Anda di halaman 1dari 12

PEMILU INDONESIA

FAKTA DAN OPTIMISME TERHADAP IDEALITA


M. Misbahul Mujib, M.Hum
Makalah untuk syarat Calon Anggota KPU Bantul (20 Agustus 2008)

PENDAHULUAN
Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah
pemilihan umum. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut menentukan
figure dan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu. Ide
demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah
kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Maka ketika
demokrasi

mendapatkan

perhatian

yang

luas

dari

masyarakat

dunia,

penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam


pembentukan kepemimpinan sebuah negara.
Pemilu memiliki fungsi utama dalam hal sirkulasi elit yang teratur dan
berkesinambungan. Sebuah kepemimpinan yang lama tanpa dibatasi periode
tertentu, dapat menjurus pada pada kepemimpinan yang korup dan sewenang
wenang. Banyak contoh dalam sejarah dunia yang memperlihatkan betapa
kekuasaan yang absolut, tanpa pergantian elit yang teratur dan berkesinambungan,
mengakibatkan daya kontrol melemah dan kekuasaan menjadi korup dan
sewenang-wenang.
Tetapi pemilu yang teratur dan berkesinambungan saja tidak cukup untuk
menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat.
Pemilu merupakan sarana legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa,
betapapun otoriternya pasti membutuhkan dukungan rakyat secara formal untuk

*)

Makalah untuk syarat calon anggota KPU Bantul 20 Agustus 2008

melegitimasi kekuasaannya. Maka pemilu sering kali dijadikan alat untuk


pelegitimasian kekuasaan semata. Cara termudah yang dilakukan adalah mengatur
sedemikian rupa teknis penyelenggaraan pemilu agar hasil dari pemilu memberi
kemenangan mutlak bagi sang penguasa dan partai politiknya. Pemilu merupakan
icon demokrasi yang dapat dengan mudah diselewengkan oleh penguasa otoriter
untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya. Maka selain teratur dan
berkesinambungan, masalah system atau mekanisme dalam penyelenggaraan
pemilu adalah hal penting yang harus diperhatikan.
Sebuah pemilu yang demokratis memiliki beberapa persyaratan. Pertama,
pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik
maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang
sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak hak politik yang
sama dan dijamin oleh undang undang (UU), seperti kebebasan berbicara,
mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat.
Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam
menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang
diatur dalam UU. Misalnya stasiun televisi milik negara harus memberikan
kesempatan yang besar pada partai politik yang berkuasa, sementara kesempatan
yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta pemilu lainnya
Kedua, pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Artinya pemilihan
harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Misalnya
setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali. Pemilihan berkala merupakan
mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang terpilih bertanggung jawab pada

pemilihnya dan memperbaharui mandat yang diterimanya pada pemilu


sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang bersangkutan jika
merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat pula
menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih
bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari
pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat
perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan
diri lagi untuk bersaing dalam pemilu berikut. Ketiga, pemilu haruslah inklusif.
Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin,
penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus
memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu
kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini
diharapkan

akan

tercermin

dalam

hasil

pemilu

yang

menggambarkan

keanekaragaman dan perbedaan perbedaan di masyarakat.


Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan
mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah
tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh
informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan yang cukup
dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal)
berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali
memilih, pemilih akan teken kontrak dengan partai atau orang yang dipilihnya
dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik,
keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.

Kelima, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen.


Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan
peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan
suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian cursi dan sebagainya.
Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu.
Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen,
dan profesional Sangay menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika
penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal
dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi.
Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.

SEJARAH KELAM PEMILU INDONESIA


Pengalaman rakyat Indonesia dengan pemilu sudah berusia lebih setengah
abad. Pemilu pertama di awal kemerdekaan pada tahun 1955 tercatat dalam
sejarah sebagai pemilu multipartai yang demokratis. Peserta pemilu terdiri dari
partai politik dan perseorangan, serta diikuti lebih dari 30 kontestan. Hasil pemilu
1955 memberikan cetak biru bagi konfigurasi pengelompokan politik masyarakat
yang tercermin dalam konfiguarsi elit. Setelah pemilu 1955, pemilu berikutnya
terjadi di era Orde Baru. Kelebihan pemilu-pemilu orde baru keberkalaannya.
Penguasa orde baru berhasil menyelenggarakan pemilu secara teratur tiap lima
tahun sekali. Tetapi kelemahan mendasarnya adalah pemilu-pemilu orde baru
diselenggarakan dengan tidak memenuhi persyaratan sebuah pemilu yang
demokratis. Dibuktikan rata-rata pemilu pemilu orde baru diikuti oleh lebih dari

