Anda di halaman 1dari 10

A.

Proses
Masuk
dan
Berkembangnya
Agama
dan
Kebudayaan Islam di Indonesia
1. Sekilas tentang Agama Islam
Agama Islam lahir di Mekkah,
Arab Saudi. Agama Islam diyakini
sebagai agama yang diwahyukan oleh
Allah SWT kepada umat manusia
melalui
utusan-Nya,
yaitu
Nabi
Muhammad
SAW.
Pada
bulan
Ramadhan tahun 610 M, Muhammad
yang tepat berusia 40 tahun didatangi
oleh
Malaikat Jibril di Gua Hira.
Terjadilah dialog yang panjang antara
Muhammad dan Malaikat Jibril. Melalui
dialog
ini,
Muhammad
diangkat
menjadi rasul Allah dan mulailah
proses turunnya Al-Quran sebagai
kitab suci agama Islam.
Sekitar tahun 613 M, Nabi
Muhammad mulai menyebarkan agama
Islam
secara
terbuka.
Tantangan
terbesar datang dari suku Quraisy dan
penduduk Mekkah. Nabi Muhammad
dan
pengikutnya
kemudian
memutuskan pindah
ke
Madinah.
Peristiwa ini dikenal dengan nama
Hijrah, yang kemudian digunakan
sebagai awal penanggalan Islam. Pada
tahun 630 M, Nabi Muhammad berhasil
membebaskan
Kota
Mekkah
dari
kekuasaan kaum kafir. Pascaperang,
kaum Quraisy dan penduduk Mekkah
mulai memeluk agama Islam, dan
Kabah menjadi kiblat ibadah umat
Islam.
2. Teori-Teori
Masuknya
Agama
Islam ke Indonesia
Ada tiga teori mengenai proses
masuknya
agama
Islam
ke
Indonesia, yaitu sebagai berikut.
a. Teori Gujarat : menurut teori ini,
Islam masuk ke Indonesia sekitar
abad ke-13, dibawa oleh para
pedagang Islam dari Gujarat,
India. Ada dua bukti yang
mendukung teori ini.
Pertama, batu nisan Sultan Malik
Al-Saleh, sultan Samudra Pasai,
yang bercorak Gujarat (India).
Kedua, tulisan Marco Polo yang
menyatakan pernah singgah di
Perlak (Peureula) pada tahun
1292 dan mendapati banyak
penduduk beragama Islam serta

peran pedagang India dalam


penyebaran agama tersebut.
b. Teori Mekkah :
menurut
teori
ini, pengaruh Islam masuk ke
Indonesia sekitar abad ke-7,
dibawa
langsung
oleh
para
pedagang Arab. Buktinya adalah
adanya permukiman Islam tahun
674 di Baros, pantai sebelah
barat Sumatra.
c. Teori Persia :
menurut
teori
ini, Islam masuk ke Indonesia
dibawa oleh orang-orang Persia
sekitar abad ke-13. Bukti untuk
mendukung teori ini adalah
adanya upacara Tabot, yaitu
upacara
memperingati
meninggalnya Imam Husain bin
Ali (cucu Nabi Muhammad SAW),
di Bengkulu dan Sumatra Barat
(Tabuik)
setiap tanggal
10 Muharram atau 1 Syura.
Upacara ini juga merupakan
ritual tahunan di Persia. Selain
itu, ada kesamaan antara ajaran
sufi yang dianut Syekh Siti Jenar
dan sufi Iran beraliran Al-Hallaj.
Pada umumnya, orang menerima
bahwa Islam sudah masuk ke
Indonesia
sejak
abad
ke-7,
namun baru berkembang pesat
pada abad ke-13 sejalan dengan
kemunduran
kerajaan-kerajaan
bercorak
Hindu-Buddha
di
Indonesia, serta makin ramainya
pedagang-pedagang
Arab,
Persia, dan Gujarat di Indonesia.
B. Saluran-Saluran
Penyebaran
Islam di Indonesia
Proses
masuk
dan
berkembangnya
agama
dan
kebudayaan Islam ke Indonesia pada
umumnya berjalan dengan damai dan
mendapat sambutan yang baik dari
masyarakat, baik dari kalangan raja
bangsawan, maupun rakyat biasa. Hal
ini
didukung
oleh
faktor-faktor
berikut.
1. Perdagangan
Perdagangan merupakan metode
penyebaran Islam yang pertama dan
paling utama. Menurut Tome Pires,
sekitar abad ke-7 sampai abad ke-16
lalu lintas perdagangan yang melalui
Indonesia sangat ramai. Dalam proses
ini,
pedagang
Nusantara
dan

