Anda di halaman 1dari 38

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Tekanan Panas
a. Pengertian Tekanan Panas
Tekanan panas adalah kombinasi dari suhu udara, kelembaban
udara, kecepatan gerakan udara, dan panas radiasi yang dipadankan
dengan produksi panas oleh tubuh sendiri (Sumamur, 2009).
Tekanan panas (heat stress) adalah beban iklim kerja yang diterima
oleh tubuh manusia (Santoso, G., 2004).
Tekanan panas yang berlebihan akan merupakan beban tambahan
yang harus diperhatikan dan diperhitungkan. Beban tambahan berupa
panas lingkungan, dapat menyebabkan beban fisiologis, misalnya kerja
jantung menjadi bertambah (Depkes RI, 2003).
Selama aktivitas pada lingkungan panas, tubuh secara otomatis
akan memberikan reaksi untuk memeliharara suatu kisaran panas
lingkungan yang konstan dengan menyeimbangkan antara panas yang
diterima dari luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh
(Tarwaka dkk, 2004).
Suhu udara dapat diukur dengan termometer biasa (termometer
suhu kering) dan suhu demikian disebut suhu kering. Kelembaban udara

diukur dengan menggunakan hygrometer. Adapun suhu dan kelembaban


dapat diukur bersama-sama dengan misalnya menggunakan alat
pengukur sling psychrometer atau arsman psychrometer yang juga
menunjukkan suhu basah sekaligus. Suhu basah adalah suhu yang
ditunjukkan suatu termometer yang dibasahi dan ditiupkan udara
kepadanya,

dengan

demikian

suhu

tersebut

menunjukkan

kelembaban relatif udara. Kecepatan aliran udara yang besar dapat


diukur dengan suatu anemometer, sedangkan kecepatan udara yang
kecil diukur dengan memakai termometer kata. Suhu radiasi diukur
dengan suatu termometer bola (globe thermometer). Panas radiasi
adalah

energi

atau

gelombang

elektromagnetis

gelombangnya lebih dari sinar matahari dan

mata

yang

panjang

tidak

peka

terhadapnya atau mata tidak dapat melihatnya (Sumamur, 2009).


b.Proses pertukaran panas antara tubuh dan lingkungan
Proses pertukaran panas antara tubuh dengan lingkungan terjadi
melalui mekanisme konveksi, radiasi, evaporasi, dan konduksi. Apabila
seseorang sedang bekerja, tubuh pekerja tersebut akan mengadakan
interaksi dengan keadaan lingkungan yang terdiri dari suhu udara,
kelembaban dan gerakan atau aliran udara. Proses metabolisme tubuh
yang berinteraksi dengan panas di lingkungannya akan mengakibatkan
pekerja mengalami tekanan panas. Tekanan panas ini dapat disebabkan
karena adanya sumber panas maupun karena ventilasi yang tidak baik.

c. Faktor-faktor yang Menyebabkan Pertukaran Panas


Faktor-faktor yang menyebabkan pertukaran panas antara tubuh
dengan lingkungan di sekitarnya antara lain :
1) Konduksi
Konduksi ialah pertukaran panas antara tubuh dengan bendabenda

sekitar

melalui

mekanisme

sentuhan

atau

kontak

langsung. Konduksi dapat menghilangkan panas dari tubuh, apabila


benda-benda sekitar lebih rendah suhunya, dan dapat menambah
panas kepada badan apabila suhunya lebih tinggi dari tubuh.
2) Konveksi
Konveksi adalah pertukaran panas dari badan dan lingkungan
melalui kontak udara dengan tubuh. Udara adalah penghantar panas
yang kurang begitu baik, tetapi melalui kontak dengan tubuh dapat
terjadi pertukaran panas antara udara dengan tubuh. Tergantung dari
suhu udara dan kecepatan angin, konveksi memainkan besarnya peran
dalam pertukaran panas antara tubuh dengan lingkungan. Konveksi
dapat mengurangi atau menambah panas kepada tubuh.
3) Radiasi
Setiap benda termasuk tubuh manusia selalu memancarkan
gelombang panas. Tergantung dari suhu benda-benda sekitar, tubuh
menerima atau kehilangan panas lewat mekanisme radiasi.

4) Penguapan (evaporasi)
Manusia dapat berkeringat dengan penguapan di permukaan
kulit atau melalui paru-paru tubuh kehilangan panas untuk
penguapan. Untuk mempertahankan suhu tubuh maka, M kond
konv R-E =
0
M

= Panas dari metabolisme

Kond

= Pertukaran panas secara konduksi

Konv

= Pertukaran panas secara konveksi

= Panas radiasi

= Panas oleh evaporasi (Sumamur, 2009).

d.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Panas


1) Indoor Climate
Menurut Grandjean indoor climate dalam Nurmianto (2008)
adalah

suatu

kondisi fisik sekeliling dimana kita melakukan

sesuatu aktifitas tertentu yang meliputi hal-hal sebagai berikut:


temperatur udara, temperatur permukaan sekeliling, kelembaban
udara dan aliran perpindahan udara.
2) Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah suatu proses adaptasi fisiologis yang
ditandai oleh pengeluaran keringat yang meningkat, denyut jantung
dan tekanan darah menurun dan suhu tubuh menurun. Proses adaptasi

