Anda di halaman 1dari 6

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

KENDALA DAN PROSPEK PENGEMBANGAN JAGUNG


PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI SULAWESI SELATAN
Faesal dan Syuryawati
Balai Penelitian Tanaman Serealia
Abstrak. Lahan sawah tadah hujan di pantai barat (Pangkep, Barru) dan wilayah
tengah atau peralihan (Sidrap) Sulawesi Selatan mempunyai potensi cukup luas
untuk pengembangan jagung. Selama ini hanya ditanami padi satu kali dalam satu
tahun kemudian dibiarkan bero. Lahan sawah tadah hujan di wilayah pantai barat
Sulawesi Selatan pada umumnya memiliki air tanah dangkal, sedangkan pada
wilayah peralihan (Sidrap) meskipun air tanahnya agak dalam tetapi masih dapat
dinaikkan ke permukaan menggunakan pompa air sehingga peluang menanam
jagung setelah padi di dua wilayah ini masih sangat memungkinkan dengan
memanfaatkan air tanah yang dipompa ke permukaan. Kendala utama yang
dihadapi petani jagung di lahan sawah tadah hujan adalah ketersediaan air
terbatas, teknologi budidaya jagung belum diterapkan secara baik dan benar,
modal yang terbatas, dan tidak ada jaminan pasar. Pelaksanaan penerapan
pengelolaan tanaman terpadu yang dilakukan diarahkan untuk mengatasi masalah
yang dihadapi petani dalan pengembangan jagung. Penelitian di Pangkep, Barru,
dan Sidrap memberikan hasil yang cukup baik pada jagung varietas Lamuru. Hasil
yang dicapai pada MK 2006 di daerah Pangkep adalah: 6,42 t/ha dengan R/C ratio
3,28; Barru 4,50 t/ha dengan R/C ratio 1,87; dan di Sidrap 4,09 t/ha dengan R/C
ratio 2,26.
Kata kunci: Kendala, Peluang, Produksi, Sawah Tadah Hujan, Jagung

PENDAHULUAN
Jagung merupakan tanaman pangan penting kedua setelah padi mengingat
fungsinya yang multiguna. Jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, dan bahan
baku industri. Jagung merupakan pangan penyumbang terbesar kedua terhadap produk
domestik bruto (PDRB) setelah padi (Zubachtirodin et al. 2007).
Tanaman jagung mempunyai adaptasi yang luas dan relatif mudah dibudidayakan.
Mink et al. (1987) menjelaskan sekitar 79% jagung ditanam pada lahan kering, 11%
terdapat pada lahan sawah irigasi dan 10% di lahan sawah tadah hujan. Estimasi Kasryno
(2002) melaporkan bahwa pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan tadah hujan
meningkat masing-masing 10-15% dan 20-30%.
Potensi sawah tadah hujan di Indonesia cukup besar yaitu 2,1 juta ha yang tersebar
di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa
Tenggara Barat (Balitsereal 2002). Luas sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan 256.513
ha (BPS 2008) atau 40% dari luas total sawah (648.559 ha). Sawah tadah hujan
sebenarnya dapat dijadikan lumbung padi ke-2 setelah sawah irigasi akan tetapi
produktivitas hasil yang dicapai pada lahan tersebut masih rendah sekitar 3-3,5 t/ha, dan
pada umumnya hanya ditanami padi satu kali dalam satu tahun kemudian dibiarkan bero.
Sawah tadah hujan ke depan menjadi alternatif pengembangan tanaman pangan
karena permintaan pangan meningkat akibat jumlah penduduk terus bertambah. Berkaitan
hal ini, perluasan areal tanam, peningkatan IP (indeks panen), dan penggunaan varietas
jagung unggul perlu lebih digalakkan untuk mempercepat swasembada dan
menyeimbangkan jumlah permintaan dan penawaran (Sarasutha 2002).

