ART dan OAT harus dilakukan secara terpadu dengan
memperhatikan aturan minum obat maupun faktor interaksi obat.
Untuk ART diminum sesuai mekanisme yang sudah ada.
Untuk OAT MDR yang diminum pagi hari diberikan di depan petugas Fasyankes.
Konseling kepatuhan sebelum dan selama minum obat harus diperkuat.
h) Efek samping akan bertambah dengan pemberian ART secara bersamaan dengan OAT MDR. Perlu
monitoring lebih ketat baik untuk efek samping maupun respons pengobatan.
i) Kemungkinan terjadinya SPI bisa menambah kompleksitas terapi.
a. Pengobatan ko-infeksi TB MDR dan HIV yang belum mendapatkan ART
Pemberian ART pada ODHA dengan TB terbukti meningkatkan kemungkinan bertahan hidup
baik untuk pasien TB biasa maupun TB yang sudah kebal terhadap OAT. Namun kemungkinan
terjadi efek samping yang berat akan meningkat bila pemberian ART dan OAT dimulai pada saat
yang bersamaan. Penundaan pemberian ART bisa meningkatkan risiko kematian pada ODHA
terutama pada stadium lanjut. Rekomendasi pemberian ART pada pasien TB MDR setelah OAT
MDR ditoleransi sekitar 2-8 minggu.
b. Pengobatan ko-infeksi TB MDR dan HIV yang sudah mendapatkan ART
Bila pengobatan TB MDR akan dimulai sementara pasien tersebut sudah mendapatkan ART
yaitu:
a) Perlu dipertimbangkan modifikasi paduan ART yang diberikan, mengingat interaksi antar
obat dan kemungkinan terjadinya overlapping toksisitas obat.
b) Perlu dipastikan apakah munculnya TB MDR menunjukkan kegagalan pengobatan ART
sebelumnya. Bila hasil analisa menunjukkan terjadi kegagalan pengobatan ART maka
tidak direkomendasikan untuk memulai pengobatan baru menggunakan ART lini kedua
pada waktu yang bersamaan dengan dimulainya pengobatan TB MDR. Untuk situasi ini
direkomendasikan untuk meneruskan paduan ART yang telah didapat dan melakukan
perubahan paduan menggunakan ART lini kedua sekitar 2-8 minggu setelah pengobatan TB
MDR dimulai.
c. Contoh pemberian OAT TB MDR dan ART
Kasus Mr. X:
Mr. X adalah pasien TB MDR/HIV yang akan menjalani pengobatan dengan OAT TB MDR dan akan
mendapatkan ART begitu pengobatan TB MDR bisa ditoleransi. Pasien juga akan mendapatkan
95
PPK. Berat badan Mr.X adalah 60 kg. Paduan OAT TB MDR yang didapatkan adalah:
OAT MDR :
Kapreomisin 1000mg (1 vial @ 1gr)
Levofloksasin 1000mg (4 tab @ 250mg)
Etionamid 750mg (3 tab @ 250mg)
Sikloserin 750mg (3 tab @ 250mg)
Pirazinamid 1750mg (3,5 tab @ 500mg)
PAS 8gr (2 sac @ 4gr)
Piridoksin 150 mg (3 tab @ 50mg)
ART :
AZT-3TC : 2 tab @ 300mg ZDV+150mg 3TC
-EFZ : 1 tab 600mg
PPK :
1 tab kotrimoksasol double strength ( 960mg)
Maka pengaturan pengobatan Mr.X adalah sebagai berikut :
TB MDR
HIV
Kotrimoksasol
OAT MDR
sampai
ditoleransi
Sampai akhir
tahap awal
Tahap lanjutan
sampai selesai
CM : 1 vial
Lfx : 4 tab
Eto : 1 tab
Cs : 1 tab
Z : 3,5 tab
PAS : 1 sac
CM : 1 vial
Lfx : 4 tab
Eto : 1 tab
Cs : 1 tab
Z : 3,5 tab
PAS : 1 sac
CXT : 1 tab
AZT-3TC : 1 tab
Lfx : 4 tab
Eto : 1 tab
Cs : 1 tab
Z : 3,5 tab
PAS : 1 sac
CXT : 1 tab
AZT-3TC : 1 tab
Eto : 2 tab
Cs : 2 tab
PAS : 1 sac
B6 : 3 tab
Eto : 2 tab
Cs : 2 tab
PAS : 1 sac
B6 : 3 tab
AZT-3TC : 1 tab
EFV : 1 tab
Eto : 2 tab
Cs : 2 tab
PAS : 1 sac
B6 : 3 tab
AZT-3TC : 1 tab
EFV : 1 tab
Selisih 12 Jam
Malam
96
ART
2-8 mgg
PPK
Pagi
Setelah OAT
MDR selesai
CXT : 1 tab
AZT-3TC : 1 tab
AZT-3TC : 1 tab
EFZ : 1 tab
4. Potensi interaksi obat antara OAT MDR dan ART yang dipakai di Indonesia
a. Etionamid dengan ART
Etionamid dimetabolisme oleh sitokrom P450, sebagaimana juga pada beberapa jenis ART
sehingga diduga terjadi interaksi obat. Mengingat masih terbatasnya informasi mengenai hal
tersebut terutama mengenai enzim mana yang berperan maka belum dapat dipastikan apakah
etionamid ataukah ART yang harus mengalami penyesuaian dosis.