ini biasanya memerlukan waktu 7 - 10 hari. Aklimatisasi dapat pula

menghilang ketika orang yang bersangkutan tidak masuk kerja


selama seminggu berturut-turut (Santoso, G., 2004).
3) Usia
Makin tua makin sulit merespon panas karena penurunan
efisiensi kardiovaskuler (jantung). Makin tua makin sulit berkeringat
sehingga memperkecil kemampuan untuk menurunkan suhu inti.
Pada pekerjaan yang sama, tenaga kerja berusia tua mempunyai
suhu inti lebih tinggi daripada tenaga kerja yang berusia lebih muda.
Untuk itu pemulihan kondisi tubuh selama istirahat membutuhkan
waktu lebih lama (Heru dan Haryono, 2008).
4) Kondisi Fisik
Makin fit kondisi fisik tubuh makin mudah merespon panas
(Heru dan Haryono, 2008).
5) Jenis Kelamin
Kemampuan individu untuk bekerja di lingkungan panas juga
dipengaruhi oleh jenis kelamin (Harrianto, R., 2009).
6) Etnis
Pada etnis tertentu respon panas berbeda dengan etnis lain,
misalnya antara etnis Arab dan etnis Eropa. Tetapi perbedaan respon
panas pada kedua etnis tersebut lebih merupakan perbedaan diet (pola
makan) pada kedua etnis tersebut (Heru dan Haryono, 2008).

7) Status Gizi
Beberapa zat gizi akan hilang karena adanya tekanan panas.
Misalnya pekerjaan berat yang memerlukan kalori lebih dari 500
kcal akan
pekerja,

berpotensi

kehilangan zinc

hal

ini

mengganggu

dari

tubuh
pertumbuhan,

perkembangan dan kesehatan. Pekerjaan di ruang panas minimal


dibutuhkan asupan vitamin C 250 mg/hari pada pekerja yang
bersangkutan (Heru dan Haryono, 2008).
Cara untuk menentukan status gizi seseorang yang popular di
dunia kesehatan yaitu dengan menggunakan IMT (Indeks Massa
Tubuh) atau BMI (Body Mass Index). Sedangkan rumus IMT adalah
sebagai berikut :
2

IMT = BB (kg) / TB (m)


Standar Asia Nilai IMT :
< 18,5

= Kurus

18,5 22,9

= Normal

23 27,4

= BB lebih (OW/Over Weight)

27,5 >

= Obesitas (Sumamur, 2009).

e. Penilaian Tekanan Panas


1) Suhu Efektif
Suhu efektif yaitu indeks sensoris tingkat panas (rasa panas)
yang dialami oleh seseorang tanpa baju dan bekerja enteng dalam

berbagai kombinasi suhu, kelembaban dan kecepatan aliran udara.

Kelemahan

penggunaan

suhu

memperhitungkan panas radiasi


Untuk

penyempurnaan

efektif

ialah

tidak

dan panas metabolisme tubuh.

pemakaian

suhu

efektif

dengan

memperhatikan panas radiasi, dibuat Skala Suhu Efektif Dikoreksi


(Corected Effektive Temperature Scale). Namun
kelemahan

pada

suhu

efektif

yaitu

tetap

saja

ada

tidak diperhitungkannya

panas hasil metabolisme tubuh.


2) Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)
Indeks Suhu Basah dan Bola (Wet Bulb-Globe Temperature
Index),
berikut:

yaitu

rumus-rumus

sebagai

ISBB = 0,7 x suhu basah + 0,2 x suhu radiasi + 0,1 x suhu kering
(untuk bekerja dengan sinar matahari).
ISBB = 0,7 x suhu basah + 0,3 x suhu radiasi (untuk pekerjaan
tanpa sinar matahari).
Dari hasil pengukuran ISBB tersebut selanjutnya disesuaikan dengan
beban kerja yang diterima oleh pekerja, kemudian dilanjutkan
penganturan

waktu

kerja-waktu

istirahat

yang

tetap

dapat

bekerja dengan aman dan sehat (Tarwaka dkk, 2004).


3) Prediksi Kecepatan Keluarnya Keringat Selama 4 Jam
Prediksi kecepatan keluarnya keringat selama 4 jam (Predicted
4 hour sweet rate disingkat P4SR), yaitu banyaknya prediksi keringat
keluar selama 4 jam sebagai akibat kombinasi suhu, kelembaban

dan kecepatan aliran udara serta panas radiasi. Nilai prediksi ini dapat
pula

dikoreksi untuk bekerja dengan berpakaian dan juga menurut tingkat


kegiatan dalam melakukan pekerjaan.
4) Indeks Belding-Hacth
Indeks Belding-Hacth yaitu kemampuan berkeringat dari orang
standar yaitu orang muda dengan tinggi 170 cm dan berat 154
pond, dalam

keadaan

kesegaran jasmani,

sehat

dan

memiliki

serta beraklimatisasi terhadap panas.

(Sumamur, 2009).
f. Standar Iklim Kerja
Standar iklim di Indonesia ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor: Kep-51/MEN/1999 yaitu:
Tabel 1 Standar iklim di Indonesia ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Kep-51/MEN/1999
ISBB C
Pengaturan
Beban Kerja
waktu kerja
Waktu

Waktu kerja

Istirahat

Ringan Sedang Berat

Kerja terus menerus


(8 jam/hari)

30,0

26,7

25,0

75%

25% istirahat

28,0

28,0

25,9

50%

50% Istirahat

29,4

29,4

27,9

25%

75% Istirahat

32,2

31,1

30,0

(Depnakertrans, 2007).
g. Penilaian Beban Kerja Fisik
Menurut Astrand & Rodahl dalam Tarwaka dkk, (2004) bahwa

penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara

objektif, yaitu metode penilaian langsung dan metode tidak langsung.


Metode pengukuran langsung yaitu dengan mengukur energi yang
dikeluarkan (energy expenditure) melalui asupan oksigen selama
bekerja. Semakin berat beban kerja akan semakin banyak energi yang
diperlukan atau
menggunakan

dikonsumsi.