80 % pemilih, bahkan nyaris mendekati 90 % pemilih. Sebuah tingkat partisipasi


politik yang tidak dijumpai di negaran kampiun demokrasi seperti inggris dan
Amerika Serikat. Namun aturan penyelenggaraan pemilu-pemilu tersebut
memiliki cacat kronis.
Pertama, tidak ada kompetisi yang sehat dan adil diantara peserta pemilu.
Hal itu dilihat dari adanya undang undang yang membatasi jumlah partai peserta
pemilu, yaitu hanya diikuti oleh 3 partai politik (PPP, Golongan Karya, PDIP).
Kedua, tidak ada kebebasan dan keleluasaan bagi pemilih untuk
mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihannya. Secara sistematis,
penguasa orde baru menggunakan jalur birokrasi untuk memenangkan pemilu.
Bahkan pada pemilu 1971, Menteri Dalam Negeri ketika itu sempat membuat
edaran agar pegawai negeri memiliki loyalitas tunggal hanya pada pemerintah,
yang diterjemahkan sebagai loyal pada partai penguasa.
Ketiga, penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen
Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan penyelenggara pemilu tidak terpenuhi
karena pemerintah adalah bagian dari partai berkuasa dan menjadi salah satu
peserta pemilu pula. Dengan demikian besar peluang untuk terjadinya kecurangan
dalam mekanisme teknis pemilu, yang tentu saja merugikan peserta pemilu
lainnya (selain partai berkuasa). Sehingga syarat kompetitif yang adil dan bebas
tidak terpenuhi. Partai berkuasa memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik
dari pada partai-partai oposisi.

FAKTA PEMILU INDONENSIA PASCA ORDE BARU


Lengsernya soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998 menjadi
catatan sejarah penting dalam perjalanan Indonesia. Reformasi menjadi era baru
setelah era orde baru. Peristiwa itu merupakan sebuah kesempatan besar dari
sebuah kebebasan beroroganisasi termasuk mendirikan partai.
Kenyataan ini paling tidak terlihat saat kebijakan multipartai dicanangkan
menyambut pemilu 1999. Momen reformasi menjadikan partai Indonesia ibarat
jamur di musim hujan. Diperkirakan ada 181 parpol baru yang sempat terbentuk.
Dari sejumlah itu, hanya 48 parpol saja yang kemudian lolos kualifikasi dan
berhak menjadi kontestan pemilu. Hingga akhirnya hanya 21 parpol saja yang
berhasil meraih kursi di lembaga legislatif
Jika mengacu pada ketentuan UU no.4 tahun 1999 tentang pemilu, ada
enam partai yang dikatakan berhasil melampaui dua persen kursi (electrocal
threshold) di DPR. Keenam partai terebut adalah PDI Perjuangan (153 kursi),
Golkar (120 kursi), PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), dan PBB (13
kursi).
Dengan berbagai modifikasi, seperti kebijakan pilpres dan wapres RI
secara langsung, pada pemilu 2004 pemerintah tetap melanjutkan kebijakan
multipartai tersebut. Saat itu pun berbagai partai baru bermunculan. Selain partai
yang sudah mapan seperti PDIP,Golkar,PPP,PKB,PAN, dan PBB ternyata ada dua
partai baru yang mendapat porsi tersendiri di masyarakat, yaitu partai keadilan
sejahtera (PKS) dan partai Demokrat.

Di samping semakin beragamnya kehadiran partai, peran partai saat ini


tidak hanya berada di lingkungan legislatif semata. Di dalam pemerintahan pun
kiprah partai menjadi lebih dominan. Terbukti, dalam pembentukan kabinet, tokoh
dari partai-partai yang mendapat suara besar di masyarakat dapat menduduki
jabatan kementrian, bahkan hingga kedudukan presiden dan wakil presiden.
Menjelang pemilu multipartai yang kedua pada tahun 2004, lembaga
penelitian, pendidikan dan penerangan ekonomi dan social (LP3ES) sempat
mengadakan jajak pendapat terhadap hasil dari pemilu 1999. Dari jajak pendapat
yang bersifat acak tersebut, ternyata masyarakat cenderung ragu bahwa partaipartai politik yang ada akan memenuhi komitmennya pada kepentingan
masyarakat setelah pemilu usai. Mereka bercermin pada pemilu 1999 yang dinilai
hasilnya tak memuaskan. Karena itu, menjelang pemilu legislatif yang digelar 5
April 2004 lalu, masih banyak masyarakat yang belum menentukan pilihannya
(undecided voter). Jajak pendapat tersebut menemukan fakta bahwa angka
undecided voter cukup tinggi, berkisar antara 35% hingga 60% dari seluruh partai
berdasarkan perbandingan pemilu 1999.
Jajak pendapat tersebut juga mencatat 60% responden menyatakan tidak
puas dengan hasil pemilu 1999. 43% responden menyatakan tidak yakin,
sedangkan 24% tak punya pendapat apa-apa. Hanya 33% yang berpikiran
sebaliknya, bahwa pemilu 2004 akan membawa perubahan. Sebagian responden
juga tak melirik partai-partai baru yang bermunculan pasca 1999. Sebanyak 74%
responden yang rata-rata berusia 17 tahun atau sudah menikah itu ternyata tidak
dapat menyebutkan partai-partai baru tersebut.

