sifat Introvert. Dia harus berada dilingkungan pendidikan dengan system pendidikan yang begitu ketat. Manakala
Amek datang terlambat, maka dia harus bersiap dengan segala hukuman yang akan ia terima dengan temantemannya yang terlambat pula. Amek memiliki seorang kaka yang baik, raji, pandai pula. Minun adalah nama kaka
Amek yang sering mengikuti kejuaran Matematika, bahkan ia memenangkan beberapa kejuaran tingkat kabupaten.
Ada hal unik yang dilakukan Amek, Minun kaka amek, dan teman-temannya. yakni keibasaan mereka
menggantungkan setiap mimpi mereka diatas sebuah pohon besar. Mimpi yang mereka bungkus dengan botol, lalu
digantungkan pada bagian batang pohon tersebut. Suatu ketika mereka kembali untuk sekedar melihat atau bahkan
membuktikan mimpi yang pernah mereka tulis tersebut.
Point pendidikan yang dapat saya simpulkan dari film ini adalah tentang system pendidikan, dan mimpi anak-anak
tentang cita-cita dan keberhasilan mereka. System pendidikan yang diterapkan pada gambaran film ini merupakan
system yang kaku. Mendidik dengan menghukum. Menghukum dengan hukuman yang sama sekali tidak akan
berdampak pada pola pendidikan yang akan anak-anak dapatkan. System pendidikan yang yang dewasa ini akan
mendapatkan sanksi tegas dari dinas pendidikan jika diterapkan pada lembaga pendidikan manapun.
Point kedua yang saya tangkap dari film ini adalah mengenai kekuatan mimpi dan cita-cita anak-anak. Amek, yang
sejatinya ingin menjadi seorang pembawa acara berita, ia senantiasa mengejar cita-citanya. Bahkan tak jarang temantemannya mendapati amek seolah sedang membawakan acara sebuah berita. Sayang film ini tak menceritakan
menjadi apa Amek ketika dewasanya.
Terlepas dari itu, saya rasa film ini sangat baik dan mendidik untuk ditonton oleh seluruh pelajar di Indonesia. Akan
ada banyak hal yang kita dapatkan setelah menonton film ini.
kehidupan yang lebih baik, sedangkan anak laki-laki dan kakeknya yang bekas pejuang memilih tetap
bertahan di tengah hujan batu di negeri sendiri), kita pelan-pelan diajak melihat berbagai ketertinggalan
dan keterasingan masyarakat di sana terhadap negaranya sendiri. Jauh dari penggambaran Koes Plus
dalam lagu Kolam Susu, yang penggalan liriknya (Orang bilang tanah kita tanah surga) dijadikan
judul (Totot Indrarto, 28 Agustus 2012 filmindonesia.or.id)
Hal itu sekaligus kritik pedas mengenai absennya negara atau ketidakpedulian pemerintah
Republik Indonesia. Perhatikan bagaimana tokoh guru dan dokter yang merupakan simbol dari perhatian
pusat terhadap daerah hadir di sana karena sebuah kecelakaan, yakni terpaksa dan mau coba-coba saja.
Film ini cukup memberikan sedikit banyolan yang terkesan membuat film ini menjadi lebih aneh,
dengan memberikan tokoh kepala desa dan pejabat dari pusat yang kelakuan tidak seperti apa yang
seharusnya diharapkan masyarakat.
Lebih lanjut lagi, film ini mengajak penonton untuk meningkatkan rasa nasionalisme mereka dan
seakan menyindir pemerintah yang seakan lupa terhadap masyarakatnya di daerah-daerah pedalaman dan
perbatasan.
Penonton akan merasakan betapa derajat nasionalisme yang mereka miliki setelah menyaksikan
betapa terlantarnya warga Indonesia di perbatasan, cukup dengan cerita pengalaman heroik Sang Kakek
mengusir tentara Gurkha ditambah sejumlah sentimen kebencian terhadap (warga) Malaysia. Misalnya,
penggambaran istri baru Si Ayah yang gemuk, jelek, dan pemalas. Juga pedagang yang menggelar barang
jualannya di atas bendera merah-putih, atau supir angkutan di garis perbatasan (di scene awal memakai
kaos I Love Malaysia) yang dikesankan sebagai tentara Gurkha (Totot Indrarto, 28 Agustus 2012
filmindonesia.or.id).
