ISBN :978-979-8940-27-9
PENDAHULUAN
Jagung merupakan tanaman pangan penting kedua setelah padi mengingat
fungsinya yang multiguna. Jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, dan bahan
baku industri. Jagung merupakan pangan penyumbang terbesar kedua terhadap produk
domestik bruto (PDRB) setelah padi (Zubachtirodin et al. 2007).
Tanaman jagung mempunyai adaptasi yang luas dan relatif mudah dibudidayakan.
Mink et al. (1987) menjelaskan sekitar 79% jagung ditanam pada lahan kering, 11%
terdapat pada lahan sawah irigasi dan 10% di lahan sawah tadah hujan. Estimasi Kasryno
(2002) melaporkan bahwa pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan tadah hujan
meningkat masing-masing 10-15% dan 20-30%.
Potensi sawah tadah hujan di Indonesia cukup besar yaitu 2,1 juta ha yang tersebar
di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa
Tenggara Barat (Balitsereal 2002). Luas sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan 256.513
ha (BPS 2008) atau 40% dari luas total sawah (648.559 ha). Sawah tadah hujan
sebenarnya dapat dijadikan lumbung padi ke-2 setelah sawah irigasi akan tetapi
produktivitas hasil yang dicapai pada lahan tersebut masih rendah sekitar 3-3,5 t/ha, dan
pada umumnya hanya ditanami padi satu kali dalam satu tahun kemudian dibiarkan bero.
Sawah tadah hujan ke depan menjadi alternatif pengembangan tanaman pangan
karena permintaan pangan meningkat akibat jumlah penduduk terus bertambah. Berkaitan
hal ini, perluasan areal tanam, peningkatan IP (indeks panen), dan penggunaan varietas
jagung unggul perlu lebih digalakkan untuk mempercepat swasembada dan
menyeimbangkan jumlah permintaan dan penawaran (Sarasutha 2002).
183
ISBN :978-979-8940-27-9
Menurut Swain et al. (2005) dijelaskan bahwa kendala umum yang dihadapi dalam
berusahatani pada lahan sawah tadah hujan di Asia adalah iklim, lahan tidak subur, dan
kurangnya varietas yang dapat beradaptasi dengan ekosistem tersebut. Hal yang sama
dihadapi petani dalam pengelolaan usahataninya yaitu (a) penguasaan teknlogi produksi
jagung masih minim, (b) keterbatasan air pengairan, (c) keterbatasan modal, (d)
pemilikan lahan yang sempit, dan (e) tidak ada jaminan pasar produk yang dihasilkan.
Sebenarnya lahan sawah tadah hujan produktivitasnya dapat ditingkatkan dengan
menanam jagung atau palawija lain setelah padi dipanen pada musim kemarau. Dengan
memanfaatkan air tanah menggunakan pompa atau sumber air lain seperti air sumur
gali/bor, air sungai, dan mata air, karena jagung memerlukan air terutama pada fase
pertumbuhan awal dan saat berbunga (Heasey dan Edmeades 1999).
Jagung dapat dikembangkan pada lingkungan fisik, sosial ekonomi yang sangat
beragam karena jagung dapat ditanam pada lahan kering, sawah, lebak dan pasang surut
dengan berbagai jenis tanah (Zubachtirodin et al. 2007). Untuk memacu pengembangan
jagung di lahan sawah tadah hujan, maka pada MT 2006 dilaksanakan sosialisasi
penanaman jagung bersari bebas varietas Lamuru. Penelitian terkait dengan
pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan dilakukan di
Kabupaten Pangkep (Pangkajene Kepulauan), Barru, dan Sidrap (Sidenreng Rappang)
dan memberikan hasil yang cukup baik bagi petani. Penerapan teknologi budidaya jagung
melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang diterapkan secara utuh
sangat prospektif dikembangkan untuk meningkatkan hasil dan pendapatan petani pada
lahan sawah tadah hujan.
Hasil-Hasil Penelitian
Pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan sangat strategis karena
umumnya lahan tersebut tidak dimanfaatkan setelah padi MT I dan tidak cukup air untuk
menanam padi MT II, sehingga terdapat peluang menanam jagung karena kebutuhan
airnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan padi yang diairi sampai tergenang. Selain
itu prospek pasar jagung di musim kemarau cukup baik karena jumlah produksi
berkurang dan biji jagung yang dihasilkan kualitasnya lebih baik sehingga harganya
menjadi lebih tinggi (Badan Litbang Pertanian 2007).