Meskipun

metode

dengan

asupan oksigen lebih akurat, namun hanya dapat

mengukur untuk waktu kerja yang singkat dan diperlukan peralatan


yang cukup mahal. Sedangkan metode pengukuran tidak langsung
adalah dengan menghitung denyut nadi selama bekerja.
Sedangkan menurut Christensen dalam Tarwaka dkk, (2004)
bahwa kategori

berat

ringannya

beban

kerja

didasarkan

pada

metabolisme, respirasi, suhu tubuh dan denyut jantung.


Tabel 2 Kategori Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme, Respirasi,
Suhu Tubuh dan Denyut Jantung
Denyut Nadi
Kategori Beban Kerja
(denyut/min)
Ringan

75 100

Sedang

100 125

Berat

125 150

Sangat Berat

150 175

Sangat Berat Sekali

> 175

(Christensen (1991:1699). Encyclopaedia of Accupational Health and


Safety. ILO. Geneva dalam Tarwaka dkk, (2004))

Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja :


1) Beban kerja oleh karena faktor eksternal
Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal
dari luar tubuh pekerja. Yang termasuk beban kerja eksternal adalah
tugas (task) itu sendiri, organisasi dan lingkungan kerja. Ketiga
aspek ini sering disebut stressor.
a) Tugas-tugas (tasks)
Tugas-tugas (tasks) yang dilakukan baik yang bersifat fisik
seperti, stasiun kerja, tata ruang tempat kerja, alat dan sarana
kerja, kondisi atau medan kerja, sikap kerja, cara angkat angkut,
beban yang diangkat-angkut, alat bantu kerja, sarana informasi
termasuk displai
Sedangkan

atau

control,

tugas- tugas

yang

alur

kerja,

bersifat

dan

lain-lain.

mental seperti :

kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan pekerjaan yang


mempengaruhi tingkat

emosi pekerja, tanggung jawab terhadap

pekerjaan, dan lain-lain.


b) Organisasi kerja
Organisasi kerja yang dapat mempengaruhi beban kerja
seperti: lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja
malam, sistem pengupahan, sistem kerja, musik kerja, model
struktur organisasi, pelimpahan tugas, tanggung jawab dan
wewenang, dan lain-lain.

c) Lingkungan kerja yang dapat memberikan beban tambahan


kepada pekerja adalah :
(1) Lingkungan kerja fisik seperti : mikroklimat (suhu udara
ambien, kelembaban udara, kecepatan rambat udara, suhu
radiasi),

intensitas

penerangan,

intensitas kebisingan,

vibrasi mekanis dan tekanan udara.


(2) Lingkungan kerja kimiawi seperti : debu, gas-gas pencemar
udara, uap logam, fume dalam udara, dan lain-lain.
(3) Lingkungan kerja biologis seperti : bakteri, virus dan parasit,
jamur, serangga, dan lain-lain.
(4) Lingkungan kerja psikologis seperti
penempatan

tenaga

dengan pekerja,

kerja,

: pemilihan dan

hubungan

antara

pekerja

pekerja dengan atasan, pekerja dengan

keluarga dan pekerja

dengan

lingkungan

sosial

yang

berdampak kepada performansi kerja di tempat kerja.


2) Beban kerja oleh karena beban kerja internal
Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal
dari dalam tubuh itu sendiri sebagai akibat dari adanya reaksi dari
beban kerja eksternal. Reaksi tersebut dikenal dengan strain. Berat
ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif.
Penilaian secara objektif yaitu melalui perubahan reaksi fisiologis.
Sedangkan penilaian secara subjektif dapat dilakukan
perubahan reaksi

melalui

psikologis dan perubahan perilaku. Karena itu strain secara


subjektif berkaitan erat dengan harapan, keinginan, kepuasan dan
penilaian subjektif lainnya.

Secara lebih ringkas faktor internal

meliputi :
a) Faktor somatik, yaitu jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi
kesehatan dan status gizi.
b) Faktor

psikis,

keinginan, kepuasan

yaitu
dan

motivasi,
lain-lain

persepsi,
(Rodahl,

kepercayaan,
Adiputra

dan

Manuaba dalam Tarwaka, 2010).


h.Respon Tubuh Menghadapi Panas
Jika tubuh tidak melepaskan panas, maka temperatur tubuh akan
o

meningkat 1 C setiap jam. Panas tubuh dihasilkan oleh metabolisme


sel, mengubah energi kimia dari makanan yang dicerna kebentuk energi
lain, terutama energi panas. Karena proses metabolisme ini berlangsung
terus- menerus, walaupun tidak konstan, tubuh harus melepaskan energi
panas pada kecepatan tertentu agar tidak terjadi penumpukan panas
yang menyebabkan peningkatan temperatur. Secara keseluruhan, panas
yang didapat dari metabolisme dan sumber-sumber lainnya harus
setara dengan panas yang dilepaskan oleh permukaan tubuh. Inilah
esensi dari homeostatis. Pelepasan panas dapat terjadi melalui cara-cara
berikut:
1) Konveksi (juga kadang radiasi & konduksi) panas terutama dari
permukaan kulit yang terbuka dan tidak terinsulasi.