pedagang asing (Islam) dari Gujarat


dan Timur Tengah (Arab dan Persia)
bertemu
dan
saling
bertukar
pengaruh. Sebagian dari para pedagan
asing ini tinggal di wilayah dekat
pantai, yang disebut Pekojan. Lamakelamaan jumlah mereka semakin
banyak,
demikian
juga
dengan
pengaruh Islam di daerah tempat
tinggal mereka.
Para
pedagang
ini
menjalin
kontak dengan para adipati wilayah
pesisir, dan perlahan-lahan masuk ke
lingkaran pusat istana. Ketika raja dan
para
bangsawan
memeluk
Islam,
rakyatnya dengan
mudah akan
mengikuti. Setelah masuk Islam, baik
rakyat biasa, pedagang Nusantara,
maupun anggota keluarga istana ikut
menyebarkan
Islam
ke
kota-kota
pelabuhan dan pesisir lain.
2. Perkawinan
Pedagang-pedagang itu dan juga
keluarganya
menikah
dengan
perempuan pribumi, putra-putri para
bangsawan,
dan
bahkan
dengan
anggota keluarga kerajaan. Hal ini
berdampak
positif
terhadap
perkembangan
Islam
karena
pedagang
atau
ulama
itu
mensyaratkan perempuan idamannya
untuk mengucapkan kalimat Syahadat
terlebih dahulu.
Anak-anak hasil
perkawinan itu pun akan mengikuti
agama Islam yang dianut kedua orang
tuanya.
Perkawinan
anak-anak
kaum
bangsawan
ataupun
anak
raja
mempunyai dampak yang lebih besar.
Mereka lebih mudah memengaruhi
istana untuk mendukung penyebaran
Islam.
Lama-kelamaan
seluruh
anggota
keluarga
istana
akan
memeluk Islam. Selanjutnya, kerajaan
yang awalnya bercorak Hindu-Buddha
perlahan-lahan
menjadi
bercorak
Islam.
3. Pendidikan
Perkembangan
Islam
yang
semakin
meluas
mendorong
munculnya para ulama dan mubaligh.
Para
ulama
dan
mubaligh
ini
menyebarkan Islam melalui pendidikan
dengan mendirikan pondok- pondok
pesantren di berbagai daerah. Saluran
pendidikan
sangat
efektif
untuk

mempercepat
dan
memperluas
penyebaran Islam hingga ke daerahdaerah yang terpencil. Pesantrenpesantren
pada
masa
awal
penyebaran Islam di antaranya adalah
sebagai berikut.
a. Pesantren
Ampel
Denta
(Surabaya) yang didirikan oleh
Sunan Ampel.
b. Pesantren Sunan Giri (Surabaya).
4. Tasawuf
Tasawuf
adalah
ajaran
ketuhanan yang telah bercampur
dengan mistik atau hal-hal yang
bersifat
magis.
Kata
tasawuf
sebenarnya berasal dari kata sufi
yang berarti kain wol yang terbuat
dari bulu domba. Istilah ini muncul
karena para ahli tasawuf biasanya
memakai jubah yang terbuat dari wol.
Ajaran tasawuf diperkirakan masuk ke
Indonesia sekitar abad ke-13, tetapi
baru berkembang pesat sekitar abad
ke-17. Melalui tasawuf, bentuk Islam
yang diperkenalkan
menunjukkan
kesamaan dengan alam pikiran orangorang Jawa-Hindu, Siwa, dan Buddha.
Tokoh- tokoh tasawuf yang terkenal
adalah Hamzah Fansuri, Nurrudin arRaniri, dan Syekh Siti Jenar.
5. Dakwah
Penyebaran
Islam
tidak
dapat
dilepaskan dari peranan para wali. Ada
sembilan wali yang menyebarkan
Islam
dengan
cara
berdakwah.
Sembilan wali ini dikenal dengan nam
Walisongo,
terdiri atas sebagai
berikut.
Maulana Malik Ibrahim (Sunan
Gresik)
Sunan Gunung Jati
Sunan Ampel
Sunan Giri
Sunan Bonang
Sunan Kudus
Sunan Kalijaga
Sunan Muria
Sunan Drajad
6. Kesenian
Agama Islam juga disebarkan
melalui
kesenian,
seperti
yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga
melalui
kesenian
wayang,
Sunan
Bonang dengan kesenian gamelan,
serta melalui gending (lagu-

lagu) yang berisi syair-syair nasihat


dan
dasar-dasar
ajaran
Islam.
Kesenian yang telah berkembang
Sebelumnya tidak musnah, tetapi
diperkaya dengan seni Islam melalui
akulturasi. Seni sastra juga
berkembang pesat dengan banyaknya
buku tentang tasawuf, hikayat, dan
babad yang disadur ke
dalam bahasa Melayu.
C.
Kehidupan Politik dan SosialBudaya
Indonesia
pada
Masa
Perkembangan Islam
1.
Bidang Politik
Konsep dewa raja yang bercorak
Hindu-Buddha (di mana raja dianggap
sebagai titisan dewa)
diganti
dengan
konsep
khalifah.
Sebutan
raja
diganti
dengan
sultan. Selain itu, saat meninggal
sang sultan tidak di-dharma-kan di
dalam candi, melainkan dimakamkan
secara Islam.
2.

3.

Bidang Sosial-Budaya
Dalam
bidang
sosial-budaya,
pengaruh
Islam
tampak
dalam
beberapa hal. Pertama, tidak dikenal
lagi sistem kasta atau pelapisan sosial
seperti yang berlaku dalam agama
Hindu. Kedua, dari segi bahasa,
banyak kosakata Arab yang dipakai
dan/atau diserap ke dalam bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia. Selain
itu, juga terjadi modifikasi atas hurufhuruf Pallawa ke dalam bahasa Arab,
yang kemudian dikenal sebagai huruf
Jawi. Ketiga, pengaruh yang sangat
nyata adalah dalam bidang
pendidikan,
terutama
pesantren.
Melalui
pesantren,
agama
dan
kebudayaan Islam dikembangkan dan
beradaptasi dengan budaya lokal yang
berkembang di sekitarnya. Keempat,
dalam hal busana, ada
jenis pakaian pakaian tertentu yang
menunjukkan identitas Islam seperti
sarung, baju koko, kopiah,
dan jilbab.
Seni Bangunan
Bangunan makam, masjid, dan
keraton
menunjukkan
adanya
akulturasi dengan bangunan pada
masa Hindu-Buddha, yaitu sebagai
berikut.

