Makala H
Makala H
EFUSI PLEURA
Disusun oleh:
Evan Regar
0906508024
Faradila Keiko
0906508062
0906552611
0906487820
Rombongan E
Efusi pleura merupakan keadaan di mana cairan menumpuk di dalam rongga pleura.
Dalam keadaan normal, rongga pleura diisi cairan sebanyak 10-20 ml yang berfungsi
mempermudah pergerakan paru di rongga dada selama bernapas. Jumlah cairan melebihi
volum normal dapat disebabkan oleh kecepatan produksi cairan di lapisan pleura parietal
yang melebihi kecepatan penyerapan
mikropleura viseral.1
Keadaan ini dapat mengancam jiwa karena cairan yang menumpuk tersebut dapat
menghambat pengembangan paru-paru sehingga pertukaran udara terganggu.1 Banyak
penyakit yang mungkin mendasari terjadinya efusi pleura. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan terhadap 119 pasien dengan efusi pleura di Rumah Sakit Persahabatan pada tahun
2010-2011, efusi pleura kebanyakan disebabkan oleh keganasan (42.8%) dan tuberkulosis
(42%).2 Penyakit lain yang mungkin mendasari terjadinya efusi pleura antara lain pneumonia,
empiema toraks, gagal jantung kongestif, sirosis hepatis.1
Umumnya pasien datang dengan gejala sesak napas, nyeri dada, batuk, dan demam.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan abnormalitas seperti bunyi redup pada perkusi,
penurunan fremitus pada palpasi, dan penurunan bunyi napas pada auskultasi paru bila cairan
efusi sudah melebihi 300 ml. Foto toraks dapat digunakan untuk mengkonfirmasi terjadinya
efusi pleura.1
Oleh karena keadaannya yang dapat mengancam jiwa, dan penanganannya yang
segera pada beberapa kasus, kami mengangkat kasus efusi pleura dalam makalah ini. Agar
kami dapat mempelajari bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan kasus yang umumnya
merupakan keadaan akut dari penyakit paru seperti tuberkulosis.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tanggal Masuk
: 9 Nov 2012
Alamat
Suku
: Jawa
Pendidikan
: Tamat SD
Pekerjaan
Status perkawinan
: Menikah
2.2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 1
minggu SMRS. Sesak terutama dirasakan saat beraktivitas dan sedikit berkurang bila
beristirahat, namun tidak hilang sepenuhnya. PND dan OP disangkal. Sesak napas
seperti ini tidak pernah dirasakan pasien sebelumnya. Sekitar 4 hari SMRS, pasien
berobat ke PKM Duren Sawit karena sesak semakin memberat. Pasien melakukan
pemeriksaan dahak sewaktu dan hasilnya negatif. Pasien diberikan 4 macam obat (3
diantaranya rifampisin, etambutol, isoniazid). Pasien sudah minum obat tersebut
selama 3 hari.
Tidak terdapat nyeri dada ataupun riwayat kaki bengkak selama ini. Pasien juga
mengeluhkan batuk berdahak putih yang hilang timbul selama 1 minggu SMRS. Tidak
ada riwayat demam dalam 2 minggu terakhir. Akhir-akhir ini pasien sering merasa
mual dan mengaku memiliki riwayat maag. Semenjak sakit, terjadi penurunan berat
badan sebanyak 5 kg. Keringat malam disangkal. Pasien tidak merokok, namun suami
pasien adalah perokok aktif.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki penyakit maag, tidak ada riwayat diabetes mellitus, hipertensi, asma
dan penyakit jantung. Selama ini pasien tidak pernah dirawat dirumah sakit.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga tidak ditemukan keluhan yang sama dengan pasien, tidak ada riwayat
diabetes melitus, hipertensi, asma, dan sakit jantung di keluarga.
