Anda di halaman 1dari 15

Stigma Orang Tua terhadap Tuberkulosis di Balai Besar Kesehatan Paru

(BBKPM) Bandung
Dedih Suandi1 Windy Rakhmawati1 Siti Yuyun R F1 Susana Laorensia2
1.
2.

Fakultas Ilmu Keperawatan Unpad, Bandung


Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Bandung

ABSTRAK
Stigma terhadap tuberkulosis bisa berdampak negatif pada proses pengobatan.
Sehinga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran stigma orang tua
terhadap penyakit tuberkulosis. Responden dalam penelitian ini adalah orang tua yang
anaknya sakit tuberkulosis dan berkunjung ke BBKPM. Responden berjumlah 80
orang dengan rata-rata lama pengobatan anak 6 bulan. Jenis penelitian adalah
deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan
skala likert yang meliputi domain kekhwatiran terhadap penularan, nilai dan sikap,
dan penyingkapan penyakit. Analisa data mengunakan mid-point score. Hasil
penelitian menunjukan 81,25 % responden memiliki stigma rendah. Maka dapat
disimpulkan bahwa stigma orang tua di terhadap tuberkulosis di BBKPM Bandung
adalah rendah. Domain kekhawatiran merupakan domain yang paling tinggi dan bisa
memberikan andil terhadap munculnya stigma. Oleh karena itu, diperlukan dukungan
instansi kesehatan, institusi pendidikan, dan petugas kesehatan untuk upaya
pereduksian stigma dengan memberikan dukungan bagi anak penderita tuberkulosis
beserta orang tuanya.
Kata Kunci : Tuberkulosis, Stigma, Orang Tua

ABSTRACT
Stigma tuberculosis has negative impact for tuberculosis treatment. Purpose of this
research was for knowing stigma description among parent with tuberculosis
children. The respondents were the parents with tuberculosis children whom took
treatment in BBKPM Bandung. The number of respondent were 80 person. The
average of children had taken treatment for six month. Descriptive quantitative was
this research design. It used questionare likerts scale that covered domains fear of
transmissin, values and attitudes, and disclosure. The data were anlyzed by mid-point
score. 81,25 % had lower stigma. It can been concluded that parents tuberculosis
stigma in BBKPM was low. While other showed higher stigma that can affected
Dedih Suandi, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran (Jl.Raya Bandung-Sumedang KM 21)
E-mail : Dedihtooxford@gmail.com, 085724866349

treatment process. Fear of the disease trnasmission domain was the highest domain
that can caused stigma. Therefore, it was needed support from health provider and
education institution to reduce stigma by give support to tuberculosis children and
their parents.

Keywords : Tuberculosis, Stigma, Parent

PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang biasanya menyerang paru-paru (WHO, 2011), tetapi bisa juga
menyerang organ tubuh lainnya (Gerdunas, 2011). Penyakit ini merupakan penyakit
mematikan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi dan merupakan
ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia.
Angka kejadian TB di dunia masih tinggi terutama di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan WHO (2009) pada tahun 2008
Indonesia berada pada peringkat ke-5 negara dengan jumlah penderita TB terbanyak
di dunia setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria (Depkes, 2011).
TB merupakan penyakit yang bisa menyerang semua usia, tidak terkecuali
bayi dan anak-anak. Jumlah kasus TB pada bayi dan anak di Indonesia sekitar
seperlima dari seluruh kasus TB (Depkes, 2011). Menurut Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2008, jumlah kasus baru TB paru Basil Tahan Asam (BTA) positif kelompok
umur 0-14 tahun di Indonesia sebesar 1861 kasus. TB pada bayi dan anak adalah
fenomena yang sangat mencemaskan. Bayi dan anak-anak merupakan sumber daya
manusia pada masa yang akan datang.