Atapnya atap tumpang atau


bertingkat yang jumlahnya selalu
ganjil.

Posisi masjid agak tinggi dari


permukaan tanah dan berundak.

Ada serambi yang terdapat di


depan atau samping masjid sebagai
tempat mencuci kaki.

Adanya pewestren, yaitu ruang


khusus bagi perempuan yang terletak
di sebelah kanan masjid
untuk
mengikuti
salat
berjamaah.

Memiliki denah berbentuk bujur


sangkar.

Makam-makam kuno diletakkan


di atas bukit.

Bangunan keraton digunakan


oleh keluarga sultan sebagai tempat
tinggalnya, biasanya
didirikan di dekat alun-alun ibu
kota dan menghadap ke utara.
4.
Seni Sastra
Dalam seni sastra, pengaruh
Arab dan Persia sangat kuat, namun
tetap disesuaikan dengan
tradisi
setempat.
Pengaruh
Arab
biasanya berbentuk syair yang terdiri
atas empat baris dalam tiap
baitnya. Sedangkan pengaruh Persia
berbentuk
hikayat,
yaitu
kisah
perseorangan yang diangkat
dari tokoh-tokoh terkenal yang hidup
pada masa itu. Jenis sastra lainnya
adalah babad, yakni suatu
karya
sastra
yang
hidup
dalam
masyarakat tradisional dan lingkungan
kebudayaan Jawa. Ada juga
suluk, yaitu kitab-kitab yang berisi
ajaran tasawuf.

5.

Seni Rupa
Para seniman pada masa itu
adakalanya membuat ukiran binatang
atau makhluk hidup lainnya yang
bentuknya
disamarkan,
dengan
sebuah teknik yang disebut stilisasi
(deformasi). Teknik stilisasi digunakan
karena ajaran Islam melarang melukis
makhluk bernyawa.
6.
Seni Kaligrafi
Seni
kaligrafi
adalah
seni
menulis indah yang memadukan seni
lukis dan seni ukir, yang

distilisasi dan menggunakan tulisan


dalam bahasa Arab. Isi penulisan
dalam kaligrafi umumnya
bersumber dari ayat-ayat suci AlQuran dan hadist. Kaligrafi juga
berfungsi sebagai hiasan. Pada
umumnya menampilkan pola daun,
bunga, bukit karang, pemandangan,
dan garis-garis geometris.
7.

Seni Tari dan Musik


Pengaruh Islam tampak dalam
tiga bentuk kesenian, yaitu Debus, tari
Seudati, dan Zapin. Pada pertunjukan
Debus diawali oleh nyanyian dan
pembacaan ayat-ayat tertentu dalam
Al-Quran,
serta
salam
(salawat)
kepada Nabi Muhammad. Tari Seudati
adalah nama tarian yang berasal dari
Aceh. Seudati berasal dari kata
Syahadat,
yang
artinya
bersaksi/saksi/pengakuan
terhadap
tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi
Muhammad
adalah
utusan
Allah.
Dalam tari Seudati, para penari
menyanyikan lagu yang isinya salawat
kepada Nabi Muhammad. Sementara
Zapin merupakan
khazanah tarian
rumpun
Melayu
yang
mendapat
pengaruh Arab, Persia, dan India sejak
abad ke-13. Tarian tradisional ini
bersifat edukatif sekaligus menghibur,
digunakan juga sebagai media dakwah
islam melalui syair lagu-lagu Zapin
yang didendangkan.
8.

Sistem Kalender
Pada masa Islama digunakan
sistem kalender Hijriah. Kalender
Hijriah
diawali
dengan
bulan
Muharram dan diakhiri bulan Zulhijah.
Perhitungan satu tahun adalah dua
belas kali siklus bulan.
D.
Kerajaan-Kerajaan
Tradisional
Bercorak Islam di Indonesia
1.
Kesultanan
Samudra
Pasai
(1267-1521)
Samudra
Pasai
(Samudra
Darussalam) adalah kerajaan pertama
di Indonesia yang menganut agama
Islam. Letaknya di pantai utara
Sumatra
(Aceh),
dekat
Perlak
(Malaysia). Kesultanan ini
didirikan
oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan
Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267.
Awalnya kesultanan ini berada di