Tanpa mau repot-repot, sutradara film ini memberikan sebuah petuah agar masyarakat tidak
meninggalkan rasa cinta tanah airnya di akhir film. Namun, rasa cinta tersebut juga memiliki alasan
betapapun tidak rasionalnya alasan tersebut.
Dan film ini gagal memberikan satu saja alasan untuk memelihara nasionalisme di tengah
Kalau ada anak-anak seumur SD di Papua yang mendongak ke langit menanti sesuatu, jangan pikir mereka adalah
sekelompok bocah udik yang belum pernah melihat pesawat. Yang mereka tunggu bukan pesawatnya, melainkan
seorang guru yang akan turun dari pesawat itu untuk mengajari mereka.
Mazmur (Simson Sikoway), Thomas (Abetnego Yigibalom), Yokim (Razz Manoby), Agnes (Maria Resubun), dan
Suryani (Friska Waromi) merupakan anak-anak di Lanny Jaya, Papua, yang hari-harinya selalu menanti sosok guru.
Karena pahlawan tanpa tanda jasa itu tak kunjung datang, mereka pun menghabiskan waktu dengan main bola,
menyanyi, sampai mencari kerja.
Sayang, keceriaan mereka harus terusik oleh konflik antarsuku yang terjadi. Karena uang palsu yang didapat dari
warga kampung sebelah, Blasius, ayah Mazmur, memukul seseorang sampai berdarah. Di tengah jalan, mendadak
Blasius dihadang dua orang dengan busur di tangan mereka. Di depan mata Mazmur, mereka memanah Blasius
sampai ia meninggal. Konflik memanas. Alex, salah satu adik Blasius, ingin membalas dendam dengan mengobarkan
bendera perang.
Sebenarnya, Michael (Michael Jakarimilena/ Mike Idol) sudah mencoba melarang Alex atas nama cinta kasih. Ia juga
salah satu adik Blasius, namun sejak kecil tinggal bersama mama Jawa di Jakarta untuk sekolah. Mendengar berita
duka soal kakaknya, Michael kembali ke tanah Papua bersama istrinya, Vina (Laura Basuki). Baginya, tidak setiap
perang harus dilawan dengan perang.
Di belakang Michael, Pendeta Samuel (Lukman Sardi), Bu Dokter (Ririn Ekawati), dan Ucok (Ringgo Agus Rahman)
turut mendukung perdamaian itu. Prinsip yang sangat bertolak belakang dengan Alex.
Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, kata Alex tegas.
Menyelamatkan harga diri, bagi Alex, lebih penting dari nyawa sendiri. Yang juga dibalas ketegasan dari seorang
dokter, Jangan pernah suruh saya mengobati orang-orang yang terluka karena perang, ujar Bu Dokter sebagai
bentuk protesnya terhadap perang.
Genderang yang terlanjur ditabuh, tak dapat terelakkan. Korban perang suku berjatuhan. Setelah Blasius, papa Agnes
bernama Joseph juga meninggal. Puncaknya, Alex yang juga papa Thomas, turut menjadi korban.
Tak tahan dengan kemelut permasalahan antar orang dewasa yang membelit mereka, anak-anak pun akhirnya
bersuara. Meneriakkan keinginan polos mereka di antara dua suku yang tengah berperang, yakni kedamaian.
Dan nyanyian tulus mereka itulah yang mampu meluluhkan senjata orang-orang dewasa yang selama ini teracung
tinggi-tinggi untuk saling melawan. Perubahan yang dibawa Mazmur dan kawan-kawan melalui nyanyian serta
prinsip kedamaian mereka, membuat orang-orang akhirnya mau bergandengan tangan.
Sekelumit potret kehidupan di Papua itu direkam oleh Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen dalam film Di Timur
Matahari. Sebenarnya, Papua hanya satu contoh kecil tentang kejamnya perilaku orang dewasa yang kadang
berkonflik tanpa memedulikan anak-anak. Melalui film ini, kita seakan ditohok oleh kepolosan anak-anak yang
masih murni tanpa tendensi.
ayah Agnes, tapi mereka tetap berkawan dan berusah mendamaikan kedua
kampung ini...
