Anda di halaman 1dari 14

4

.BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Air
Air adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Air

merupakan kebutuhan yang penting bagi semua kehidupan dimuka bumi, karena
tanpa air kehidupan tidak dapat berlangsung. Air baku adalah air yang digunakan
sebagai sumber/bahan baku untuk penyediaan air bersih. Sumber air baku yang
bisa digunakan untuk penyediaan air minum yaitu air hujan, air permukaan seperti
air sungai, air tanah dan mata air. Air banyak digunakan untuk kebutuhan air
minum, kebutuhan rumah tangga, kebutuhan industri dan kebutuhan lain-lainnya.
Namun air banyak mengalami pencemaran diantaranya yaitu:
a. Sumber domestik (rumah tangga, kota, perkampungan, pasar, jalan, dan
sebagainya.io;
b. Sumber non-domestik (industri, perikanan, peternakan, pertanian, serta
sumber-sumber lainnya).
Sumber pencemar tersebut secara langsung ataupun tidak langsung akan
mempengaruhi kualitas air. Berbagai upaya telah dilakukan agar kehadiran
pencemaran terhadap air dapat dihindari atau setidaknya dapat dikurangi.
2.1.1. Pengertian Air Minum
Pengertian air minum menurut Permenkes RI No 492/ MENKES/ PER/
IV/2010 adalah air yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat dan tidak
menimbulkan gangguan kesehatan. Sedangkan pengertian lain air minum menurut
PP No 16 tahun 2005 adalah air minum rumah tangga yang melalui proses
pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan
dapat langsung diminum. Standar kualitas air minum yang ada di Indonesia saat
ini menggunakan Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 yaitu mengenai
SyaratSyarat dan Pengawasan Kualitas Air dan PP RI No.82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, sedangkan standar
kualitas air minum berdasarkan Kepmenkes RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002
mengenai Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.

2.2.

Koagulan Tawas (Aluminium Sulfat)


Tawas atau aluminium sulfat adalah kelompok garam rangkap berhidrat

berupa kristal dan bersifat isomorf. Aluminium sulfat biasanya dihasilkan oleh
reaksi antara aluminium hidroksida dan asam sulfat, dengan produk yang
dihasilkan yaitu berupa padatan terhidrat dan larutan. Aluminium sulfat cair dalam
banyak kasus diperoleh setelah mengencerkan aluminium sulfat hidrat yang solid
dalam air.
Tawas sudah lama digunakan dalam pengolahan dan penjernihan air
PDAM. Hampir semua teknologi pengolahan air minum menggunakan tawas dan
variannya untuk menjernihkan air sungai. Tawas adalah nama pasar untuk
aluminum sulfat dan sudah lama diterapkan dalam pengolahan air di PDAM.
Tawas menjadi salah satu zat penambah konsentrasi aluminum dalam air minum
yang dapat berdampak negatif pada kesehatan (Cahyana, 2012).
Aluminum sesungguhnya terkandung dalam air tanah dan air sungai secara
alamiah. Dalam proses pengolahan air diperlukan koagulan untuk memisahkan zat
padat penyebab kekeruhan seperti koloid dan padatan tersuspensi (suspended
solid). Namun dapat juga digunakan larutan ferisulfat. Fungsi koagulan tawas dan
ferisulfat adalah untuk menghilangkan kestabilan koloid atau destabilisasi agar
koloid dapat bergabung menjadi lebih besar dan berat, serta membentuk
makroflok sehingga mudah mengendap.
Setelah melewati unit pengendap atau sedimentasi, air baku yang keruh
akan mulai jernih setelah di saring di unit filter. Namun persoalannya, air yang
dihasilkan masih kaya aluminum meskipun air yang diperoleh sudah jernih.
Bukan hanya kaya aluminium koagulan tawas yang bisa saja mengandung krom
dan merkuri yang termasuk zat berbahaya dan beracun jika terlalu banyak
menggunakan koagulan. Kewajiban PDAM adalah untuk mencarikan dosis
optimumnya agar pelanggan setianya tidak sampai sakit ginjal akibat aluminum
dan harus rutin cuci darah (hemodialisis).
2.3.

