Anda di halaman 1dari 15

Tugas

Demam dan Karakteristiknya


Oleh:
Rijalullah Muhammad Qayyum
I4A011046
Pembimbing:
dr. Enita Rakhmawati K, M.Sc, Sp.PD

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Maret, 2015
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................1
DAFTAR ISI ...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam tubuh, panas diproduksi melalui peningkatkan Basal Metabolic


Rate(BMR). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan Basal Metabolic Rateantara
lain: (1) laju metabolisme dari semua sel tubuh; (2) laju cadangan metabolisme
yang disebabkan oleh aktivitas otot; (3) metabolisme tambahan yang disebabkan
oleh pengaruh tiroksin, epinefrin, norepinefrin dan perangsangan simpatis
terhadap sel; (5) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya
aktivitas kimiawi didalam sel sendiri.
Pada keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung,
tiroid, pankreas dan kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas pada
tingkat sel yang melibatkan adenosin trifosfat (ATP). Bayi baru lahir
menghasilkan panas pada jaringan lemak coklat, yang terletak terutama dileher
dan skapula. Jaringan ini kaya akan pembuluh darah dan mempunyai banyak
mitokondria. Pada keadaan oksidasi asam lemak pada mitokondria dapat
meningkatkan produksi panas sampai dua kali lipat. Dewasa dan anak besar
mempertahankan panas dengan vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan

menggigil sebagai respon terhadap kenaikan suhu tubuh. Aliran darah yang diatur
oleh susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam mendistribusikan
panas dalam tubuh. Pada lingkungan panas atau bila suhu tubuh meningkat, pusat
pengatur suhu tubuh di hipotalamus mempengaruhi serabut eferen dari sistem
saraf otonom untuk melebarkan pembuluh darah (vasodilatasi). Peningkatan aliran
darah dikulit menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh melalui permukaan
kulit kesekitarnya dalam bentuk keringat. Dilain pihak, pada lingkungan dingin
akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga akan mempertahankan suhu
tubuh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu
tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2C. Derajat suhu yang dapat dikatakan
demam adalah rectal temperature 38,0C atau oral temperature 37,5C atau
axillary temperature 37,2C.
Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia.
Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5C yang dapat
terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada
pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat.
Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi
dengan mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan
oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam hilang sesudah masa yang
pendek.

Tempat
pengukuran

Jenis
thermometer

Rentang; rerata
suhu normal (oC)

Demam (oC)

Aksila

Air raksa,
elektronik

34,7 37,3; 36,4

37,4

Sublingual

Air raksa,
elektronik

35,5 37,5; 36,6

37,6

Rektal

Air raksa,
elektronik
Emisi infra
merah

36,6 37,9; 37,0

38

35,7 37,5; 36,6

37,6

Telinga

2.2 ETIOLOGI
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun
parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak
antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis,
bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis
media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah
dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi jamur
yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis,
criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan
demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis.
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi,
keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus

erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin,
dan antihistamin). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai
akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama 1-10 hari. Hal lain yang
juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan
sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera
hipotalamus, atau gangguan lainnya.
2.3 PATOGENESIS
Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen,
yang kemudian secara langsung mengubahset-point di hipotalamus, menghasilkan
pembentukan panas dan konversi panas. Pirogen adalah suatu zat yang
menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan pirogen
endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh seperti toksin, produk-produk
bakteri dan bakteri itu sendiri mempunyai kemampuan untuk merangsang
pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu
interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), interferon (INF), interleukin-6
(IL-6) dan interleukin-11 (IL-11). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh
makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana
sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi
prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.

Infeksi, toksin,

Demam

dan pengimbas
lain sitokin-

Konservasi panas
Produksi panas

sitokin pirogenik
Monosit, makrofag

Titik ambang naik


ke tingkat demam

Sel endotel
Limfosit B
Sel Mesangium

Prostaglandin E2

Keratinosit
Sel Epitel
Sitokin Pirogenik
Sel Glia
Endogen:

Pusat
termoregulator

IL-1, TNF, IL-6,


IFN

hipotalamus
Bagan 1. Patogenesis demam

2.4 PATOFISIOLOGI
Pengaturan suhu tubuh seluruhnya diatur di hipotalamus. Segala substansi
pemicu demam (pirogen) akan menyebabkan pelepasan mediator demam yaitu
prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 kemudian mempengaruhi set-point di

hipotalamus, yang menyebabkan perubahan respon secara sistemik, membentuk


efek pembentukan panas tubuh untuk menyesuaikan dengan level suhu yang telah
diatur di hipotalamus.
PGE2 dilepaskan dari jalur sintesis asam arakidonat. Jalur tersebut
dimediasi oleh enzim fosfolipase A2 (PLA2), siklooksigenase (COX-2), dan
prostaglandin E2 sintase. Enzim tersebut seluruhnya menyebabkan sintesis dan
pelepasan dari PGE2. PGE2 merupakan mediator utama dalam respon demam.
Pengaturan suhu tubuh akan tetap tinggi sampai PGE2 hilang dari peredaran
sistemik. PGE2 mempengaruhi neuron pada daerah pre-optik (POA) melalui
reseptor-3 prostaglandin E (EP3). Neuron yang mengekspresikan EP3 di POA
akan menginervasi dorsomedial hipotalamus (DMH), nukleus rostral raphe
pallidus di medula oblongata (rRPa), dan nukleus paraventrikular (PVN) dari
hipotalamus. Sinyal demam dikirim ke DMH dan rRPa menyebabkan stimulasi
dari sistem simpatis, yang kemudian akan mencetuskan pembentukan panas tubuh
dan vasokontriksi untuk menurunkan kehilangan panas tubuh melalui kulit.
Inervasi dari POA ke PVN 9 akan memediasi efek neuroendokrin dari demam
melalui jalur yang melibatkan kelenjar hipofisis dan organ endokrin lainnya.
Sebagai perumpamaan, hipotalamus di otak berfungsi mirip dengan
termostat pada lemari pendingin. Ketika set-point suhu tubuh ditingkatkan, maka
tubuh akan mengkompensasi peningkatan tersebut dengan secara aktif
memproduksi panas dan menahan panas dalam tubuh agar tidak keluar dari tubuh.
Vasokontriksi pembuluh darah akan menurunkan proses kehilangan panas melalui
kulit dan menyebabkan seseorang merasakan dingin bahkan hingga menggigil.