bawah kekuasaan Dinasti Meurah


Khair. Meurah Khair adalah pendiri dan
sultan pertama Samudra Pasai yang
bergelar Maharaja Mahmud Syah.
Penggantinya
adalah
Maharaja
Mansyur Syah. Menurut Hikayat RajaRaja Pasai dan Hikayat Raja-Raja
Melayu, penguasa Pasai berikutnya
adalah keturunan Dinasti Meurah Silu,
dengan sultan pertama Malik al-Saleh.
Malik al-Saleh digantikan oleh
Muhammad Malik az-Zahir. Az-Zahir
digantikan oleh anaknya
Mahmud
Malik az-Zahir, yang pada masa
pemerintahannya
Pasai
mencapai
masa kejayaan. Pasai menjadi pusat
perdagangan internasional yang ramai
dikunjungi
para
pedagang
dari
berbagai benua seperti Asia (Cina,
India, dan Malaka), Afrika, dan Eropa.
Kehidupan sosial masyarakat Pasai
telah diatur menurut aturan dan
hukum Islam. Pasai juga memiliki
peran besar dalam penyebaran agama
Islam di Nusantara. Pasai banyak
mengirimkan ulama dan mubaligh
untuk menyebarkan Islam di Jawa.
Pada masa pemerintahan Ahmad
Malik az-Zahir, sekitar tahun 1345 dan
1350 datang serangan dari Majapahit.
Hikayat Raja-Raja Pasai mengisahkan
setelah perang tiga hari tiga malam
Pasai kalah dan rakyat Pasai terceraiberai. Kesultanan ini bangkit kembali
pada masa kekuasaan Zain al-Abidin
Malik az-Zahir tahun 1383. Pada awal
abad
ke-16,
terjadi
beberapa
pemeberontakan internal di Pasai
yang mengakibatkan perang saudara.
Pasai
akhirnya
runtuh
setelah
ditaklukkan bangsa Portugis pada
tahun 1521. Pasai kemudian menjadi
daerah kekuasaan Kesultanan Aceh
sejak tahun 1524.
2.
Kesultanan Malaka
Kesultanan Malaka berdiri di
akhir abad ke-14, pusatnya di daerah
Malaka, suatu wilayah yang sekarang
menjadi bagian dari Malaysia. Wilayah
kekuasaan dan pengaruh Kesultanan
Malaka
tidak
hanya
meliputi
Semenanjung Malaya, tetapi sampai
juga ke Riau (Indonesia). Kesultanan
Malaka
didirikan oleh Parameswara
sekitar
tahun
1390-1403.
Parameswara adalah pangeran dari

Sriwijaya, yaitu putra Raja Sam Agi,


yang berhasil meloloskan diri ketika
Sriwijaya diserang Majapahit tahun
1377.
Parameswara
yang
semula
menganut agama Hindu, kemudian
memeluk
Islam
dan
mengganti
namanya
menjadi
Iskandar
Syah.
Dialah
peletak
dasar
Kesultanan
Malaka.
Iskandar Syah digantikan oleh
putranya Megat Iskandar Syah. Ia
berhasil
memajukan
kegiatan
perdagangan dan menguasai perairan
Selat Malaka yang semula dikuasai
oleh Pasai. Sultan berikutnya adalah
Ibrahim, yang tidak lama memerintah.
Ibrahim digantikan oleh Mudzaffar
Syah. Pada
masa pemerintahan
Mudzaffar Syah, Malaka mencapai
kemajuan.
Malaka
berhasil
memperluas daerah kekuasaan hingga
ke Pahang, Indragiri, dan Kampar.
Kejayaan Malaka berlanjut pada masa
kekuasaan Mansyur Syah. Pada masa
pemerintahan Mansyur Syah, Malaka
berhasil menaklukkan
Pahang dan
Kedah. Panglima kesultanan sekaligus
pahlawan legendaris Melayu, Hang
Tuah, hidup pada masa pemerintahan
Mansyur Syah. Di bawah kekuasaan
Mansyur Syah, Malaka sepenuhnya
menguasai
Selat
Malaka,
baik
Semenanjung Malaya maupun pantai
timur Sumatra.
Pengganti Mansyur Syah adalah
Alauddin Syah. Pengganti Alauddin
adalah Mahmud Syah. Pada masa
Mahmud Syah, Malaka mengalami
kemunduran dalam bidang ekonomi
maupun
politis.
Banyak
negara
taklukan
melepaskan
diri
karena
lemahnya
pemerintahan.
Akhirnya,
bangsa Portugis berhasil menanamkan
kekuasaannya dan menguasai Malaka
pada tahun 1511.
3.
Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh terletak di Aceh
Rayeuk
(sekarang
Aceh
Besar),
didirikan oleh Ali Mughayat Syah pada
tahun 1496. Aceh berkembang pesat
ketika
Pasai
berada
di
ambang
keruntuhan
karena
serangan
Majapahit dan jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis. Kejatuhan Pasai dan
Malaka membuat
kapal-kapal yang
melewati Selat Malaka akan singgah di

Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan


Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak
kejayaan. Wilayah kekuasaan Aceh
meluas
dari
Deli
sampai
ke
Semenanjung Malaya, Aceh dengan
cepat tumbuh menjadi pelabuhan
perdagangan yang besar,
Aceh
memiliki tata pemerintahan yang rapi,
memiliki
kekuatan
militer
yang
disegani,
dan
telah
menjalin
hubungan dengan negara-negara lain.
Pada
masa
pemerintahan
Iskandar
Muda,
disusun
sebuah
undang-undang
tentang
tata
pemerintahan yang diberi nama Adat
Makuta Alam. Iskandar Muda juga
sangat memerhatikan kestabilan dan
ketahanan kerajaannya sehingga ia
membentuk
militer
yang
kuat.
Meskipun Aceh adalah kerajaan Islam,
namun
kehidupan
masyarakatnya
bersifat
feodal.
Dalam
tatanan
masyarakat Aceh terdapat golongan
bangsawan yang bergelar Teuku, dan
golongan
ulama
yang
bergelar
Teungku. Kedua golongan ini sering
bersaing untuk berebut pengaruh
dalam masyarakat.
Dalam
bidang
kesusastraan
dan
agama,
Aceh
melahirkan beberapa ulama ternama.
Mereka
adalah
Hamzah
Fansuri,
Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin
ar-Raniri, dan Syekh Abdul Rauf
Singkili.
Iskandar Muda digantikan oleh
Iskandar Tsani. Sepeninggal Iskandar
Tsani, Aceh mengalami kemunduran.
Faktor
utamanya
adalah
makin
kuatnya kekuasaan Belanda di Pulau
Sumatra dan Selat Malaka. Selain itu,
tidak ada sultan yang semampu dan
sekuat
Iskandar
Muda.
Akhirnya,
Belanda berhasil menguasai Aceh pada
tahun 1904.
4.
Kesultanan Demak
Kesultanan Demak (1500-1568),
berlokasi di Demak (Jawa Tengah),
adalah kesultanan Islam pertama dan
terbesar di pantai utara Jawa. Sebelum
menjadi
kesultanan,
Demak
merupakan Kadipaten dari Kerajaan
Majapahit,
dengan
Raden
Patah
sebagai adipatinya sejak tahun 1478.
Pendiri kesultanan ini adalah Raden
Patah, putra Kertabhumi (Brawijaya V)
dari perkawinannya dengan putri