Limbah Padat Lumpur PDAM


Limbah adalah hasil buangan dari suatu proses produksi baik yang berasal

dari industri maupun domestik (rumah tangga). Biasanya limbah industri akan

selalu membawa dampak negatif terlebih lagi limbah keluaran industri yang
melebihi ambang batas lingkungan. Untuk mengurangi dampak buruk tersebut,
maka limbah padat lumpur PDAM perlu dilakukan pengolahan yang tepat dan
sesuai agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Beberapa proses terbentuknya lumpur secara rinci, yaitu:
2.3.1. Proses Koagulasi
Menurut Kusnaedi (2000), reaksi koagulasi dapat berjalan dengan
menambahkan zat pereaksi kimia (koagulan) sesuai dengan zat yang terlarut.
Koagulan yang biasa digunakan seperti tawas, kapur dan kaporit. Pemilihan
koagulan biasanya didasarkan pada garam-garam seperti Al, Ca dan Fe yang
bersifat tidak larut dalam air dan mampu mengendap bila bertemu dengan sisasisa basa. Proses tersebut digambarkan pada Gambar 2.1:

Gambar 2.1. Proses Terbentuknya Endapan


(Sumber : Kusnaedi, 2000)

Proses koagulasi dilakukan untuk memisahkan koloid dari air baku yang
akan dijernihkan, dimana koloid yang merupakan partikel sangat halus dan sangat
sukar untuk diendapkan dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk
mengendapkannya. Namun koloid akan mudah mengendap jika ukuran partikel
koloid diperbesar, yaitu dengan cara menggabungkan partikel-partikel koloid
tersebut melalui proses koagulasi dengan penambahan koagulan (Retno dan
Winda, 2010)
Flok terbentuk dari partikel koloid yang tidak stabil. Dengan adanya
muatan positif yang cukup dan merata maka akan terbentuk flok-flok kecil yang
dapat diendapkan, maka antara sesama flok-flok kecil tersebut harus terus
bergabung sampai menjadi flok yang cukup besar untuk bisa mengendap. Oleh
karena itu diperlukan penambahan koagulan sehingga flok-flok kecil tersebut
saling mengikat dan membentuk flok yang lebih besar.

2.3.2. Proses Flokulasi


Flokulasi terjadi karena adanya tumbukan antara flok-flok kecil dari proses
koagulasi sehingga saling menempel dan bergabung membentuk flok yang
ukurannya lebih besar. Agar diperoleh intensitas tumbukan yang memadai maka
diperlukan juga pengadukan atau aliran yang turbulen tetapi turbulensinya harus
lebih kecil dari aliran turbulen pada proses koagulasi. Proses ini bertujuan untuk
membentuk flok atau partikel yang lebih besar agar dapat diendapkan. Faktorfaktor yang mempengaruhi bentuk flok-flok menjadi partikel yang lebih besar dan
dapat mengendap dengan gravitasi adalah kekeruhan pada air baku, jenis dari
suspensi solid, pH, alkali, bahan koagulan yang ditambahkan, dan lamanya proses
pengadukan (Suherman, 2003).
2.3.3. Sedimentasi (Pengendapan)
Sedimentasi adalah proses pengendapan partikel-partikel padat yang
tersuspensi dalam zat cair karena adanya pengaruh gravitasi secara alami. Proses
pengendapan dengan adanya pengaruh gravitasi bertujuan untuk mengendapkan
partikel-partikel tersuspensi yang lebih berat daripada air. Sedimentasi bertujuan
untuk mereduksi bahan-bahan tersuspensi (kekeruhan) dari dalam air dan dapat
berfungsi untuk mereduksi adanya kandungan organisme (patogen) tertentu di
dalam air.
Proses sedimentasi dengan cara pengendapan dimana masing-masing
partikel tidak mengalami perubahan bentuk, ukuran, ataupun kerapatan selama
terjadinya

proses

pengendapan.

