Anda di halaman 1dari 6

Paragraf Analogi

Outline :
1. Makanan siap saji dianggap lebih praktis dan cepat dibanding makanan lain yg
mengandung gizi seimbang.
2. Makanan siap saji dapat memicu banyak penyakit, salah satunya adalah obesitas.
3. Konsumen lebih memilih makanan siap saji yang minim gizi daripada makanan siap
saji yang makanannya mengandung gizi seimbang.
4. Perbandingan makanan siap saji dan makanan sehat

Gaya hidup modern telah menjebak manusia pada pola konsumsi yang serba praktis, instan
dan serba cepat. Saat ini sebagian besar orang lebih memilih untuk makan di restoran siap
saji. Alasannya karena lebih cepat dan lebih praktis. Dilihat dari segi kesehatan, gaya hidup
seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan. Salah satunya
adalah obesitas atau kegemukan. Tidak heran jika saat ini ditemukan banyak sekali penderita
obesitas pada usia muda, karena banyak orang tua yang lebih memilih memberi makan
anaknya makanan cepat saji daripada makanan sehat yang bergizi seimbang. Padahal saat ini
sudah banyak rumah makan siap saji yang menyajikan makanan yang mengandung gizi
seimbang. Tetapi pola hidup modern menuntut konsumen untuk lebih mengkonsumsi
makanan siap saji yang sedikit mengandung gizi. Rasa yang lebih enak dan tempat makan
yang nyaman menjadi salah satu faktor manusia modern lebih memilih untuk makan di
restoran siap saji. Gaya hidup modern mengakibatkan manusia kurang mendapatkan makanan
sehat karena segala kegiatannya dituntut untuk serba cepat. Pola makan , istirahat dan
olahraga yang tidak teratur pun menyebabkan munculnya penyakit yang dapat menghambat
segala kegiatan. Fenomena ini akhirnya menyebabkan sebagian menusia modern untuk
kembali ke pola hidup sehat yang kembali ke alam. Saat ini sudah banyak yang lebih memilih
membawa makan dari rumah daripada harus membeli makanan siap saji. Makanan yang sehat
dan kembali ke alam tentu lebih memberikan manfaat pada tubuh manusia karena dapat
menjaga fungsi organ tubuh. Dibandingkan dengan mengkonsumsi makanan siap saji saja,
mengkonsumsi makanan sehat yang back to nature lebih banyak menyumbang zat gizi yang
diperlukan oleh tubuh untuk meakukan segala aktifitas. Makanan siap saji yang dikonsumsi
terlalu sering dapat memicu penyakit, sedangkan makanan sehat justru dapat menghambat
munculnya penyakit. Tentu saja pola hidup sehat seperti ini dapat menghambat munculnya
penyakit pada usia muda. Makanan sehat yang back to nature for health tentu saja lebih
dianjurkan jika memang manusia modern saat ini peduli pada kesehatan. Boleh saja
mengkonsumsi makanan siap saji, tetapi tetap harus diimbangi dengan makanan yang bergizi
seimbang serta dengan pola konsumsi yang tidak terlalu sering, agar tidak menimbulkan efek
buruk bagi kesehatan.

Paragraf Kontras
Berita dibawah ini termasuk kedalam paragraf kontras karena membandingkan antara
dua hal. Pada berita tersebut, penulis membandingkan kandungan nutrisi antara sayuran dan
buah lokal dengan sayuran dan bua impor. Penulis menjelaskan bahwa buah dan sayuran
lokal dianggap lebih segar dan lebih banyak mengandung nutrisi karena dikonsumsi segera
setelah dipanen. Tetapi produk impor harus diawetkan terlebih dahulu dan melalui perjalanan
jauh terlebih dahulu sehingga dianggap kurang dari segi nutrisinya. Walaupun dari kualitas
buah impor terlihat lebih bagus tetapi bila ditinjau dari segi kandungan nutrisi maka buah dan
sayuran lokal dianggap lebih unggul dibandingkan produk impor. Dari penjelasan tersebut
terlihat bahwa berita tersebut merupakan paragraf kontras karena penulis membandingkan
antara produk lokal dan produk impor.