Champa.
Usaha
Raden
Patah
mengembangkan
Demak
dibantu
putranya, Pati Unus, yang saat itu
menjadi adipati Jepara. Ketika Malaka
dikuasai bangsa Portugis, Raden Patah
mengutus Pati Unus untuk menyerang
Malaka.
Selain
sebagai
wujud
solidaritas
terhadap
sesama
kesultanan Islam, serangan itu juga
dilakukan untuk membendung invasi
bangsa Portugis terhadap Jawa.
Pati Unus kemudian menjadi
sultan dan memerintah sejak tahun
1518-1521. Karena ia tidak berputra,
maka digantikan oleh saudaranya
yang
bernama
Raden
Trenggana
(memerintah 1521 1546). Pada masa
sultan Trenggana, Demak berkembang
pesat. Wilayah kekuasaannya meluas
sampai ke Jawa Barat dan Jawa Timur.
Dalam
perkembangan
selanjutnya,
Demak
merasa
terancam
dengan
adanya persekutuan
Pajajaran dan
Portugis. Sebelum bangsa Portugis
membangun benteng, Demak dibawah
pimpinan Fatahillah terlebih dahulu
menyerang
Sunda
Kelapa
pada
tahun1526. Pada tahun 1527, datang
ekspedisi Portugis ke Sunda Kelapa.
Demak berhasil memukul mundur
pasukan Portugis tepatnya tanggal 22
Juni 1527. Atas kemenangan ini,
Fatahillah mengganti nama
Sunda
Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti
kemenangan yang gemilang.
Sepeninggal Sultan Trenggana,
terjadi konflik perebutan takhta di
antara anggota keluarga kesultanan.
Penggantinya bernama Pangeran Sedo
Lepen yang kemudian dibunuh oleh
anak
Sultan Trenggana, Pangeran
Prawoto.
Konflik
dan
perebutan
kekuasaan terus berlanjut, bahkan
berkembang menjadi perang saudara.
Akhirnya, Jaka Tingkir (Hadiwijaya)
menjadi sultan Demak pada tahun
1568, dan memindahkan ibu kota dari
Demak ke Pajang. Dengan ini, dapat
dikatakan masa Kesultanan Demak
berakhir.
Masjid Agung Demak merupakan
salah satu peninggalan Kesultanan
Demak.
5.
Kesultanan Mataram
Tahun 1586 dianggap sebagai
tahun berdirinya Kesultanan Mataram.

Pusat Kesultanan Mataram adalah


disebelah tenggara Kota Yogyakarta,
yakni
di
Kotagede.
Kesultanan
Mataram didirikan oleh Senopati.
Penggantinya adalah Mas Jolang, yang
kemudia
digantikan
oleh
Mas
Rangsang alias Sultan Agung (1613).
Pada
masa
pemerintahan
Sultan
Agung,
Mataram
mencapai
masa
kejayaan. Dengan prajurit-prajuritnya
yang
tangguh,
Mataram
menjadi
negara yang kuat dan disegani. Pada
tahun 1615, Sultan Agung memulai
ekspansinya dengan menyerang para
bupati pesisir yang belum takluk
kepada Mataram seperti Lasem, Tuban
dan Madura.
Pasukan
Sultan
Agung
lalu
menguasai
Surabaya,
Madiun,
Ponorogo,
Blora
dan
Bojonegoro.
Penaklukan baru berakhir pada tahun
1625 setelah hampir seluruh Pulau
Jawa berada di bawah kekuasaan
Mataram (kecuali Banten, Cirebon,
Blambangan, dan Batavia). Sultan
Agung membagi sistem pemerintahan
Mataram menjadi sebagai berikut.
Kutanegara,
daerah
pusat
keraton. Pelaksanaan pemerintahan
dipegang oleh patih lebet (patih
dalam) yang dibantu oleh wedana
dalam.
Negara Agung, daerah di sekitar
Kutanegara.
Pelaksanaan
pemerintahan dipegang patih jawi
(patih luar) yang dibantu wedana luar.
Mancanegara,
daerah
diluar
Negara
Agung.
Pelaksanaan
pemerintahan dipegang oleh para
bupati.
Pesisir,
daerah
pesisir.
Pemerintahan dipegang oleh bupati
atau syahbandar.
Sultan
Agung
juga
dikenal
sebagai ahli politik, sastra, filsafat
serta agama. Ia menyusun sebuah
karya sastra berjudul Sastra Gending,
dan
kitab
undang-undang
yang
merupakan perpaduan adat istiadat
Jawa dan hukum Islam berjudul Surya
Alam. Sultan Agung juga menciptakan
kalender Jawa yang menggunakan
perhitungan tahun yang sama dengan
tahun
Hijriah.
Pada
masa
kekuasaannya, tumbuh kebudayaan