Sedimentasi

merupakan

suatu

proses

pengendapan yang terjadi apabila padatan mempunyai berat jenis yang lebih besar
dari pada air sehingga mudah untuk tenggelam atau mengendap. Prinsip
sedimentasi yaitu proses pemisahan bagian padat dengan memanfaatkan gaya
gravitasi sehingga bagian yang padat akan berada di dalam kolam pengendapan
sedangkan air murni berada diatas (Kusnaedi, 2000).
Limbah hasil dari sedimentasi atau pengendapan berupa padatan lumpur
yang sebagian besar masih mengandung Al(OH)3 yang dibuang dan ditimbun
dalam kolom-kolam penampungan sebenarnya dapat diolah kembali menjadi
alumina (Al2O3) melalui proses hasil pengolahan kembali. Dari tiga proses di atas

maka akan terbentuklah lumpur. Lumpur yang berasal dari zat-zat pengotor dalam
air ini tidak dapat lagi dimanfaatkan. Namun, berdasarkan penelitian Sugiantoro
(2009), lumpur ini dapat digunakan sebagai koagulan dalam proses pengolahan air
baku.
2.3.4. Pengaruh Limbah Padat Lumpur PDAM terhadap Kedangkalan
Sungai Musi Palembang.
Sungai Musi di Palembang memiliki banyak peran di dalam kehidupan
perekonomian masyarakatnya. Sungai Musi tidak hanya berperan sebagai sarana
transportasi, namun juga sebagai penyedia air bahan baku industri dan kehidupan
sehari-hari, sehingga wajar bila dikatakan sebagai urat nadi Palembang. Namun
saat ini sungai Musi mulai menemui berbagai macam masalah, salah satu
diantaranya yaitu terjadi pendangkalan sungai yang terus meningkat setiap
tahunnya. Idealnya kedalaman sungai Musi berkisar dari 12 sampai 15 meter,
tetapi dikarenakan masalah pendangkalan tersebut, saat ini di beberapa daerah
tertentu menurut Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia atau Indonesia National
Shipowners Association (INSA) wilayah Sumatera Selatan, hanya berketinggian
tujuh meter (www.tribunnews.com/regional/2014/04/28/sungai-musi-kini-hanyamiliki-kedalaman-7-meter, 2014).
Secara umum pendangkalan sungai sendiri dapat terjadi karena adanya
pengendapan partikel padatan yang terbawa oleh arus sungai, seperti di
waduk/dam, kelokan sungai (meander), ataupun muara sungai. Partikel ini bisa
berupa padatan besar, seperti sampah, ranting, dan lainnya. Namun, sumber utama
partikel tersebut biasanya berupa partikel tanah sebagai akibat dari erosi yang
berlebihan di daerah hulu sungai. Air hujan akan membawa dan menggerus tanah
subur yang berada di permukaan dan melarutkannya, kemudian akan terbawa ke
sungai, membentuk suspensi. Hasil partikel yang terbawa ini biasanya akan
berupa lumpur tanah dan kemudian tersedimentasi di dasar sungai.
Air baku yang berasal dari air sungai Musi dipakai di dalam produksi air
minum PDAM Tirta Musi, setelah selesai proses penjernihan menjadi air minum,
akan menghasilkan limbah padat lumpur yang akan ditampung pada bak-bak
penampungan. Limbah padat lumpur tersebut kemudian akan dibuang kembali ke

sungai Musi. Dengan demikian, hal ini dapat menambah volume lumpur di Sungai
Musi dan menambah risiko pendangkalan. Volume lumpur berdasarkan data dari
PDAM Tirta Musi dapat dilihat di bawah ini:
Produksi air baku

