Anda di halaman 1dari 9

PENGARUH RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY (REBT)

TERHADAP REGULASI EMOSI PADA ORANG DEWASA


KORBAN CHILD ABUSED

Tugas Metedologi Penelitian Kuantitatif

Disusun oleh :
Nama

: TIARA RAMADHANI, S.Psi.

NPM

: 20050014023

MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2015
1. Latar Belakang Masalah

Child Abuse atau kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual,
penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian
dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau
serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan
dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya
kepada anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan
jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak
berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak: pengabaian, kekerasan
fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual anak.
Yurisdiksi yang berbeda telah mengembangkan definisi mereka sendiri tentang apa yang
merupakan pelecehan anak untuk tujuan melepaskan anak dari keluarganya dan/atau penuntutan
terhadap suatu tuntutan pidana. Menurut Journal of Child Abuse and Neglect, penganiayaan
terhadap anak adalah "setiap tindakan terbaru atau kegagalan untuk bertindak pada bagian dari
orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian, kerusakan fisik serius atau emosional
yang membahayakan, pelecehan seksual atau eksploitasi, tindakan atau kegagalan tindakan yang
menyajikan risiko besar akan bahaya yang serius". (Wikipedia, 2014)
Siswanto (2007) Dalam bahasa indonesia, istilah Child Abused diterjemahkan sebagai
perlakuan yang salah atau kejam terhadap anak, yang sering dilakukan oleh orang lain dan
umumnya dilakukan oleh orang dewasa. Kata abused sendiri memiliki banyak arti, antara lain: 1.
penyalahgunaan, salah pakai. 2. Perlakuan kejam, siksaan. 3. Makian. 4. Menyalahgunakan
(misuse). 5. Memperlakukan dengan kasar/kejam/keji (mistreat). 6. Memaki-maki, mencacimaki (scold, insult). 7. Menghianati. Pengertian abused di atas sama seperti yang akan diuraikan
lebih lanjut, yaitu meliputi penyalahgunaan, salah pakai, perlakuan kejam, siksaan, makian,
menyalahgunaan, memperlakukan dengan kejam atau kasar atau keji dan memaki-maki atau
mencaci maki.
Kata child diartikan sebagai anak. Istilah anak dirangkaikan dengan istilah
penyalahgunaan (anak) dan tetap digunakan istilah child bila masih memakai kata abused karena
terasa lebih enak didengar dan tidak aneh, karena menghubungkan dua kata dari bahasa yang
sama. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa

yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
Menurut Siswanto (2007) kebanyakan orang berpikir bahwa Child Abused hanya meliputi
physichal dan sexual abuse. Padahal ada beberapa macam abuse yang lain, yaitu emotional
abuse dan neglect. Pengertian dari beberapa abuse tersebut menurut American Medical
Association dan American Academy of Pediatrics (Siswanto 2007) adalah sebagai berikut :

1. Physical Abuse (perlakuan salah secara fisik)


Adalah ketika anak mengalami pukulan, tamparan, gigitan, pembakaran, atau kekerasan
fisik lainnya. Seperti bentuk abuse lainnya, physical abuse biasanya berlangsung dalam waktu
yang lama. Atau tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menyakiti fisik anak seperti:
memukul, menendang, melempar, menggigit, menggoyang-goyang, memukul dengan sebuah
objek, menyulut tubuh anak dengan rokok, korek api, menyiram anak dengan air panas,
mendorong dan menenggelamkan anak di dalam air, mengikatnya, tidak memberi makanan yang
layak untuk anak, dan sebagainya.
2. Sexual Abuse (perlakuan salah secara seksual)
Adalah ketika anak diikutsertakan dalam situasi seksual dengan orang dewasa atau anak
yang lebih tua. Kadang ini berarti adanya kontak seksual secara langsung seperti persetubuhan,
atau sentuhan atau kontak genital lainnya. Tetapi itu juga bisa berarti anak dibuat untuk melihat
tindakan seksual, melihat kelamin orang dewasa, melihat pornografi atau menjadi bagian dari
produksi pornografi.
3. Neglect (diabaikan/dilalaikan)
Adalah ketika kebutuhan-kebutuhan dasar anak tidak dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut meliputi kebutuhan makan bergizi, tempat tinggal yang memadai, pakaian, kebersihan,
dukungan emosional, cinta dan afeksi, pendidikan, keamanan, dan perawatan gigi serta medis.
Atau tindakan yang menyangkut masalah tumbu kembang anak, seperti tidak menyediakan
rumah dan memberi pakaian yang layak, mengunci anak di dalam kamar atau kamar mandi,
meninggalkan anak di dalam periode waktu yang lama, menempatkan anak di dalam situasi yang
membahayakan dirinya.