2) Vasodilatasi (pelebaran) pembuluh darah pada kulit, meningkatkan


pelepasan panas melalui kulit.
3) Peningkatan penguapan keringat melalui kulit.
4) Penghembusan udara panas dari paru-paru.
5) Pembuangan panas melalui feses dan urin (James J., 2008).
i. Efek Panas pada Manusia
Menurut Tarwaka, dkk (2004), Efek panas terhadap manusia
berupa kelainan atau gangguan kesehatan, gangguan kesehatan tersebut
dapat berupa :
1) Gangguan perilaku dan performansi kerja, seperti : terjadinya
kelelahan, sering melakukan istirahat curian, dan lain-lain.
2) Dehidrasi
Dehidrasi adalah suatu kehilangan cairan tubuh yang berlebihan
yang disebabkan oleh penggantian cairan yang tidak cukup maupun
karena gangguan kesehatan. Pada kehilangan cairan < 1,5% gejalanya
tidak tampak, kelelahan muncul lebih awal dan mulut lebih kering.
3) Heat Rash
Heat Rash merupakan suatu keadaan seperti biang keringat atau
keringat buntat, gatal kulit akibat kondisi kulit terus basah.
Pada kondisi demikian pekerja perlu beristirahat spada tempat yang
lebih sejuk dan menggunakan bedak penghilang keringat.

4) Heat Cramps
Heat Cramps merupakan kejang otot tubuh (tangan dan kaki)
akibat keluarnya keringat berlebih yang menyebabkan hilangnya
garam natrium dari tubuh, yang kemungkinan besar disebabkan
karena minum terlalu banyak dengan sedikit garam natrium.
5) Heat Syncope atau Fainting
Heat Syncope atau Fainting merupakan keadaan yang disebabkan
oleh karena aliran darah ke otak tidak cukup karena sebagian besar
aliran darah dibawa ke permukaan kulit atau perifer yang
disebabkan karena pemaparan suhu tinggi.
6) Heat Exhaustion
Merupakan suatu keadaan yang terjadi apabila tubuh kehilangan
cairan dan atau garam yang terlalu banyak. Gejalanya yaitu mulut
kering, sangat haus, lemah dan sangat lelah. Gangguan ini biasanya
terjadi pada pekerja yang belum beraklimatisasi terhadap suhu udara
panas.
j. Pengendalian Lingkungan Kerja Panas
Untuk mengendalikan pengaruh pemaparan tekanan panas terhadap
tenaga kerja perlu dilakukan koreksi tempat kerja, sumber-sumber
panas lingkungan dan aktivitas kerja
Koreksi
untuk

menilai

secara

cermat

faktor-faktor

yang

dilakukan.

tersebut dimaksudkan
tekanan

panas dan

mengukur ISBB pada masing-masing pekerjaan sehingga dapat

dilakukan langkah pengendalian secara benar. Di samping itu koreksi


tersebut juga dimaksudkan untuk menilai efektivitas dari sistem
pengendalian yang telah dilakukan di masing-masing tempat kerja.
Secara ringkas teknik pengendalian terhadap pemaparan tekanan panas di
perusahaan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Mengurangi faktor beban kerja dengan mekanisasi.
2) Mengurangi beban panas radian dengan cara :
a) Menurunkan temperatur udara dari proses kerja yang menghasilkan
panas.
b) Relokasi proses kerja yang menghasilkan panas.
c) Penggunaan tameng anti panas dan alat pelindung diri yang dapat
memantulkan panas.
3) Mengurangi temperatur dan kelembaban. Cara ini dapat dilakukan
melalui

ventilasi

pengenceran

(dilution

ventilation)

atau

pendinginan secara mekanis (mechanical cooling). Cara ini telah


terbukti secara dramatis dapat menghemat biaya dan meningkatkan
kenyamanan, hal ini diutarakan Bernard dalam Tarwaka dkk (2004).
4) Meningkatkan pergerakan udara, peningkatan pergerakan udara
melalui ventilasi buatan dimaksudkan untuk memperluas pendingin
evaporasi, tetapi tidak boleh melebihi 0,2 m/detik. Sehingga
perlu dipertimbangkan bahwa menambah pergerakan udara pada
temperatur yang tinggi (> 40C) dapat berakibat pada peningkatan
tekanan panas.

5) Pembatasan terhadap waktu pemaparan panas dengan cara :


a) Melakukan pekerjaan pada tempat panas pada pagi dan sore hari.
b) Penyediaan tempat sejuk yang terpisah dengan proses kerja untuk
pemulihan.
c) Mengatur waktu kerja-istirahat secara tepat berdasarkan beban
kerja dan nilai ISBB (Tarwaka dkk, 2004).
2. Kelelahan Kerja
a. Pengertian Kelelahan Kerja
Kelelahan kerja adalah perasaan lelah dan adanya penurunan
kesiagaan (Grandjean dalam Setyawati, 2010).
Kelelahan kerja adalah respon total individu terhadap stress
psikososial yang dialamai dalam satu periode tertentu dan kelelahan
kerja itu

cenderung

motifasi
kriteria

menurunkan

pekerja bersangkutan.

yang

lengkap

prestasi

Kelahan

kerja

maupun
merupakan

tidak hanya menyangkut kelelahan yang

bersifat fisik dan psikis saja tetapi lebih banyak kaitannya dengan
adanya penurunan kinerja fisik, adanya perasaan lelah, penurunan
motivasi

dan

penurunan

produktifitas

kerja (Cameron dalam

Setyawati, 2010).
Kelelahan kerja adalah suatu fenomena yang kompleks yang
disebabkan oleh faktor biologi pada proses kerja serta dipengaruhi
oleh faktor

internal

maupun

Shahvanaz dalam Setyawati, 2010).