b. Klaritromisin dengan Ritonavir dan Nevirapine/Efavirenz
Klaritromisin merupakan golongan OAT grup lima yang kemungkinan akan dipakai dalam
pengobatan TB XDR. Obat ini merupakan substrat dan inhibitor enzim CYP3A serta memiliki
interaksi ganda dengan Protease Inhibitor (ritonavir) dan NNRTI (nevirapine, efavirenz). Pemberian
klaritromisin dengan ritonavir akan meningkatkan kadar klaritromisin dalam darah meskipun
hanya pada pasien dengan klirens kreatinin < 60ml/menit yang memerlukan penyesuaian dosis.
Nevirapine/ efavirenz akan menginduksi metabolisme klaritromisin sehingga kadar dalam plasma
akan berkurang yang akan menyebabkan efektifitasnya akan jauh berkurang. Oleh karena itu,
pemakaian klaritromisin untuk pengobatan pasien ko-infeksi TB MDR HIV sedapat mungkin
dihindari karena efektifitas yang lemah dan banyak interaksi dengan obat lain.
5. Potensi toksisitas obat dalam pengobatan pasien TB MDR/ HIV
Secara umum angka kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan akibat pengobatan TB pada pasien HIV
positif lebih tinggi dibanding pasien dengan status HIV negatif. Angka tersebut semakin meningkat
bila sistem imun semakin menurun. Identifikasi obat mana yang menjadi penyebab terjadinya efek
samping merupakan hal yang sulit karena baik OAT maupun ARV memiliki efek samping yang sama
dan overlapping. Penanganan kasus bila terjadi efek samping obat menjadi semakin kompleks. Pada
pengobatan dengan ART tidak memungkinkan dilakukan trial satu per satu untuk mengetahui obat
mana yang menimbulkan efek samping karena potensi resistensi yang besar. Tabel di bawah ini dapat
dipakai untuk memperkirakan penyebab efek samping.
Tabel 25. Potensi toksisitas OAT MDR dan ART
Toksisitas
Neuropati perifer
ART
d4T, ddI
OAT
Cs,H, Km, Eto, E
Keterangan
Hindari pemakaian d4T dan
ddI bersamaan dengan Cs
karena secara teoritis bisa
menimbulkan neuropati
perifer. Bila terpaksa
digunakan bersamaan dan
timbul neuropati, ganti
ART dengan yang kurang
neurotoksis.
97
Toksisitas
98
ART
OAT
Keterangan
Toksisitas pada
saraf pusat
EFV
Cs, H, Eto,
fluoroquinolon
Depresi
EFV
Cs,
fluoroquinolon,
H, Eto
Toksisitas
ART
OAT
Keterangan
Sakit kepala
AZT, EFV
Cs
Kesampingkan penyebab
lain dari sakit kepala sebelum
menetapkan sakit kepala
sebagai akibat ART dan
OAT. Sakit kepala karena
AZT, EFV dan Cs biasa
tidak berkepanjangan. Beri
analgesik seperti ibuprofen
atau parasetamol.
Mual dan
Muntah
Eto,PAS, H, E, Z
Nyeri perut
Semua
pengobatan
dengan ART
menyebabkan
nyeri perut.
Eto, PAS
Diare
Eto, PAS,
fluroquinolon
99
Toksisitas
100
ART
OAT
Keterangan
Hepatotoksisitas
NVP,EFV,
semua PI,
semua NRTI
(RTV> dari PI
yang lain).
E, Z, PAS, Eto,
Fluoroquinolon
Laksanakan pengobatan
untuk hepatotoksistas.
Pikirkan penyebab lain
seperti kotrimoksasol.
Singkirkan juga penyebab
infeksi virus seperti hepatitis
A, B, C dan CMV.
Skin rash
ABC, NVP,
EFV, d4T dan
lainnya
Z, PAS,
Fluroquinolon
Toksisitas
ART
OAT
Keterangan
Nefrotoksisitas
TDF
Km, Cm
Gangguan
elektrolit
TDF
Cm, Km
Neuritis optikal
Ddl
E, Eto (jarang)
101
Toksisitas
ART
OAT
Keterangan
Gangguan
regulasi kadar
gula darah
PI
Eto
PI cenderung menyebabkan
resistensi insulin dan
hiperglikemia.
Eto cenderung menyebabkan
kadar insulin pada pasien
DM sulit diatur dan dapat
menyebabkan hiporglikemia
dan kadar gula darah sulit
diatur.
Hipotiroidisme
d4T
Eto, PAS
102
perlakuan berbeda. Penyebab hambatan psikis lainnya adalah angka mortalitas yang tinggi dari dua
penyakit tersebut. Oleh karena itu, pasien TB MDR/ HIV memerlukan dukungan sosioekonomis, nutrisi
dan psikologis yang lebih besar untuk menyelesaikan pengobatannya.