4. Emotional Abuse (perlakuan salah secara emosi)


Adalah ketika anak secara teratur diancam, diteriaki, dipermalukan, diabaikan,
disalahkan, atau salah penanganan secara emosional lainnya, seperti membuat anak menjadi
lucu, memanggil namanya dan selalu dicari-cari kesalahannya adalah bentuk dari emosional
abuse. Atau terjadi bila orang dewasa mengacuhkan, meneror, menyalahkan, mengecilkan dan
sebagainya yang membuat anak merasa inkonsisten dan tidak berharga.
Child abuse ini menimbulkan dampak (Moore, 2004) diantaranya :
1. Anak kehilangan hak untuk menikmati masa kanak-kanaknya. Anak bisa saja kehilangan
keceriaannya karena kekerasan yang dialaminya hingga malas untuk bermain.
2. Sering menjadi korban eksploitasi dan penindasan dari orang dewasa. Anak yang pernah
menjadi korban kekerasan lagi dan semakin ditindas orang dewasa bila tidak
mendapatkan penanganan yang tepat.
3. Sering pada saat dewasa membawa dampak psikologis : labilitas emosi, perilaku agresif,
tindak kekerasan, penyalahgunaan NAPZA, perilaku sex bebas, dan perilaku anti sosial.
4. Kerusakan fisik : pertumbuhan dan perkembangan tubuh kurang normal atau bahkan
mengalami kecacatan dan rusaknya sistem syaraf.
5. Besar kemungkinan setelah dewasa akan memberi perlakuan keras secara fisik pada
anaknya.
6. Akibatnya yang paling fatal adalah kematian.
KPAI menyatakan anak-anak di bawah umur yang menjadi korban kekerasan fisik
maupun seksual akan memiliki trauma yang dibawa hingga dewasa. Anak yang menjadi korban
pelecehan seksual itu akan menyimpan trauma di dalam dirinya. Anak akan memendam trauma
itu hingga dewasa. Sikap dan reaksi terhadap stimulan terkait seksual akan berubah. Kondisi
trauma tersebut akan ditandai dengan perilaku anak yang berubah menjadi lebih pendiam, dan
lebih memiliki perasaan curiga pada setiap orang yang ditemui. Perlu pengawasan lebih tinggi
pada si anak yang menjadi korban kekerasan. Selain itu, dibutuhkan waktu lama untuk mengatasi
kondisi trauma yakni dengan melakukan perawatan mentalnya. (sindonews.com, 2014)
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan permasalahan yang dialami oleh anak dan
korban child abuse dapat berupa perilaku maupun emosi. Anak-anak yang tinggal dalam lingkup
keluarga yang mengalami KDRT memiliki resiko yang tinggi mengalami penelataran, menjadi
korban penganiayaan secara langsung, dan juga resiko kehilangan orang tua sebagai tonggak
penyelenggaraan kehidupan mereka selama ini (Dauvergne & Johnson, 2001). Pengalaman

menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam lingkup keluarga dapat menimbulkan


pengaruh-pengaruh negatif pada keamanan, stabilitas hidup dan kesejahteraan anak (Carlson,
2000; McKay, 1994). Dalam hal ini, posisi anak dapat dilihat sebagai korban secara tidak
langsung atau dapat disebut sebagai korban laten (latent victim).
Anak yang melihat perilaku kekerasan setiap hari di lingkungan rumah, dapat mengalami
gangguan fisik (Bair-Merritt, Blackstone & Feudtner, 2006), mental dan emosional (Edleson,
1999; Emery, 2011). Carlson (2000) mengklasifikasi 3 kategori pengaruh negatif KDRT yang
dapat terjadi dalam kehidupan anak yang menjadi saksi kekerasan dalam lingkup keluarga, yaitu:
1) masalah emosional, perilaku dan sosial; 2) masalah kognitif dan sikap; serta 3) rasional jangka
panjang. Pada jangka panjang, problem-problem ini juga akan menunjukkan pengaruhnya pada
masa dewasa, yaitu ketidakmampuan mengembangkan kemampuan coping yang efektif.
Kebanyakan anak-anak ini akan menjadi orang-orang dewasa yang rentan terhadap depresi dan
menunjukkan gejala-gejala traumatis, bahkan beresiko tinggi menjadi pelaku kekerasan dalam
rumah tangga mereka sendiri ketika dewasa (McKay, 1994; Kerig, 1999; Robinson, 2007). Salah
satu teknik terapi yang melihat hubungan antara emosi, pikiran dan perilaku adalah REBT
(Rational Emotif Behaviour Therapy).
Konsep dasar dari

