Oleh:
Syifa Marhattya Rizky
G99141035
Pembimbing:
dr. Sugiharto, M. Kes. (MMR), S.H.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan bidang kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan penderita,
secara berangsur-angsur berkembang ke arah kesatuan upaya pembangunan kesehatan
masyarakat dengan peran serta masyarakat yang bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan yang meliputi upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan
(preventif), penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif). 1 Berdasarkan
upaya
pembangunan
kesehatan
yang
bersifat
menyeluruh,
terpadu
dan
dimasuki aneka
persoalan hukum. Era sekarang dapat dirasakan bahwa kegiatan dokter dalam
menyembuhkan pasien sering terhambat oleh sikap pasien atau keluarganya yaitu
kebiasaan menuntut secara hukum terhadap dokter jika pengobatanya dianggap
kurang berhasil.3
Profesi dokter perlu mendapatkan jaminan perlindungan hukum dalam rangka
memberikan kepastian dalam melakukan upaya kesehatan kepada pasien, peraturan
perundang-undangan yang memberikan dasar perlindungan
antara lain sebagai berikut. Pertama, pasal 50 UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran yaitu dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan
tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Kedua, pasal
27 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yaitu bahwa tenaga kesehatan berhak
mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya dan ketiga pasal 24 PP No 32 tahun 1996 yaitu perlindungan
hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan
standar profesi tenaga kesehatan.
Dilihat dari kacamata hukum hubungan antara pasien dan dokter termasuk
dalam ruang lingkup hukum perjanjian.4 Sebagai suatu perjanjian, maka muncul hak
dan kewajiban sebagai akibat dari perjanjian tersebut, pelaksanaan hak dan kewajiban
inilah yang kemudian berpotensi terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien
yang biasa disebut dengan sengketa medik. Sengketa medik diawali adanya gugatan
pasien kepada dokter, yang disebabkan munculnya ketidakpuasan pasien.
Dalam sisi yang lain, banyaknya gugatan dari pasien, ternyata memberikan
dampak yang negatif, yaitu adanya ketakutan dari dokter dalam memberikan upaya
kesehatan kepada pasien. Dokter menjadi ragu-ragu dan takut, hal itu terungkap
dalam kongres Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) yang
diadakan tanggal 24-25 Nopember 1985, oleh karena itu dokter yang sudah
mempunyai kelengkapan syarat administrasi untuk berpraktik, berhak memperoleh
perlindungan hukum, agar merasa aman dalam menjalankan profesinya.3
Dampak lain yang cukup mengkhawatirkan adalah dokter melakukan praktek
pengobatan defensif yaitu melakukan praktek kedokteran yang over standar maupun
sub standar untuk menghindari resiko tuntutan yang akhirnya akan merugikan
masyarakat sendiri sebagai pengguna jasa dokter.4
B. Tujuan
1. Mengetahui variasi penyebab munculnya sengketa antara dokter dan pasien,
2. Mengetahui bagaimana variasi penyelesaian sengketa yang terjadi antara dokter
dan pasien
3. Mengetahui
model
perlindungan
hukum
profesi
dokter
berdasarkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sengketa Medik
Sengketa dapat dipahami dari berbagai sudut. Berbagai praktisi hukum
memandang sengketa dari arti sempit, yaitu terbatas pada sengketa-sengketa
pengadilan, sehingga perselisihan yang belum sampai ke meja pengadilan
belum dapat disebut sengketa. Namun demikian sengketa juga bisa diartikan
lebih luas sebagaimana dinyatakan oleh JG Merrillis 6, yaitu ketidaksepakatan
secara khusus yang menyangkut masalah fakta, hukum, atau kebijakan
(policy) di dalamnya, tuntutan atau pernyataan suatu pihak ditolak, dituntut
balik atau diingkari oleh pihak lain. Rumusan sengketa menurut Permanent
Court of International Justice (PCJI) yaitu ketidak sepakatan tentang masalah
hukum atau fakta, suatu konflik tentang sudut pandang huku atau kepentingan
diantara dua pihak 7. Maka dapat disimpulkan bahwa sengketa adalah suatu
keadaan
yang
menempatkan
suatu
pihak
yang
ingin
memaksakan
pasien adalah
setiap orang
29 Tahun 2004
yang melakukan
konsultasi
medik
yang
sebenamya dokter tidak saja akan berhadapan dengan pasien yang mampu
menyatakan kehendaknya tetapi juga pada pasien yang tidak mampu atau
tidak mungkin memberikan partisipasi dalam memperoleh pelayanan
kesehatan (misalnya dalam keadaan gawat darurat). Atas dasar hal itu dan
sejalan dengan pengertian praktik kedokteran yang terdapat dalam rumusan
undang-undang, maka aspek keperdataan dari hubungan hukum antara
dokter dan pasen dapat terjadi karena undang-undang atau karena
perjanjian.10
Dikaitkan dengan isi dari hubungan hukum tersebut, yaitu pelayanan
medik yang mencakup berbagai tujuan maka pelayanan tersebut ada yang