kejawen,
yaitu
akulturasi
antara
kebudayaan Jawa asli, Hindu, Buddha,
dan Islam. Kegiatan perekonomian
yang
diterapkan
Sultan
Agung
bercorak agraris dan maritim. Di
bawah
kekuasaannya,
Mataram
menjadi negara pengekspor beras.
Pengganti
Sultan
Agung
adalah
Amangkurat
I.
Amangkurat
I
memerintah dengan sangat kejam dan
lalim, sehingga Mataram mengalami
kemunduran.
Ia
juga
menjalin
hubungan yang dekat dengan Belanda,
bahkan
mengizinkan
Belanda
membangun benteng di Mataram. Hal
ini membuat negara- negara taklukan
Mataram
menjadi
memberontak.
Sultan selanjutnya adalah Amangkurat
II, yang sangat patuh pada VOC. Pada
masa
pemerintahannya,
Belanda
menguasai hampir sebagian besar
wilayah
Mataram.
Pengganti
Amungkurat II secara berturut-turut
adalah Amungkurat III, Pakubuwana I,
Amungkurat IV, dan Pakubuwana II.
Kekacauan
politik
baru
dapat
diselesaikan pada masa Pakubuwana
III setelah membagi wilayah Mataram
menjadi
dua,
yaitu
Kesultanan
Ngayogyakarta
dan
Kasuhunan
Surakarta. Pembagian ini tertuang
dalam Perjanjian Giyanti. Pada tahun
1757 dengan intervensi Belanda dan
berdasarkan
Perjanjian
Salatiga,
Kesultanan Mataram dipecah lagi
menjadi
tiga, yaitu Kesultanan
Yogyakarta, Kasuhunan Surakarta, dan
Mangkunegaran.
6.
Kesultanan Banten
kesultanan Banten terletak di
wilayah barat Pulau Jawa sampai ke
Lampung di Sumatra. Karena letaknya
yang strategis, Banten menjadi pusat
pelayaran dan perdagangan yang
melalui
SamudraHindia.
Banten
bahkan sudah berinteraksi dengan
dunia luar sejak awal abad pertama
Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7
Banten sudah menjadi pelabuhan
internasional.
Kesultanan
Banten
berdiri sekitar tahun 1526 ketika
Demak memperluas pengaruhnya ke
kawasan pesisir barat Pulau Jawa
dengan
menaklukan
beberapa
kawasan
pelabuhan
dan
menjadikannya pangkalan militer serta

kawasan
perdagangan.
Pasukan
Demak
dipimpin
oleh
Fatahillah,
menantu
Syarif
Hidayatullah
(SultanGunung
Jati).Fatahillah
mendirikan benteng pertahanan yang
dinamakan Surosowan, yang kelak
menjadi pusat pemerintahan setelah
Banten
menjadi
kesultanan
yang
mandiri.
Atas penunjukan Sultan Demak,
pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin
diangkat menjadi
adipati Banten.
Pada tahun 1552, Banten menjadi
kerajaan bawahan dari Demak, dengan
Maulana
Hasanuddin
sebagai
pemimpinnya.
Seiring
kemunduran
Demak,
terutama
setelah
meninggalnya
Sultan
Trenggana,
Banten melepaskan diri dan menjadi
kesultanan
yang
mandiri.
Kota
Surosowan didirikan sebagai ibu kota
atas petunjuk Syarif Hidayatullah, dan
Maulana Hasanuddin menjadi sultan
pertama Banten. Walaupun demikian,
Fatahillah tetap dianggap sebagai
peletak dasar Kesultanan Banten.
Pengganti Maulana Hasanuddin
adalah Maulana Yusuf yang naik
takhta
pada
tahun
1570.
Ia
melanjutkan
ekspansi
Banten
ke
pedalaman
Sunda
dengan
menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun
1579. Ia digantikan oleh Maulana
Muhammad.
Pada
masa
akhir
pemerintahan Maulana Muhammad
kapal dagang berbendera Belanda
yang
dipimpin
oleh
Cornelis
de
Houtman untuk pertama kali tiba di
Banten.
Maulana
Muhammad
digantikan oleh Pangeran Ratu. Sultan
ini
dikenal
karena
melakukan
hubungan diplomasi dengan negaranegara lain termasuk dengan Raja
Inggris. Pengganti Pangeran Ratu
adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Pada
masa
pemerintahannya,
Banten
mencapai masa kejayaan.
Sebagai
kesultanan
maritim,
perdagangan
Banten
semakin
berkembang. Monopoli atas lada di
Lampung
menempatkan
Banten
sebagai pedagang perantara dan salah
satu pusat niaga yang penting. Banten
memiliki armada laut yang kuat, yang
dibangun mengikuti contoh armada
laut
di
Eropa.
Banten
juga