REBT adalah emosi dan perilaku merupakan hasil dari proses

kognitif. Gangguan emosi berasal dari adanya kesalahan dalam berfikir terhadap suatu kejadian.
Kesalahan dalam proses berfikir menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran yang irasional yang
tidak masuk akal, menyalahkan diri sendiri serta menimbulkan masalah emosi. Berdasarkan
fenomena yang telah dijabarkan di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana Pengaruh
Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) Terhadap Regulasi Emosi Pada Orang Dewasa
Korban Child Abused.

2. Identifikasi Masalah
Rational Behaviour Emotive Therapy (REBT) merupakan suatu pendekatan

yang

mempunyai asumsi bahwa kognisi, emosi dan perilaku mempunyai interaksi satu sama lain dan
mempunyai hubungan sebab akibat. Asumsi dasar dari REBT adalah setiap orang mempunyai
kontribusi terhadap masalah psikologis mereka sendiri yang merupakan hasil dari intepretasi

mereka terhadap situasi dan kejadian. Menurut Gonzalez & Nelson (2004) REBT merupakan
suatu pendekatan kognitif dan perilaku yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian yang dialami
namun dari keyakinan keyakinan yang tidak rasional.
Keyakinan yang tidak rasional akan membawa individu pada emosi dan perilaku negatif
yang tidak sehat. REBT merupakan suatu metode yang menggunakan pendekatan kognitif dalam
mengatasi masalah emosi dan perilaku yang berasal dari keyakinan yang irrasional. Menurut
Ellis (dalam Corey, 1996), REBT dapat digunakan dalam mengatasi berbagai masalah seperti
Conduct Disorder, agresi, kecemasan, perilaku distruktif, ADHD, self-esteem yang rendah,
pikiran-pikiran yang irasional, general anxietydan prestasi akademik yang rendah.
Formulasi yang dipakai dalam terapi REBT adalah A-B-C-D-E, yaitu antecedent, belief,
emotional consequence, desputing dan effect. Efek adalah keadaan psiklogis yang diharapkan
terjadi pada klien setelah menjalani terapi. Melalui terapi klien diarahkan dapat memiliki dimensi
psikologis yang utuh dan sehat, dapat mengarahkan dirinya ke arah yang lebih positif, berpikir
fleksibel serta dapat menerima keadaan dirinya secara keseluruhan. Berdasarkan uraian di atas,
maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah apakah terapi Rational
Emotive Behaviour Therapy (REBT) berpengaruh terhadap regulasi emosi pada orang dewasa
korban child abuse ?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh terapi Rational Emotive Behaviour Therapy
(REBT) untuk meningkatkan regulasi emosi pada dewasa korban child abuse.
4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
4.1. Manfaat teoritis penelitian
a. Penelitian ini diharapkan menjadi masukkan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu
psikologi terutama di bidang psikologi klinis, khususnya mengenai gambaran efektivitas terapi
REBT pada dewasa korban child abuse.
4.2. Manfaat praktis penelitian
a. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan dan
masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai terapi
REBT dan regulasi emosi.