Jika proses penyesuaian tersebut tidak cukup untuk menyebabkan suhu darah
sesuai dengan setingan suhu di hipotalamus, maka proses menggigil dimulai
dengan tujuan menggerakkan otot-otot untuk menghasilkan lebih banyak panas.
Ketika demam berhenti, dan setingan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah,
maka akan terjadi proses kebalikan dari proses sebelumnya, dengan tujuan
menyesuaikan suhu tubuh dengan setingan termostat yang baru. Proses tersebut
meliputi vasodilatasi pembuluh darah untuk meningkatkan pengeluaran panas
melalui kulit, dan berkeringat sebagai upaya pendinginan tubuh dalam
menyesuaikan setingan suhu yang baru.

2.5 POLA DEMAM


1. Demam kontinyu
Merupakan demam yang terus-menerus tinggi dan memiliki toleransi
fluktuasi yang tidak lebih dari 1 C. Contoh penyakitnya antara lain;
demam dengue, demam tifoid, pneumonia, infeksi respiratorik, keadaan
penurunan sistem imun, infeksi virus, sepsis, gangguan sistem saraf pusat,
malaria falciparum, dan lain-lain.

2. Demam intermiten
Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan
kemudian kembali ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus
tersebut berulang-ulang hingga akhirnya demam teratasi, dengan variasi
suhu diurnal > 1 C. Contoh penyakitnya antara lain; demam tifoid,
malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa subtipe dari demam
intermiten, yaitu :
a) Demam quotidian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria
falciparum dan demam tifoid

10

b) Demam tertian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria
tertiana (Plasmodium vivax)

c) Demam quartan
Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria
kuartana (Plasmodium malariae)

11

3. Demam remiten
Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai
suhu normal, fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10 C. Contoh
penyakitnya antara lain; infeksi virus, demam tifoid fase awal,
endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.

4. Demam berjenjang (step ladder fever)


12

Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu
selama beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal
kembali. Contohnya pada demam tifoid

5. Demam bifasik (pelana kuda/ saddleback)


Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan
suhu, kurang lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi
kembali. Tipe ini didapatkan pada beberapa penyakit, seperti demam
dengue, yellow fever, Colorado tick fever, Rit valley fever, dan infeksi
virus seperti; influenza, poliomielitis, dan koriomeningitis limfositik.

6. Demam Pel-Ebstein atau undulasi

13

Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin, dimana
terjadi peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu
berikutnya, dan seperti itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga
pada kasus penyakit kolesistitis bruselosis, dan pielonefritis kronik.
7. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)
Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama
senja atau di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis
milier, salmonelosis, abses hepatik, dan endokarditis bakterial.

DAFTAR PUSTAKA
1. Powel R.K. 2004. Fever. In : Richard E.B., Robert M.K., Hal B.J. Nelson
Textbook of Pediatrics. Volume 2. 17th edition. Philadelpia. Saunders.
839-841.
2. Ganong F.W. 2003. Temperature Regulation. Review of Medical
Physiology. 21st edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw
Hill. 254-259.
3. Brahmer J., Sande A.M. 2001. Fever of Unknown Origin. In : Walter R.W.,
Merle S.A. Current Diagnosis & Treatment in Infectious Disease.
7thedition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 240-246.
4. Bellig
L.L.
2005.
Fever.
http://www.eMedicine.com.Inc/fever/topic359.htm
5. Dale C.D. 2004. The Febrile Patient. In : Lee Goldman., Dennis
Ausiello.Cecil Textbook of Medicine. Volume 2. 22nd edition. Philadelpia.
Saunders. 1729-1733.

14

6. Dinarello

A.C.,

Gelfan

A.J.

2001.

Fever

and

Hypertermia.http://www.harrisononline.com.
7. Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Jakarta. EGC. 1141-1155.
8. Hariyanto W. 1995. Mengapa Kita Demam. Jakarta. Penerbit Arcan. 1-23.
9. Jawetz E. 2003. Toxin Production. In : Warren L., Ernest J. Medical
Microbiology & Immunology. 7th edition. San Francisco. Lange Medical
Book Mc Graw Hill. 35-44.
10. Kaiser E.G. 2001. Microbiology Home Page. http://www.cat.cc.md.us.
11. Kirana S., Widjaja T. 2004. Pemeriksaan Keadaan Umum. Dalam :
Edhiwan P., J Teguh W. Buku Panduan Diagnosis Fisik di Klinik.
Bandung. Concept Publishers. 28-29.
12. Peterson J.C. 2002. Interleukin-1. http:/www.rndsystem.com/imag.

15

Anda mungkin juga menyukai