eksternal

(Chavalitsakulchai

dan

Kelelahan

menunjukkan

setiap individu

tetapi

kondisi

semuanya

yang

berbeda-beda

bermuara

pada

dari

kehilangan

efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka


dkk, 2004).
Dari

sudut

dipandang sebagai

neurofisiologi
suatu

diungkapkan

bahwa

kelelahan

keadaan sistemik saraf sentral, akibat

aktifitas yang berkepanjangan dan


dikontrol

secara

aleh

fundamental

aktifitas

berlawanan

antara sistem aktifasi dan sistem ihibisi pada batang otak (Grandjean
dan Kogi dalam Setyawati, 2010).
Perasaan lelah pada pekerja adalah semua perasaan yang tidak
menyenangkan

yang

dialami

fenomena psokososial.

oleh

Latar

pekerja

belakang

serta

merupakan

psikososial

sangat

berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja dan terdapat hubungan


yang erat antara derajat gejala kelelahan dan derajat perasaan lelah
(Yoshitake dalam Setyawati,
2010).
Kata lelah (fatigue) menunjukkan keadaan tubuh fisik dan mental
yang berbeda, tetapi semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja
dan berkurangnya ketahanan tubuh untuk bekerja (Sumamur. 2009).
b.Jenis Kelelahan
1) Kelelahan Otot (Muscular Fatigue)
Fenomena

berkurangnya

kinerja

otot

setelah

terjadinya

tekanan melalui fisik untuk suatu waktu disebut kelelahan otot secara
fisiologi,

dan

gejala

berkurangnya tekanan

yang

ditunjukan

tidak

hanya

berupa

fisik, namun juga pada makin rendahnya gerakan. Pada akhirnya


kelelahan

fisik

ini

dapat

menyebabkan

sejumlah

hal

yang

kurang menguntungkan seperti: melemahnya kemampuan tenaga


kerja dalam melakukan pekerjaannya
kesalahan

dalam melakukan

sehingga

dapat

dan

meningkatnya
kegiatan

mempengaruhi

kerja,

produktivitas

kerjanya. Gejala Kelelahan otot dapat terlihat pada gejala yang


tampak dari luar atau external signs (Aztanti Srie Ramadhani
dalam Budiono, S., 2003).
Sampai saat ini masih berlaku dua teori tentang kelelahan otot
yaitu teori kimia dan teori saraf pusat terjadinya kelelahan. Pada
teori kimia secara umum menjelaskan bahwa terjadinya kelelahan
adalah akibat
energi

berkurangnya
dan

cadangan

meningkatnya sisa

metabolisme

sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot. Sedangkan perubahan


arus listrik pada otot dan saraf adalah penyebab sekunder.
Sedangkan pada teori saraf pusat menjelaskan bahwa perubahan
kimia hanya merupakan penunjang proses. Perubahan kimia
yang terjadi mengakibatkan dihantarkannya rangsangan saraf melalui
saraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot.
Rangsangan aferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam
mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada
sel saraf

menjadi

berkurang. Berkurangnya

frekuensi tersebut

akan menurunkan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot dan


gerakan atas

perintah kemauan menjadi lambat. Dengan demikian semakin


lambat gerakan

seseorang

akan

menunjukkan

semakin

lelah

kondisi otot seseorang (Tarwaka dkk, 2004).


2) Kelelahan Umum (General Fatigue)
Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih
yang luar biasa. Semua aktivitas menjadi terganggu dan terhambat
karena munculnya

gejala

kelelahan

tersebut.

Tidak

adanya

gairah untuk bekerja baik secara fisik maupun psikis, segalanya


terasa berat dan merasa ngantuk (Aztanti Srie Ramadhani dalam
Budiono, S., 2003).
Kelelahan umum biasanya ditandai berkurangnya kemauan
untuk bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas
dan lamanya kerja fisik, keadaan dirumah, sebab-sebab mental,
status kesehatan dan keadaan gizi (Tarwaka dkk, 2004).
c. Penyebab Kelelahan Kerja
Penyebab kelelahan kerja umumnya berkaitan dengan hal-hal
sebagi berikut :
1) Sifat pekerjaan yang monoton.
2) Intensitas kerja dan ketahanan kerja mental dan fisik yang tinggi.
3) Cuaca ruang kerja, pencahayaan dan kebisingan serta lingkungan
kerja lain yang tidak memadai.
4) Faktor psikologis, rasa tanggung jawab, ketegangan-ketegangan dan
konflik-konflik.

5) Penyakit-penyakit, rasa kesakitan dan gizi.


6) Circadian

rhytm.

Diinformasikan

dalam

kaitan

kejadian

kelelahan kerja shift kerja berpeluang menimbulkan kelelahan kerja


sekitar 80% dan shift kerja sendiri berpeluang menimbulkan
gangguan tidur pada pekerja shift kerja malam sekitar 80%
(Setyawati, 2010).
Secara jelas faktor etiologi kelelahan belum diketahui, ada yang
mengemukakan karena virus tertentu atau adanya peran gangguan
kejiwaan

dalam

terjadinya

kelelahan

(Swartz,

Manu

dan

Baringin dalam Setyawati, 2010).


Secara fisiologis penyebab kelelahan ada dua macam yaitu:
1) Kelelahan sentral
Kelelahan sentral adalah aktifitas motor neuron

tidak

mencukupi atau motor neuron mengalami impaired excitability.


2) Kelelahan perifer
Penyebab kelelahan perifer/tepi adalah terdapatnya kelainan
transmisi

neuromuscular

dan

otot

mengalamai

hambatan

kontraksi (Setyawati, 2010).


Faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap kelelahan
kerja diantaranya sebagai berikut :
1) Faktor lingkungan kerja
Faktor lingkungan kerja yang tidak memadai untuk bekerja
sampai kepada masalah psikososial dapat berpengaruh terhadap

terjadinya kelelahan kerja. Lingkungan kerja yang nyaman


dan ventilasi
tidak

udara yang

adekuat,

didukung

oleh

adanya kebisingan akan mengurangi kelelahan kerja.