memperkenalkan pembukaan sawah di


daerah pedalaman seperti di Lebak.
Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng
Karesian mengisahkan adanya istilah
pahuma
(peladang),
panggerek
(pemburu), dan penyadap (penyadap).
Ketiga istilah ini mengacu pada sistem
ladang, begitu juga dengan nama
peralatannya seperti kujang, patik,
baliung, kored, dan sadap. Pada masa
Sultan Ageng dilakukan pekerjaan
pengairan besar untuk menunjang
pertanian.
Pengganti
Sultan
Ageng
Tirtayasa adalah Sultan Haji. Sultan
Haji cenderung berhubungan baik
dengan Belanda, sehingga Belanda
dengan
leluasa
menanamkan
pengaruhnya
dalam
pemerintahan.
Dukungan Belanda harus dibayar
mahal
karena
Banten
harus
menyerahkan
wilayah
Lampung
kepada Belanda dan Sultan Haji
diwajibkan
membayar
ganti
rugi
perang. Pasca wafatnya Sultan Haji,
Belanda semakin berkuasa di Banten,
karena pengangkatan sultan Banten
harus mendapat persetujuan dari
gubernur jenderal di Batavia. Perang
saudara pun tidak dapat dihindari, dan
meletus secara sporadis,
sehingga
membuat Banten semakin mengalami
kemunduran.
Kesultanan
Banten
secara resmi masuk menjadi wilayah
Hindia Belanda pada tahun 1808.
Kesultanan
Banten
akhirnya
dihapuskan oleh pemerintah kolonial
Inggris pada tahun 1813, yakni dengan
penurunan paksa Sultan Muhammad
bin
Muhammad
Muhyiddin
Zainussalihin oleh Thomas Stamford
Raffles.
7.
Kesultanan Gowa-Tallo
Gowa dan Tallo membentuk
persekutuan
pada
tahun
1528,
sehingga melahirkan Kerajaan GowaTallo atau Kerajaan Makassar. Raja
Gowa, Daeng Manrabia menjadi raja
bergelar Sultan Alauddin,
dan Raja
Tallo,
Karaeng
Mantoaya
menjadi
perdana
menteri
bergelar
Sultan
Abdullah.
Pusat
pemerintahannya
terdapat
di
Makassar.
Karena
posisinya yang strategis di antara
wilayah barat (Malaka) dan timur
Nusantara (Maluku), Makassar menjadi

bandar
utama
untuk
memasuki
Indonesia Timur yang kaya rempahrempah. Kerajaan ini memiliki pelautpelaut tangguh, yang memperkuat
barisan pertahanan laut Makassar.
Pada awal abad ke-16, datanglah
Dato Ri Bandang, ulama Islam dari
Sumatra Barat. Ia
menyebarkan
ajaran
Islam
di
Makassar.
Raja
Makassar, Daeng Manrabia memeluk
agama Islam, dan
namanya diubah
menjadi Sultan Alauddin. Kerajaan
Makassar mencapai masa kejayaan
pada
masa
pemerintahan
Sultan
Muhammad
Said
dan
Sultan
Hasanuddin.
Kedua
sultan
ini
membawa Makassar sebagai daerah
dagang
yang
maju.
Wilayah
kekuasaannya
meluas
sampai
ke
Flores dan
Pulau Solor di Nusa
Tenggara Timur. Secara khusus di
bawah Hasanuddin, kerajaan-kerajaan
kecil di sekitar Makassar seperti
Kerajaan Wajo, Bone, Luwu, dan
Sopeng berhasih dikuasai. Pada masa
pemerintahan Hasanuddin, Kesultanan
Gowa-Tallo
terlibat
perang
besar
dengan VOC, yang terkenal dengan
nama Perang Makassar (1666-1669).
Perang ini termasuk perang terbesar
yang pernah dialami oleh VOC pada
abad ke-17.
Perang
Makassar
dilatarbelakangi cita-cita Hasanuddin
menjadikan Makassar sebagai pusat
kegiatan perdagangan di Indonesia
bagian timur. Hal ini mengancam
aktivitas ekonomi Belanda diawali
dengan pelucutan dan perampasan
terhadap armada Belanda di Maluku
oleh pasukan
Hasanuddin, Belanda
kemudian
menyerang
Makassar
setelah
sebelumnya
mendapat
kepastian bantuan dari Sultan Bone,
Aru Palaka. Belanda sempat terdesak,
namun akhirnya berhasil memaksa
Hasanuddin menyepakati Perjanjian
Bongaya (1667), yang isinya adalah
sebagai berikut.
VOC
(Serikat
Dagang
Belanda)
memperoleh
monopoli
perdagangan di Makassar.
Belanda
mendirikan
benteng di Makassar (kelak bernama
Benteng Rotterdam).

8.

Makassar
melepaskan
daerah jajahannya seperti Bone dan
pulau-pulau di sekitar Makassar.
Makassar mengakui Aru
Palaka sebagai Raja Bone. Keberanian
Hasanuddin
dalam
perjuangan
melawan Belanda membuatnya dikenal
sebagai Ayam
Jantan dari Timur.
Sepeninggal Hasanuddin, Makassar
dipimpin
oleh
putranya
bernama
Mapasomba. Sikapnya yang keras dan
tidak mau bekerja sama menjadi
alasan Belanda mengerahkan pasukan
secara besar-besaran. Belanda pun
berkuasa sepenuhnya atas Kesultanan
Makassar.
Makassar mengalami kemajuan
ekonomi yang amat pesat, terutama di
bidang perdagangan.
Kemajuan tersebut disebabkan oleh
faktor-faktor berikut.
Banyak pedagang hijrah ke
Makassar setelah Malaka dikuasai
Portugis pada tahun 1511.
Orang-orang Makassar dan
Bugis terkenal sebagai pelaut ulung
yang dapat mengamankan
wilayah lautnya.
Tersedia banyak rempahrempah (dari Maluku).
Makassar berkembang sebagai
pelabuhan
internasional.
Banyak
pedagang asing seperti
Portugis,
Inggris,
dan
Denmark
datang
berdagang di Makassar. Dengan tipe
perahunya seperti pinisi dan lambo,
pedagang-pedagang
Makassar
memegang
peran
penting
dalam
perdagangan di Nusantara.
Kesultanan Ternate dan Tidore
Secara
geografis,
kedua
kesultanan ini terletak di Kepulauan
Maluku, antara Sulawesi dan Papua.
Posisinya sebagai penghasil rempahrempah terbesar (terutama cengkih
dan pala), sehingga dijuluki The Spice
Islands (Kepulauan Rempah-Rempah).
Rempah-rempah menjadi komoditas
utama dalam perdagangan dunia saat
itu, sehingga minat bangsa-bangsa
lain entah dari Nusantara sendiri
ataupun dari Eropa seperti Portugis,
Belanda, Spanyol, dan Inggris untuk
datang
ke
Maluku.
Kesultanan
Ternate didirikan oleh Baab Mashur