Efisiensi pemanfaatan air di lahan sawah tadah hujan dapat dilakukan dengan
menanam jagung segera setelah panen padi, apabila dipetakan sawah masih tergenang,
perlu dibuat saluran drainase unruk mengeluarkan airnya. Apabila menanam jagung
setelah padi dipanen pada lahan sawah tadah hujan dipercepat maka dapat dimanfaatkan
sisa kelembaban tanah dari tanaman padi dan mengurangi frekuensi mengairi di musim
kemarau ( Faesal dan Zubactirodin 2005).
Pada musim tanam II (MK 2006), lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pangkep,
Barru, dan Sidrap diterapkan pendekatan PTT jagung. Hasil biji pipilan kering jagung
yang diperoleh petani di Kab. Pangkep rata-rata 6,42 t/ha dengan nilai sebesar Rp.
10.914.000,- di Barru 4,50 t/ha dengan nilai Rp. 7.200.000, dan di Sidrap 4,09 t/ha
dengan nilai Rp. 6.537.600,- (Tabel 1). Hasil biji yang diperoleh masih lebih rendah dari
potensi hasil varietas Lamuru yaitu 7,6 t/ha (Syuryawati et al. 2007). Rendahnya hasil
yang diperoleh terutama disebabkan karena penerapan teknologi budidaya jagung di
lahan sawah tadah hujan belum optimal.
Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh petani
mencapai Rp. 7.571.000/ha dengan R/C ratio 3,28 di Kab. Pangkep, sedangkan di Kab.
Barru dan Sidrap masing--masing memperoleh pendapatan sebesar Rp. 4.691.300/ha
dengan R/C ratio 1,87 dan Rp. 3.646.000,-/ha dengan R/C ratio 2,26. Dengan melihat
184
ISBN :978-979-8940-27-9
Uraian
Produksi
Biaya
sarana
produksi
Biaya tenaga kerja
Total biaya
Pendapatan
R/C Ratio
Kab. Pangkep
Fisik
Nilai (Rp)
(kg)
6.420
10.914.000
1.962.000
Kab. Barru
Fisik
Nilai (Rp)
(kg)
4.500
7.200.000
1.479.000
Kab. Sidrap
Fisik
Nilai (Rp)
(kg)
4.086
6.537.600
1.665.000
1.381.000
3.343.000
7.571.000
3,28
1.029.700
2.508.700
4.693.300
1,87
1.226.300
2.891.300
3.646.300
2,26
Harga jagung biji saat panen Rp.1.700/kg (Pangkep), Rp. 1.600/kg (Barru dan Sidrap)
Sumber: Balitsereal 2007
185
ISBN :978-979-8940-27-9
Waktu tanam yang tidak tepat sehingga sering dilanda banjir tahunan pada puncak
hujan II (Mei Juni) setiap tahun
Penanaman jagung lebih awal di lahan sawah tanah masih jenuh air/tergenang
Tanaman jagung mulai kekerimgan pada saat memasuki fase generatif
Sumber air terbatas untuk mengairi tanaman jagung di musim kemarau, karena curah
hujan sudah menurun (Gambar 1)
Petani belum menguasai teknologi budidaya jagung di lahan sawah karena
kebiasaan mereka menanam jagung di tegalan pada musim hujan
Petani mempunyai kebiasaan hanya menanam padi satu kali pada sawah tadah hujan
kemudian dibiarkan bero
Hewan ternak yang dilepas dapat menjadi hama bagi tanaman jagung di musim
kemarau karena makanan berupa rumput di sawah sudah mongering
Tidak ada jaminan pasar setelah panen dan petani belum menguasai cara
prosessing, sehingga mereka menjual hasil dalam bentuk tongkol.
700
600
500
400
Mandalle
300
Ajakkang
200
Mario
100
0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Gambar 1. Kondisi curah hujan pada ketiga lokasi penelitian yang cukup rendah pada
musim kemarau, 2006
Berdasarkan masalah tersebut, mendorong petani memilih tanaman jagung setelah
padi di lahan sawah dengan pertimbangan antara lain yaitu: 1) kebutuhan air relatif lebih
sedikit dibandingkan dengan palawija lainnya, 2) jagung relatif lebih tahan kekeringan
dan tingkat produktivitas tinggi (5 7 t/ha), serta 3) hama dan penyakit relatif lebih
rendah dibanding palawija lainnya.