Tabel 26. Jadual Pemantauan Pengobatan ko-infeksi TB MDR/ HIV
Pemantauan
Evaluasi Utama
Pemeriksaan dahak
dan biakan dahak
Evaluasi Penunjang
Evaluasi klinis
: Pengobatan
konkomitan,
BB, gejala klinis,
kepatuhan berobat
Uji kepekaan obat
Foto toraks
Ureum, Kreatinin
Bulan pengobatan
0 1 2
3
4
10
12
14
16
18
20
22
Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase lanjutan
Berdasarkan indikasi
Elektrolit (Na,
Kalium, Cl)
EKG
v Setiap 3 bulan sekali
Thyroid stimulating
hormon (TSH)
Enzim hepar (SGOT, Evaluasi secara periodik
SGPT)
Tes kehamilan
Berdasarkan indikasi
Darah Lengkap
Berdasarkan indikasi
Audiometri
Berdasarkan indikasi
Kadar gula darah
Berdasarkan indikasi
Asam Urat
Berdasarkan indikasi
Test HIV
v Bila ada faktor risiko
Evaluasi tambahan untuk pasien HIV positif
Sifilis (VDRL)
Berdasarkan indikasi
Pap Smear
v Berdasarkan indikasi
Hepatitis B dan C
v Berdasarkan indikasi
CD4
Viral load
Berdasarkan indikasi
103
104
Penatalaksanaan
Nyeri Perut
Diare
Penatalaksanaan
Letih/ Lesu
Depresi, kecemasan,
mimpi buruk,
psikosis
105
106
Penatalaksanaan
Ikterus
Anemia
Neuropati perifer
Bisa disebabkan oleh ART (ddI, d4T) dan OAT (sikloserin dan obat
injeksi).
ART yang paling sering menimbulkan neuropati perifer adalah d4T,
ganti dengan AZT.
Pemberian amitriptilin 25 mg pada malam hari akan sangat
membantu bagi pasien yang keluhannya tidak berkurang setelah
penggantian ART.
Bila penyebabnya adalah OAT maka tingkatkan dosis vitamin B6 yang
diberikan menjadi 200 mg/hari sampai gejala hilang.
Kejang otot
Penatalaksanaan
Nyeri kepala
Berikan parasetamol.
Lakukan assessment mengenai kemungkinan meningitis.
Bila pasien mendapatkan AZT/ EFV yakinkan kembali bahwa hal
tersebut adalah efek samping yang biasa dan biasanya akan sembuh
dengan sendirinya.
Bila disebabkan oleh sikloserin biasanya kronik.
Gangguan ginjal
(gagal ginjal,
edema, retensi urin,
hipertensi)
Demam
Bisa disebabkan penyakit lain yang umum, IO, IRIS dan efek samping
obat.
Bila terjadi setelah pasien menjalani terapi ART kemungkinan terjadi
IRIS.
Berikan parasetamol, hindari dosis yang berlebihan.
Berikan cairan untuk menghindari dehidrasi.
107
BAB VII
PENCEGAHAN PENGENDALIAN
INFEKSI DAN KEWASPADAAN
STANDAR DI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN
Kewaspadaan standar merupakan salah satu upaya dalam mengendalikan
infeksi di Fasyankes terutama terkait penyakit TB, HIV dan infeksi nosokomial.
Pencegahan Pengendalian infeksi TB perlu diperhatikan karena TB merupakan
IO terbanyak pada ODHA. Selain itu usaha pengendalian IO juga penting karena
dapat memberikan perlindungan kepada pasien lain dan petugas kesehatan di
Fasyankes. Infeksi Nosokomial dapat menyebar dari pasien kepada petugas, pasien
lain, pengunjung atau sebaliknya, melalui kontak langsung atau tidak langsung
baik melalui udara maupun dari bahan yang sudah terkontaminasi dengan darah
atau cairan tubuh lainnya.
Strategi pencegahan infeksi HIV menitikberatkan pada upaya pencegahan
infeksi melalui darah dan cairan tubuh (Blood and Body Fluid Precautions) tanpa
memandang status infeksi pasien. Strategi tersebut juga menekankan pada
pengelolaan limbah yang tepat termasuk limbah tajam. Sementara strategi
pengendalian infeksi TB ditekankan pada pencegahan infeksi melalui udara. Kedua
strategi ini merupakan bagian dari strategi pengendalian infeksi secara umum.
Keberhasilan pencegahan pengendalian infeksi di Fasyankes sangat dipengaruhi
oleh pengetahuan dan perilaku petugas kesehatan sehingga dalam upaya
pencegahan penularan perlu ditekankan untuk merubah perilaku petugas dalam
memberikan pelayanan. Untuk informasi yang lebih lengkap, dapat merujuk ke
pedoman pengendalian infeksi TB dan kewaspadaan standar yang sudah ada.
108
B. PENULARAN TB DI FASYANKES
Penularan TB di Fasyankes dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
Konsentrasi droplet infeksius di udara yang dikeluarkan oleh pasien TB Paru dan ventilasi udara
di area pajanan yang tidak sesuai standar PPI.