Ada beberpa faktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan dan


penyembuhan penyakit Tuberkulosis diantaranya adalah : 1) faktor sarana yang
meliputi tersedianya obat yang cukup dan kontinyu, edukasi petugas kesehatan, dan
pemberian OAT yang adekuat 2) faktor penderita yang meliputi pengetahuan,
kesadaran, dan tekad untuk sembuh, serta kebersihan diri, 3) faktor keluarga dan
lingkungan masyarakat (Permatasari, 2005).
Faktor keluarga dan masyarakat bisa muncul sebagai dukungan sosial yang
positif tetapi bisa juga timbul sebagai stigma terhadap penyakit dan pasien
Tuberkulosis. Kipp et al (2011) mendefinisikan stigma yang berkaitan dengan
masalah kesehatan/penyakit sebagai proses sosial atau pengalaman pribadi yang
ditandai dengan pengucilan, penolakan, celaan, atau devaluasi karena adanya
anggapan sosial yang merugikan tentang individu tersebut maupun kelompok nya
berkaitan dengan masalah kesehatan tertentu.
Stigma yang berhubungan dengan penyakit berdampak negatif terhadap
pencegahan, prosedur pelayanan, dan kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan
pada penyakit tersebut (Cramm and Nieboer, 2011). Stigma kerap kali melekat pada
masalah-masalah kesehatan, termasuk tuberkulosis. Alasan mengapa bisa muncul
stigma pada TB diantaranya, penularannya, pengetahuan yang kurang tepat akan
penyebabnya, perawatannya atau berhubungan dengan kelompok-kelompok marjinal
seperti kemiskinan, ras minoritas, pekerja seks, tahanan penjara, dan orang yang
terinfeksi HIV/AIDS ( Kipp et al, 2011).

Penelitian Anita S. Mathew dan Amol M. Takalkar (2007) pada masyarakat


India, didapatkan bahwa pasien TB di India sering mendapatkan pengalaman adanya
penolakan dan isolasi sosial dari masyarakat. sehingga mitos dan stigma harus
dihilangkan untuk mengontrol penyakit Tuberkulosis.
Disamping itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Tribowo Tuahta
Ginting dkk (2008) di RS persahabatan, Jakarta, pasien yang mengalami penyakit
Tuberkulosis tidak ingin orang lain mengetahui penyakitnya karena persepsi pasien
terhadap kemungkinan perlakuan masyarakat bila mengetahui penyakit mereka.
Courtwright and Turner (2010), mengatakan bahwa stigma pada penyakit
tuberkulosis dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan dan berdampak negatif
terhadap kelangsungan berobat. Dampak negatif dalam kelangsungan berobat dapat
menyebabkan terputusnya pengobatan pada pasien tuberkulosis yang bisa
menyebabkan tidak tuntasnya pengobatan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana

gambaran stigma orang tua terhadap Tuberkulosis di BBKPM Bandung.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kuantitatif, yaitu ingin mendapatkan gambaran mengenai stigma orang tua terhadap
tuberkulosis di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung.
Variabel dalam penelitian ini adalah Stigma orang tua dengan tiga subvariabel
yaitu, kekhawatiran terhadap penularan penyakit, nilai dan sikap yang berhubungan
4

dengan perasaan malu, bersalah dan penilaian orang lain, dan penyingkapan status
penyakit.
Populasinya adalah orang tua yang anaknya sakit Tuberkulosis dan berobat ke
BBKPM Bandung. Teknik sampling yang dgunakan adalah accidental sampling,
yang dialaksanakan mulai tanggal 23 April sampai dengan 23 Mei 2012 dengan
jumlah responden yang didapatkan sebanyak 80 orang.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen yang pernah
dikembangkan oleh Van Rie et al untuk mengukur stigma pada pasien tuberkulosis di
Thailand. Instrumen inventori ini terdiri dari 12 pernyataan dengan skala pengukuran
menggunakan skala likert dengan opsi sangat setuju (3) dan opsi sangat tidak setuju
(0). Namun, karena disesuaikan dengan responden penelitian maka ada beberapa item
yang tidak digunakan sehingga jumlah item yang digunakan hanya sembilan
pernyataan. Rentang skor dari instrumen ini berkisar antara 0-27.
Hasil ukur dari instrumen ini adalah stigma rendah dan stigma tinggi. Untuk
teknik analisanya menggunakan mid-point dari total skor instrumen. Perhitungannya
sebagai berikut:
(