= 10.084.219 m3 / Tahun

Kandungan lumpur

= 3% / m3 air baku

Produksi lumpur per tahun

= Produksi air baku x % kandungan lumpur dalam


air baku
= 10.084.219 m3 x 3 %
= 302.536, 57 m3/ Tahun
= 302.536, 57 ton/ Tahun

Volume lumpur yang mengendap di muara Sungai Musi berkisar 2 juta


hingga 3 juta meter kubik per tahun (Kompas, 2010) jumlah ini merupakan total
dari lumpur yang berada di sungai. Sehingga bila tidak ada solusi untuk
mereduksi jumlah tersebut akan terjadi pendangkalan di Sungai Musi. Solusi yang
dapat dilakukan adalah mengupayakan pengerukan dasar sungai (dredging) yang
bertujuan untuk mengangkat partikel-partikel lumpur yang telah tersedimentasi di
dasar sungai ke daerah lain.
Solusi lainnya adalah dengan mengolah kembali limbah lumpur PDAM
yang menjadi salah satu penyebab pendangkalan sungai Musi tersebut menjadi
koagulan atau hal-hal bernilai ekonomis lain. Bila tidak dilakukan, hal itu akan
menganggu jalannya transportasi, karena kapal-kapal besar dari luar Sumsel
bahkan luar negeri tidak dapat masuk ke ilir lebih jauh, sehingga berimbas pada
terganggunya kegiatan perekonomian.
Sungai Musi adalah sebuah sungai yang terletak di provinsi Sumatera
Selatan, Indonesia. Dengan panjang 750 km, sungai ini merupakan yang
terpanjang di pulau Sumatera dan membelah Kota Palembang menjadi dua bagian
yakni Seberang Ilir di bagian utara dan Seberang Ulu di bagian selatan. Sungai
Musi, bersama dengan sungai lainnya, membentuk sebuah delta di dekat Kota
Sungsang. Mata airnya bersumber di daerah Kepahiang, Bengkulu. Sungai Musi
disebut juga Batanghari Sembilan yang berarti sembilan sungai besar, pengertian

10

sembilan sungai besar adalah Sungai Musi beserta delapan sungai besar yang
bermuara di sungai Musi. Adapun delapan sungai tersebut adalah : Sungai
Komering, Sungai Rawas, Sungai Leko, Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai
Lematang, Sungai Semangus, Sungai Ogan, Lahan seluas 3 juta ha di daerah
aliran sungai (DAS) Musi dianggap kritis akibat maraknya penebangan liar.
Kondisi ini dapat memicu banjir bandang dan tanah longsor.
2.4.

Proses Pengolahan Air di PDAM

Gambar 2.2. Proses Pengolahan Air di PDAM

Proses pengolahan air baku menjadi air minum melalui beberapa tahap:
2.4.1. Bangunan Intake
Bangunan intake berfungsi sebagai tempat bangunan pertama untuk
masuknya air dari sumber air. Pada umumnya, sumber air baku untuk pengolahan
air bersih, diambil dari sungai-sungai. Pada setiap bangunan intake biasanya
terdapat bar screen yang berfungsi untuk menyaring benda-benda yang ikut
tergenang dalam air. Selanjutnya, air tersebut akan masuk ke dalam sebuah bak
yang akan dipompakan ke bangunan selanjutnya, yaitu water treatment plant.
2.4.2. Water Treatment Plant
Water treatment plant adalah bangunan utama pengolahan air bersih.
Biasanya water treatment plant terdiri dari 4 bagian, yaitu : bak koagulasi, bak
flokulasi, bak sedimentasi serta bak filtrasi dan penambahan desinfektan.
a. Koagulasi
Dari bangunan intake, selanjutnya air akan dipompakan ke bak koagulasi.
Koagulasi adalah proses pencampuran bahan kimia (koagulan) dengan air baku

11

sehingga membentuk campuran yang homogen. Dengan koagulasi, partikelpartikel koloid akan saling menarik dan menggumpal membentuk flok
(Suryadiputra, 1995). Partikel-partikel koloid yang terbentuk biasanya sulit untuk
dihilangkan jika hanya dilakukan dengan pengendapan secara gravitasi. Tetapi
jika koloid-koloid tersebut distabilkan dengan cara agregasi atau koagulasi maka
koloid tersebut akan menjadi partikel yang lebih besar sehingga koloid-koloid
tersebut dapat dihilangkan dengan cepat.
Pada proses koagulasi ini dilakukan proses destabilisasi partikel koloid,
karena air sungai atau air-air kotor biasanya mengandung berbagai jenis partikel
koloid. Proses destabilisasi partikel koloid ini bisa dilakukan dengan penambahan
bahan kimia seperti tawas, ataupun dilakukan secara fisik dengan metode rapid
mixing (pengadukan cepat), hidrolis (terjunan atau hydrolic jump), maupun
dengan secara mekanis (menggunakan batang pengaduk).