Seorang pasien TB paru lebih mungkin menularkan TB tergantung pada keadaan di bawah ini:
Tidak menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin.
Laboratorium yang tidak memenuhi syarat misalnya tidak tersedia air mengalir, kurangnya cahaya
matahari yang masuk, dll.
109
Dukungan Manajerial
Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif dalam kegiatan PPI TB
Fasyankes berupa pembuatan rencana kerja, SOP, pelaksanaan sosialisasi, surveilans dan
monitoring evaluasi.
Pengendalian Administratif
Perilaku kerja yang baik dan penerapan kebijakan yang efektif dengan tujuan mengurangi droplet
nuclei di udara berupa pemisahan kasus potensi infeksius, etika batuk dan mempersingkat waktu
pasien di Fasyankes.
Pengendalian Lingkungan
Upaya pengendalian lingkungan dengan mengutamakan pengaturan ventilasi dan pengkondisian
udara yang menyalurkan droplet nuclei kearah udara terbuka yang bebas dari lalu lintas orang.
Dari keempat pilar PPI TB di atas, upaya pengendalian administratif yang di dalamnya termasuk
110
perilaku kerja merupakan prioritas pertama dalam implementasi PPI TB karena mempunyai dampak
yang paling besar dalam pencegahan penularan TB di Fasyankes dan tidak tergantung dengan
sarana yang ada. Upaya ini dapat mencegah terjadinya penyebaran droplet infeksius sehingga dapat
menurunkan pajanan kuman TB pada pasien dan petugas.
Namun demikian, jika dengan upaya pengendalian administratif tidak mungkin untuk menghilangkan
semua pajanan maka upaya pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk menurunkan konsentrasi
droplet infeksius dalam ruang pelayanan.
Upaya pengendalian lingkungan adalah memaksimalkan ventilasi alami dan mengatur/mengendalikan
arah angin. Meskipun beberapa upaya pengendalian lingkungan ini memerlukan sumber daya tetapi
sebagian upaya dapat dilaksanakan di Fasyankes dengan sarana terbatas, misalnya membuka jendela
untuk meningkatkan ventilasi alami dan penggunaan kipas angin untuk mengendalikan arah angin.
111
112
Pengendalian administratif tertuang dalam lima langkah penatalaksanaan pasien seperti tabel
di bawah ini:
Tabel 28. Lima Langkah Penatalaksanaan Pasien
Untuk Mencegah Penularan TB di Fasyankes
Langkah
Tindakan
Uraian
Triase
II
Penyuluhan
III
Pemisahan
IV
Pemberian
Layanan
Segera
Pemeriksaan
untuk TB
atau Rujukan
c. Pengendalian Lingkungan
Upaya pengendalian lingkungan di area yang berisiko tinggi diperlukan jika risiko pajanan droplet
infectious tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Jadi pengendalian lingkungan merupakan
pertahanan lini kedua untuk mencegah penyebaran TB. Perlu diketahui bahwa jika pengendalian
administrasi (lini pertama) tidak dilaksanakan secara adekuat maka kontrol lingkungan ini tidak
akan dapat menghilangkan risiko tersebut.
113
114
115
J ika jari tertusuk, segera cuci dengan sabun dan air mengalir, tidak boleh dihisap dengan mulut
seperti kebanyakan tindakan refleks untuk menghisap darah atau ditekan-tekan.
Jika terjadi percikan pada mukosa hidung, segera hembuskan udara sekuat tenaga.
Jika terkena mulut, ludahkan segera dan kumur dengan air bersih.
Jika terkena kulit, segera bilas dengan guyuran air yang mengalir.
J ika terkena mata, segera lakukan irigasi dengan air bersih, larutan garam fisiologis atau air
steril.
b. Laporan pajanan
Setiap pajanan harus diperlakukan sebagai keadaan darurat oleh karena petugas yang terpajan
segera melaporkan kepada atasan langsung dan bagian pengendalian infeksi Nosokomial atau
bagian keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Laporan sangat diperlukan agar pemberian profilaksis pasca pajanan dapat dimulai secepat
mungkin dalam waktu kurang dari 4 jam dan tidak lebih dari 72 jam. Semakin cepat pemberian
profilaksis pasca pajanan, semakin bermanfaat dan sebaliknya.
c. Konseling dan tes HIV
Bila terjadi kecelakaan kerja, pada petugas yang terpajan dilakukan penilaian apakah mempunyai
potensi tertular atau tidak. Jika di tempat layanan tidak ada dokter/petugas yang dapat melakukan
penilaian tersebut maka petugas yang terpajan tadi dirujuk. Apabila pada hasil penilaian terdapat
potensi tertular maka dilakukan konseling dan tes HIV baik pada petugas maupun pasien yang
menjadi sumber pajanan (jika belum diketahui status HIV-nya).
d. Profilaksis Pasca Pajanan (PPP)
Petugas yang terpajan harus dinilai apakah perlu mendapat profilaksis pasca pajanan dengan
ARV atau tidak sehingga setiap Fasyankes harus tahu di mana tempat rujukan ARV agar bila terjadi
kecelakaan kerja dapat segera dirujuk. Keputusan untuk memberikan profilaksis pasca pajanan
didasarkan atas derajat pajanan, status HIV dari sumber pajanan dan ketersediaan ARV.