183

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Menurut Swain et al. (2005) dijelaskan bahwa kendala umum yang dihadapi dalam
berusahatani pada lahan sawah tadah hujan di Asia adalah iklim, lahan tidak subur, dan
kurangnya varietas yang dapat beradaptasi dengan ekosistem tersebut. Hal yang sama
dihadapi petani dalam pengelolaan usahataninya yaitu (a) penguasaan teknlogi produksi
jagung masih minim, (b) keterbatasan air pengairan, (c) keterbatasan modal, (d)
pemilikan lahan yang sempit, dan (e) tidak ada jaminan pasar produk yang dihasilkan.
Sebenarnya lahan sawah tadah hujan produktivitasnya dapat ditingkatkan dengan
menanam jagung atau palawija lain setelah padi dipanen pada musim kemarau. Dengan
memanfaatkan air tanah menggunakan pompa atau sumber air lain seperti air sumur
gali/bor, air sungai, dan mata air, karena jagung memerlukan air terutama pada fase
pertumbuhan awal dan saat berbunga (Heasey dan Edmeades 1999).
Jagung dapat dikembangkan pada lingkungan fisik, sosial ekonomi yang sangat
beragam karena jagung dapat ditanam pada lahan kering, sawah, lebak dan pasang surut
dengan berbagai jenis tanah (Zubachtirodin et al. 2007). Untuk memacu pengembangan
jagung di lahan sawah tadah hujan, maka pada MT 2006 dilaksanakan sosialisasi
penanaman jagung bersari bebas varietas Lamuru. Penelitian terkait dengan
pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan dilakukan di
Kabupaten Pangkep (Pangkajene Kepulauan), Barru, dan Sidrap (Sidenreng Rappang)
dan memberikan hasil yang cukup baik bagi petani. Penerapan teknologi budidaya jagung
melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang diterapkan secara utuh
sangat prospektif dikembangkan untuk meningkatkan hasil dan pendapatan petani pada
lahan sawah tadah hujan.
Hasil-Hasil Penelitian
Pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan sangat strategis karena
umumnya lahan tersebut tidak dimanfaatkan setelah padi MT I dan tidak cukup air untuk
menanam padi MT II, sehingga terdapat peluang menanam jagung karena kebutuhan
airnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan padi yang diairi sampai tergenang. Selain
itu prospek pasar jagung di musim kemarau cukup baik karena jumlah produksi
berkurang dan biji jagung yang dihasilkan kualitasnya lebih baik sehingga harganya
menjadi lebih tinggi (Badan Litbang Pertanian 2007).
Efisiensi pemanfaatan air di lahan sawah tadah hujan dapat dilakukan dengan
menanam jagung segera setelah panen padi, apabila dipetakan sawah masih tergenang,
perlu dibuat saluran drainase unruk mengeluarkan airnya. Apabila menanam jagung
setelah padi dipanen pada lahan sawah tadah hujan dipercepat maka dapat dimanfaatkan
sisa kelembaban tanah dari tanaman padi dan mengurangi frekuensi mengairi di musim
kemarau ( Faesal dan Zubactirodin 2005).
Pada musim tanam II (MK 2006), lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pangkep,
Barru, dan Sidrap diterapkan pendekatan PTT jagung. Hasil biji pipilan kering jagung
yang diperoleh petani di Kab. Pangkep rata-rata 6,42 t/ha dengan nilai sebesar Rp.
10.914.000,- di Barru 4,50 t/ha dengan nilai Rp. 7.200.000, dan di Sidrap 4,09 t/ha
dengan nilai Rp. 6.537.600,- (Tabel 1). Hasil biji yang diperoleh masih lebih rendah dari
potensi hasil varietas Lamuru yaitu 7,6 t/ha (Syuryawati et al. 2007). Rendahnya hasil
yang diperoleh terutama disebabkan karena penerapan teknologi budidaya jagung di
lahan sawah tadah hujan belum optimal.
Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh petani
mencapai Rp. 7.571.000/ha dengan R/C ratio 3,28 di Kab. Pangkep, sedangkan di Kab.
Barru dan Sidrap masing--masing memperoleh pendapatan sebesar Rp. 4.691.300/ha
dengan R/C ratio 1,87 dan Rp. 3.646.000,-/ha dengan R/C ratio 2,26. Dengan melihat