Gambar 2.3. Proses Koagulasi

b. Flokulasi
Setelah dari unit koagulasi, kemudian air akan masuk ke dalam unit
flokulasi. Unit flokulasi ini ditujukan untuk membentuk dan memperbesar flokflok yang berasal dari unit koagulasi. Teknisnya adalah dengan cara dilakukan
pengadukan lambat (slow mixing). Flokulasi adalah suatu mekanisme dimana
flok-flok kecil yang telah terbentuk dalam proses koagulasi tadi akan membentuk
flok yang lebih besar untuk bisa mengendap. Tujuan proses flokulasi dalam
pengolahan air adalah untuk mempercepat proses penggabungan flok-flok yang
telah dibibitkan pada proses koagulasi. Partikel-partikel flok yang telah
distabilkan selanjutnya akan saling bertumbukan serta melakukan proses tarik-

12

menarik sehingga membentuk flok yang ukurannya makin lama makin besar serta
mudah mengendap.

Gambar 2.4. Proses Flokulasi

c. Sedimentasi
Setelah melewati proses destabilisasi partikel koloid melalui unit koagulasi
dan unit flokulasi, selanjutnya air akan masuk ke dalam unit sedimentasi. Unit
sedimentasi ini berguna untuk mengendapkan partikel-partikel koloid yang sudah
didestabilisasi pada unit sebelumnya. Unit sedimentasi menggunakan prinsip
massa jenis. Dimana massa jenis partikel koloid (biasanya berupa lumpur) akan
lebih besar daripada berat jenis air. Dalam bak sedimentasi air dan lumpur akan
terpisah. Secara umum proses sedimentasi diartikan sebagai proses pengendapan
karena adanya gaya gravitasi. Partikel dengan massa jenis yang lebih besar
daripada massa jenis air akan mengendap ke bawah dan yang lebih kecil akan
melayang atau mengapung. Secara lebih terperinci sedimentasi merupakan proses
pengendapan flok yang telah terbentuk pada proses flokulasi. Gabungan antara
unit koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi disebut dengan unit aselator

Gambar 2.5. Proses Sedimentasi

d. Filtrasi
Setelah proses sedimentasi, proses selanjutnya adalah filtrasi. Prinsip dasar
filtrasi adalah proses penyaringan partikel secara fisik, kimia dan biologi untuk

13

menyaring partikel yang tidak terendapkan dalam proses sedimentasi melalui


media berpori. Unit filtrasi berguna untuk menyaring dengan menggunakan media
berbutir. Media berbutir yang biasa digunakan terdiri dari antrasit, pasir silica, dan
kerikil silica dengan masing-masing memiliki ketebalan berbeda. Dilakukan
secara gravitasi. Selesailah sudah proses pengolahan air bersih.

Gambar 2.6. Proses Filtrasi

Setelah proses filtrasi biasanya dilakukan proses tambahan, seperti proses


desinfeksi yaitu dengan penambahan klor, ozonisasi dan UV sebelum masuk ke
bangunan selanjutnya, yaitu reservoir. Penambahan senyawa klor aktif pada air
bersih untuk membunuh organisme bakteriologis khususnya organisme pathogen
yang dapat menyebabkan penyakit dan kematian pada manusia. Pembubuhan
desinfektan tersebut dilakukan pada air yang sudah mengalami penyaringan
sebelum air tersebut ditampung dan disalurkan pada konsumen.

Gambar 2.7. Proses Desinfeksi Penambahan Klor

2.4.3. Reservoir
Setelah dari water treatment plant yang berupa clear water, sebelum
didistribusikan, air akan masuk ke dalam reservoir. Reservoir berfungsi sebagai
tempat penampungan air bersih yang telah disaring melalui filter sebelum

14

didistribusikan melalui pipa-pipa secara gravitasi.. Air ini sudah menjadi air bersih
yang siap digunakan dan harus dimasak terlebih dahulu untuk kemudian dapat
dijadikan air minum. Karena kebanyakan distribusi menggunakan gravitasi, maka
reservoir ini biasanya diletakkan di tempat dengan eleveasi lebih tinggi daripada
tempat-tempat pendistribusian. Resevoir biasanya diletakkan diatas bukit, ataupun
gunung.