116
HIV positif
Tingkat 1
HIV positif
Tingkat 2
Tidak diketahui
status
HIV-nya
Tidak diketahui
sumbernya
HIV
negatif
Perlukaan kulit
Kurang berat
(y.i. jarum
buntu, luka di
permukaan)
Dianjurkan
Pengobatan
dasar
2 obat PPP
Anjuran
pengobatan
dengan 3
obat PPP
Umumnya
Tidak perlu PPP,
pertimbangkan
2-obat PPP bila
sumber berisiko
Umumnya
Tidak perlu PPP.
pertimbangkan
(e) 2-obat PPP
bila terjadi di
daerah dengan
risiko tinggi HIV
Tidak
perlu
PPP
Lebih berat
(y.i. jarum
besar
berlubang,
luka tusuk
dalam, tampak
darah pada
alat atau jarum
bekas dipakai
pada arteri
atau vena)
Pengobatan
dengan
3 obat PPP
Anjuran
pengobatan
dengan
3 obat PPP
Umumnya
Tidak perlu PPP
pertimbangkan
2-obat PPP bila
sumber berisiko
Umumnya
Tidak perlu PPP.
Pertimbangkan
2-obat PPP bila
terjadi di daerah
dengan risiko
tinggi HIV
Tidak
perlu
PPP
Pertimbang
kan
Pengobatan
dasar
2 obat PPP
Anjuran
pengobatan
dengan
3 obat PPP
Umumnya
Tidak perlu PPP
pertimbangkan
2-obat PPP bila
sumber berisiko
Umumnya
Tidak perlu PPP
Pertimbangkan
2-obat PPP bila
terjadi di daerah
dengan risiko
tinggi HIV
Tidak
perlu
PPP
Volume
banyak
(tumpahan
banyak darah)
Dianjurkan
Pengobatan
dasar
2 obat PPP
Anjuran
pengobatan
dengan
3 obat PPP
Umumnya
Tidak perlu PPP
pertimbangkan
2-obat PPP bila
sumber berisiko
Umumnya
Tidak perlu PPP
Pertimbangkan
2-obat PPP bila
terjadi di daerah
dengan risiko
tinggi HIV
Tidak
perlu
PPP
117
Catatan:
i.
HIV Asimptomatis atau diketahui viral load rendah (y.i. <1500 RNA/mL).
ii. HIV Simptomatis, AIDS, serokonversi akut atau diketahui viral load tinggi, bila dikhawatirkan
terdapatnya resistensi obat, konsultasikan kepada ahlinya. Pemberian PPP tidak boleh
ditunda dan perlu tersedia sarana untuk melakukan perawatan lanjutan secepatnya.
iii. Contoh pasien meninggal dan tidak dapat dilakukan pemeriksaan darah.
iv. Contoh jarum dari tempat sampah.
v. Pernyataan Pertimbangkan PPP menunjukkan bahwa PPP merupakan pilihan tidak mutlak
dan harus diputuskan secara individual tergantung dari orang yang terpajan dan keahlian
dokternya. Namun, pertimbangkanlah pengobatan dasar dengan 2-obat PPP bila ditemukan
faktor risiko pada sumber pajanan atau bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV.
vi. Bila diberikan PPP dan diterima serta sumber pajanan kemudian diketahui HIV negatif maka
PPP harus dihentikan.
vii. Pada pajanan kulit, tindak lanjut hanya diperlukan bila ada tanda-tanda kulit yang tidak utuh
(seperti, dermatitis, abrasi atau luka).
e. Pemberian PPP dengan ARV
Pemberian PPP dimulai sesegera mungkin setelah pajanan. Pengobatan kombinasi dianjurkan
karena lebih efektif dibandingkan pengobatan tunggal.
Kombinasi dan dosis yang direkomendasi adalah:
2 Obat : AZT + 3TC --> Duviral
3 Obat : AZT + 3TC + EFV ( Efavirens ) atau AZT + 3TC + LPV/r
Anjuran pengobatan selama 4 minggu dengan dosis:
99 ZDV 300 mg 2x per hari (setiap 12 jam)
99 3TC (Lamivudin) 150 mg 2x per hari (setiap 12 jam)
99 EFV ( Efavirens ) 600 mg setiap 24 jam
99 LPV/r: 400 mg/100 mg 2 x per hari (setiap 12 jam)
Penting sekali tersedia jumlah ARV yang cukup untuk pemberian satu bulan penuh sejak awal
pemberian PPP. Pengobatan dianjurkan diberikan dalam jangka minimal 2 minggu dan paling
lama sampai 4 minggu.
NVP tidak dianjurkan untuk PPP.
EFV tidak diberikan pada wanita hamil trimester 1 atau bila diberikan ke WUS selama pemberian
ARV harus dipastikan tidak akan hamil (KB)
118
BAB VIII
Formulir Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan (KTIPK)
Adalah formulir yang digunakan untuk mencatat proses KT HIV oleh Petugas
kesehatan di layanan kesehatan.