184

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

penerimaan yang diperoleh petani di tiga lokasi pengembangan cukup menguntungkan,


maka memungkinkan untuk menanam jagung lebih luas di lahan sawah tadah hujan pada
musim kemarau.
Kabupaten Sidrap (Desa Massepe) sudah ada paket bantuan sumur bor dilengkapi
dengan pompa dari pemerintah daerah untuk menunjang pengembangan usahatani jagung
di lahan sawah tadah hujan. Pinjaman lunak ini dibayar petani setelah panen dalam
jangka waktu lima tahun (Diperta Kab. Sidrap 2005).
Penerimaan petani di Kabupaten Barru dan Sidrap lebih rendah jika dibandingkan
dengan petani di Kab. Pangkep, hal ini disebabkan terutama karena teknologi budidaya
jagung di lahan sawah belum sepenuhnya diketahui dan diterapkan oleh petani, seperti
pemupukan dan penyiangan terlambat, serta mengairi pertanaman jagung tidak teratur.
Kondisi ini terjadi karena pada umumnya petani mempunyai pekerjaan sampingan antara
lain tukang ojek, pandai besi, dan peternak ayam, sehingga alokasi waktu untuk
mengelola pertanaman jagungnya masih terbatas. Zakaria dan Swastika (2005)
menjelaskan bahwa secara garis besar terdapat 4 (empat) faktor penyebab kemiskinan
bagi petani yaitu (1) tingkat keterampilan sumberdaya manusia masih rendah, (2)
keterisolasian wilayah, (3) pengenalan dan penerapan teknologi pertanian masih terbatas,
dan (4) ketersediaan pasar input dan output.
Menurut Sumarno dalam Rusastra et al. (2006) dijelaskan bahwa sebenarnya
pendapatan petani dari hasil palawija dapat ditingkatkan melalui lima pendekatan, yaitu :
(1) menambah kuantitas hasil panen; (2) menaikkan kualitas produk; (3) perencanaan
musim panen yang tepat; (4) pembentukan asosiasi produsen untuk meningkatkan posisi
tawar; dan (5) pemilihan jenis palawija yang bernilai ekonomis tinggi dan mudah
pemasarannya.
Tabel 1. Analisis usahatani jagung per ha varietas Lamuru pada lahan sawah tadah hujan
pada tiga kabupaten di Sulawesi Selatan, 2006.

Uraian
Produksi
Biaya
sarana
produksi
Biaya tenaga kerja
Total biaya
Pendapatan
R/C Ratio

Kab. Pangkep
Fisik
Nilai (Rp)
(kg)
6.420
10.914.000
1.962.000

Kab. Barru
Fisik
Nilai (Rp)
(kg)
4.500
7.200.000
1.479.000

Kab. Sidrap
Fisik
Nilai (Rp)
(kg)
4.086
6.537.600
1.665.000

1.381.000
3.343.000
7.571.000
3,28

1.029.700
2.508.700
4.693.300
1,87

1.226.300
2.891.300
3.646.300
2,26

Harga jagung biji saat panen Rp.1.700/kg (Pangkep), Rp. 1.600/kg (Barru dan Sidrap)
Sumber: Balitsereal 2007

Kendala Pengembangan Jagung di Sawah Tadah Hujan


Kendala utama yang dihadapi petani untuk pengembangan jagung di lahan sawah
secara umum adalah kelebihan air pada saat menanam segera setelah padi dipanen dan
kekeringan pada fase generatif terutama pada saat pengisian biji. Selain itu masalah lain
yang dihadapi petani dalam pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan di
Sulawesi Selatan yaitu:

185

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Waktu tanam yang tidak tepat sehingga sering dilanda banjir tahunan pada puncak
hujan II (Mei Juni) setiap tahun
Penanaman jagung lebih awal di lahan sawah tanah masih jenuh air/tergenang
Tanaman jagung mulai kekerimgan pada saat memasuki fase generatif
Sumber air terbatas untuk mengairi tanaman jagung di musim kemarau, karena curah
hujan sudah menurun (Gambar 1)
Petani belum menguasai teknologi budidaya jagung di lahan sawah karena
kebiasaan mereka menanam jagung di tegalan pada musim hujan
Petani mempunyai kebiasaan hanya menanam padi satu kali pada sawah tadah hujan
kemudian dibiarkan bero
Hewan ternak yang dilepas dapat menjadi hama bagi tanaman jagung di musim
kemarau karena makanan berupa rumput di sawah sudah mongering
Tidak ada jaminan pasar setelah panen dan petani belum menguasai cara
prosessing, sehingga mereka menjual hasil dalam bentuk tongkol.
700
600
500
400