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau bahan
pertimbangan bagi berbagai pihak yang ingin menerapkan terapi REBT pada dewasa korban
child abuse.
5. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen menggunakan desain penelitian
desain pre-test/post-test (A-B-A design). Desain ini dapat mengukur suatu perubahan pada suatu
situasi, fenomena, isu, masalah, atau sikap dan merupakan desain yang sesuai untuk menelaah
efektivitas dari suatu program. Kedua pengukuran tersebut (pre-test dan post-test) akan
dibandingkan untuk melihat adanya pengaruh dari intervensi yang dilakukan terhadap regulasi
emosi pada dewasa korban child abuse.
6. Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini meliputi dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel
bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbul dan berubahnya variabel terikat, sedangkan
variabel terikat adalah variabel yang mengalami perubahan akibat adanya variabel bebas.
Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel terikat : Regulasi Emosi
b. Variabel bebas : Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)
7. Definisi Operasional Penelitian
a. Regulasi Emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya baik positif
dan negative dimana di dalamnya terdapat proses monitoring, evaluasi dan mengubah respon
emosi terhadap suatu kejadian yang akan diukur dengan menggunakan skala evaluasi diri yaitu
Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS). Skala ini terdiri dari aitem yang berkaitan
dengan ketidakmampuan seseorang memahami respon dari emosi, kesulitan dalam menentukan
tujuan, kesulitan dalam mengontrol impuls, kurangnya kesadaran terhadap emosi, keterbatasan
dalam strategi regulasi emosi dan kurang dalam memahami emosi.
b. Terapi REBT adalah suatu terapi kognitif yang bertujuan untuk mengatasi masalah
emosi dan perilaku karena adanya keyakinan yang tidak rasional. REBT dilakukan dalam tiga
fase yaitu fase awal, fase pertengahan dan fase akhir dengan kegiatan disputing irrational belief,
tugas rumah, pemberian reward, rational emotive imagery dimana keseluruhan terapi terdiri dari
16 sesi (Dyren, 2008).
8. Subjek penelitian

Teknik pemilihan subjek penelitian


Subjek penelitian adalah dewasa korban child abuse.. Tidak sedang menjalani terapi
apapun. Jenis sampel dalam penelitian ini adalah

purposive sampling yaitu sampel dipilih

berdasarkan kriteria tertentu. Adapun karateristik subyek penelitian adalah:


- Dewasa muda berusia 20-30 tahun
- Korban child abuse
- Memiliki kesulitan dalam regulasi emosi ( skor DERS > 132)
9. Alat Ukur Penelitian
Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS)
Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS); Gratz, K.L. & Roemer, L, 2004)
merupakan skala untuk mengukur kesulitan dalam regulasi emosi pada anak, remaja dan orang
dewasa. Skala ini terdiri dari 36 aitem; 5 aitem berkaitan dengan tidak mampu memahami respon
dari emosi, 5 aitem yang berhubungan dengan kesulitan dalam menentukan tujuan, 6 aitem
berkaitan dengan kesulitan dalam mengontrol impuls, 6 aitem berkaitan dengan kurangnya
kesadaran terhadap emosi, 8 aitem berkaitan dengan keterbatasan dalam strategi regulasi emosi
dan 5 aitem berkaitan dengan kurang dalam memahami emosi. DERS berbentuk skala Likert
dengan mulai dari 1 (0-10%)= tidak pernah, 2 ( 11-35% ) = kadang-kadang, 3 (36-65%) =
hampir setengah waktu, 4 (66-90%) = sering dan 5 (91-100%) = selalu. Kategori skala terdiri
dari : Tinggi 132, sedang: 88. X < 132, Tinggi 132.
*KETERANGAN A-B-C-D-E*
Pandangan dari pendekatan rational emotive tentang kepribadian dapat dikaji dari
konsep-konsep teori Albert Ellis. Ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu,
kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan teori ABC, yaitu :
Antecedent event (A)
Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami individu. Peristiwa
pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain. Perceraian suatu
keluarga, kelulusan bagi siswa dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecedent
event bagi seseorang.
Belief (B)
Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai atau verbalisasi diri individu terhadap
suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational
belif atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irasional belif atau iB). Keyakinan yang
rasional merupakan cara berfikir atau sistem keyakinan yang tepat, masuk akal dan bijaksana.

Sedangkan keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan yang sistem berfikir seseorang
yang salah, tidak masuk akal dan emosional.
Emotional consequence (C)
Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau
reaksi individu dalam membentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya
dengan antecedent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi
disebabkan oleh beberapa variable antara lain dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun
yang iB.
Dalam kontek teori kepribadian, tujuan konseling merupakan efek (E) yang
diharapkan terjadi setelah dilakukan intervensi oleh konselor (desputing/D). oleh karena itu teori
TRE tentang kepribadian dalam formula A-BC dilengkapi pleh Ellis sebagai teori konseling
menjadi A-B-C-D-E(antecedent event, belief, emotional consequence, desputing, dan effect).
Efek yang dimaksud adalah keadaan psikologis yang diharapkan terjadi pada klien setelah
mengikuti proses konseling.

Anda mungkin juga menyukai