Sanggupkah suara anak-anak ini mendamaikan konflik yang semakin memanas?
Dan akankah guru yang dinanti datang?
Untuk INDONESIA tercinta...We love Papua
Film ini mengisahkan sebuah perjalanan hidup seorang anak kecil dalam menggapai
cita-cita dan impiannya. Usia anak itu adalah usia anak Sekolah Dasar. Kira-kira
sembilan sampai dua belas tahunan. Ia hidup dalam lingkungan masyarakat suku
Boneo. Tepatnya di daerah Papua, Irian Jaya. Nama anak itu adalah Denias. Ia
tergolong seorang anak dari keluarga miskin. Meskipun demikian, ia memiliki citacita dan impian yang tinggi, yaitu bersekolah. Di daerahnya tida ada lembaga
sekolah secara resmi dan layak dijadikan sarana belajar dan pembelajaran. Selama
itu, ia dan anak-anak kampung yang lain bersekolah di sebuah Honei. Yaitu sebuah
bangunan rumah yang saat itu dijadikan tempat belajar darurat yang kondisinya
sangat memprihatinkan. Denias merupakan seorang anak yang pandai, cekatan,
berbakti kepada orang tua, serta berobsesi tinggi. Di sekolah dan di lingkungan
bermain, ia memiliki seorang teman yang selalu mencuranginya dan berbuat tidak
baik kepadanya. Dia adalah Noel. Suatu ketika, saat di sekolah,mereka sempat
berkelahi. Hal itu disebabkan oleh Noel yang bersikap curang dan culas saat
bermain. Sebagai anak orang yang miskin, Denias berani melawan siapapun demi
kebenaran, tak perduli dengan siapa ia berhadapan. Hal itu ia tunjukan kepada Noel
yang notabenenya adalah anak seorang Kepala Suku yang bermartabat tinggi dan
diyakini memiliki kekuatan supranatural di kampungnya. Pada mulannya Denias dan
teman-temannya di Honei tersebut diajar oleh seorang guru yang berasal dari Jawa.
Ia terlihat cerdas dibanding dengan teman-temannya yang lain. Ia rajin dalam
bersekolah. Bersekolahnya Denias itu tidak cukup lama. Karena Istru guru tersebut
sakit keras di Jawa, ia akhirnya pulang ke Jawa. Honei itupun sekarang sepi. Sesepi
hati Denias. Tidak ada yang bersekolah lagi. Denias bingung. Harus kemana lagi ia
akan bersekolah. Ia kemudian menemui seorang tentara RI yang bernama Pak Leo.
Itu panggilan yang dilakukan oleh Denias kepada tentara itu. Sebenarnya namanya
bukan Pak Leo. Yang benar adalah Maleo. Yaitu suatu nama untuk satu korps
pasukan khusus TNI yang di tugaskan di kepulauan Irian Jaya. Pasukan itu terdiri
dari cukup banyak orang. Namun yang di tugaskan di daerah Denias hanya satu
orang itu saja. Denis kemudian mencurahkan isi hatinya yang merasa kalut sebab
tidak dapat bersekolah lagi. Mendengar keluhan tersebut, Pak Leo pun hatinya
tersentuh. Ia kemudian memutuskan diri untuk mengajar Denias dan temantemannya di Honei itu. Denias memang anak yang berbakti kepada kedua orang
tuanya. Hal itu dilakukannya sehari-hari. Suatu ketika ibunya terjatuh sebab kondisi
kesehatannya yang kurang membaik. Melihat hal itu, Denias langsung sigap
menghampirinya dan menolongnya. Ia berteriak histeris. Kebaktiannya terlihat
sangat mendalam saat ia berkenan merawat ibunya. Dengan tulus dan ikhlas ia
merawatnya. Beberapa saat kemudian ibunya pun tertidur. Saat itu Denias tiba-tiba
dipanggil oleh beberapa orang temannya. Yang namannya pasti pernah melakukan
kesalahan dan keteledoran. Apalagi seorang anak kecil seusia Denias. Denias
dipanggil dan rencanannya diajak berburu ke hutan. Ia dipaksa ikut oleh temantemannya. Ia bingung. Ia berada dalam sebuah dilema antara merawat ibunya
dengan paksaan teman-temannya. Melihat ibunya yang sedang tidur pulas, rasa
solidaritasnya muncul. Ia kemudian bersedia berburu ke hutan bersama temantemannya. Namun sungguh naas, ia lupa bahwa sebelum berangkat berburu, ia
menggantungkan bajunya di atas perapian dekat ibunya yang sedang tidur pulas.