Peluang Pengembangan Jagung di Sawah Tadah Hujan
Daerah penanaman jagung di Sulawesi Selatan yang sudah mulai berkembang
seperti di Kecamatan Kulo Kab. Sidrap dan Kecamatan Sinjai Timur Kab. Sinjai sudah
menanam jagung hibrida namun teknologi budidaya terutama pemupukan masih perlu
diperbaiki (Balitsereal 2007). Menanam jagung di lahan sawah setelah padi dilakukan
dengan persiapan lahan dibuat semurah mungkin yaitu tanpa olah tanah (TOT) atau olah
tanah minimum (OTM). Jerami dibabat dan/atau disemprot dengan herbisida Glifosat
sebanyak 1,5 2,0 l/ha tergantung banyaknya rumput pada petak sawah. Sambil
menunggu kelembaban tanah turun hingga mencapai sekitar kapasitas lapang dan rumput
186
ISBN :978-979-8940-27-9
sudah mati 4 5 hari kemudian ditanam benih jagung varietas unggul yang memiliki
daya tumbuh > 90%. Penelitian pendekatan PTT jagung yang telah dilaksanakan pada
MK 2006 menunjukkan bahwa hasil biji jagung rata-rata pipilan kering yang diperoleh
petani di Kab. Pangkep, Barru, dan Sidrap masing-masing 6,42 t; 4,50 t; dan 4,09 t/ha.
Penerimaan petani per ha cukup menguntungkan, untuk petani di Kab. Pangkep sebesar
Rp. 7.571.000,- sedangkan petani di Kab. Barru diperoleh sebanyak Rp. 4.693.300,- dan
petani di Kab. Sidrap sebesar Rp. 3.646.300,- (Tabel 1).
Dengan demikian, maka pendapatan petani bertambah dan hal ini sangat
menguntungkan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang lahannya tidak ditanami
atau dibiarakan bero pada musim kemarau. Peningkatan pendapatan yang diperoleh
petani mempunyai dampak menghilangkan keraguan mereka untuk menanam jagung di
sawah setelah padi pada musim kemarau tahun berikutnya. Hal ini memberi indikasi
bahwa usahatani jagung pada sawah tadah hujan setelah padi di wilayah ini sangat
prospektif dikembangkan pada areal yang lebih luas.
Kelebihan air pada saat tanam dapat diatasi dengan pembuatan saluran drainase
yang dapat berfungsi ganda yaitu mengeluarkan air dari petakan sawah pada musim hujan
dan menjadi saluran pembagi air di musim kemarau.
Pada tanah berat dengan tekstur liat biasanya berdrainase lambat maka pada lahan
sawah seperti ini penanaman jagung dapat dilakukan lebih cepat dengan cara ditugal
bertingkat, tugal yang pertama dibuat lebih dalam untuk penampung air dan tugal yang
kedua agak ke samping atas lubang pertama untuk tempat benih sehingga benih yang
ditanam terhindar dari genangan air yang dapat menyebabkan benih tidak tumbuh karena
busuk. Pada lahan sawah bertekstur ringan yang sering tergenang pada saat akan
menanam, sebaiknya dibuat guludan agar benih yang ditanam terhindar dari genangan air
pada saat perkecambahan dan selanjutnya benih berkembang seiring menurunnya
permukaan air secara perlahan.
Pemanfaatan air tanah dangkal atau kedalaman muka air (4 m 5 m) yang dipompa
naik permukaan kemudian didistribusi ke seluruh petak sawah melalui saluran atau pipa
paralon, ketika hujan sudah tidak ada dan sawah sudah mulai mengering upaya ini
merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan air pada musim kemarau.
Kekurangan air pada musim kemarau dapat pula diatasi dengan membuat sumur gali,
memompa air dari kolam atau air sungai. Selain itu, dapat pula dibuat bendungan
sederhana (embung) sebagai penampung air hujan yang dapat dimanfaatkan untuk
mengairi pertanaman jagung pada musim kemarau.
Lahan sawah tadah hujan dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan menanam
lebih dari satu kali dalam setahun. Menanam jagung setelah padi pada lahan sawah tadah
hujan dengan memanfaatkan sumber air yang tersedia menguntungkan bagi petani jagung
di Kabupaten Pangkap, Barru, dan Sidrap Sulawesi Selatan.
KESIMPULAN
Kendala fisik utama pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan adalah
kegenangan air pada akhir musim hujan setelah panen padi dan kekeringan di musim
kemarau terutama pada saat pengisian biji.
Kendala utama ini dapat diatasi melalui pembuatan saluran drainase untuk
membuang kebihan air di musim hujan dan dimanfaatkan untuk mengairi pertanaman di
musim kemarau dengan memompa air tanah naik ke permukaan, sehingga produktivitas
lahan sawah tadah hujan yang hanya mengandalkan air hujan untuk pengairannya dapat
ditingkatkan
187
ISBN :978-979-8940-27-9
188