Malamo pada 1257, Malamo kemudian


menjadi raja pertama Ternate. Di masa
jayanya,
wilayah
kekuasaannya
membentang
mencakup
Maluku,
Sulawesi Utara, Sulawesi Timur dan
Tengah , bagian selatan Kepulauan
Filipina, hingga Kepulauan Marshall di
Pasifik.
Kesultanan Tidore berpusat di
Tidore, Maluku Utara. Berdiri pada
tahun1322,
pada
masa
jayanya
menguasai sebagian besar Halmahera
Selatan, Pulau Buru, Ambon, dan
pulau-pulau di pesisir Papua Barat.
Raja pertama yang menggunakan
gelar sultan adalah Jamaluddin. Pada
tahun 1334 Tidore dipimpin oleh
Sultan
Hasan
Syah.
Kesultanan
Ternate resmi memeluk Islam pada
pertengahan abad ke-15 ketika masa
pemerintahan Raja Marhum. Islam
berkembang
pesat
pada
masa
pemerintahan Sultan Zainal Abidin,
putra Sultan Marhum. Para santri dari
Maluku banyak yang belajar agama
Islam pada Sunan Giri di Pulau Jawa.
Pada masa Sultan Zainal Abidin, Islam
menjadi agama resmi, syariat Islam
diberlakukan, dan lembaga kerajaan
sesuai dengan hukum Islam. Secara
berurutan
sultan-sultan
yang
memerintah Ternate adalah Sirullah
(Bayanullah), Khairun, dan Baabullah.
Untuk
kepentingan
perdagangan,
Kesultanan
Ternate
membentuk Uli Lima atau Persekutuan
Lima Saudara yang terdiri atas Bacan,
Obi, Seram, Ambon, dan Ternate.
Kesultanan Tidore membentuk Uli Siwa
yang terdiri atas Makyan, Jailolo atau
Halmahera, Kepulauan Raja Ampat,
Kai, dan Papua. Pada awalnya, Ternate
dan Tidore hidup berdampingan secara
damai. Konflik mulai muncul ketika
para pedagang Eropa datang. Pada
tahun 1512, Portugis dan Spanyol
masuk ke Ternate. Portugis memilih
bekerja
sama
dengan
Ternate,
sebaliknya Spanyol bekerja sama
dengan
Tidore.
Lama-kelamaan
hubungan
Portugis
denganTernate
mulai memburuk, terutama karena
Portugis melakukan hal-hal berikut.
Portugis
melakukan
monopoli perdagangan.

Portugis
mencampuri
urusan internal Kesultanan Ternate.
Sultan
Baabullah
(Ternate)
kemudian melakukan perlawanan pada
tahun 1570 dan berhasil mengusir
bangsa Portugis dari Ternate pada
tahun 1575. Di bawah pemerintahan
Sultan Baabullah, Kesultanan Ternate
mengalami kemajuan yang pesat. Ia
memperluas wilayahnya hingga ke
Sulawesi,
Bima,
dan
Mindanau
(Filipina). Wilayahnya yang semakin
luas dan ditunjang dengan kegiatan
perdagangan dan pelayaran yang maju
membuat Sultan Baabullah mendapat
julukan
Yang
Dipertuan
di
Tujuhpuluhdua Pulau.
Kekalahan
Portugis
malah
menjadi pintu masuk bagi Belanda
untuk
menguasai
perdagangan
rempah-rempah. Pada tahun 1580,
Spanyol yang telah bersatu dengan
Portugis mencoba menguasai kembali
Maluku
dengan
cara
menyerang
Ternate. Kekalahan demi kekalahan
memaksa Ternate meminta bantuan
Belanda pada tahun 1603. Dengan
bantuan Belanda, Ternate akhirnya
berhasil
menahan
Spanyol.
Akan
tetapi,
akibatnya
Belanda
secara

perlahan-lahan menguasai Ternate. Di


bawah pimpinan Sultan Saifuddin,
Kesultanan
Tidore
menolak
penguasaan VOC terhadap wilayahnya
dan tetap menjadi daerah merdeka
hingga akhir abad ke-18.
Kesultanan Tidore mencapai masa
kejayaan pada masa Sultan Nuku.
Sama halnya dengan Sultan Baabullah
di
Ternate,
Sultan
Nuku
antiimperialis.
Karena
sikapnya
ini,
pengaruh
budaya
Portugis
dan
Belanda (VOC) lebih berpusat di luar
Kesultanan
Ternate
dan
Tidore.
Ternate juga memiliki peran yang
besar dalam upaya penyebaran agama
Islam dan pengenalan syariat-syariat
Islam di wilayah timur Nusantara dan
bagian
selatan
Filipina.
Bentuk
organisasi kesultanan serta penerapan
syariat
Islam yang diperkenalkan
pertama kali oleh Sultan Zainal Abidin
menjadi standar yang diikuti semua
kesultanan di Maluku.

Anda mungkin juga menyukai