Gambar 2.7. Unit Resevoir

Gabungan dari unit-unit pengolahan air ini disebut IPA Instalasi


Pengolahan Air. Agar menghemat biaya, pembangunan intake, water treatment
plant, dan reservoir dibangun dalam satu kawasan dengan ketinggian yang cukup
tinggi, dengan demikian tidak dibutuhkan pumping station dengan kapasitas
pompa dorong yang besar untuk menyalurkan air dari water treatment plant ke
reservoir. Setelah dari reservoir, air bersih tersebut siap untuk didistribusikan
melalui pipa-pipa dengan berbagai ukuran ke tiap daerah distribusi.
2.5.

Pengujian Air Baku dengan Metode Jar Test


Metode jar test biasa digunakan untuk menguji kualitas air baku dan dosis

optimal koagulan pada suatu instansi penjernihan air seperti PDAM. Jar test
adalah suatu percobaan pengujian yang berfungsi untuk menentukan dosis optimal
koagulan yang akan digunakan pada proses pengolahan air bersih. Selain
penambahan koagulan, diperlukan pengadukan sampai terbentuk flok. Flok
tersebut akan mengumpulkan partikel partikel yang kecil dan koloid. Partikel
kecil dan koloid tersebut bergabung dan mengendap bersama sama. Jar Test
merupakan suatu rangkaian sederhana untuk proses koagulasi, flokuIasi dan

15

sedimentasi. Cara kerja jar test yaitu dengan membuat gerakan air limbah
berputar searah, sehingga padatan yang tercampur di dalam cairan limbah akan
ikut bergerak searah juga. Perputaran pengadukan tersebut dilakukan dengan 2
kecepatan yang berbeda yaitu kecepatan tinggi yang digunakan untuk
memisahkan partikel dengan cairan dan kecepatan lambat digunakan untuk
membentuk flok-flok. Jar test bermanfaat untuk menghilangkan bahan cemaran
yang tersuspensi atau dalam bentuk koloid.
Dalam bidang industri, jar test biasa dilakukan untuk penjernihan air.
Proses penjernihan air menggunakan zat flokulan dan koagulan yang aman agar
air tersebut dapat difungsikan kembali. Jar test sangat bermanfaat dalam berbagai
bidang industri, karena setiap komponen industri, selalu membutuhkan air dan
menghasilkan limbah buangan. Terutama pada industri kecil, pasti akan ada
limbah yang dihasilkan, namun jika limbah tersebut diproses dan dijernihkan
maka airnya dapat dimanfaatkan kembali. Air tersebut dilakukan analisa dengan
metode jar test. Jar test berfungsi untuk menganalisa kelayakan air yang telah
diproses untuk digunakan kembali.
2.6.

Parameter Air
Persyaratan

air minum yang baik menurut

Permenkes

RI No

492/MENKES/PER/IV/2010 yaitu harus memenuhi beberapa kriteria seperti


persyaratan kimiawi, persyaratan fisika, persyaratan mikrobiologis, persyaratan
radioaktif serta beberapa parameter tambahan lainnya. Parameter fisik air yaitu
berupa bau, warna, TDS, kekeruhan, rasa dan suhu. Parameter mikrobiologis yaitu
berupa kandungan bakteri dan kimia an-organik. Parameter kimiawi misalnya
kandungan logam (alumunium, klorida, mangan, besi), kesadahan, dan pH.
Kemudian parameter air tambahan lainnya yaitu berupa kandungan pestisida,
desinfektan, serta persyaratan radioaktivitas yang meliputi gross alpha activity
dan gross beta activity.
2.6.1. Turbiditas
Kekeruhan air atau sering disebut turbiditas adalah salah satu parameter uji
fisik dalam analisis kualitas air. Kekeruhan air yang terjadi disebabkan karena air

