Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
PENYAKIT ALZHEIMER
Disusun oleh :
Cempaka Kusuma Dewi
NIM. 1010015018
Pembimbing
dr. Denny J. Rotinsulu, Sp. KJ.
PENYAKIT ALZHEIMER
DEFINISI
Penyakit Alzheimer (AD; Alzheimer Disease) adalah gangguan penurunan fungsi
kognitif dan perilaku yang ditandai dengan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan
(Yaari & Corey-Bloom, 2007). Penyakit degeneratif otak primer ini bersifat kronik
(Depkes RI, 1995), progresif dan ireversibel (Elvira & Hadisukanto, 2010), serta
ditandai dengan kemunduran fungsi kognitif multipel, yaitu fungsi memori, afasia,
apraksia, agnosia dan fungsi eksekutif (Amir, 2012).
Penyebab demensia tersering pada semua kelompok usia, terjadi dengan frekuensi
yang meningkat drastis pada orang usia lanjut adalah penyakit Alzheimer (Ginsberg,
2005). Penyakit yang paling umum pada proses penuaan (Swerdlow, 2007) ini
diawali dengan gangguan bertahap pada memori episodik, namun lama kelamaan
menyebabkan penurunan kognisi secara umum. Pada awalnya hanya memori-memori
bari yang tidak dapat diingat sedangkan memori masa kecil masih baik, tapi lamakelamaan tidak ada memori sama sekali yang dapat diingat (Davey, 2006).
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh Dr. Alois Alzheimer pada tahun 1907
(Kaplan, Sadock, & Grab, 2010), penyakit Alzheimer (AD) adalah penyebab paling
umum dari demensia (Wint, Tavee, & Sweeney, 2014) pada lansia (Puri, Laking, &
Treasaden, 2011). Persentase orang dengan penyakit Alzheimer meningkat 2 kali
lipat setiap 5 tahun, jadi 1% dari 60 tahun dan 30% dari 85 tahun (Upadhyaya, Seth,
& Ahmad, 2010).
WHO memprediksi bahwa pada tahun 2020 akan ada sekitar 29 juta orang dengan
demensia di seluruh dunia, dengan bentuk AD yang mendominasi (Qiu, De Ronchi,
& Fratiglioni, 2007). Di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjut berkisar 18,5 juta
orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit Alzheimer yang belum
diketahui dengan pasti (Japardi, 2002).
Hasil observasi menunjukkan bahwa lebih banyak wanita daripada pria yang
menderita penyakit Alzheimer dan demensia lainnya. Hal ini terutama dijelaskan
oleh fakta bahwa perempuan rata-rata hidup lebih lama daripada pria, dan usia yang
lebih tua merupakan faktor risiko terbesar untuk terkena penyakit Alzheimer.
Dikatakan bahwa orang dengan masa pendidikan yang lebih pendek tampaknya
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena Alzheimer dan demensia lainnya
dibandingkan dengan orang yang memiliki masa pendidikan yang lebih panjang
(Alzheimers Association, 2014).
ETIOLOGI
Penyebab AD belum diketahui (Anderson, 2015). Para peneliti meyakini bahwa pada
kebanyakan orang, penyakit Alzheimer adalah hasil dari kombinasi faktor genetik,
gaya hidup dan lingkungan yang mempengaruhi otak dari waktu ke waktu (Mayo
2
Clinic Staff, 2014). Para ahli percaya bahwa layaknya penyakit kronis lainnya,
penyakit Alzheimer muncul akibat berbagai faktor multipel dibandingkan oleh
karena satu penyebab pasti (Alzheimers Association, 2014).