2) Waktu istirahat dan waktu bekerja


Waktu istirahan dan waktu bekerja yang porposional dapat
menurunkan derajat kelelahan kerja. Lama dan ketepatan waktu
beristirahat sangat berperan dalam mempengaruhi terjadinya
kelelahan kerja.
3) Kesehatan pekerja
Kesehatan pekerja yang selalu dimonotor dengan baik, dan
pemberian gizi yang sempurna dapat menurunkan kelelahan kerja.
4) Beban kerja
Beban
disesuaikan

kerja
dengan

yang

diberikan

kemampuan

kepada

psikis

pekerja

dan

fisik

perlu
pekerja

bersangkutan.
5) Keadaan perjalanan
Keadaan

perjalanan,

waktu

perjalanan

dari

dan

ketempat kerja yang seminimal mungkin dan seaman mungkin


berpengaruh terhadap kondisi kesehatan kerja pada umumnya
dan kelelahan kerja pada khususnya (Setyawati, 2010).
Kelelahan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
sebagai berikut :

1) Usia
Pada usia meningkat akan diikuti oleh proses degenerasi dari
organ, sehingga dalam hal ini kemampuan organ akan menurun.
Dengan menurunnya kemampuan organ, maka hal ini akan
menyebabkan

tenaga

kerja

akan

semakin

mudah

mengalami kelelahan.
2) Jenis kelamin
Pada tenaga kerja wanita terjadi siklus setiap bulan di dalam
mekanisme tubuhnya, sehingga akan mempengaruhi turunnya
kondisi fisik maupun psikisnya, dan hal itu menyebabkan tingkat
kelelahan

wanita

lebih

besar

daripada

tingkat

kelelahan

tenaga kerja laki-laki.


3) Penyakit
Penyakit akan mengkibatkan hipo/hipertensi suatu organ,
akibatnya akan merangsang mukosa suatu jaringan sehingga
merangsang syaraf-syaraf tertentu. Dengan perangsangan yang
terjadi akan menyebabkan pusat syaraf otak akan terganggu atau
terpengaruh yang dapat menurunkan kondisi fisik seseorang.
4) Keadaan psikis tenaga kerja
Keadaan

psikis

tenaga

kerja

yaitu

suatu

respon

yang ditafsirkan bagian yang salah, sehingga merupakan suatu


aktivitas

secara primer suatu

organ, akibatnya timbul

ketegangan-

ketegangan yang dapat meningkatkan tingkat kelelahan seseorang.


5) Beban kerja
Pada pekerjaan yang terlalu berat dan berlebihan akan
mempercepat kontraksi otot tubuh, sehingga hal ini dapat
mempercepat pula kelelahan seseorang. Beban kerja meliputi
: iklim

kerja,

penerangan,

kebisingan,

dan

lain-lain

(Sumamur,
2009).
Mekanisme Kelelahan
Keadaan dan perasaan kelelahan adalah reaksi fungsional dari
pusat kesadaran yaitu korteks serebri, yang dipengaruhi oleh
dua sistem antagonistic yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan
sistem penggerak (aktivasi).
Sistem penghambat terdapat dalam thalamus yang mampu
menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan menyebabkan
kecenderungan untuk tidur. Sistem penggerak terdapat dalam
formasio retikularis

yang dapat merangsang peralatan dalam

tubuh kearah bekerja, berkelahi, melarikan diri dan sebagainya.


Maka keadaan seseorang pada suatu saat sangat tergantung
kepada hasil kerja diantara dua sistem antagonis dimaksud. Apabila
sistem penghambat lebih kuat seseorang dalam keadaan lelah.
Sebaliknya
dalam

manakala

sistem

aktivitas

lebih

kuat

seseorang

keadaaan segar untuk bekerja. Konsep ini dapat dipakai menjelaskan


peristiwa-peristiwa sebelumnya yang tidak jelas. Misalnya peristiwa
seseorang dalam keadaan lelah, tiba-tiba

kelelahan hilang oleh

karena terjadi peristiwa yang tidak diduga sebelumnya atau terjadi


tegangan emosi. Dalam keadaan ini, sistem penggerak tiba-tiba
terangsang dan dapat mengatasi sistem penghambat. Demikian pula
peristiwa dalam monotoni,
hambatan

dari

kelelahan

terjadi

oleh

karena

sistem penghambat, walaupun beban kerja tidak

begitu berat.
Kelelahan yang terus menerus terjadi setiap hari akan
berakibat terjadinya kelelahan yang kronis. Perasaan lelah tidak
saja terjadi sesudah bekerja pada sore hari, tetapi juga selama
bekerja, bahkan kadang-kadang

sebelumnya.

Perasaan

lesu

tampak sebagai suatu gejala. Gejala-gejala psikis ditandai dengan


perbuatan-perbuatan anti sosial dan perasaan tidak cocok dengan
sekitarnya,

sering

depresi, kurangnya tenaga

serta kehilangan

inisiatif. Tanda-tanda psikis ini sering disertai kelainan-kelainan


psikolatis

seperti

sakit

kepala, vertigo, gangguan pencernaan,

tidak dapat tidur dan lain-lain.


Kelelahan kronis demikian disebut kelelahan klinis. Hal
ini menyebabkan tingkat absentisme akan meningkat terutama
mangkir kerja pada waktu jangka pendek disebabkan kebutuhan
istirahat lebih banyak atau meningkatnya angka sakit. Kelelahan
klinis terutama terjadi pada mereka yang mengalami konflikkonflik mental atau

kesulitan-kesulitan

psikologis.