Mandalle

300

Ajakkang

200

Mario

100
0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Gambar 1. Kondisi curah hujan pada ketiga lokasi penelitian yang cukup rendah pada
musim kemarau, 2006
Berdasarkan masalah tersebut, mendorong petani memilih tanaman jagung setelah
padi di lahan sawah dengan pertimbangan antara lain yaitu: 1) kebutuhan air relatif lebih
sedikit dibandingkan dengan palawija lainnya, 2) jagung relatif lebih tahan kekeringan
dan tingkat produktivitas tinggi (5 7 t/ha), serta 3) hama dan penyakit relatif lebih
rendah dibanding palawija lainnya.
Peluang Pengembangan Jagung di Sawah Tadah Hujan
Daerah penanaman jagung di Sulawesi Selatan yang sudah mulai berkembang
seperti di Kecamatan Kulo Kab. Sidrap dan Kecamatan Sinjai Timur Kab. Sinjai sudah
menanam jagung hibrida namun teknologi budidaya terutama pemupukan masih perlu
diperbaiki (Balitsereal 2007). Menanam jagung di lahan sawah setelah padi dilakukan
dengan persiapan lahan dibuat semurah mungkin yaitu tanpa olah tanah (TOT) atau olah
tanah minimum (OTM). Jerami dibabat dan/atau disemprot dengan herbisida Glifosat
sebanyak 1,5 2,0 l/ha tergantung banyaknya rumput pada petak sawah. Sambil
menunggu kelembaban tanah turun hingga mencapai sekitar kapasitas lapang dan rumput

186

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

sudah mati 4 5 hari kemudian ditanam benih jagung varietas unggul yang memiliki
daya tumbuh > 90%. Penelitian pendekatan PTT jagung yang telah dilaksanakan pada
MK 2006 menunjukkan bahwa hasil biji jagung rata-rata pipilan kering yang diperoleh
petani di Kab. Pangkep, Barru, dan Sidrap masing-masing 6,42 t; 4,50 t; dan 4,09 t/ha.
Penerimaan petani per ha cukup menguntungkan, untuk petani di Kab. Pangkep sebesar
Rp. 7.571.000,- sedangkan petani di Kab. Barru diperoleh sebanyak Rp. 4.693.300,- dan
petani di Kab. Sidrap sebesar Rp. 3.646.300,- (Tabel 1).
Dengan demikian, maka pendapatan petani bertambah dan hal ini sangat
menguntungkan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang lahannya tidak ditanami
atau dibiarakan bero pada musim kemarau. Peningkatan pendapatan yang diperoleh
petani mempunyai dampak menghilangkan keraguan mereka untuk menanam jagung di
sawah setelah padi pada musim kemarau tahun berikutnya. Hal ini memberi indikasi
bahwa usahatani jagung pada sawah tadah hujan setelah padi di wilayah ini sangat
prospektif dikembangkan pada areal yang lebih luas.
Kelebihan air pada saat tanam dapat diatasi dengan pembuatan saluran drainase
yang dapat berfungsi ganda yaitu mengeluarkan air dari petakan sawah pada musim hujan
dan menjadi saluran pembagi air di musim kemarau.
Pada tanah berat dengan tekstur liat biasanya berdrainase lambat maka pada lahan
sawah seperti ini penanaman jagung dapat dilakukan lebih cepat dengan cara ditugal
bertingkat, tugal yang pertama dibuat lebih dalam untuk penampung air dan tugal yang
kedua agak ke samping atas lubang pertama untuk tempat benih sehingga benih yang
ditanam terhindar dari genangan air yang dapat menyebabkan benih tidak tumbuh karena
busuk. Pada lahan sawah bertekstur ringan yang sering tergenang pada saat akan
menanam, sebaiknya dibuat guludan agar benih yang ditanam terhindar dari genangan air
pada saat perkecambahan dan selanjutnya benih berkembang seiring menurunnya
permukaan air secara perlahan.
Pemanfaatan air tanah dangkal atau kedalaman muka air (4 m 5 m) yang dipompa
naik permukaan kemudian didistribusi ke seluruh petak sawah melalui saluran atau pipa
paralon, ketika hujan sudah tidak ada dan sawah sudah mulai mengering upaya ini
merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan air pada musim kemarau.
Kekurangan air pada musim kemarau dapat pula diatasi dengan membuat sumur gali,
memompa air dari kolam atau air sungai. Selain itu, dapat pula dibuat bendungan
sederhana (embung) sebagai penampung air hujan yang dapat dimanfaatkan untuk
mengairi pertanaman jagung pada musim kemarau.
Lahan sawah tadah hujan dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan menanam
lebih dari satu kali dalam setahun. Menanam jagung setelah padi pada lahan sawah tadah
hujan dengan memanfaatkan sumber air yang tersedia menguntungkan bagi petani jagung
di Kabupaten Pangkap, Barru, dan Sidrap Sulawesi Selatan.
KESIMPULAN
Kendala fisik utama pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan adalah
kegenangan air pada akhir musim hujan setelah panen padi dan kekeringan di musim
kemarau terutama pada saat pengisian biji.
Kendala utama ini dapat diatasi melalui pembuatan saluran drainase untuk
membuang kebihan air di musim hujan dan dimanfaatkan untuk mengairi pertanaman di
musim kemarau dengan memompa air tanah naik ke permukaan, sehingga produktivitas
lahan sawah tadah hujan yang hanya mengandalkan air hujan untuk pengairannya dapat
ditingkatkan