2.3. PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan Umum : Kompos Mentis
- Tanda vital
o Tekanan darah
: 110/60 mmHg
o Frekuensi nadi
: 88 kali/menit
o Frekuensi napas
: 22 kali/menit
o Suhu
: 36 C
Paru :
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
redup / sonor
o Auskultasi
Perut : Lemas, datar, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hati dan limpa tidak teraba
o Netrofil : 56,5 %
o Limfosit : 36,3 %
o Monosit : 7,2 %
- HCO3 : 24,4
o Eosinofil : 0 %
o Basofil : 0%
Elektrolit
Hb : 5,4 gr/dL
Ht : 16 % (35 -47)
- Cl : 97 mmol/L (98-109)
GDS : 118
Bilirubin direct : 0,7 mg/dL (0,1 0,4) - Kreatinin : 1 mg/dL (0,8 1,5)
2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja:
Diagnosis Banding :
Syndrome dyspepsia
Anemia
Masalah
-
Trombositopenia
Hipoksemia
2.8. PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad functionam
: dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura
Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang melapisi paru
serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian dalam. Pada hakikatnya kedua
lapis membran ini saling bersambungan di dekat hilus, yang secara anatomis disebut
sebagai refleksi pleura. Pleura visceral dan parietal saling bersinggungan setiap kali
manuver pernapasan dilakukan, sehingga dibutuhkan suatu kemampuan yang dinamis
dari rongga pleura untuk saling bergeser secara halus dan lancar. Ditinjau dari permukaan
yang bersinggungan dengannya, pleura visceral terbagi menjadi empat bagian, yakni
bagian kostal, diafragama, mediastinal, dan servikal.3
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak antarmembran maupun
yang
mendukung
pemisahan
antarmembran.
Faktor
yang
mendukung
kontak
antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar dinding dada dan (2) tekanan atmosfer
di dalam alveolus (yang terhubung dengan dunia luar melalui saluran napas). Sementara
itu faktor yang mendukung terjadi pemisahan antarmembran adalah: (1) elastisitas
dinding toraks serta (2) elastisitas paru.4 Pleura parietal memiliki persarafan, sehingga
iritasi terhadap membran ini dapat mengakibatkan rasa alih yang timbul di regio dinding
torako-abdominal (melalui n. interkostalis) serta nyeri alih daerah bahu (melalui n.
frenikus).
Gambar 1 Anatomi Pleura Pada Paru Normal (Kanan) dan Paru yang Kolaps (Kiri)
Antara kedua lapis membran serosa pleura terdapat rongga potensial, yang terisi oleh
sedikit cairan yakni cairan pleura. Rongga pleura mengandung cairan kira-kira sebanyak
7
0,3 ml kg-1 dengan kandungan protein yang juga rendah (sekitar 1 g dl -1). Secara umum,
kapiler di pleura parietal menghasilkan cairan ke dalam rongga pleura sebanyak 0,01 ml
kg-1 jam-1. Drainase cairan pleura juga ke arah pleura parietal melalui saluran limfatik
yang mampu mendrainase cairan sebanyak 0,20 ml kg -1 jam-1. Dengan demikian rongga
pleura memiliki faktor keamanan 20, yang artinya peningkatan produksi cairan hingga 20
kali baru akan menyebabkan kegagalan aliran balik yang menimbulkan penimbunan
cairan pleura di rongga pleura sehingga muncul efusi pleura.
Sementara itu drainase cairan pleura sebagian besar tidak melalui pleura visceral
(sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Neggard), sehingga pada sebagian besar keadaan
rongga pleura dan interstisium pulmoner merupakan dua rongga yang secara fungsional
terpisah dan tidak saling berhubungan. Pada manusia pleura visceral lebih tebal
dibandingkan pleura parietal, sehingga permeabilitas terhadap air dan zat terlarutnya
relatif rendah. Saluran limfatik pleura parietal dapat menghasilkan tekanan subatmosferik
-10 cmH2O.
3.2 Efusi Pleura
Cairan pleura terakumulasi jika pembentukan cairan pleura melampauai absoprsi
(drainase) yang mampu dilakukan oleh limfatik. Selain daripada mekanisme yang telah
dijelaskan di atas, cairan pleura dapat pula dibentuk dari pleura visceral atau rongga
peritoneum (melalui lubang kecil di diafragma). Dengan demikian efusi dapat terjadi
apabila terjadi kelebihan produksi (berasal dari interstisial paru atau pleura visceral,
pleura parietal, dan rongga peritoneal) serta kegagalan absoprsi (akibat obstruksi
limfatik).