Calon-calon pemilih pada pemilu 2004 juga ternyata belum bisa


menentukan pilihannya pada pemilu legislatif. Meski begitu, mereka cenderung
akan melirik calon anggota legislatif yang tidak korupsi. Untuk parpolnya, 59%
responden menyatakan tak tahu saat ditanya partai mana yang akan dipilih,
sisanya sebagian besar pilihan diraih partai golkar dengan 14%, disusul PDIP 9%,
PAN dengan 4%, partai lain harus gigit jari dengan rata-rata 2%.
Setelah dua kali bangsa ini melaksanakan pemilu multipartai, ternyata
masyarakat tetap tidak puas terhadap kinerja partai yang ada. Hasil survey indo
barometer yang dilakukan di 33 provinsi di seluruh Indonesia dalam kurun waktu
26 November hingga 7 Desember 2007, dengan menggunakan metode multistage
random sampling, ternyata menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menilai
kinerja pada politik masih buruk dan tidak memuaskan publik. Jumlah sample
diambil sebanyak 1200 responden, dengan margin of error sebesar kurang lebih
3,0% pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tingkat kepuasan hanya
sebesar 30,1%, tidak puas 54,6% dan yang tidak tahu atau tidak menjawab 15,3%.
Buruknya penilaian masyarakat terhadap kinerja parpol bukan tanpa sebab.
Meski bermunculan partai baru, masyarakat menganggap parpol, baik baru
maupun yang sudah mapan, belum mampu memenuhi aspirasi masyarakat. Fakta
di lapangan diakui atau tidak masih banyak yang masih melangengkan budaya
money politik. Hal ini mengasumsikan bahwa pemilu hanya menjadi sarana untuk
memperoleh kekuasaan saja. Hal tersebut tidak juga dibarengi pendidikan
masyarakat yang matang tentang arti pentingnya pemilu, sehingga tidak sedikit

masyarakatpun menjadikan pemilu sebagai ajang untuk memperoleh penghasilan


tambahan.
Namun setidaknya semua itu menjadi pembelajaran bagi masyarakat.
Bagaimana tidak masyarakat yang berharap usai pemilu keadaan akan berubah
harus kecewa berat. Janji-janji muluk yang dilontarkan semasa kampanye
tinggallah janji. Usai pemilu partai cenderung meninggalkan konstitusinya dan
menyibukkan diri dengan kepentingan partai atau bahkan kepentingan pribadi
anggota partai ketimbang kepentingan masyarakat.
Pada sisi lain, kiprah parpol sebagai entitas politik lebih mencitrakan
sebuah satuan politik untuk mencapai kekuasaan atau bentuk-bentuk keuntungan
materi lainnya daripada saluran kehendak umum. Bahkan sering denga era
pilkada, peran parpol yang asal mencari menang kian terlihat. Koalisi antar parpol
yang bersebrangan ideologi atau beradu kepentingan di tingkat pusat, pudar di
daerah menjadi kendaraan politik untuk memenangkan calon yang dimajukan.
Lebih menyedihkan lagi, peran parpol sejak tahap pengorganisasian
internal, penyerapan dan pelaksanaan aspirasi masyarakat sampai dengan
kemampuan mereka dalam mengambil jarak terhadap kebijakan pemerintah
sebagai pengoreksi juga sangat rendah. Yang terjadi parpol malah menjadi
pemberi stempel dengan melegitimasi kepentingan penguasa. Lebih parah lagi,
beberapa parpol menjadi kaki tangan kepentingan asing dengan mengesahkan UU
migas, UU Penanaman modal, UU SDA, dan UU parpol.
Surutnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol juga terekam dari hasil
jajak pendapat kompas. Sebagain besar (66,5% responde) menyatakan

ketidakpuasannya terhadap kinerja wakil rakyat dari parpol yang mereka pilih
dalam pemilu 2004. tak ada satu pun dari tujuh parpol besar pemilu 2004 yang
bisa

memuaskan

masyarakat.