187

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Penerimaan yang diperoleh petani per ha cukup menguntungkan, untuk petani di


Kab. Pangkep sebesar Rp. 7.571.000,- sedangkan petani di Kab. Barru diperoleh
sebanyak Rp. 4.693.300,- dan petani di Kab. Sidrap sebesar Rp. 3.646.300,- dengan R/C
ratio masing-masing 3,28, 1,87 dan 2,26.
DAFTAR PUSTAKA
Balitsereal. 2002. Inovasi Teknologi Jagung Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan Nasional.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Balitsereal. 2007. Highlight. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2006.Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 50 p.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 27 p.
BPS. 2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Indonesia.
Diperta Kab. Sidrap. 2005. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten
Sidrap Tahun 2004.
Faesal dan Zubachtirodin. 2005. Teknologi pelarutan pupuk N, P, K pada tanaman jagung di lahan
sawah tadah hujan. Prosiding Seminar Nasional. Pemasyarakatan Inovasi Teknologi dalam
Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal. Mataram, 30 31 Agustus. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Libang Pertanian.
Heasey, P.W. and G.O. Edmeades. 1999. Maize production in drought-stressed. In: Would Maize
Fact and Trend 1997/1998. Cimmyt, Mexico.
Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama empat dekade yang
lalu dan implikasinya di Indonesia. Disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung.
Bogor.
Mink, S.D., P.A. Dorrosh and D.H. Pery. 1987. Corn production system. In: Timmer (eds.). The
Corn Economy of Indonesia. p. 62-87.
Rusastra, I. W., T. A. Napitupulu, M. O. A. Manikmas dan F. Kasim. 2006. Pengembangan
Agribisnis Berbasis Palawija di Indonesia: Peranannya dalam Peningkatan Ketahanan
Pangan dan Pengentasan Kemiskinan. Prosiding Seminar Nasional. Bogor, 13 Juli 2006.
Sarasutha, I.G.P. 2002. Kinerja usahatani dan pemasaran jagung di sentra produksi. Jurnal Litbang
Pertanian, 21 (2). p. 39-47.
Swain, D.K., S. Herath, A. Pathirane and B.N. Mittra. 2005. Rainfed lowland and flood prone
rice: A critical review on ecology and management technology improving the productivity
in Asia. Role of Water Sciences in Transboundary River Basin Management. Thailand.
Syuryawati, C. Rapar dan Zubachtirodin. 2007. Deskripsi Varietas Unggul Jagung Edisi V. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Balai Penelitian Tanaman serealia. 115 p.
Zakaria, A.K. dan D.K.S. Swastika. 2005. Keragaan usahatani petani miskin pada lahan kering dan
sawah tadah hujan (Studi Kasus di Kab. Temanggung). Badan Litbang Pertanian. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Zubachtirodin, M.S. Pabbage dan Subandi. 2007. Wilayah produksi dan potensi pengembangan
jagung. Dalam: Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Sumarno et al. (Editor).
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

188

Anda mungkin juga menyukai