Sayuran dan Buah Lokal Lebih Sehat dari


Produk Impor?
Jumat, 26 September 2014 | 18:05 WIB

KOMPAS.com - Berbagai macam sayuran dan buah-buahan dapat tumbuh


subur di atas tanah ibu pertiwi. Meski demikian, produk pangan impor juga
merajalela di Indonesia. Para petani lokal pun bisa gigit jari karenanya.
Padahal, produk lokal seperti sayuran dan buah-buahan dinilai memiliki
kandungan gizi yang lebih sehat daripada produk impor.
Produk lokal yang dijual di pasaran tidak melalui proses pengawetan.
Sayuran dan buah-buahan lebih segar karena langsung didistribusikan
setelah dipanen dari kebun petani.
"Misalnya, kalau dari luar harus diawetkan dulu, ada proses bioteknologi,
jadi sayuran atau buahnya tetap segar walau perjalanan jauh. Padahal
makanan itu tidak didesain untuk perjalanan panjang," kata Ketua
Agritektur, Robbi Zidna Ilman di Jakarta, Jumat (26/9/2014).
Menurut Robbi, nutrisi yang dihasilkan dari sayuran dan buah-buahan lokal
juga bisa lebih baik dibanding produk impor. Sebab, terkadang bahan
pangan impor dipanen sebelum waktunya agar tidak mengalami
pembusukan ketika sampai di pasaran Indonesia. Hal ini lah yang
membuat kandungan nutrisi dari sayuran atau buah-buahan tersebut tidak

maksimal.
"Kalau lokal, meskipun bukan bahan pangan organik, memiliki rasa yang
lebih baik dan nutrisi lebih tinggi karena dipanen saat benar-benar matang.
Bahan pangan juga dijual segar setelah dipanen," terang Robbi.
Tak hanya bermanfaat bagi kesehatan, makanan yang berasal dari bahanbahan lokal juga dapat berkontribusi bagi lingkungan. Semakin jauh jarak
yang ditempuh bahan pangan sebelum diterima konsumen, maka makin
banyak energi terbuang. Distribusi bahan pangan menyumbang emisi
karbon di bumi.
Komunitas Agritektur asal Bandung, Jawa Barat ini pun menggelar "Eat
Local" untuk mendukung produk pangan lokal dari para petani. Dalam
kegiatan ini, Agritektur mengundang petani lokal untuk menjual langsung
hasil panen mereka di Parappa atau Pasar Patani. Salah satunya adalah
Asep Kurnia, petani asal Desa Ciburial, Bandung.
Asep merupakan petani sayuran maupun tanaman yang menanam tanpa
pestisida atau bahan kimia lainnya. Menurut Asep, ia dapat berbagi
pengalaman dengan menjual langsung hasil panennya ke konsumen.
Kegiatan ini juga sekaligus untuk membantu perekonomian para petani
lokal.
Sementara itu, pakar ilmu gizi dari Institus Pertanian Bogor Ahmad
Sulaiman sebelumnya pernah mengungkapkan, bahwa produk pangan
lokal memiliki keunggulan lebih dibanding produk impor.
Mengonsumsi pangan lokal terutama buah dan sayuran asli Indonesia, tak
hanya mendapat nutrisi yang lebih tinggi, tetapi juga dapat membantu
mencegah penyakit degeneratif seperti diabetes, kanker, stroke atau pun
sakit jantung.
Bahan pangan lokal relatif lebih aman, apalagi jika tanpa pestisida dan
pengawet. Sementara itu, produk impor sangat dimungkinkan disemprot

pestisida dan dilapisi fungisida untuk mencegah pembusukan selama


pendistribusian.
Penulis

: Dian Maharani

Editor

: Lusia Kus Anna

Paragraf Sebab-Akibat
Berita dibawah ini termasuk kedalam paragraf sebab-akibat, karena sebab menjadi
gagasan utama dan akibat sebagai penjelas. Pada berita tersebut penulis menyebut formalin
sebagai penyebab dan kanker sebagai akibat dari terkonsumsinya formalin.

Formalin dalam Makanan Picu Berbagai Kanker


Jumat, 24 April 2015 | 15:10 WIB

JAKARTA, KOMPAS Meski sudah berlangsung lama, penyalahgunaan


formalin menjadi pengawet makanan di Indonesia tidak pernah tuntas
diatasi. Padahal, kandungan berlebih formaldehida, senyawa aktif dalam
formalin, dalam tubuh bisa memicu berbagai penyakit, mulai dari
peradangan saluran cerna hingga berbagai jenis kanker.
Menurut ahli kimia pangan dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Institut Pertanian Bogor, Nuri Andarwulan, dihubungi dari Jakarta, Kamis
(23/4), formalin ialah larutan formaldehida dengan konsentrasi 37 persen.
Selain cair, formaldehida bisa berbentuk gas atau serbuk.
Formaldehida ialah bahan penting dalam industri. Peranannya sulit
digantikan. Senyawa aktif itu digunakan sebagai perekat kayu lapis,
pengawet kayu, pembunuh kuman, bahan baku plastik, bahan cat, bahan

bangunan, dan bahan komponen mobil.