Pertambahan usia
Riwayat keluarga
Genotipe APOE 4
Obesitas
Resistensi insulin
Faktor vaskular
Dislipidemia
Hipertensi
Penanda inflamasi
Sindroma Down
Cedera kepala
Tabel 2. Faktor mutasi genetik yang berperan dalam penyakit Alzheimer (Duthey,
2013)
Selain itu, studi epidemiologi telah mengemukakan beberapa faktor risiko lainnya
yang mungkin menyebabkan AD (misalnya, aluminium, riwayat depresi sebelumnya)
menghalangi transduksi sinyal normal. Hal ini juga meningkatkan produksi APP
(Amyloid Protein Precursors) yang dihubungkan dengan peningkatan pembentukan
plak amiloid yang menimbulkan toksisitas neuronal (Morisson & Lyketsos, 2005).
DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis demensia akibat penyakit Alzheimer adalah sebagai berikut
(American Psychiatric Association, 2013) :
PENATALAKSANAAN
Terapi farmakologis untuk penyakit Alzheimer saat ini hanya memberi perbaikan
jangka pendek dan untuk jangka waktu yang singkat, 6-18 bulan. Obat yang disetujui
di Amerika Serikat dan beberapa bagian Eropa untuk penanggulangan jangka pendek
gejala penyakit Alzheimer adalah inhibitor kolinesterase dan memantine. Obat ini
tidak mempengaruhi patologi AD, tetapi memungkinkan otak untuk
mengkompensasi hilangnya neuron yang berkomunikasi menggunakan
neurotransmiter (Duthey, 2013).
Gambar 3. Medikasi untuk terapi penyakit Alzheimer (Winslow, Onysko, Stob, & Hazlewood, 2011)
Tata laksana non-farmakologis yang dapat diberikan berupa tata laksana psikososial
yang ditujukan untuk mempertahankan kemampuan penderita yang masih tersisa,
menghambat progresivitas kemunduran fungsi kognitif, mengelola gangguan
psikologik dan perilaku yang timbul. Penatalaksanaan bersifat paliatif, meliputi
pemberian nutrisi yang tepat, berolahraga, dan supervisi dari aktivitas sehari-hari
(Elvira & Hadisukanto, 2010). Latihan memori sederhana, latihan orientasi realitas,
dan senam otak, dapat membantu menghambat kemunduran fungsi kognitif.
Psikoedukasi terhadap keluarga/care giver menjadi bagian yang sangat penting
dalam tata laksana pasien (Amir, 2012).
Pasien harus kontrol rutin setidaknya tiap 6 bulan sekali untuk mengevaluasi
perubahan fungsional dan kognitif. Permasalahan seperti penggunaan medikasi
harian, status fungsional, penyakit komorbid, tanda dan gejala baru, beban pada
penjaga/yang merawat, dan kebutuhan untuk perawatan yang cukup di masa depan
atau penempatan pengasuh rumahan harus didiskusikan (Neugroschl, 2013).
PROGNOSIS
AD pada awalnya dikaitkan dengan gangguan memori yang secara progresif
memburuk. Seiring waktu, pasien dengan AD juga dapat timbul kecemasan, depresi,
insomnia, agitasi, dan paranoia. Sebagaimana penyakitnya berlangsung, pasien
dengan AD akan datang untuk meminta bantuan pada aktivitas dasar kehidupan
sehari-harinya, termasuk berpakaian, mandi, dan buang air. Pada akhirnya, kesulitan
berjalan dan menelan mungkin terjadi. Pemberian makanan masih dapat dilakukan,
namun hanya melalui selang pencernaan, dan kesulitan saat menelan dapat
mengakibatkan pneumonia aspirasi (Anderson, 2015).
Beberapa data menunjukkan bahwa pengobatan mampu memperlambat progresivitas
penyakit atau setidaknya meningkatkan kognisi, tetapi secara keseluruhan pilihan
pengobatan yang ada saat ini belum menunjukkan bukti yang kuat dalam
meningkatkan fungsi kognitif. Penggunaan inhibitor kolinesterase dan antagonis
reseptor NMDA harus dihentikan jika timbul efek samping yang tidak dapat ditolerir
ataupun kurangnya kepatuhan karena permasalahan keuangan, sosial maupun yang
lainnya. Pendidikan bagi keluarga dan rujukan ke sumber daya seperti Asosiasi
Alzheimer sangatlah penting, karena perawatan pasien memerlukan koordinasi antara
dokter, perawat, keluarga, teman-teman, pekerja sosial, psikolog, dan masyarakat
dukungan (Neugroschl, 2013).
