HALAMAN JUDUL................................................................................................1
DAFTAR ISI ...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
menggigil sebagai respon terhadap kenaikan suhu tubuh. Aliran darah yang diatur
oleh susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam mendistribusikan
panas dalam tubuh. Pada lingkungan panas atau bila suhu tubuh meningkat, pusat
pengatur suhu tubuh di hipotalamus mempengaruhi serabut eferen dari sistem
saraf otonom untuk melebarkan pembuluh darah (vasodilatasi). Peningkatan aliran
darah dikulit menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh melalui permukaan
kulit kesekitarnya dalam bentuk keringat. Dilain pihak, pada lingkungan dingin
akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga akan mempertahankan suhu
tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu
tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2C. Derajat suhu yang dapat dikatakan
demam adalah rectal temperature 38,0C atau oral temperature 37,5C atau
axillary temperature 37,2C.
Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia.
Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5C yang dapat
terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada
pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat.
Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi
dengan mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan
oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam hilang sesudah masa yang
pendek.
Tempat
pengukuran
Jenis
thermometer
Rentang; rerata
suhu normal (oC)
Demam (oC)
Aksila
Air raksa,
elektronik
37,4
Sublingual
Air raksa,
elektronik
37,6
Rektal
Air raksa,
elektronik
Emisi infra
merah
38
37,6
Telinga
2.2 ETIOLOGI
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun
parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak
antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis,
bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis
media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah
dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi jamur
yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis,
criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan
demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis.
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi,
keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus
erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin,
dan antihistamin). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai
akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama 1-10 hari. Hal lain yang
juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan
sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera
hipotalamus, atau gangguan lainnya.
2.3 PATOGENESIS
Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen,
yang kemudian secara langsung mengubahset-point di hipotalamus, menghasilkan
pembentukan panas dan konversi panas. Pirogen adalah suatu zat yang
menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan pirogen
endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh seperti toksin, produk-produk
bakteri dan bakteri itu sendiri mempunyai kemampuan untuk merangsang
pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu
interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), interferon (INF), interleukin-6
(IL-6) dan interleukin-11 (IL-11). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh
makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana
sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi
prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.
Infeksi, toksin,
Demam
dan pengimbas
lain sitokin-
Konservasi panas
Produksi panas
sitokin pirogenik
Monosit, makrofag
Sel endotel
Limfosit B
Sel Mesangium
Prostaglandin E2
Keratinosit
Sel Epitel
Sitokin Pirogenik
Sel Glia
Endogen:
Pusat
termoregulator
hipotalamus
Bagan 1. Patogenesis demam
2.4 PATOFISIOLOGI
Pengaturan suhu tubuh seluruhnya diatur di hipotalamus. Segala substansi
pemicu demam (pirogen) akan menyebabkan pelepasan mediator demam yaitu
prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 kemudian mempengaruhi set-point di
Jika proses penyesuaian tersebut tidak cukup untuk menyebabkan suhu darah
sesuai dengan setingan suhu di hipotalamus, maka proses menggigil dimulai
dengan tujuan menggerakkan otot-otot untuk menghasilkan lebih banyak panas.
Ketika demam berhenti, dan setingan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah,
maka akan terjadi proses kebalikan dari proses sebelumnya, dengan tujuan
menyesuaikan suhu tubuh dengan setingan termostat yang baru. Proses tersebut
meliputi vasodilatasi pembuluh darah untuk meningkatkan pengeluaran panas
melalui kulit, dan berkeringat sebagai upaya pendinginan tubuh dalam
menyesuaikan setingan suhu yang baru.
2. Demam intermiten
Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan
kemudian kembali ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus
tersebut berulang-ulang hingga akhirnya demam teratasi, dengan variasi
suhu diurnal > 1 C. Contoh penyakitnya antara lain; demam tifoid,
malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa subtipe dari demam
intermiten, yaitu :
a) Demam quotidian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria
falciparum dan demam tifoid
10
b) Demam tertian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria
tertiana (Plasmodium vivax)
c) Demam quartan
Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria
kuartana (Plasmodium malariae)
11
3. Demam remiten
Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai
suhu normal, fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10 C. Contoh
penyakitnya antara lain; infeksi virus, demam tifoid fase awal,
endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.
Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu
selama beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal
kembali. Contohnya pada demam tifoid
13
Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin, dimana
terjadi peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu
berikutnya, dan seperti itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga
pada kasus penyakit kolesistitis bruselosis, dan pielonefritis kronik.
7. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)
Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama
senja atau di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis
milier, salmonelosis, abses hepatik, dan endokarditis bakterial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Powel R.K. 2004. Fever. In : Richard E.B., Robert M.K., Hal B.J. Nelson
Textbook of Pediatrics. Volume 2. 17th edition. Philadelpia. Saunders.
839-841.
2. Ganong F.W. 2003. Temperature Regulation. Review of Medical
Physiology. 21st edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw
Hill. 254-259.
3. Brahmer J., Sande A.M. 2001. Fever of Unknown Origin. In : Walter R.W.,
Merle S.A. Current Diagnosis & Treatment in Infectious Disease.
7thedition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 240-246.
4. Bellig
L.L.
2005.
Fever.
http://www.eMedicine.com.Inc/fever/topic359.htm
5. Dale C.D. 2004. The Febrile Patient. In : Lee Goldman., Dennis
Ausiello.Cecil Textbook of Medicine. Volume 2. 22nd edition. Philadelpia.
Saunders. 1729-1733.
14
6. Dinarello
A.C.,
Gelfan
A.J.
2001.
Fever
and
Hypertermia.http://www.harrisononline.com.
7. Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Jakarta. EGC. 1141-1155.
8. Hariyanto W. 1995. Mengapa Kita Demam. Jakarta. Penerbit Arcan. 1-23.
9. Jawetz E. 2003. Toxin Production. In : Warren L., Ernest J. Medical
Microbiology & Immunology. 7th edition. San Francisco. Lange Medical
Book Mc Graw Hill. 35-44.
10. Kaiser E.G. 2001. Microbiology Home Page. http://www.cat.cc.md.us.
11. Kirana S., Widjaja T. 2004. Pemeriksaan Keadaan Umum. Dalam :
Edhiwan P., J Teguh W. Buku Panduan Diagnosis Fisik di Klinik.
Bandung. Concept Publishers. 28-29.
12. Peterson J.C. 2002. Interleukin-1. http:/www.rndsystem.com/imag.
15