Baju tersebut kemudian terjatuh ke perapian. Api yang tadinya kecil kini menjadi
besar oleh baju itu. ibunya tidak menyadari hal itu sebab sedang tidur. Kobaran api
itu semakin membesar dan membakar rumah begitu juga ibunya. Denias melihat
dari kejauhan ada rumah yang terbakar. Ia memastikan bahwa arah rumah tersebut
adalah rumahnya. Ia lalu berlari dari hutan untuk pulang. Sesampainya di rumah, ia
dikejutkan oleh kondisi fisik ibunya. Ibunya meninggal sebab terbakar api. Tubuhnya
hangus. Derai air mata tak sanggup tertahan. Ia mengalami sok berat selama
beberapa hari. Ia hanya bisa bermurung durja, meski ayahnya kerap menasehati
dan memotivasinya. Pak Leo pun juga menasehatinya dan memberi semangat
hidup yang baru kepada Denias. Akhirnya ia pun dapat menikmati hari-harinya
dengan ceria lagi. Dan bersekolah lagi. Denias kembali belajar bersama-sama
dengan temannya. Ia bersemangat. Tapi semangatnya itu tidak didukung oleh orang
tuanya. Ia kerap dilarang untuk bersekolah. Ia disuruh membantu bapaknya di
rumah. Dalam kondisi semacam itu, semangatnya tidak kunjung padam. Ia
bersekolah dengan sembunyi-sembunyi dari bapaknya. Tidak lama kemudian, honei
itu roboh dan hancur oleh gempa bumi. Denias dan teman-temannya tidak punya
tempat sekolah lagi. Pak Leo lalu berinisiatif untuk membangun tempat sekolah
yang sangat sederhana. Yang penting dapat dijadikan tempat belajar dan
pembelajaran. Pembangunan tempat itu ternyata mendapat hujatan dari beberapa
warga dan kepala suku. Tempat itu dilarang berdiri di sana. Tidak lama dari kejadian
itu, Pak Leo pun dipindahtugaskan dari kampung enias. Kini Denias kembali
dirundung duka sebab tidak dapat belajar dan bersekolah lagi. Dalam kondisi
semacam itu, Denias terobsesi oleh kata-kata Pak Leo bahwa di balik gunung ada
tempat sekolah. Tepatnya di kota. Denias hatinya merasa terpanggil. Ia kemudian
memutuskan diri untuk meningalkan kampung halamannya dan juga orang tuanya.
Ia pergi dengan sembunyi-sembunyi. Ia melewati gunung dan lembah untuk sampai
ke kota. Ia berlari kencang untuk segera sampai di kota. Sungguh jauh tempat yang
ditempuh Denias, namun tidak menyurutkan api semangatnya untuk bersekolah.
Sesampainya di kota, mendapat seorang teman yang bernama Enos. Ia adalah
gelandangan. Untuk sementara waktu, Denias tinggal bersama Enos di pingguran
jalan. Ia kemudian pergi kesekolah yang dimaksud. Di sana ia bertemu dengan Bu
Sam. Seorang wanita cantik dan berbudi luhur. Bu Sam meanyakan tujuan Denias
datang ke sekolah itu. setelah panjang lebar dijelaskan, Bu Sam pun tahu maksid
dan tujuan Denias ke tempat itu. yaitu tidak lain untuk bersekolah. Bu Sam dalam
dilema. Berdasarkan aturan sekolah yang ada, Denias tidak dapat masuk di sekolah
tersebut. Hal itu disebabkan Denias tidak punya cukup uang untuk biaya sekolah.