Sikap

negatif

terhadap

kerja,

perasaan terhadap atasan atau lingkungan kerja memungkinkan


faktor penting dalam sebab ataupun akibat (Sumamur, 1996).
d.Gejala Kelelahan Kerja
Gejala kelelahan kerja ada dua macam yaitu gejala subyektif dan
gejala obyektif. Gejala kelelahan kerja yang penting antara lain adalah
adanya perasaan kelelahan, somnolensi, tidak bergairah bekerja,
sulit berpikir,

penurunan

kesiagaan,

penurunan

persepsi

dan

kecepatan bereaksi bekerja (Grandjean dalam Setyawati, 2010).


Somnolensi adalah kelenaan atau rasa kantuk (Ramali dan
Pamoentjak, 1987).
Gejala-gejala kelelahan kerja adalah sebagai berikut :
1) Gejala-gejala yang mungkin berakibat pada pekerjaan sepert i
penurunan kesiagaandan

perhatian, penurunan dan hambatan

persepsi, cara berpikir atau perbuatan antisosial, tidak cocok dengan


lingkungan, depresi, kurang tenaga, dan kehilangan inisiatif.
2) Gejala umum yang sering menyertai gejala-gejala di atas adalah
sakit kepala, vertigo, gangguan fungsi paru dan jantung, kehilangan
nafsu makan serta gangguan pencernaan. Di samping gejala-gejala
di atas pada kelelahan kerja terdapat pula gejala-gejala yang tidak
spesifik berupa
laku,

kecemasan,

perubahan

kegelisahaan,

dan

(Gilmer dan Cameron dalam Setyawati, 2010).

kesukaran

tingkah
tidur

Secara umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat


ringan

sampai

perasaan

yang

sangat

melelahkan.

Kelelahan

subjektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila rata-rata


beban

kerja melebihi 30 40 % dari tenagan aerobik maksimal

(Astrand dan Rodahl dan Pulat dalam Tarwaka dkk, 2004).


e. Dampak Kelelahan Kerja
Kelelahan kerja dapat menimbulkan beberapa keadaan yaitu
prestasi kerja yang menurun, fungsi fisiologis motorik dan neural yang
menurun, badan

terasa

tidak enak disamping semangat kerja

yang menurun. Perasaan kelelahan

kerja cenderung meningkatkan

terjadinya kecelakaan kerja, sehingga dapat merugikan diri pekerja


sendiri maupun perusahaannya karena adanya penurunan produktivitas
kerja (Gilmer dan Sumamur dalam Setyawati, 2010).
Resiko kelelahan ada beberapa macam, diantaranya :
1) Motivasi kerja turun
2) Performansi rendah
3) Kualitas kerja rendah
4) Banyak terjadi kesalahan
5) Stress akibat kerja
6) Penyakit akibat kerja
7) Cidera
8) Terjadi kecelakaan akibat kerja (Tarwaka dkk, 2004).

f. Pengukuran Kelelahan
Metode pengukuran kelelahan ada beberapa kelompok,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan
Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah
proses kerja

(waktu yang digunakan setiap item) atau proses

operasi yang

dilakukan

setiap unit

waktu. Namun demikian

banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti target produksi,


faktor sosial dan perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan kualitas
output (kerusakan produk,
frekuensi

penolakan

kecelakaan

dapat

produk)

atau

menggambarkan

terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah merupakan


causal factor.
2) Uji psiko-motor (Psychomotor test)
a) Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interprestasi dan reaksi
motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan
pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari
pemberian suatu rangsang sampai pada suatu saat kesadaran atau
dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan
nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit atau goyangan badan.
Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk
lambatnya proses faal syaraf dan otot.

b) Sanders dan McCormick dalam Tarwaka dkk (2004) mengatakan


bahwa waktu reaksi adalah waktu untuk membuat suatu respon
yang spesifik saat satu stimuli terjadi. Waktu reaksi terpendek
biasanya berkisar antara 150 250 milidetik. Watu reaksi
tergantung dari stimuli yang dibuat, intensitas dan lamanya
perangsangan, umur subyek, dan perbedaan-perbedaan individu
lainnya.
c) Setyawati dalam Tarwaka dkk (2004) melaporkan bahwa dalam uji
waktu

reaksi,

signifikan daripada

ternyta

stimuli

stimuli suara.

terhadap

cahaya

Hal tersebut

lebih

disebabkan

karena stimuli suara lebih cepat diterima oleh reseptor daripada


stimuli cahaya.
d) Alat ukur waktu reaksi yang telah dikembangkan di Indonesia
biasanya

menggunakan

nyala

lampu

dan

denting

suara

sebagai stimuli.
Hasil pengukuran waktu reaksi dibandingkan dengan standar
pengukuran kelelahan menurut Setyawati (1994) yaitu :
(1) Normal (N)

: waktu reaksi 150,0 250,0

milidetik
(2) Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi >240,0 - <410,0
milidetik
(3) Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi 410,0 - <580,0
milidetik

(4) Kelelahan Kerja Berat (KKB)