10
1. Gagal jantung kiri (kongestif), sebab terjadi kongesti cairan di paru akibat kegagalan
pompa jantung mengakibatkan peningkatan tekanan vaskular paru. NT-proBNP
>1500 pg/mL mengonfirmasi efusi pleura akibat gagal jantung kongestif.
2.
3.
4.
5.
6.
7. Miksedema
Efusi akibat tuberkulosis sering disebut pleuritis tuberkulosis. Pleuritis tuberkulosis
dikaitkan dengan eksudat yang dominan limfositnya (dapat >90% sel darah putih), serta
marker TB yang sangat meningkat di cairan pleura (yakni adenosin deaminase/ADA> 40
IU/L atau interferon gamma lebih dari 140 pg/mL). Cairan pleura dapat pula dikultur,
biopsi jarum pleura, atau torakoskopi. Efusi yang banyak mengandung sel darah merah
menggambarkan keganasan, trauma, atau emboli paru.
Efusi parapneumonik dikaitkan dengan pneumonia, abses paru, atau bronkiektasis.
Terdapat pula istilah empiema yang menggambarkan efusi purulen yang masif.
11
13
BAB IV
PEMBAHASAN
Ny. S, 54 tahun, datang dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak terutama dirasakan saat beraktivitas dan sedikit
berkurang bila beristirahat, namun tidak hilang sepenuhnya. Sesak napas seperti ini tidak
pernah dirasakan pasien sebelumnya. Pasien melakukan pemeriksaan dahak sewaktu dan
hasilnya negatif. Pasien diberikan 4 macam obat (3 diantaranya rifampisin, etambutol,
isoniazid). Pasien sudah minum obat tersebut selama 3 hari. Pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak putih yang hilang timbul selama 1 minggu SMRS. Semenjak sakit, terjadi
penurunan berat badan sebanyak 5 kg. Pasien tidak merokok, namun suami pasien adalah
perokok aktif.
Frekuensi napas pasien 22 kali/menit. Saat dipalpasi, vocal fremitus kanan lebih lemah
dibandingkan kiri. Saat di perkusi, terdengar bising ketok redup pada paru kanan dan sonor
pada paru kiri. Pada auskultasi ditemukan penurunan suara napas vesikuler pada paru kanan.
Batuk produktif dan sesak napas selama 1 minggu, penurunan berat badan sebanyak 5
kg, serta riwayat pemberian OAT perlu dicurigai suspek TB, walaupun pada pemeriksaan
dahak sewaktu didapatkan hasil negatif. Oleh karena itu pada rencana pemeriksaan pasien
direncanakan untuk periksa sputum BTA. Namun, batuk produktif, sesak napas, dan
penurunan berat badan juga dapat disebabkan oleh keganasan. Gejala yang didapatkan dari
anamnesis tidak terlalu khas sehingga belum dapat disimpulkan.
Sesak napas, vocal fremitus yang melemah, bising ketok redup, serta penurunan suara
napas vesikuler pada paru kanan dapat disebabkan oleh efusi pleura. Cairan dalam rongga
pleura tersebut menghalangi getaran suara mencapai dinding toraks sehingga vocal fremitus
melemah. Adanya cairan menyebabkan bising ketok redup saat diperkusi. Bunyi pernapasan
yang lemah juga dapat disebabkan efusi pleura, karena cairan merupakan rintangan bagi
bising vesikuler, serta adanya efusi mengakibatkan alveolus tidak dapat mengembang dengan
luas.