Lebih dari itu, Denias tidak memiliki buku raport. Bu Sam berusaha keras untuk bisa
memasukkan Denias ke sekolah tersebut. Ia mensosialisasikannya kepada semua
guru dan pengurus sekolah. Dan untuk sementara waktu, Denias tinggal di rumah
Bu Sam. Namun tidak lama. Ia kemudian tinggal di asrama sekolah. Bu Sam berjanji
kepada Denias bahwa ia akan dapat masuk di sekolah itu. Selama berada di
lingkungan sekolah, denias bertemu dengan seorang anak gadis yang berama
Angel. Ia baik hati. Ia berteman akrab dengan Denias. Hal itu menyebabkan hati
Noel sakit. Dan saat itulah Denias tahu bahwa Noel juga sekolah di tempat itu.
Denias mendapat syarat dari Bu Sam, bahwa jika ia ingin diterima bersekolah di
tempat itu, ia tidak boleh nakal dan membuat ulah. Meski ia mendapat perlakuan
kurang baik dari teman-temannya, ia harus dapat menahan emosinya. Ia harus
mengalah jika ingin diterima. Saat inilah perjuangan keras Denias diuji. Di sekolah
dan di asramah itu, ia masih tetap sama seperti di kampungnya. Ia masih mendapat
perlakukan yang tidak baik dan culas dari Noel. Kini ia harus sabar dan tidak
menanggapi segala perlakuan Noel. Ia bahkan sempat dihajar habis-habisan oleh
Noel dan teman-temannya tanpa ada alasan yang jelas. Demi bisa diterima sekolah
di tempat itu, ia rela dipukuli dan tidak membalasnya. Bukanya dia tidak berani
dengan Noel dan teman-temannya. Demi impian dan cita-citanya, ia harus besabar.
Saat di asrama, Noel juga bersikap sama. Ia bahkan lebih kejam. Ia membuat
peraturan sendiri untuk tidak memperkenankan teman-temannya memberi tempat
tidur pada Denias. Tempat tidur yang semestinya diperuntukkan Denias ia ambil
alih. Sedangkan tempat tidurnya dibiarkan kosong. Denias dalam setiap malamnya
selalu tidur di lantai tanpa alas suatu apapun. Dengan kondisi seperti itu, denias
akhirnya jatuh sakit. Tapi tidak lama kemudian dia sembuh. Di sekolah itu Denias
masih belum diterima sebagai murid. Ia di sana difungsikan sebagai pelayan kantin.
Melayani seluruh siswa yang sedang makan dan berjajan di sana. Suatu ketika, saat
jam istirahat dan makan, denias mengantarkan hidangan kepada siswa-siswa
tersebut. Denias dalam menjalankan tugasnya kembali mendapat perlakuan yang
kurang baik dari Noel. Denias dijatuhkan oleh Noel, denias tidak menghiraukannya,
tapi Noel malah mengajaknya berkelahi. Denias maunya dipukul oleh Noel, tapi kali
ini ia sedikit membela diri. Piring yang masih ada di genggaman tangannya, ia
jadikan alat untuk menangkis pukulan Noel. Tangan Noel pun patah dan berdarah
sebab menghantam piring. Denias merasa bersalah. Dalam hatinya, terbersit rasa
salah yang begitu besar. Ia beranggapan bahwa telah melanggar nasehat Bu Sam.
Dan ia pasti tidak akan diterima bersekolah di tempat itu. ia kemudian berlari
kencang keluar. Entah kemana ia pergi. Sungguh jauh ia berlari. Bu Sam mencarinya
kesana-kemari, namun tidak kunjung menemukannya. Denias pada saat itu
berencana untuk kembali ke kampung halamannya. Ia putus asa. Ia merasa bahwa
impian dan cita-citanya untuk bersekolah kini telah pupus oleh satu kesalahan yang
dilakukannya, yaitu dengan melukai Noel. Denias adalah anak yang berbudi baik. Ia
tidak lupa dengan orang yang menolongnya. Dalam kepedihan hati dan
keputusasaannya, ia masih menyempatkan diri berpamitan kepada Bu Sam. Ia
berpamit untuk pulang ke kampung halamannya. Saat itulah, Denias mendapat
kabar gembira dari Bu Sam, bahwa ia diterima bersekolah di tempat itu. Hati Denias
berbunga-bunga. Impian dan cita-citanya kini tercapai juga. Ia pun mengurungkan
niatnya untuk pulang ke kampung halamannya. Ia bersekolah dan mulai mengukir
masa depannya. Denias menari di atas awan.