119
b. TB
120
c. TB-HIV
121
122
menggunakan formulir penilaian faktor risiko HIV. Pasien TB yang memiliki faktor risiko
ditawarkan KT HIV oleh petugas. Jika pasien tidak menolak, petugas memberikan informasi
mengenai HIV atau melakukan pra-test HIV kemudian mengisiformulir KTS/KTIPK dan TB.01
di bagian layanan KT HIV sukarela pada kolom tanggal dianjurkan dan tanggal pra-tes
konseling.
99 Sebelum merujuk ke laboratorium untuk pemeriksaan HIV, petugas mengisi formulir rujukan
ke laboratorium.
99 Setelah mendapatkan hasil tes HIV pasien TB, petugas mengisi hasil tes HIV di formulir KTIPK/
KTS dan TB.01 di kolom tempat tes, tanggal tes, hasil tes serta tanggal pasca tes konseling.
99 Jika hasil tes HIV positif, petugas mulai mengisi di iktisar perawatan HIV dan ART kemudian
diisikan ke register pra-ART. Petugas melakukan tatalaksana TB dan HIV sesuai dengan
pedoman.
99 Pasien dengan hasil tes HIV negatif dipantau terus faktor risiko HIV. Dengan mengingat
terdapatnya window period, pertimbangkan untuk konseling dan tes HIV ulang. Petugas
melakukan tatalaksana TB sesuai dengan pedoman.
b. Model Layanan Paralel
Pada model ini,layanan TB dan layanan HIV berdiri sendiri-sendiri di Fasyankes yang sama
atau berbeda. Masing-masing layanan melaksanakan kolaborasi melalui sistem rujukan yang
disepakati.
1) Pasien TB di Unit DOTS
99 Semua pasien TB di Unit DOTS dinilai apakah menunjukkan faktor risiko HIV (tinggal di daerah
dengan epidemi HIV meluas, mempunyai perilaku berisiko, mempunyai gejala klinis terkait
HIV) dengan menggunakan formulir penilaian faktor risiko HIV. Pasien TB yang menunjukkan
faktor risiko ditawarkan KT HIV oleh petugas TB atau dirujuk ke layanan KT HIV mengunakan
formulir rujukan kolaborasi TB-HIV. Jika pasien TB dirujuk ke KT HIV maka KT HIV harus
memberikan umpan balik hasil tes HIV ke unit DOTS.
99 Setelah mendapatkan hasil tes HIV pasien TB, petugas di layanan DOTS mencatat hasilnya di
Formulir TB.01 dan Register TB.03 UPK.
99 Pasien dengan hasil tes HIV positif dirujuk ke layanan PDP di RS rujukan ARV.
99 Pasien dengan hasil tes HIV negatif dipantau terus faktor risiko HIV. Dengan mengingat
terdapatnya window period, pertimbangkan untuk KT HIV ulang.
99 Pengobatan pasien TB tetap dilanjutkan oleh tim DOTS dan petugas TB di unit DOTS mencatat
di kartu pengobatan pasien TB (TB.01) dan register TB.03 UPK.
2) Klien di Layanan KT HIV
99 Semua klien di layanan KT HIV dinilai apakah menunjukkan gejala dan tanda TB dengan
menggunakan formulir skrining gejala dan tanda TB. Mereka yang menunjukkan gejala dan
123
tanda TB dirujuk dengan menggunakan formulir rujukan kolaborasi TB-HIV untuk dilakukan
penegakan diagnosis TB (pemeriksaan dahak, dll). Hasil pemeriksaan oleh unit DOTS harus
diberitahukan ke layanan KT HIV.
99 Bila didiagnosis TB, pengobatan TB dilakukan di Unit DOTS dan dicatat oleh petugas TB di
formulir TB.01 serta di register TB.03 UPK.
99 Petugas di layanan KTS tetap memantau keadaan pasien TB dengan risiko HIV. Dengan
terdapatnya window period, pertimbangkan KT HIV ulang.
99 Jika dilakukan KT HIV ulang dan hasilnya positif HIV maka pengobatan TB dilakukan di unit
DOTS dan penatalaksanaan selanjutnya dilakukan di layanan PDP.
3) ODHA di Layanan PDP
99 Semua ODHA di layanan PDP dinilai apakah menunjukkan gejala dan tanda TB dengan
menggunakan formulir skrining gejala dan tanda TB. Hasilnya dicatat di kolom status TB
pada Iktisar Perawatan HIV dan ART (follow-up). Orang dengan HIV AIDS yang menunjukkan
gejala dan tanda TB dirujuk dengan menggunakan formulir rujukan kolaborasi TB-HIV untuk
dilakukan penegakan diagnosis TB (pemeriksaan mikroskopis dahak, dll). Hasil pemeriksaan
oleh unit DOTS harus diberitahukan ke layanan PDP.
99 Bila didiagnosis TB, pengobatan TB dilakukan di Unit DOTS dan dicatat oleh petugas TB di
formulir TB.01 serta di register TB.03 UPK. Petugas di layanan PDP mencatat pengobatan
TB pasien di Iktisar Perawatan HIV dan ART. Petugas di layanan PDP dapat ikut memantau
dan berkoordinasi dengan unit DOTS mengenai pengobatan TB pasien, juga melakukan
tatalaksana selanjutnya untuk ODHA. Hasil follow-up selama pasien di dalam perawatan HIV/
ART dicatat di Iktisar Perawatan HIV dan ART (follow-up).