16

mengandung bahan suspensi yang dapat menghambat sinar menembus air dan
berbagai macam parikel yang bervariasi ukurannya, dimulai koloid sampai yang
berukuran makro. Semakin keruhnya air, maka mengindikasikan banyaknya bahan
organik yang terlarut, sehingga akan menambah jumlah bakteri di dalamnya
karena bahan organik merupakan makanan bagi bakteri.
Tingkat kekeruhan air umumnya akan diketahui dengan satuan NTU
(Nephelometric Turbidity Unit) setelah dilakukan uji aplikasi menggunakan alat
turbidimeter. Kekeruhan air minum yang memenuhi syarat kesehatan berdasarkan
acuan yang berlaku adalah tidak melebihi 5 NTU, secara kasat mata kekeruhan air
ini tidak akan terlihat. Namun jika kekeruhan nya melebihi 10 NTU maka akan
terlihat secara visual.
Tingkat kekeruhan air antara sumber yang satu dengan yang lainnya dapat
dipastikan berbeda, ini akibat pengaruh tingkat pencemaran yang berbeda-beda.
Sumber air alami seperti mata air dan air terjun merupakan sumber air dengan
tingkat kekeruhan yang rendah dibanding sumber air lainnya seperti air sumur, air
sungai, dan air hujan.
2.6.2. pH
pH merupakan pengertian dari konsentrasi ion hidrogen (H +) yang ada di
dalam air atau lebih mudah dikatakan sebagai derajat keasaman air.
Definisi formal mengenai pengertian pH adalah negatif logaritma dari aktifitas ion
hidrogen yang dapat dinyatakan dengan persamaan: pH= - log [H+] pH sangat
penting sebagai parameter kualitas air karena pH mengontrol tipe dan laju
kecepatan reaksi beberapa bahan yang terlarut di dalam air. Pengukuran pH sangat
penting bagi penyediaan air minum agar dapat diketahui apakah air tersebut layak
atau tidak, misalnya untuk proses koagulasi dibantu bahan kimia, saat disinfeksi,
serta pelunakan air dan pencegahan korosi.
Mahluk hidup di dalam air seperti ikan hidup pada selang pH tertentu,
sehingga jika mengetahui nilai pH maka akan bermanfaat menentukan apakah air
tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan makhluk hidup tersebut.
Besaran pH berkisar 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa/alkalis). pH
yang bernilai kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang asam , sedangkan pH

17

diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkalin). pH bernilai 7 disebut


sebagai pH netral.
Fluktuasi keasaman air sangat ditentukan oleh alkalinitas di air sendiri.
Apabila alkalinitasnya tinggi, maka air akan mudah mengembalikan pH-nya ke
nilai semula apabila terjadi perubahan nilai. Nilai pH yang tinggi (basa)
menyebabkan air akan terasa seperti kapur, dan akan timbul flok halus keputihan
dan makin lama akan mengendap sehingga tidak baik untuk dikonsumsi,
sedangkan air dengan pH rendah (asam) dapat menyebabkan karat/korosi
dikarenakan peka terhadap senyawa logam. Air yang baik dikonsumsi merupakan
air normal yang tidak bersifat asam dan bersifat basa.
2.6.3. TDS (Total dissolved solid)
TDS (Total dissolved solid) merupakan ukuran zat terlarut (zat organik
maupun anorganik, contoh: garam, dll) pada sebuah larutan, berdiameter < 10-6
mm dan koloid berdiameter 10-6 mm 10-3 mm, dapat berupa senyawa-senyawa
kimia dan bahan-bahan lain, dan tidak tersaring pada kertas saring berdiameter
0,45 m (Effendi, 2003). TDS terdapat di dalam air sebagai hasil reaksi dari zat
cair, gas, dan padat, yang berupa senyawa organik ataupun anorganik. Materi
anorganik biasanya berasal dari mineral, logam, dan gas yang terbawa ke dalam
air setelah kontak dengan materi permukaan dan pada tanah. Materi organik
berasal dari penguraian vegetasi, senyawa organik, dan gas-gas anorganik yang
telah terlarut.
Satuan TDS adalah Part Per Million (PPM) atau sama dengan milligram
per Liter (mg/L). Umumnya berdasarkan definisi diatas, zat yang terlarut dalam
air (larutan) harus dapat melewati saringan yang berdiameter 2 micrometer (210-6
meter). Pengukuran TDS umumnya digunakan untuk mengukur kualitas cairan,
diperuntukkan bagi pengairan, air minum murni, kolam renang, proses kimia,
pembuatan kosmetika dan pembuatan air mineral.

Anda mungkin juga menyukai