= 13,5

{( ).( ) ( ).( )}

maka untuk stigma rendah adalah jika skornya < 13,5 atau ada pada rentang nol
sampai tiga belas (0-13) dan stigma tinggi jika nilianya > 13,5 atau jika rentang
skornya berkisar antara empat belas sampai dengan dua puluh tujuh (14-27).
Selanjutnya, dilakukan analisis statistika prosentase untuk mendapatkan
gambaran distribusi frekuensi dari variabel yang diteliti dengan menggunakan rumus
:
=

100 %

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Responden
Dalam Tabel 1 disajikan karaktersitik yang menjadi responden dalam penelitian ini.
Tabel 1.Karktersitik Responden di BBKPM Bandung pada bulan April-Mei
2012 (n=80)
Karekteristik Responden
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tingkat Pendidikan
Dasar
Menengah
Tinggi
Usia
Dewasa Awal (20-40 th)
Dewasa Tengah (40-65 th)
Lama Pengobatan Pada Anak
Baru
0-2 Bulan
3-6 Bulan
> 6 Bulan

Frekuensi

12
68

15
85

18
56
6

22,5
70
7,5

61
19

76,25
23,75

7
19
48
6

8,75
23,75
60
7,5

Gambaran Stigma Orang Tua


Dalam tabel 4.2 disajikan hasil penelitian yang menggambarkan stigma orang tua.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi Stigma Orang Tua terhadap Penyakit
Tuberkulosis di BBKPM Bandung pada Bulan April-Mei 2012
(n=80)
Kategori Stigma
Rendah
Tinggi

Frekuensi
65
15

Persentase ( % )
81,25 %
18, 75 %

Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran stigma orang
tua terhadap penyakit tuberkulosis. Hasil penelitian tentang Gambaran Stigma Orang
Tua terhadap Penyakit Tuberkulosis di BBKPM Bandung menunjukan hampir
seluruh responden (81,75%) memiliki stigma rendah terhadap penyakit tuberkulosis
dan sebagian kecil responden ( 18,25 %) memiliki stigma tinggi terhadap penyakit
tuberkulosis. Stigma adalah proses sosial atau pengalaman pribadi yang ditandai
dengan pengucilan, penolakan, celaan, atau devaluasi karena adanya anggapan sosial
yang merugikan tentang individu maupun kelompok dikarenakan masalah kesehatan
tertentu (Kipp et al, 2011).
Van Rie et al (2008) dalam instrumennya menggunakan tiga domain kunci
mengukur stigma penyakit tuberkulosis. Domain ini merupakan indikator yang
digunakan untuk mengukur stigma. Ketiga domain tersebut yaitu kekhawatiran akan
penularan penyakit, nilai dan sikap yang berhubungan dengan perasaan malu, dan
penyingkapan status penyakit.

Courtwright and Turner (2010) mengemukakan bahwa meskipun ada variasi


dalam budaya dan faktor sosiodemografik yang turut menentukan stigma tetapi yang
menjadi penyebab utama adalah kekhawatiran terhadap penularan penyakit. Hasil
penelitian menunjukan hampir seluruh responden memiliki stigma rendah. Sedangkan
berdasarkan hasil studi pendahuluan didapatkan orang tua pada awalnya malu untuk
membawa anaknya berobat. Adanya perbedaan tersebut bisa disebabkan karena
berbagai faktor. Orang tua yang pada awalnya malu untuk membawa anaknya berobat
bisa memiliki stigma rendah dikarenakan setelah berobat mendapatkan infromasi
yang benar mengenai penyakit tuberkulosis maupun adanya dukungan dai petugas
kesehatan. BBKPM merupakan tempat layanan kesehatan paru yang juga
memberikan pelayanan konseling. Pasien yang berobat harus mengikuti penyuluhan
sehingga hal ini memungkinkan orang tua yang membawa anaknya berobat
mendapatkan informasi mengenai penyakit tuberkulosis.
Beberapa pasien tuberkulosis sering melaporkan adanya diskriminasi dari
orang lain. Pengalaman ini disebabkan karena orang-orang merasa takut tertular
penyakit tersebut. Orang tua menilai apakah orang lain akan menghindar terhadap
anaknya atau mungkin beberapa orang tua akan melarang anaknya bermain dengan
anak mereka.
Stigma rendah mengindikasikan adanya harapan yang tinggi akan proses
perawatan dan menunjukan bahwa program pengurangan stigma seharusnya
bertujuan untuk mengubah stigma menjadi dukungan bagi mereka (Soma et al, 2008).
Stigma merupakan interakasi sosial antara yang distigma dengan orang yang
8