99 Bila bukan TB, petugas tetap melakukan skrining gejala dan tanda TB secara berkala pada
setiap kunjungan.
Fasyankes TB dan HIV membuat laporan triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV. Fasyankes
TB akan membuat laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV penurunan beban
HIV pada TB. Fasyankes HIV akan membuat laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi
TB-HIV penurunan beban TB pada ODHA. Fasyankes TB dan HIV akan mengumpulkan Laporan
tersebut paling lambat tanggal 5 setiap awal triwulan berikutnya.
124
125
Definisi operasional masing-masing variabel dan petunjuk pengisian dijelaskan dalam tabel 30, tabel
31 dan Tabel 32.
a. Data pasien TB yang terdaftar
Tabel 30. Definisi Operasional pasien TB yang terdaftar
No
126
Variabel
Definisi
Operasional
Sumber Data
Cara Mendapatkan
Data
Jumlah
pasien TB
yang tercatat
Jumlah seluruh
pasien TB yang
ditemukan dan
tercatat pada
triwulan yang
dilaporkan
1. TB.01
2. TB.03 UPK
Menghitung seluruh
pasien yang tercatat
di register TB.03
UPK (informasinya
bersumber dari
rekapitulasi kartu
pasien TB.01) tanpa
melihat apakah
pasien TB tersebut
adalah ODHA atau
bukan ODHA
1.1
Jumlah
pasien
TB yang
tercatat dan
HIV positif
sebelum
pengobatan
TB
Jumlah seluruh
pasien TB yang
ditemukan dan
tercatat pada
triwulan yang
dilaporkan, di
mana pasien
TB tersebut
sudah HIV
positif terlebih
dahulu sebelum
dilakukan
pengobatan TB
1. TB.01
2. TB.03 UPK
Menghitung
seluruh pasien
TB pada kolom
riwayat tes HIV
(kolom 36) dengan
hasil tes reaktif
(informasinya
bersumber dari
rekapitulasi kartu
pasien TB.01)
b. Data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang belum periksa HIV
Variabel no. 2 sampai dengan no.6 untuk menghasilkan angka-angka kegiatan tes HIV pada pasien
TB yang bukan ODHA, di mana kumpulan pasien TB ini merupakan bagian dari pengurangan
variabel no.1 dan no 1.1 seperti pada tabel di bawah ini
Tabel 31. Definisi operasional data konseling dan tes HIV
pada pasien TB yang belum periksa HIV
No
Variabel
Definisi
Operasional
Sumber Data
1.
Jumlah pasien
TB yang tercatat
dalam triwulan
tersebut dan
ditawarkan/
dianjurkan
tes HIV (KTIPK/
KTS) selama
pengobatan TB
Jumlah seluruh
pasien TB yang
tercatat pada
triwulan yang
dilaporkan yang
ditawarkan untuk
tes HIV baik melalui
KTIPK maupun
KTS dalam masa
pengobatan TB.
1. TB.01
2. TB.03 UPK
Menghitung seluruh
pasien TB yang
tercatat pada triwulan
yang dilaporkan dan
ditawarkan untuk tes HIV,
dapat dihitung dari Kartu
Pasien TB.01 atau buku
register TB.03 UPK.
Pada buku register
TB.03 UPK, data tersebut
didapat dengan
menghitung tulisan
tanggal di kolom pasien
dianjurkan test HIV
(kolom 37).
2.
Jumlah pasien
TB yang tercatat
dalam triwulan
tersebut dan
dilakukan
konseling HIV
selama masa
pengobatan TB
Jumlah seluruh
pasien TB yang
tercatat pada
triwulan yang
dilaporkan yang
mendapatkan
konseling pre tes
HIV (KTS) atau
mendapatkan
pemberian
informasi awal HIV
(KTIPK) selama
dalam masa
pengobatan TB.
1. TB.01
2. TB.03 UPK
3. Form VCT
4. Form KTIPK
127
No
Variabel
Definisi
Operasional
Sumber Data
3.
Jumlah pasien
TB yang tercatat
dalam triwulan
tersebut dan
dilakukan
tes HIV
selama masa
pengobatan TB
Jumlah seluruh
pasien TB yang
tercatat pada
triwulan yang
dilaporkan yang
dilakukan tes
HIV selama masa
pengobatan TB.
1. TB.01
2. TB.03 UPK
3. Form VCT
4. Form KTIPK
4.
Jumlah pasien
TB yang tercatat
dalam triwulan
tersebut yang
hasil tes HIV
tercatat selama
pengobatan TB
Jumlah seluruh
pasien TB yang
tercatat pada
triwulan yang
dilaporkan yang
melakukan tes HIV
selama pengobatan
TB dan hasil tesnya
diketahui dan
dicatat di Kartu
Pengobatan Pasien
TB
1. TB.01
2. TB.03 UPK
3. Form KTIPK
4. Form
Jawaban
rujukan dari
klinik DOTS
atau Klinik
KTS/PDP)
5.