Masa sejak didiagnosis hingga kematian bervariasi, minimal 3 tahun sampai 10 tahun
atau lebih. Pasien dengan AD onset dini cenderung memiliki perjalanan penyakit
yang lebih agresif, dan cepat dibandingkan dengan AD late-onset. Penyebab utama
kematian adalah penyakit yang menyertai AD, misalnya pneumonia (Anderson,
2015).
DAFTAR PUSTAKA
Alzheimers Association. (2014). 2014 Alzheimers Disease Facts and Figures.
Alzheimers & Dementia, 10(2).
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (5th ed.). London: American Psychiatric Publishing.
Amir, N. (2012). Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa . Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedoktera Jiwa.
Anderson, H. S. (2015). Alzheimer Disease. MedScape Reference.
Davey, P. (2006). At A Glance Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Delagarza, V. W. (2003). Pharmacologic Treatment of Alzheimers Disease: An
Update. American Family Physician , 1365-1373.
Depkes RI. (1995). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Duthey, B. (2013). Alzheimer Disease and other Dementias. USA: WHO.
Elvira, S. D., & Hadisukanto, G. (2010). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI.
Ginsberg, L. (2005). Lecture Notes : Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Japardi, I. (2002). Penyakit Alzheimer. USU Digital Library .
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grab, J. A. (2010). Sinopsis Psikiatri, Jilid II.
Tangerang: Binarupa Aksara Publisher.
Karran, E., Mercken, M., & Strooper, B. D. (2011). The Amyloid Cascade
Hypothesis for Alzheimer's Disease: An Appraisal for The Development of
Therapeutics. Nature Reviews Drug Discovery, 698-712.
Kay, J., & Tasman, A. (2006). Essentials of Psychiatry. USA: John Wiley & Sons,
Ltd.
Mayo Clinic Staff. (2014). Alzheimer's Disease. Diambil kembali dari Mayo Clinic:
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/alzheimersdisease/basics/definition/con-20023871
Morisson, A. S., & Lyketsos, C. (2005). The Pathophysiology of Alzheimer's Disease
and Direction in Treatments. Johns Hopkins Advanced Studies in Nursing.
Neugroschl, J. (2013). Alzheimer's Dementia. Diambil kembali dari BMJ Best
Practice:
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/317/followup/prognosis.html
Puri, B. K., Laking, P. J., & Treasaden, I. H. (2011). Buku Ajar Psikiatri (2 ed.).
Jakarta: EGC.
Qiu, C., De Ronchi, D., & Fratiglioni, L. (2007). The epidemiology of the dementias:
an update. Current Opinion in Psychiatry, 380-385.
Rubenstein, D., Wayne, D., & Bradley, J. (2007). Lecture Notes : Kedokteran Klinis
(6 ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Swerdlow, R. H. (2007). Pathogenesis of Alzheimers disease. Clinical Interventions
in Aging, 2, 347359.
Upadhyaya, P., Seth, V., & Ahmad, M. (2010). Therapy of Alzheimers Disease: An
Update. African Journal of Pharmacy and Pharmacology, 4, 408-421.
Winslow, B. T., Onysko, M. K., Stob, C. M., & Hazlewood, K. A. (2011). Treatment
of Alzheimer Disease. American Family Physician, 83, 1403-1412.
Wint, D., Tavee, J., & Sweeney, P. (2014). Cleveland Clinic. Diambil kembali dari
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/neur
ology/alzheimers-disease/
Yaari, R., & Corey-Bloom, J. (2007). Alzheimer's Disease. Seminars in Neurology,
27, 32-41.