menstigma. Stigma muncul karena pengalaman diskriminasi dari orang lain dan juga
perasaan malu yang muncul dari internal individu tersebut. Dukungan terhadap orang
tua dan anaknya sangatlah penting untuk mereduksi stigma dan dampaknya.
Courtwright and Turner (2010), mengatakan bahwa selain meningkatkan
pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis hal yang penting dalam mereduksi stigma
adalah dengan memberikan dukungan kepada orang yang distigma. Dukungan yang
diberikan kepada orang tua dan anakanya menjadi salah satu hal yeng penting
mengingat stigma berkaitan pula dengan nilai dan sikap dari individu yang
bersangkutan.
Dari domain yang terdapat dalam instrumen didapatkan

hampir seluruh

responden (85 %) memiliki hasil ukur rendah untuk domain penyingkapan status
penyakit. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukan bahwa hampir
seluruh responden memiliki stigma rendah.
Berdasarkan uraian mengenai stigma rendah dan dampaknya tidak
mengindikasikan bahwa stigma rendah harus dibiarkan saja. Harus diupayakan agar
stigma orang tua yang rendah tidak berubah menjadi stigma tinggi. Karena dari skor
yang menjadi kategori stigma rendah pun ada skor-skor yang bisa dianggap kritis dan
mendekati stigma tinggi. Meskipun telah dimiliki pengetahuan yang benar mengenai
penyakit kalau dukungan tidak diberikan dapat menyebabkan orang tua tidak
membawa anaknya berobat. Nilai dan sikap yang muncul dari internal individu yang
berhubungan dengan perasaan malu, bersalah, dan penilaian dari orang lain bisa
berubah jika kurangnya dukungan. Oleh karena itu, selain peningkatan pengetahuan
9

mengenai penyakit adanya dukungan dari berbagai pihak terhadap orang tua dan
anaknya harus menjadi fokus perhatian. Courtwright and Turner (2010)
mengemukakan bahwa adanya TB clubs memberikan pengaruh terhadap upaya
pereduksian stigma. TB clubs ini dimaksudkan agar tiap-tiap pasien atau dalam hal ini
orang tua tidak merasa sendiri. Dalam kelompok ini diharapkan adanya upaya saling
memotivasi dan mengingatkan dalam berobat antar sesama orang tua.
Dari penelitian juga didapatkan sebagian kecil responden (18,75 %) memiliki
stigma tinggi terhadap penyakit tuberkulosis.
Soma et al pada tahun 2008 menunjukan bahwa responden dengan stigma
tinggi merefleksikan bahwa penyingkapan status penyakit akan menimbulkan
masalah. Penyingkapan status penyakit memang menjadi masalah bagi pasien-pasien
tuberkulosis. Diketahuinya penyakit oleh orang lain merupakan masalah. Pandangan
negatif yang muncul dimasyarakat mengenai penyakit Tuberkulosis dapat
menimbulkan diskriminasi terhadap pasien tuberkulosis. Orang akan melarang
anaknya bermain dengan anak yang sakit tuberkulosis. Dengan demikian orang tua
penderita akan menyembunyikan status penyakit anaknya karena ditakutkan anaknya
minder. Dampak yang lebih dikhawatirkan adalah orang tua tidak membawa anaknya
pergi berobat karena takut orang lain mengetahui penyakit anaknya.
Berbagai

literatur

menyebutkan

bahwa

stigma

dapat

menyebabkan

keterlambatan penanganan, tertundanya pengobatan dan ketidakteraturan pengobatan.