Sebagian

besar

responden

menyatakan

kekecewaannya terhdapa kiprah para politisi dari parpol yang mereka pilih dalam
pemilu, baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatif
Dalam wujud aspirasi politik, kekecewaan publik terhadap parpol
tampaknya akan diwujudkan dengan mengubah pilihan artai dalam pemilu nanti.
Sebanyak 41,7% responden menyatakan akan mengubah pilihan parpolnya
seandainya ada pemilu saat ini. Hanya sekitar 28,2% yang tetap setia memilih
parpol pilihan pada 2004.
Pengamat politik lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli
menilai, kinerja parpol yang buruk semakin meruntuhkan kepercayaan
masayarakat terhadap parpol tersebut. Akibatnya, pada pemilu 2009 siperkirakan
jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya (golput) semakin bertambah.

MEWUJUDKAN IDEALITA PEMILU INDONESIA


Perbaikan Sistem dan Edukasi
Sejak berakhirnya kekuasaan Orde Baru secara formal, Indonesia
memasuki periode peralihan dari situasi otoriter ke transisi demokrasi.
Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa periode transisi demokrasi
umumnya memakan waktu lama, sampai satu atau dua dekade tergantung dari
intensitas transisi yang berakibat pada perubahan mendasar dalam sistem politik
dan juga sistem ekonomi. Tak terkecuali bagi Indonesia.

10

Perubahan itu diawali dengan penyelenggaraan pemilu sebagai mekanisme


demokratis untuk melakukan sirkulasi elit. Pejabat lama yang tidak dipercaya
perlu diganti dengan pejabat baru yang dapat lebih dipercaya dan accountable
melalui pemilu yang demokratis. Pemilu yang dilaksanakan pada masa transisi
adalah pemilu yang strategis karena merupakan sarana untuk membersihkan
elemen otoriterisme dalam kekuasaan secara evolutif. Pemilu masa transisi juga
menjadi sarana bagi pemikiran pemikiran, gagasan gagasan atau kader kader
baru yang segar dan tidak koruptif ke dalam lingkar kekuasaan. Jika pemilu masa
transisi berhasil melembagakan proses sirkulasi elit secara demokratis, maka
situasi transisi akan berubah menuju konsolidasi demokrasi. Sementara jika tidak
berhasil, maka ada peluang besar bagi elemen otoriterisme untuk menkonsolidasi
diri dan menunggu kesempatan untuk berkiprah kembali dalam pentas politik.
Oleh karena itu, mengingat arti penting pemilu pada masa transisi, terutama
pemilu 2004 yang lalu, maka semua penggerak demokrasi serta warga yang peduli
akan tercapainya konsolidasi demokrasi di Indonesia, perlu meneguhkan
komitmen untuk menjaga Pemilu 2009 agar dapat menjadi batu loncatan ke arah
pemilu selanjutnya yang diharapkan lebih demokratis. Walaupun diakui pula
bahwa perangkat UU Pemilu, Partai Politik dan aturan pemilu lainnya yang
dihasilkan DPR masih belum sempurna dan mengandung sejumlah permasalahan.
Sebaliknya, tanpa keberhasilan mengawal Pemilu 2009, maka sulit mengharapkan
pemilu selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih baik bagi terjadinya
sirkulasi elit dan pelembagaan demokrasi.

11

Berdasarkan realita pemilu yang terjadi di Indonesia, maka setidaknya ada


dua agenda penting yang menurut hemat kami perlu dirumuskan. Karena
bagaimanapun pemilu mempunyai arti penting terhadap tumbuh kembangnya
kedaulatan rakyat Indonesia. Pertama pemberian pendidikan pemilu terhadap
masyarakat. Kedua Perbaikan sistem dan perundang-undangan
Membangun kesadaran masyarakat dalam pengetahuannya mengenai
pemilihan umum merupakan suatu keharusan. Masyarakat harus diberi education
mengenai berbagai hal yang bersangkutan mengenai pemilu, tidak hanya
mengenai teknis pelaksanaan pemilu namun juga mengenai bagaimana
menentukan pilihan dalam pemilu, sehingga masyarakat mengetahui arti
pentingnya

diselenggarakannya

pemilu.

Hal

ini

sangat

penting

untuk

menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam berpolitik. Masyarakat yang telah


sadar untuk berpolitik adalah masyarakat yang berpolitik berdasarkan kesadaranya
sendiri, tanpa pengaruh pihak luar ataupun money politik. Karena bagaimanapun
arti benarnya demokrasi adalah partisipasi dan kedaulatan rakyat yang hakiki di
mana masyarakat bebas menentukan partisipasinya.
Pemberian education kepada masyarakat harus didukung dengan adanya
perubahan sistem yang berlaku dalam parpol. Apabila tidak, masyarakat akan
tetap kecewa dan akhirnya menimbulkan suatu masyarakat yang pragmatis dan
apatis. Akhirnya pesta demokrasi hanya akan menjadi suatu rutinitas yang
menghamburkan miliaran rupiah tanpa arti.

12

Anda mungkin juga menyukai