Penegakan diagnosis efusi pleura dapat diperkuat dengan hasil radiologi. Dari foto
toraks,
didapatkan
gambaran
penumpulan
sudut
kostofrenikus
kanan
pada
foto
posteroanterior. Penyebab efusi pleura perlu dianalisis lebih lanjut berdasarkan hasil
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menentukan
14
penyebab dari efusi pleura adalah analisis cairan pleura. Perbedaan mendasar antara efusi
pleura akibat keganasan atau tuberkulosis adalah sebagai berikut:8
Penyebab
Tampilan
Hitung
Eritrosit
pH
Glukosa
Keterangan
jenis
leukosit
Keganasan
Turbid
1-10.000
hingga
limfosit
<100.000
Normal
Normal
hingga
hingga
Normal
Normal
sampai
sampai
Pemeriksaan
sitologi
berdarah
Tuberkulosis
Serosang
5-10.000
(campuran
limfosit
<10.000
Pemeriksaan
marker TB
darah dan
ADA: >70
cairan
IU/L TB,
serosa)
jika<40 IU/L
bukan TB.
Pewarnaan
BTA: 0-10%
dengan
pewarnaan
TB
kultur dan
resistensi
Kemungkinan bakteri lain sebagai penyebab dari efusi pleura dapat diperiksa melalui
kultur bakteri aerobik dan anaerobik. Hasil dengan kultur meningkat apabila cairan pleura
diinokulasikan langsung (bedside ) ke dalam botol kultur darah.Sedangkan untuk kecurigaan
yang mengarah ke pleuritis TB, selain kultur cairan pleura, harus dilakukan pula kultur
sputum. Untuk kecurigaan yang mengarah pada keganasan, dilakukan pemeriksaan sitologi.
Pada keganasan, pemeriksaan sitologi cairan pleura memberikan hasil 60% positif. Jika
negatif, kemungkinan besar keganasan berupa mesotelioma, sarkoma, dan limfoma.7
Opsi lain adalah setelah melakukan punksi pleura, dapat dilakukan kembali foto
toraks untuk melihat gambaran radiologi secara lebih jelas. Oleh karena pasien tidak
15
bisa dinilai dari pergeseran batas jantung. Dapat pula diikuti dengan peningkatan opasitas
paratrakeal yang mengindikasikan adanya limfadenopati.10
Selanjutnya, dari hasil laboratorium, permasalahan yang dijumpai pada pasien berupa
gangguan fungsi hati yang ditandai dengan peningkatan SGPT (60, normal: 0-40), sedangkan
SGOT dalam batas normal. Kemudian, ditemukan pula peningkatan bilirubin total dan
bilirubin direk. Hal ini dapat disebabkan oleh pemberian OAT. Hepatitis karena pemberian
isoniazid dan rifampisin sering terjadi. Isoniazid diduga memproduksi hidrazin, suatu
metabolik yang bersifat hepatotoksik. Oleh karena hanya SGPT yang meningkat dan
peningkatannya tidak lebih dari dua kali nilai normal maka pemberian isoniazid dan
rifampisin dapat dilanjutkan.11
Permasalahan lainnya yang ditemui pada pasien ini adalah trombositopenia (32.000)
dan anemia (Hb: 5,4) maka direncanakan transfusi darah. Kebutuhan transfusi dapat dihitung
dengan:
Hb yang diinginkan- Hb sekarang
Hb donor
Untuk hiponatremia (126) dan hipokalemia (2,68) dikoreksi dengan pemberian infus
NaCl 0,9% 500 cc + KCl 25 mEq dalam 12 jam. Pasien juga mengalami hipoksemia ringan
(pO2 : 65,7) sehingga diberikan oksigen 4L/menit melalui nasal kanul. Untuk hipokalsemia
(7,3), dapat diberikan kalsium oral 1-3 g/hari.8 Sedangkan hipokloremia (97) tidak terlalu
bermakna karena penurunan hanya satu angka dari rentang normal (98-109). Selanjutnya,
direncanakan pemeriksaan laboratorium elektrolit dan darah perifer lengkap pasca koreksi.
Jika permasalahan teratasi yang ditandai dengan kondisi umum membaik, maka dilanjutkan
dengan punksi pleura. Untuk pengobatan gastritis yang dialami oleh pasien dapat diberikan
16
ranitidin intravena. Kemudian, curcuma juga diberikan untuk meningkatkan nafsu makan
pasien.
17
DAFTAR PUSTAKA
19