Hal ini yang diperkirakan menjadi alasan adanya korelasi antara stigma dengan
tingginya angka morbiditas dan mortalitas penyakit tuberkulosis. Ketidak teraturan
10

dalam dalam berobat bisa menyebabkan Multi Drugs Resistence. Penelitian di


Amerika Serikat menunjukan bahwa MDR menyebabkan kematian yang lebih cepat.
Sebanyak 70-90 % pasien meninggal hanya dalam waktu empat sampai dengan enam
belas minggu.
Selain dampaknya terhadap proses pengobatan stigma dapat menyebabkan
anak-anak minder. Brakel (2005) menyebutkan bahwa stigma dapat menyebabkan
stress

psikologis, depresi, ketakutan, masalah dalam pernikahan, masalah dalam

pekerjaan dan menambah parahnya kondisi penyakit. Pada anak-anak mungkin


dampak-dampak tersebut tidak begitu berpengaruh. Namun, orang tua yang melarang
anaknya bermain dengan penderita tuberkulosis dapat menyebabkan anak penderita
tuberkulosis minder dan merasa tidak punya teman. Beberapa orang tua yang
berkunjung ke BBKPM sering tidak mengatakan bahwa anak mereka sakit
tuberkulosis karena takut anaknya malu dan dijauhi teman-temannya.
Pada penyakit tuberkulosis kekhwatiran mengenai terjadinya penularan
penyakit merupakan salah satu faktor yang menimbulkan diskriminasi. Oleh karena
itu, para ahli memasukan poin ini sebagai salah satu domain untuk mengukur stigma,
baik pada penyakit tuberkulosis maupun pada penyakit menular lainnya seperti
AIDS.
Begitu besarnya dampak stigma terhadap pasien dan penyakit tuberkulosis
menuntut para profesional kesehatan untuk mencari cara bagaimana mereduksi
stigma dimasyarakat. Penelitian kuantitatif dilakukan untuk mengetahui faktor yang
paling kuat mempengaruhi stigma dan juga untuk menentukan intervensi yang efektif
11

dalam upaya mereduksi stigma. Soma et al (2008) mengemukakan bahwa level


stigma merupakan barometer untuk menentukan sejauh mana kesuksesan program
yang diberikan dalam membantu pasien dan masyarakat dalam memahami penyakit
TB dan bagaimana pelayanan kesehatan yang efektif.
Dukungan terhadap orang tua dan anaknya tidak boleh disepelekan. Menurut
Courtwright and Turner (2010) pendekatan yang paling tepat dalam upaya untuk
mengurangi stigma adalah dari individu itu sendiri agar mampu menahan stigma dari
luar dan berusaha memahamkan orang lain tentang penyakit TB itu sendiri.
Dukungan yang positif akan membantu orang tua agar mampu memberikan
pemahaman yang benar kepada orang lain mengenai penyakit tuberkulosis.
Dukungan positif pun akan menumbuhkan konsep diri positif orang tua dan anaknya
agar mampu menangkal stigma yang muncul dari masyarakat.

SIMPULAN
Stigma rendah mengindikasikan bahwa penyingkapan akan status penyakit
bukanlah perkara yang besar bagi responden dan menunjukan harapan yang tinggi
agar stigma bisa diubah menjadi support. Domain yang paling tinggi dalam
pengukuran stigma tuberkulosis bagi orang tua yang anaknya menderita tuberkulosis
di Balai Besar Kesehatan Masyarakat (BBKPM) adalah kekhawatiran akan penularan
penyakit sehingga pemahaman yang benar mengenai penyakit tuberkulosis harus
menjadi perhatian.

12

Dalam hal ini, yang paling penting adalah upaya bertahan dari yang distigma
tersebut agar mampu memberikan pemahaman yang benar mengenai penyakit
tuberkulosis kepada orang lain.
Domain nilai dan sikap individu turut mendukung domain-doamin yang
lainnya. Pengetahuan yang tepat perlu di dukung oleh nilai dan sikap yang positif dari
internal individu tersebut.

SARAN
Bagi Pelayanan Kesehatan dan BBKPM Bandung
1. Memberikan dukungan dan motivasi agar mampu memiliki mkenisme koping
postif terhadap stigma dari masyarakat.
2. TB Clubs bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya memberikan dukungan
dan motivasi terhadap orang tua dan anaknya.
3. Petugas kesehatan hendaknya menjadi role model dengan bersikap tidak
diskriminatif terhadap anak penderita tuberkulosis dan orang tuanya
Bagi Institusi Pendidikan
Terus menggali informasi mengenai cara untuk mereduksi stigma
dimasyarakat dan dampaknya terhadap penyakit tuberkulosis pada anak.
Bagi Penelitian Selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan mampu melakukan penelitian
mengenai faktor-faktor sosiodemografik yang mempengaruhi stigma beserta
hubungan masing-masing faktor tersebut dengan stigma.
13

DAFTAR PUSTAKA
Brakel, W H V. 2005. Measuring health-related stigma- a literature review.
Measuring health-related stigma vs2.doc : 1-27. Available online at
http://www.kitpublishers.nl
Cramm, J M and Anna P N. 2011. The relationship between (stigmatizing) views and
lay public preferences regarding tuberculosis treatment in the Eastern Cape,
South Africa. International Journal for Equity in Health : 10 : 2. Available
online at http://search.proquest.com
Courtwright, A and Abigail N T. 2010. Tuberculosis and stigmatization : pathways
and interventions. Public health report : 125 : 34-42. Available online at
http://www.publichealthreports.org/
Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Available online
at http://www.depkes.go.id
__________. 2011. TBC masalah kesehatan dunia. Available online at
http://depkes.go.id
Gerdunas. 2011. Apa itu TBC. Available online at http://www.tbindonesia.or.id
Ginting T T, Wibisono S, Kusumadewi I, Damayanti R, Wiyono W H, Susanto M.
2008. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya gangguan jiwa
pada penderita tuberkulosis paru dewasa di RS persahabatan, Jakarta. J
Respir Indo. 28 : 20-21. Available online at http://isjd.pdii.lipi.go.id
Kipp A M, Pungrassami P, Nilmanat K, Sengupta S, Poole C, Strauss R P et al. 2011.
Socio-demographic and AIDS-related factors associated with tuberculosis
stigma in southern Thailand: a quantitative, cross-sectional study of stigma
among patients with TB and healthy community members. BMC Public Health
: 11 :675. Available online at http://search.proquest.com
Mathew and Takalkar. 2007. Living with tuberculosis: the myths and the stigma from
the Indian perspective. CID. 45:1247. Available online at
http://cid.oxfordjournals.org
Moya, M.M. 2010. Tuberculosis and stigma: impacts on health-seeking
behaviors and access in ciudad jurez, mxico, and el paso, texas. Texas :
University of Texas. Available online at http://search.proquest.com
Permatasari, A. 2005. Pemberantasan penyakit TB paru dan strategi DOTS.
Available online at http://library.usu.ac.id
Rachmawaty dan Turniani. 2006. Pengaruh dukungan sosial dan pengetahuan
tentang penyakit TB terhadap motivasi untuk sembuh penderita tuberkulosis
paru yang berobat di puskesmas. Buletin penelitian kesehatan : vol.9 : 134141. Available online at http://jurnal.pdii.lipi.go.id
Rofiq, A. 2001. Kejadian putus berobat penderita tuberkulosis paru dengan
pendekatan DOTS. Available online at http://digilib.litbang.depkes.go.id
Soma D, Thomas B E, Karim F, Kemp J, Arias N, Auer C, et al. 2008. Gender and
socio-cultural determinants of TB-related stigma in Bangladesh, India,

14

Malawi, Colombia. Interanational journal tuberculosis lung disease : 12 : 856866. Available online at http://docstore.ingenta.com
Stevens P, Schade A, Chalk B, Slevin O. 2006. Pengantar Riset Pendekatan Imiah
untuk Profesi Kesehatan. Terj. Widyastuti. Jakarta : EGC
UKK Respirologi. 2007. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta: UKK
Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Van Rie A, Sengupta S, Pungrassami P, Balthip Q, Choonuan S, Kasetjaroen Y et
al. 2008. Measuring stigma associated with tuberculosis and HIVAIDS in
southern Thailand: exploratory and confirmatory factor analyses of two new
scales. Tropical Medical and International Health : 13 : 21-30. Available
online at http://www.kit.nl
World Health Organization. 2011. Tuberculosis. Available online at
http://www.who.int

15

Anda mungkin juga menyukai