"Masalahnya, formaldehida di Indonesia disalahgunakan jadi pengawet
makanan," ujarnya. Penyalahgunaan serupa ditemukan di sejumlah negara
berkembang. Beberapa bahan makanan yang kerap ditemukan
mengandung formalin ialah mi basah, tahu, bakso, ikan, hingga roti.
Formaldehida termasuk bahan kimia berbahaya dan beracun. Oleh karena
itu, formaldehida tidak boleh dipakai di industri makanan. "Jika formalin
untuk pengawetan makanan, itu jelas menyalahi aturan," kata Direktur
Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian
Perdagangan Widodo.
Meski demikian, lanjut Nuri, formaldehida banyak ditemukan di alam.
Formaldehida dihasilkan dari proses metabolisme semua makhluk hidup.
Oleh karena itu, kandungan formaldehida banyak ditemui pada beragam
jenis sayur, buah, daging, produk susu, hingga ikan laut.
Beberapa produk pertanian dengan kandungan formaldehida tinggi ialah
jamur shiitake kering yang punya 100-406 miligram formaldehida per
kilogram dan buah pir 38,7-60 miligram/kilogram. Selain itu, ada kembang
kol dengan kandungan formaldehida 26,9 miligram/kilogram, anggur 22,4
miligram/kilogram, dan kentang 19,5 miligram/kilogram.
Penyalahgunaan bahan kimia formaldehida untuk pengawet akan membuat
kandungan formaldehida dalam sejumlah bahan pangan itu kian tinggi.
Selain makanan, paparan formaldehida pada manusia bisa berasal dari
bahan bangunan dan perabot di rumah ataupun mobil. Paparan juga bisa
bersumber dari udara sekitar. Formaldehida pada udara berasal dari rokok,
pembangkit listrik, gas buang kendaraan, atau industri.
Mekanisme alami
Namun, tubuh manusia punya mekanisme alami mendetoksifikasi
formaldehida dalam jumlah tertentu. Setiap menit, liver mengonversi 22

miligram formaldehida menjadi karbon dioksida.


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan, asupan harian yang
bisa ditoleransi (TDI) untuk formaldehida dalam air minum ialah 150
mikrogram per kilogram berat badan.
Dokter spesialis gizi klinik di Rumah Sakit MRCCC Siloam Jakarta, AR
Inge Permadhi, mengatakan, konsumsi makanan yang mengandung
formaldehida tinggi akan menimbulkan gangguan pada sistem pencernaan.
Akibatnya, muncul mual, muntah, dan diare. Jika masuk dalam darah,
formaldehida menyebabkan pusing.
Persoalannya, sedikit kandungan formaldehida pada makanan akan sulit
dideteksi karena tak banyak mengubah tekstur ataupun aroma makanan.
Dalam jangka panjang, bahan kimia tersebut tertimbun dalam tubuh dan
sulit dimetabolisme tubuh. Hal itu mengakibatkan formaldehida dalam
tubuh akan masuk ke inti sel dan memicu mutasi genetik hingga
menimbulkan berbagai jenis kanker.
Badan Riset Kanker Internasional (IARC) WHO menyebut ada hubungan
antara formaldehida yang terhirup dan munculnya kanker nasofaring (faring
atau tekak adalah daerah antara rongga hidung, mulut, dan kerongkongan)
dan leukemia (kanker darah). Paparan formaldehida juga dikaitkan kanker
mulut, saluran pernapasan, paru-paru, otak, hingga pankreas.
Inge menambahkan, kandungan formalin tinggi pada bahan makanan bisa
dideteksi dari aromanya yang seperti mengandung bahan obat. Sementara
dari penampilannya, makanan berformalin biasanya lebih kenyal, tidak
mudah rusak, dan tidak dihinggapi lalat. (DNA/HEN/MZW)
Editor

: Lusia Kus Anna

Sumber

: Harian Kompas

Anda mungkin juga menyukai