Jumlah pasien
TB yang tercatat
dalam triwulan
tersebut
dengan
hasil tes HIV
positif selama
pengobatan TB
Jumlah seluruh
pasien TB yang
tercatat pada
triwulan yang
dilaporkan yang
melakukan tes HIV
selama pengobatan
TB dan hasil tesnya
adalah reaktif
1. TB 01
2. TB 03 UPK
3. Form KTIPK
4. Form
jawaban
rujukan dari
klinik DOTS
atau Klinik
KTS/PDP)
128
No
7.
Variabel
Definisi
Operasional
Jumlah Pasien
Ko-infeksi TBHIV
Jumlah pasien
ko-infeksi TB-HIV
yang tercatat
pada triwulan
yang dilaporkan,
yang mendapat
pengobatan TB,
baik ODHA yang
didiag-nosis TB
atau Pasien TB
yang hasil tes HIVnya reaktif.
Sumber Data
1. TB.01
2.TB.03 UPK
Angka variabel
ini merupakan
penjumlahan
variabel no 1.1
dan no 6
8.
Jumlah Pasien
Ko-infeksi
TB- HIV yang
mendapatkan
ART
Jumlah pasien
ko-infeksi TB-HIV
yang tercatat
pada triwulan
yang dilaporkan,
yang mendapat
pengobatan TB
dan ART
1. TB.01
2.TB.03 UPK
9.
Jumlah pasien
ko-infeksi
TB- HIV yang
mendapatkan
PPK
Jumlah pasien
ko-infeksi TB-HIV
yang tercatat
pada triwulan
yang dilaporkan,
yang mendapat
pengobatan TB
dan PPK
1.TB.01
2.TB.03 UPK
129
Provinsi
Fasyankes :
Kabupaten/Kota
Triwulan :
Tanggal pelaporan
No
Variabel
10
Data
Triwulan
Tahun
Data Setahun*
130
Mengetahui
Pembuat Laporan
Tabel 33. Definisi Operasional Pelaporan kolaborasi TB-HIV dari Unit HIV
No
Variabel
Definisi Operasional
Sumber
Data
1.
Jumlah
ODHA yang
berkunjung
ke PDP
Jumlah ODHA
yang mengunjungi
layanan PDP pada
satu triwulan
Buku
bantu
ko-infeksi
TB-HIV
2.
Jumlah ODHA
yang dikaji
status TB nya
Jumlah ODHA
yang pada saat
kunjungan terakhir
di triwulan tersebut
dikaji status TB nya.
Hasil dari Kajian
Status TB:
Tulis angka 1
Tidak ada tanda
gejala apabila
hasilnya tidak
memiliki tanda dan
gejala TB
Tulis angka
2 Suspek
apabila hasilnya
menunjukan ada
tanda dan gejala
TB (kemungkinan
terinfeksi TB)
Tulis angka 3
Dalam terapi
apabila ODHA
yang datang
sedang menjalani
terapi TB
1. Buku
bantu
ko-infeksi
TB-HIV
2. Ikhtisar
perawatan
131
No
3.
4.
Variabel
Jumlah ODHA
dengan
suspek TB
Jumlah
ODHA yang
diperiksa
dahak
mikroskopis
Definisi Operasional
Sumber
Data
1. Buku
bantu
ko-infeksi
TB-HIV
1. Buku
bantu
ko-infeksi
TB-HIV
2. Ikhtisar
perawatan
2. Ikhtisar
perawatan
5.
Jumlah
ODHA yang
didiagnosis
TB Paru BTA
positif
1. Buku
bantu
ko-infeksi
TB-HIV
2. Ikhtisar
perawatan
132
No
6.
7.
8.
Variabel
Definisi Operasional
Sumber
Data
Jumlah
ODHA yang
didiagnosis
TB Paru BTA
negatif
1. Buku
bantu
ko-infeksi
TB-HIV
Jumlah
ODHA yang
didiagnosis
TB Ekstraparu
1. Buku
bantu
ko-infeksi
TB-HIV
Jumlah ODHA
yang mendapatkan
pengobatan TB ada
satu triwulan yang
sama
1. Buku
bantu
ko-infeksi
TB-HIV
Jumlah
ODHA yang
mendapat
pengobatan
TB
2. Ikhtisar
perawatan
2. Ikhtisar
perawatan
2. Ikhtisar
perawatan
133
No
9.
10.
134
Variabel
Definisi Operasional
Sumber
Data
Jumlah
ODHA yang
mendapat
pengobatan
TB dan ART
Jumlah ODHA
yang mendapatkan
pengobatan TB
dan ART pada satu
triwulan yang sama
1. Buku
bantu
ko-infeksi
TB-HIV
Jumlah
ODHA yang
mendapat
pengobatan
TB dan PPK
Jumlah ODHA
yang mendapatkan
pengobatan TB
dan PPK pada satu
triwulan yang sama
1. Buku
bantu
ko-infeksi
TB-HIV
2. Ikhtisar
perawatan
2. Ikhtisar
perawatan
135