berobyekkan pelayanan dengan ukuran hasilnya ada juga yang berobyekkan
pelayanan sebagai usaha atau ikhtiar. Oleh karenanya, hubungan hukum
tersebut dapat dikelompokkan pada resultaat verbintennis (perikatan hasil)
dan inspanning verbintenis (perikatan ikhtiar). Perbedaan yang menonjol
diantara dua jenis hubungan hukum tersebut adalah pada resultaat verbintenis
yang terpenting bagi pasien adalah hasil yang sesuai dengan keinginannya
sedangkan pada insparning verbintenis pasen tidak dapat mengharapkan
hasilnya tetapi ikhtiar yang sebaik-baiknya dalam melakukan pelayanan
kesehatan. Sekalipun hubungan hukum yang berisi pelayanan kesehatan dapat
dibedakan pada hubungan hukum atas hasil dan hubungan hukum atas ihtiar,
pada umumnya persoalan-persoalanhukum yang timbul dari hubungan hukum
antam dokter dan pasien adalah hubungdn hukum ihtiar.10
Hubungan hukum antara rumah sakit/dokter dan pasien yang bersumber
dari undang-undang adalah hubungan hukum yang terjadi karena undangundang memberikan kewajiban kepada dokter untuk memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien. Artinya untuk terjadinya hubungan hukum ini tidak
diperlukan prakarsa bahkan partisipasi pasien. Hubungan-hubungan hukum
seperti
ini
terjadi
misalnya
pada
keadaan
emergency
yang
tidak
dikualifikasi
sebagai
hubungan
hukum
perwakilan
sukarela
pelayanan
kesehatan
melakukan
kesalahan
dan
kemudian
perjanjian. Pada dasarnya baik penjelasan Pasal 45 ayat (l) UU No. 29 Tahun
2004, maupun Permenkes No. 585 Tahun 1989 memberikan pengaturan yang
sama, hanya Permenkes lebih jelas dalam menentukan pihak yang
memberikan persetujuan, yaitu pasen sendiri dalam hal ia telah dewasa
(berunrur 2l tahun keatas atau telah menikah) dan dalam keadaan sadar serta
sehat mcntal. Apabila pasen dalam keadaan tidak sadar atau menderita
tertentu
yang
didirikan
dengan
maksud
untuk
BAB III
PEMBAHASAN
Hubungan
yang
terjadi
antara
dokter
dan
pasien
dalam
Ketiga,
pasien.
Ketidakpuasan
pasien
terjadi
karena
adanya
komunikasi yang tidak seimbang antara dokter dan pasien, tidak adanya
hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien dalam hubungan yang terjadi
dan adanya campur tangan dari keluarga pasien.
Berdasarkan sumber literature, dilakukan wawancara terhadap profesi
dokter tentang penyelesaian sengketa medik yang terjadi, didapatkan hasil
sebagai berikut. Pertama, sengketa medik dapat diselesaikan dengan cara
bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran
wajib membuat rekam medik.
Kemudian dilakukan wawancara yang dilakukan terhadap profesi
dokter tentang model perlindungan hukum yang antara lain. Pertama, bentuk
perlindungan hokum profesi dokter yang baik adalah adanya tanggung jawab
dari rumah sakit dalam memberikan kepastian bagi dokter dalam menjalankan
profesinya.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Munculnya sengketa antara dokter dan pasien, terutama disebabkan karena tidak
berjalannya hak dan kewajiban antara dokter dan pasien dalam hubungan hukum
yang terjadi, yang kemudian menimbulkan ketidakpuasan pasien. Keadaan
tersebut muncul disebabkan karena: (1) Komunikasi yang tidak seimbang antara
dokter dan pasien yaitu, penjelasan dokter yang terlalu ilmiah, sehingga tidak
dipahami oleh pasien. Dokter tidak memberikan penjelasan, jika pasien tidak
bertanya. Penjelasan dilakukan setelah adanya tindakan. (2) Tidak terjadinya
hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien dalam perjanjian terapeutik. (3)
Adanya campur tangan dari pihak keluarga pasien, terhadap informasi yang
sudah disampaikan.
Penyelesaian sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien, dilakukan melalui:
(1) Jalur non-litigasi, yang dilakukan melalui: musyawarah antara rumah sakit,
profesi dokter, dan pasien/keluarga pasien. (2) Jalur litigasi, yang dilakukan bila
penyelesaian musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan. Model perlindungan
hukum profesi dokter yang berdasarkan keseimbangan antara dokter dan pasien
adalah sebagai berikut: (1) Dari aspek hubungan terapeutik antara dokter dan
pasien, bahwa setiap tindakan yang dilakukan dokter harus mendapat persetujuan
dari pasien dan/atau keluarga pasien. (2) Dari aspek hubungan profesi dengan
hukum, bahwa dokter sebagai subjek hukum dapat dituntut baik secara
administrasi, perdata maupun pidana. Maka dari itu, profesi dokter harus
menjalankan ketentuan penyelenggaraan praktik kedokteran berdasarkan UU No.
29 Tahun 2004, dan tidak melanggar syarat perjanjian terapeutik serta tidak
melakukan kesalahan/kelalaian dari perjanjian terapeutik. (3) Dari aspek
penyelesaian sengketa, bahwa bentuk penyelesaian sengketa medik adalah
musyawarah dengan melibatkan para pihak yaitu profesi dokter, pasien dan
DAFTAR PUSTAKA