: waktu reaksi 580,0 milidetik

atau lebih.
3) Uji hilangnya kelipan (flicker-fusion test)
Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk
melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin
panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara dua kelipan. Uji
kelipan, disamping untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan
keadaan kewaspadaan tenaga kerja.
4) Perasaan kelelahan secara subyektif (Subjective feeling of fatigue)
Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatigue Research
Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang
dapat untuk mengukur tingkat kelelahan subyektif.
Sinclair dalam Tarwaka, dkk (2004) menjelaskan bebrapa metode
yang dapat digunakan dalam pengukuran subyektif. Metode antara
lain : ranking methods, rating methods, quesionaire methods,
interview dan checklist.
5) Uji mental
Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pnedekatan
yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan
menyelesaikan pekerjaan. Buordon wiersma test, merupakan salah
satu alat yang dapt digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian
dan konstansi. Hasil test akan menunjukkan bahwa semakin
lelah

seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan konstansi akan


semakin rendah atau sebaliknya. Namun demikian Buordon wiersma
test lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau
pekerjaan yang lebih bersifat mental (Grandjean dalam Tarwaka dkk,
2004).
g. Pencegahan dan pengendalian Kelelahan Kerja
Kelelahan disebabkan oleh banyak faktor yang sangat kompleks
dan saling mengkait antara faktor yang satu dengan yang lain. Yang
terpenting adalah

bagaimana menangani setiap kelelahan yang

muncul agar tidak menjadi kronis. Agar dapat menangani kelelahan


dengan tepat, maka

kita

harus

penyebab terjadinya kelelahan.


yang
diselenggarakan

mengetahui
Beberapa

patut mendapat
sebaik-baiknya

apa

agar

perhatian
kelelahan

yang

menjadi

hal
dan
kerja

dapat

dikendalikan adalah:
1) Lingkungan kerja yang bebas dari zat-zat berbahaya, pencahayaan
yang memadai, sesuai dengan pekerjaan yang dihadapi pekerja,
pengaturan udara ditempat kerja yang adekuat disamping bebas dari
kebisingan dan getaran.
2) Waktu kerja yang berjam-jam harus diselingi oleh istirahat
yang cukup untuk makan dan keperluan khusus lain.

3) Kesehatan umum pekerja harus baik dan selalu dimonitor, khususnya


untuk daerah tropis dimana banyak pekerja yang cenderung
mengalami kekurangan gizi dan memderita penyakit yang serius.
4) Disarankan pula agar kegiatan yang menegangkan dan beban kerja
yang berat tidak terlalu lama.
5) Jarak tempat tinggal dan tempat kerja diusahakan seminimal mungkin
dan

bila

perlu

dicarikan

alternative

penyelesainnya,

yaitu

berupa pengadaan transportasi bagi pekerja

dari

ketempat

rangka

kerja. Diseyogyakan
mencegah

dalam

kelelahan

kerja

dan

yang

berlebihan maka perlu disarankan agar jarak antara tempat tinggal


dan tempat kerja, masa kerja/melaksanakan tugas serta kembali ke
tempat tinggal dari tempat kerja menghabiskan waktu kurang dari 13
jam/hari kerja,

sehingga

terdapat

cukup

waktu

untuk

bersosialisasi dan melaksanakan kehidupan pribadi.


6) Pembinaan mental para pekerja diperusahaan secara teratur maupun
berkala dan khusus perlu dilaksanakan dalam rangka stabilitas
pekerja,

dan

harus

ditangani

secara

baik

di

lokasi

kerja.

Fasilitas rekreasi, waktu rekreasi dan istirahat direncanakan secara


baik dan berkesinambungan. Cuti dan liburan diberikan kepada
pekerja dan dilaksanakn sebaik-baiknya.
7) Perhatian

khusus

bagi

kelompok

pekerja

tertentu

perlu

diberikan, yaitu kepada pekerja muda usia, wanita hamil dan


menyusui, pekerja

usia lanjut, pekerja yang menjalani shift kerja malam, pekerja yang
baru pindah dari bagian lain.
8) Pekerja-pekerja bebas dari alcohol maupun obat-obatan yang
membahayakan dan menimbulkan ketergantungan.
h. Hubungan Antara Tekanan Panas dengan Kelelahan Kerja
Penyebab utama kelelahan kerja adalah faktor pekerjaan. Pada
pekerjaan yang terlalu berat dan berlebihan akan mempercepat
kontraksi otot tubuh. Oleh karena itu aliran darah akan menurun, maka
asam laktat akan terakumulasi dan mengakibatkan kelelahan (Sumamur,
2009).
Pada saat otot berkontraksi, glikogen diubah menjadi asam laktat
dan asam ini merupakan produk yang dapat menghambat kontinuitas
kerja otot sehingga terjadi kelelahan (Setyawati, 2010).
Akibat suhu lingkungan yang tinggi, suhu tubuh akan naik. Hal
itu akan

menyebabkan hipotalamus merangsang kelenjar keringat

sehingga tubuh

akan

Dalam keringat

mengeluarkan

keringat.

terkandung bermacam-macam

garam

natrium klorida, keluarnya garam natrium klorida bersama keringat


akan

mengurangi

kadarnya

dalam

tubuh, sehingga mengahambat

transportasi glukosa sebagai sumber energi. Hal itu akan menyebabkan


penurunan kontraksi otot (Guyton, 2008).

B. Kerangka Pemikiran
Tekanan Panas

Suhu tubuh naik

Faktor internal :
- Usia
- Jenis kelamin
- Masa kerja
- Beban kerja
- Kondisi kesehatan

Hipotalamus
merangsang
kelenjar keringat
Pengeluaran
keringat
Kehilangan cairan
tubuh dan garam
Penurunan kontraksi otot

Asam laktat akan


terakumulasi
Kerja otot akan
terhambat

Kelelahan Kerja

Gambar 1. Kerangka Pemikiran


Keterangan :

: Diteliti
: Tidak diteliti

Faktor eksternal :
- Masalah
psikososial
- Ventilasi udara
- Kebisingan

C. Hipotesis
Ada hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan kerja pada tenaga kerja
bagian produksi di CV Rakabu Furniture Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai