Anda di halaman 1dari 78

PEMBERIAN KOLOSTRUM TERHADAP KEJADIAN DIARE

PADA BAYI USIA 0 6 BULAN

Siti Aminah1

Abstract:The wrong behavior about colostrums such as wasted the yellow


breast feed until the white breast feed was shown, because they have afraid
their babies have diarrhea, making the babies became weak to get the diarrhea.
The research objective was determining the correlation between colostrums
giving with diarrhea incident for 0 6 months babies in the Puskesmas
Rejowinangun Trenggalek 2010.
The research design was analytic correlation research. The population was all 0
6 months babies in the Puskesmas Rejowinangun Trenggalek amunt 216
babies, using purposive sampling to get 85 babies. The Instruments was
questioner and analyzed by spearman rank.
The colostrum giving for 0 6 months babies almost all of them was given
colostrums, and the diarrhea imcident on 0 6 months babies known almost of
respondent havent diarrhea incident. There was correlation between
colostrums giving with diarrhea incident for 0 6 months babies with the
correlation strengths was very strong.
For the research field was suggested in actively for improving the health
education and counseling about the breastfeed giving in early, and the mother
was suggested to participate on health education and counseling, the result than
became the behavior base.
Keywords : Colostrum Giving, Diarrhea Incident

Latar belakang
Masa bayi adalah masa yang
sangat
penting
dalam
siklus
kehidupannya, khususnya pada usia 0
6 bulan karena pada masa ini bayi harus
bisa
beradaptasi
dengan
lingkungannya. Selain itu pada masa ini
bayi juga memasuki masa tumbuh
kembang.
Untuk
membantu
mempertahankan daya tahan tubuh serta
untuk menunjang tumbuh kembangnya,
bayi membutuhkan makanan sebagai
faktor penunjangnya. Makanan yang
paling ideal adalah Air Susu Ibu (ASI),
(Indah. JS : 2003).

ASI adalah suatu emulsi lemak


dalam larutan protein laktose dan
garam-garam organik yang disekresi
oleh kedua belah payudara ibu sebagai
makanan utama bagi bayi, ASI menurut
stadium laktasi terdiri dari kolostrum,
ASI transisi, dan ASI matur,
(Soetjiningsih : 1997). Kolostrum
merupakan ASI yang diproduksi
beberapa saat setelah bayi lahir sampai
hari ke-3 atau ke-4, warnanya lebih
kuning dan lebih kental daripada ASI.
Kolostrum
akan
merangsang
pembentukan daya tahan tubuh
sehingga berfungsi pula sebagai
imunisasi aktif dan pasif, (Arikunto
:2002).

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomor 2/April 2012

Kolostrum mengandung antibodi,


salah satu antibodi yang ada dalam
kolostrum adalah immunoglobulin A
atau IgA zat ini akan melapisi saluran
pencernaan bayi, khususnya usus halus
bayi yang masih sangat rentan terhadap
infeksi karena belum mencapai tahap
perkembangan yang sempurna. Lapisan
yang dibentuk oleh IgA ini menjadi
semacam benteng pertahanan yang
kebetulan masuk dalam saluran
pencernaannya.
Adanya
lapisan
pelindung tersebut akan membuat selsel kuman penyakit kesulitan untuk
menembus dinding saluran pencernaan.
Apalagi ditambah dengan adanya
lisozim yaitu enzim yang bertugas
menghancurkan dan memakan sel
bakteri yang juga terdapat dalam
kolostrum. Di dalam setetes kolostrum
terdapat lebih dari 1 juta sel darah yang
disebut makrofaq atau big eiters yang
berfungsi untuk memakan substansi
atau zat yang berukuran relatif besar.
Zat pelindung lainnya yang terdapat
dalam kolostrum adalah faktor bifidus
yaitu sejumlah vitamin dan zat nutrisi
yang
dihasilkan
oleh
bakteri
lactobacillus bifidus yaitu bakteri yang
tergolong baik untuk melindungi usus
bayi dari peradangan atau bakteri yang
ditimbulkan akibat
infeksi oleh
sejumlah bakteri dari golongan coli atau
streptococcus, (Arief :2000).
Berbagai kelebihan kolostrum
tersebut sangat dianjurkan pada ibu
untuk memberikan kolostrum segera
setelah kelahiran bayinya, dengan
tujuan untuk menurunkan angka
kesakitan (morbidity) pada bayi dari
berbagai penyakit infeksi bakteri, virus,
dan jamur. Di Indonesia masih banyak
dijumpai kebiasaan-kebiasaan yang
salah mengenai kolostrum yaitu dengan
menyusui bayinya bila Air Susu Ibu
sudah berwarna putih dan cairan yang
kental berwarna kuning dibuang karena
dianggap menyebabkan sakit perut.

Oleh karena itu sebelum susu matur


(ASI) keluar, bayi diberi makanan
pengganti seperti air gula dan madu,
(Arief M,1999). Akibat kurangnya
pemahaman tersebut, maka sangat
merugikan kesehatan bayi. Karena bayi
yang mendapatkan ASI khususnya
kolostrum 5 10 kali kemungkinannya
untuk
terkena
infeksi
saluran
pencernaan,
dan
menurunkan
kemungkinan terkena infeksi telinga
tengah (otitis media), (Iskandar W,
2002). Hal itu dikarenakan sistem
kekebalan tubuh bayi masih belum
optimal sedangkan zat kekebalan atau
daya tahan tubuh dari kolostrum tidak ia
dapatkan. Oleh karena itu kolostrum
sangat
penting
dalam
proses
pertumbuhan dan perkembangan bayi.
Berdasar data Dinas kesehatan
Kabupaten Trenggalek pada tahun 2007
tercatat 1347 (15,7%) dari total 8.601
bayi
pernah
mengalami
diare,
sedangkan di Puskesmas Rejowinangun
tercatat 58 (13,4%) kasus bayi diare dari
total 432 bayi. Menurut hasil survey
pendahuluan yang dilakukan di
Puskesmas Rejowinangun Trenggalek
pada tanggal 30 Juni 01 Juli 2008
didapatkan jumlah bayi usia 0-6 bulan
yang pernah diare sejumlah 7 bayi ,
dengan perincian 2 bayi sakit (28%)
pernah mendapatkan kolostrum dan 5
bayi sakit (72%) tidak mendapatkan
kolostrum, dengan alasan dari sebagian
besar ibu mengatakan bahwa air susu
yang pertama keluar itu warnanya agak
kekuningan dan kotor, sehingga mereka
tidak memberikan kepada bayinya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbedaan kejadian diare
pada bayi yang berusia 0-6 bulan yang
mendapatkan
dan
yang
tidak
mendapatkan kolostrum.

Pemberian Kolostrum Terhadap Kejadian Diare Pada BayiUsia 0-6 Bulan


(Siti Aminah)

Bahan dan Metode Penelitian


Rancangan yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan lingkup
penelitian termasuk jenis penelitian
inferensial.
Berdasarkan
tempat
penelitian termasuk jenis penelitian
lapangan.
Berdasarkan
cara
pengumpulan data termasuk jenis
penelitian survey. Berdasarkan ada atau
tidak adanya perlakuan termasuk jenis
penelitian expost facto (mengungkap
fakta). Berdasarkan waktu pengumpulan
data termasuk jenis penelitian cross
sectional. Berdasarkan sumber data
termasuk jenis penelitian primer.
Berdasarkan tujuan penelitian termasuk
analitik korelasional.
Populasi penelitian ini adalah
seluruh bayi yang berusia 0-6 bulan di
Puskesmas Rejowinangun Trenggalek.
Sampel yang digunakan adalah bayi
yang berkunjung atau datang ke
Puskesmas Rejowinangun Trenggalek
pada saat penelitian dilakukan.
Pengambilan
sampel
pada
penelitian ini menggunakan purposive
sampling dimana pengambilan sampel
didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri
berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi
yang diketahui sebelumnya. Maka
dalam hal ini yang menjadi sampel
adalah bayi dengan usia 0-6 bulan baik
diberi kolostrum maupun tidak diberi
kolostrum yang berkunjung atau datang
ke
Puskesmas
Rejowinangun
Trenggalek pada saat penelitian
dilakukan.
Variabel bebas (independent
variabel) merupakan variabel penyebab
atau variabel yang mempengaruhi
variabel terikat (Notoatmodjo, 2005 :
70). Sebagai variabel bebas ( X) :
Pemberian
Kolostrum.
Sedangkan
variabel terikat (dependent variabel)
merupakan variabel yang dipengaruhi
oleh variabel bebas atau variabel

independen (Notoatmodjo, 2005 : 70).


Sebagai variabel terikat ( Y ) : Kejadian
Diare.
Pemberian Kolostrum adalah
pemberian air susu ibu yang pertama
kali keluar dengan warna agak
kekuningan dan kotor kepada bayinya
mulai hari ke-1 sampai hari ke-3 atau
ke-4 pada waktu pemberian ASI
pertama yang diungkapkan
dengan
kuesioner menggunakan skala ordinal
dan dikategorikan menjadi diberi
kolostrum kode 1 dan tidak diberi
kolostrum kode 2.
Kejadian diare pada bayi usia 0
6 bulan adalah sakit diare yang pernah
dialami bayi pada waktu tertentu
dengan meliputi pernah buang air besar
lembek atau cair 3 kali atau lebih dalam
24 jam yang diungkapkan dengan
kuesioner menggunakan skala ordinal
dan dikategorikan menjadi ada kejadian
kode 1 dan tidak ada kejadian kode 2.
Penelitian ini menggunakan alat
bantu kuesioner, dan wawancara
dimana data diambil dikumpulkan
setelah
penelitian
melakukan
wawancara dengan responden, dan
setelah itu memberikan kuesioner dan
disetujui oleh responden. Kemudian
responden mengisi kuesioner sesuai
dengan
pilihan
yang
telah
disediakan.Tempat
penelitian
ini
dilaksanakan
di
Puskesmas
Rejowinangun Kecamatan Trenggalek
Kabupaten
Trenggalek
dan
dilaksanakan pada bulan : Januari
2010.Peneliti
mengumpulkan
data
dengan cara menanyakan kepada
responden selanjutnya data tersebut
dikelompokkan ke dalam tabel. Analisa
yang digunakan untuk mengetahui
hubungan variabel pemberian kolostrum
dengan kejadian diare pada bayi usia 06 bulan. Uji statistik yang digunakan
adalah spearman rank, karena kedua
variabel memiliki skala data ordinal.

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomor 2/April 2012

Hasil Penelitian
1. Data Umum
a. Umur

c. Pekerjaan
4
5%

21
25%

41
48%

23
27%

20 - 35
tahun
> 35
tahun
< 20
tahun

Berdasarkan diagram di atas


diketahui bahwa usia ibu responden di
Puskesmas Rejowinangun Trenggalek
Tahun 2010 hampir setengah dari
responden berusia antara 20-35 tahun,
yaitu 41 ibu responden (48%).

2
2%
16
19%

IRT
Petani

63
74%

Swasta
PNS

Berdasarkan diagram di atas


diketahui
bahwa
pekerjaan
ibu
responden di Puskesmas Rejowinangun
Trenggalek Tahun 2010 sebagian besar
dari responden sebagai
ibu rumah
tangga, yaitu 63 ibu responden (74%).
d. Status Paritas

b. Pendidikan
Kedua

5
6%

21
25%
29
34%

19
22%

SD
SMP
SMA

23
27%

41
48%

Lebih dari
2
Pertama

PT

32
38%

Berdasarkan
diagram tersebut
diketahui bahwa pendidikan ibu
responden di Puskesmas Rejowinangun
Trenggalek Tahun 2010 hampir
setengah dari responden berpendidikan
SMP, yaitu 32 ibu responden (38%).

Berdasarkan diagram di atas


diketahui
bahwa
status
paritas
responden di Puskesmas Rejowinangun
Trenggalek Tahun 2010 hampir
setengah dari responden adalah anak ke
2, yaitu 41 responden (48%).

Pemberian Kolostrum Terhadap Kejadian Diare Pada BayiUsia 0-6 Bulan


(Siti Aminah)

2.

Data Khusus

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pemberian


Kolostrum Pada Bayi Usia 0-6 Bulan di
Puskesmas Rejowinangun Trenggalek
Tahun 2010
No.

Kategori

1
2

Ya

f
65

%
76,47

Tidak

20

23,53

Jumlah

85 100,00

Sumber : Data Primer Penelitian 2010

Berdasarkan tabel diatas bahwa


responden di Puskesmas Rejowinangun
Trenggalek Tahun 2010 memberikan
kolostrum, yaitu 65
responden
(76,47%).
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Kejadian
Diare Pada Bayi Usia 0-6 Bulan di
Puskesmas Rejowinangun Trenggalek
Tahun 2010
No.

1
2.

Kategori
Tidak Ada
Kejadian
Diare
Ada Kejadian
Diare

75

76,47

10

23,53

Jumlah
85
Sumber : Data Primer Penelitian 2010

100

Berdasarkan
Tabel di atas
bahwa responden di Puskesmas
Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010
tidak ada kejadian diare, yaitu 75
responden (76,47%).

Tabel 3 Tabulasi Silang Hubungan


Antara Pemberian Kolostrum Dengan
Kejadian Diare Pada Bayi Usia 0-6
bulan di Puskesmas Rejowinangun
Trenggalek Tahun 2010
Pe
Total
Kejadian Diare
mbe
Ada
Tidak Ada
rian
Kejadian
Kejadian
Kol
n
%
n
%
n
%
ustr
um
Tid
10
11,8
10 11,8 20 23,5
ak
Ya
0
0
65 76,5 65 76,5
Tot
10
11,8
75 88,2 85
100
al
Rho hitung = 0,769
P-Value = 0,00
Sumber : Data Primer Penelitian 2010

Hasil analisa data dengan


menggunakan spearman rank diperoleh
hasil nilai Rho hitung adalah 0,769
dengan P-Value = 0,000 pada taraf
signifikan () 5%. Karena P-Value < ,
maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
berarti ada hubungan antara pemberian
kolostrum dengan kejadian diare pada
bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas
Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010
dengan koefisien korelasional 0,769
maka hubungan antara pemberian
kolostrum dengan kejadian diare pada
bayi usia 0-6 bulan yang sangat kuat.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis terhadap
data diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Pemberian Kolostrum Pada Bayi
Usia 0-6 Bulan Di Puskesmas
Rejowinangun Trenggalek Tahun
2010
Pemberian kolostrum pada bayi
usia 0-6 bulan di Puskesmas
Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010
hampir seluruhnya responden di
Puskesmas Rejowinangun Trenggalek
Tahun 2010 memberikan kolostrum,
5

Jurnal Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomor 2/April 2012

yaitu 65 responden (76,47 %).


Menurut Notoatmodjo (2005)
salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku adalah motivasi. Motivasi
seseorang muncul untuk berperilaku
sesuai dengan kepentingannya.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar responden adalah
ibu rumah tangga (74%) sehingga ibu
merasa memberikan ASI adalah
kepentingan yang harus dipenuhi, hal
ini mengingat sangat gencarnya iklan
layanan masyarakat tentang pentingnya
pemberian ASI sedini mungkin.
Keinginan ibu untuk menjadikan
anaknya sehat menjadikan ibu rumah
tangga yang memang ridak dibebani
pekerjaan selain urusan rumah tangga
menjadikan ibu lebih terpacu untuk
memberikan ASI secara dini. Hal ini
juga terkait dengan manfaat ASI
diantaranya adalah untuk meringankan
beban ekonomi keluarga seiring dengan
meningkatnya
harga
kebutuhan
termasuk harga susu formula. Sebagai
ibu
rumah
tangga,
melakukan
pengaturan
keuangan
keluarga
merupakan kewajibannya termasuk
dalam hal melakukan penghematan, dan
hal
ini dapat
dicapai
dengan
memberikan ASI sedini mungkin.
2. Kejadian Diare pada bayi usia 0-6
bulan di Puskesmas Rejowinangun
Trenggalek Tahun 2010
Kejadian diare pada bayi usia 0-6
bulan di Puskesmas Rejowinangun
Trenggalek Tahun 2010 bahwa sebagian
besar tidak ada kejadian diare yaitu
sejumlah 75 responden (76,47 %).
Menurut Wilson (2007), Diare
adalah defekasi encer lebih dari tiga kali
sehari dengan/tanpa darah dan/atau
lendir dalam tinja. Diare akut adalah
diare yang terjadi secara mendadak dan
berlangsung kurang dari 7 hari pada
bayi dan anak yang sebelumnya sehat.

Diare sering disebabkan karena


infeksi yang disebabkan oleh higinitas
diri dan lingkungan bayi yang tidak
diperhatikan, misalnya dibiarkan main
di tanah, mal arbsobi, misalnya susu
formula yang tidak bisa diserap oleh
bayi sehingga menyebabkan terjadinya
diare, makanan misalnya susu formula
yang tidak dikelola dengan baik
misalnya susu formula yang sudah lama
diberikan lagi. Banyaknya kejadian
diare disebabkan dasar pendidikan
sebagian besar orang tua masih
merupakan pendidikan dasar (SD dan
SMP) sehingga sulit memahami
informasi tentang pencegahan diare.
Pencegahan diare pada bayi dan anak
dapat dilakukan dengan melaksanakan
cuci tangan sebelum bersentuhan
dengan bayi, memberikan makanan
yang masih segar dan diolah secara
benar, pengelolaan hygiene lingkungan
dan diri serta para pengasuhnya dengan
baik.
3. Hubungan Antara Pemberian
Kolostrum Dengan Kejadian Diare
pada bayi usia 0-6 bulan di
Puskesmas
Rejowinangun
Trenggalek Tahun 2010
Hasil analisa data dengan
menggunakan spearman rank diperoleh
hasil nilai Rho hitung adalah 0,769
dengan P-Value = 0,000 pada taraf
signifikan () 5%. Karena P-Value < ,
maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
berarti ada hubungan antara pemberian
kolostrum dengan kejadian diare pada
bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas
Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010
dengan hubungan yang sangat kuat.
Menurut
Pramono
(2008),
Kolostrum mengandung antibodi, salah
satu antibodi yang ada dalam kolostrum
adalah immunoglobulin A atau IgA zat
ini akan melapisi saluran pencernaan
bayi, khususnya usus halus bayi yang

Pemberian Kolostrum Terhadap Kejadian Diare Pada BayiUsia 0-6 Bulan


(Siti Aminah)

masih sangat rentan terhadap infeksi


karena
belum
mencapai
tahap
perkembangan yang sempurna.
Pemberian
kolostrum
akan
membawa dampak pada peningkatan
daya tahan tubuh sehingga setiap infeksi
yang masuk ke dalam saluran cerna
dapat diatasi dengan baik. Selain itu
kandungan IgA akan membentuk
lapisan yang menjadi semacam benteng
pertahanan yang kebetulan masuk
dalam saluran pencernaannya. Adanya
lapisan pelindung tersebut akan
membuat sel-sel kuman penyakit
kesulitan untuk menembus dinding
saluran pencernaan. Apalagi ditambah
dengan adanya lisozim yaitu enzim yang
bertugas menghancurkan dan memakan
sel bakteri yang juga terdapat dalam
kolostrum. Hal ini akan menyebabkan
daya tahan bayi semakin baik dan sulit
mengalami infeksi.
Simpulan
1. Masih adanya kejadian diare
diakibatkan oleh karena terjadinya
malabsorbsi atau higienitas yang kurang
dilakukan oleh ibu.
2. Pemberian kolostrum sejak dini pada
bayi 0-6 bulan mampu mengurangi
kejadian diare di wilayah kerja ,
Puskesmas Rejowinangun Trenggalek
2010.

DAFTAR PUSTAKA
Arief,

M. 1999. Kapita Selekta


Kedokteran.
Jakarta.
Media
Aesculapius FKUI.
Arief, M. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran.
Jakarta.
Media
Aesculapius FKUI.
Arikunto,Suharsimi.2002.
Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Yogyakarta : Rineka
Cipta.
Harsono.1999. Kesehatan Anak Untuk
Perawat,Petugas
Penyuluhan
Kesehatan,dan Bidan di Desa.
Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Indah, JS. 2003. ASI Ekslusif, Hak
setiap Anak. (Internet) Bersumber
dari <file://F:\JK\indosiar dot com
- PEDULI KASIH.htm>.
Pramono. 2008. Diare Pembunuh Balita
Nomer Satu. (Internet) Bersumber
dari <file://F:\Tempo Interaktifid.htm>.
Iskandar,Wahidin.2002. Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : FKUI.
M.N,Bustam.2002.
Pengantar
Epidemiologi. Jakarta : Rineka
Cipta.
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi
Penelitian Kesehatan .Ed Revisi.
Jakarta. Rineka Cipta
Nursalam.2003. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu

Saran
Bagi ibu-ibu yang mempunyai
bayi usia 0-6 bulan diharapkan mampu
memberikan kolostrum sejak dini.

Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas


Kadiri Kediri

HUBUNGAN ANTARA PRE EKLAMSIA DENGAN BAYI BERAT


LAHIR RENDAH (BBLR)
Kun Ika N.R1

Abstract:Low birth weight (LBW) was a problem that give huge contribution
on perinatal mortality. LBW has 40 times higher on neonatal mortality. Once
of a LBW factor was pre eclamp. This research objective was determining
the correlation between pre eclamp with LBW in Gambiran Hospital City of
Kediri 2009. This was an analytic correlation research. The population was all
partum mothers in the Gambiran Hospital City of Kediri 2009 amount 412
people, with purposive sampling to get 137 person as research sample. The
instrument was check list an the result was analyzed by spearman rank.
The research result shown almost all of respondents in Gambiran Hospital
City of Kediri 2009 havent pre eclamp amount 116 persons and almost all of
respondents in Gambiran Hospital City of Kediri 2009 have normal birth
weight (without LBW), amount 115 person. There was correlation between
pre eclamp with LBW in Gambiran Hospital City of Kediri 2009. Base on
those results it was suggested to the correlation between pre eclamp with
LBW in Gambiran Hospital City of Kediri for counseling and health
education giving about preventing the pre eclamp on pregnancy.
Keywords : LBW, Pre Eclamp

Latar Belakang
Badan kesehatan dunia (WHO)
sangat
mendukung
negara-negara
anggota untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian ibu dan
perinatal. Sesuai dengan komitmen
global Indonesia menetapkan target
penurunan AKI menjadi 75% dari
kondisi tahun 1990 sebesar 390/100.000
menjadi 125/100.000 kelahiran hidup
pada 2015 (BPS, 2003)
Kematian
perinatal
akibat
komplikasi pre eklampsia di negara
maju lebih rendah dibandingkan dengan
negara
berkembang.
Di
negara
berkembang dilaporkan bahwa berkisar
antara 42,2 % sampai dengan 50 %
sebab kematian perinatal karena

komplikasi pre eklampsia dikarenakan


terjadinya hipoksia intra interin dan
prematuritas.
Penyebab
kematian
perinatal paling utama adalah karena
trias asfiksia 49% - 69%,infeksi 24%34%,prematuritas dan Bayi Berat Lahir
Rendah
(BBLR)
15%-20%
(Manuaba,1998).
Hasil studi pendahuluan insiden
terjadinya BBLR dari 10 bayi yang lahir
di RSUD Gambiran Kediri didapatkan 6
bayi (60%) karena pre eklampsia, 2 bayi
(20%) karena status sosial ekonomi
rendah,1 bayi (10%) karena usia ibu
kurang dari 20 tahun,dan 1 bayi (10%)
karena perdarahan. Sedangkan insiden
terjadinya ibu bersalin dengan pre
eklampsia di RSUD Gambiran Kediri
pada bulan Januari s/d Juni 2009

Jurnal Ilmiah Perawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

sebesar 23,3 % dari seluruh ibu bersalin


di RSUD Gambiran Kediri.
Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR)
menurut
World Health
Organization (WHO) adalah bayi lahir
dengan berat kurang dari 2500
gram,yang diukur dalam 24 jam
pertama kelahiran (WHO, 2006).
Berdasarkan
Pregnancy
Nutrition
Surveillance System (PNSS) BBLR
atau Low Birth Weight (LBW)
dikategorikan Moderately Low Birth
Weight (MLBW) apabila berat lahir
antara 1500 - < 2500 gram dan Very
Low Birth Weight (VLBW) apabila
berat lahir < 1500 gram (CDC,1995).
Menurut Berhman (1998) ada
hubungan yang kuat antara kelahiran
bayi prematur maupun IUGR dengan
status sosial ekonomi rendah, kurang
gizi, anemia, penyakit ibu, toksemia
gravidarum, perawatan antenatal yang
kurang adekuat, adiksi obat, komplikasi
obstetri dan riwayat insufisiensi
reproduksi ibu. Menurut Dowshens
(2000) kondisi yang memungkinkan
kelahiran prematur dan keterlambatan
pertumbuhan janin antara lain karena
anaya kehamilan ganda, kelainan
struktur mulut rahim dan rahim,
pendarahan,
hipertensi
karena
kehamilan
ibu
baik
karena
preeklampsiaa maupun eklamsi dan
faktor usia ibu kurang dari 20 tahun
atau lebih dari 40 tahun. Menurut BenZion (1994) komplikasi potensial
preklamsi yang dapat terjadi pada janin
meliputi prematuritas, insufisiensi utero
plasenta, retardasi pertumbuhan intra
uterin (IUGR) dan kematian janin intra
uterin.
BBLR
masih
merupakan
masalah karena memberikan kontribusi
untuk kematian perinatal, (76%)
meninggal pada jam pertama kelahiran
dan lebih dari dua pertiga meninggal
pada minggu pertama kehidupan .BBLR
memiliki risiko 40 kali lebih tinggi

untuk kematian neonatal di bandingkan


bayi yang lahir dengan berat normal,5
kali memiliki risiko kematian pada
masa postneonatal dan kecenderungan
risiko
akan
menetap
seperti
keterlambatan pada perkembangan
kognitif,
mengalami
masalah
perkembangan dan kecenderungan sakit
pada masa anak-anak (Depkes,2003).
Berdasarkan konseptual framework
penyebab kematian janin neonatal (4080%) disebabkan oleh BBLR dan
merupakan determinan kematian pada
kondisi bayi asfikasi dan trauma
lahir,infeksi,cacat lahir dan lainnya
(Aulia, 2004)
Upaya
yang
dilakukan
pelayanan kesehatan ibu dan anak untuk
menghadapi
masalah
tersebut,
khususnya
ibu
hamil
untuk
memeriksakan keadaan ibu dan janin
secara rutin yang diikuti dengan
pendeteksian secara dini masalahmasalah
selama
kehamilan,
pemeriksaan kehamilan untuk menjaga
agar ibu hamil dapat melalui masa
kehamilan, persalinan dan nifas dengan
baik dan selamat serta menghasilkan
bayi yang sehat (Depkes RI, 2003).
Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara pre
eklampsia dengan bayi berat lahir
rendah (BBLR) di RSUD Gambiran
Kota Kediri.
Bahan Dan Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan
dalam penelitian ini berdasarkan
lingkup penelitian termasuk jenis
penelitian inferensial. Berdasarkan cara
pengumpulan data termasuk jenis
penelitian survey. Berdasarkan ada atau
tidak ada perlakuan teramasuk jenis
penelitian expost facto (mengungkap
fakta). Berdasarkan waktu pengumpulan
data termasuk jenis penelitian case
control. Berdasarkan sumber data

Hubungan Antara Pre Eklampsia Dengan Bayi Berat Lahir Rendah


(Kun Ika)

termasuk jenis penelitian analitik


korelasional dengan pendekatan cross
sectional (Notoadmodjo, 2002).
Besar sampel untuk penelitian
ini adalah 137. Pengambilan sampel
pada penelitian ini menggunakan
purposive
sampling
dimana
pengambilan sampel didasarkan pada
suatu pertimbangan tertentu yang dibuat
oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri
atau sifat-sifat populasi yang diketahui
sebelumnya.
Instrumen
penelitian
yang
digunakan adalah dengan menggunakan
catatan medik rumah sakit secara
retroperspektif dan LPD.
Analisa data menggunakan
metode signifikasi dengan spearman
rank. Rho xy hitung dibandingkan
dengan rho tabel maka H0 ditolak dan
H1 diterima. Analisa yang digunakan
menggunakan
program
komputer
sehingga pengambilan kesimpulan
analisa adalah jika P-Value maka
H0 ditolak dan H1 diterima dan untuk
P-Value > maka H0 diterima dan H1
ditolak. Pada penelitian ini nilai
adalah 5%.
Hasil Penelitian
1. Data Umum
a. Usia
14
10%

20 35
tahun

16
12%

Kurang
dari 20
tahun
Lebih dari
35 tahun

107
78%

Berdasarkan diagram diatas


diketahui bahwa hampir seluruh
responden berusia antara 20-35 tahun
yaitu sebanyak 107 responden (78%).

10

b. Karakteristik ANC

29
21%

Teratur
Tidak
Teratur

108
79%

Berdasarkan diagram diatas


diketahui bahwa keteraturan dalam
pelaksanaan ANC responden hampir
seluruhnya
adalah teratur
yaitu
sebanyak 108 responden (79%).
c. Pekerjaan
16
12%

6
4%

Ibu Rumah
Tangga
Petani

19
14%

96
70%

Swasta
Pegawai Negeri
atau TNI

Berdasarkan
diagram
diatas
diketahui bahwa pekerjaan responden
sebagian besar adalah ibu rumah tangga
yaitu sebanyak 96 responden (70%).

Jurnal Ilmiah Perawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

d. Status Gravida

b. Terjadinya Bayi Berat Lahir Rendah


(BBLR)

6
4%

1
1%
50
37%

Tabel 2

Distribusi
Frekuensi
Terjadinya Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) di RSUD
Gambiran
Kota Kediri
Tahun 2009

1
80
58%

2
3

No.

Berdasarkan diagram diatas


diketahui
bahwa
status
gravida
responden sebagian besar adalah 1
yaitu sebanyak 80 responden (58%).

Kategori

Normal

115

83,94

BBLR

22

16,06

Jumlah

137 100,00

Sumber : Data Primer Penelitian 2009

2. Data Khusus
a. ASI
Tabel 1

No.
1
2
3

Distribusi
Frekuensi
Pengetahuan tentang ASI di
RSUD Gambiran Kota Kediri
Tahun 2009
Kategori
Tidak Pre
Eklamsi
Pre Eklamsi
Ringan
Pre Eklamsi
Berat

Jumlah

116

84,67

11

8,03

10

7,30

137

100,00

Berdasarkan Tabel 2 nampak


bahwa hampir seluruhnya responden di
RSUD Gambiran Kota Kediri tahun
2009 adalah normal (tidak terjadi
BBLR), yaitu 115 orang (83,94%) dan
22 responden (16,06%) BBLR.
c. Hubungan Antara Pre Eklampsia
Dengan Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR)
Tabel 3

Sumber : Data Primer Penelitian 2009

Berdasarkan Tabel 1 nampak


bahwa hampir seluruhnya responden di
RSUD Gambiran Kota Kediri tahun
2009 tidak ada kejadian pre eklamsi,
yaitu 116 orang (84,67 %).

Tabulasi Silang Antara


Pre Eklampsia Dengan
Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR)

Kejadian Pre Eklampsi


Pre
Ekl
amp
si
Tid
ak
Pre
Ekl
amp
si
Pre
Ekl
amp
si

BBLR
BBLR
Normal
n
%
n
%

Total
n

5,8

108

78,8

116

84,7

3,6

4,4

11

8,0

11

Hubungan Antara Pre Eklampsia Dengan Bayi Berat Lahir Rendah


(Kun Ika)

Rin
gan
Pre
9
6,6
1
0,7
10
7,3
Ekl
amp
si
Ber
at
Tot
22 16,1 115 83,9 137 100,
al
0
Z-hitung = 0,583 P-Value = 0,000 = 5%
Sumber : Data Primer Penelitian 2009

Berdasarkan tabel 3 nampak


bahwa untuk responden yang tidak
mengalami pre eklamsi, sebagian besar
berat badan lahirnya normal, yaitu 108
orang (78,8%), sedangkan pada
responden yang mengalami pre eklamsi
ringan, berat badan lahir normal, yaitu 6
orang (4,4%) dan responden yang
mengalami pre eklamsi sedang, berat
badan lahirnya rendah, yaitu 9 orang
(6,6%).
Hasil analisa data dengan
menggunakan spearman rank diperoleh
hasil nilai rho hitung hitung adalah
0,583 dengan P-Value = 0,000 pada
taraf signifikan () 5%. Karena P-Value
< , maka H0 ditolak dan H1 diterima
yang berarti ada hubungan antara pre
eklampsia dengan bayi berat lahir
rendah (BBLR) di RSUD Gambiran
Kota Kediri Tahun 2009 dengan kuat
hubungan sedang.
Pembahasan
1. Kejadian Pre Eklampsia di RSUD
Gambiran Kota Kediri Tahun
2009
Berdasarkan hasil penelitian di
atas menunjukkan bahwa hampir
seluruhnya responden di RSUD
Gambiran Kota Kediri tahun 2009 tidak
ada kejadian pre eklamsi, yaitu 116
12

orang (84,67 %) dan sebagian kecil


diantaranya mengalami pre eklampsi
ringan yaitu 11 responden (8,0%) dan
preeklampsi berat 10 responden (7,3%).
Pola konsumsi yang tidak
dikendalikan merupakan salah satu
penyebab terjadinya pre eklampsi,
menurut
Suririnah
(2007),
pola
konsumsi yang tidak terkendali pada ibu
hamil
menyebabkan
terjadinya
peningkatan tekanan darah yang dapat
menyebabkan terjadinya pre eklampsi
maupun eklampsi.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar responden adalah
ibu rumah tangga, yaitu 96 responden
(70%), sebagai ibu rumah tangga
kesibukan ibu cukup padat untuk
mengurus keluarganya sehingga pola
konsumsi ibu jarang yang berlebih
akibatnya kejadian pre eklampsi jarang
terjadi. Selain karena pekerjaan ibu,
keteraturan ibu dalam melaksanakan
ANC menyebabkan kondisi kesehatan
ibu selalu terpantau sehingga terjadinya
pre eklampsi dapat dicegah.
Menurut Saifuddin (2006), faktor
utama yang menyebabkan terjadinya pre
eklampsi adalah usia ibu, terutama pada
ibu yang berusia > 35 tahun. Ibu hamil
usia > 35 tahun rentan mengalami
penyulit kehamilan terutama terkait
dengan kenaikan tekanan darahnya yang
merupakan penyebab terjadinya pre
eklampsi.
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar
responden berusia antara 20 35 tahun
sehingga kecil kemungkinan ibu
menderita pre eklampsi.

Jurnal Ilmiah Perawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

2.

Terjadinya Bayi Berat Lahir


Rendah (BBLR) Di RSUD
Gambiran Kota Kediri Tahun
2009

Berdasarkan hasil penelitian di


atas menunjukkan bahwa hampir
seluruhnya responden di RSUD
Gambiran Kota Kediri tahun 2009
adalah normal (tidak terjadi BBLR),
yaitu 115 orang (83,94%).
Kejadian
BBLR
sangat
tergantung
dengan
kondisi
ibu
diantaranya adalah usia ibu. Salah satu
penyebabnya adalah usia ibu yaitu pada
usia diluar masa reprodukstif aktif (20
35 tahun), pada masa usia < 20 tahun
atau > 35 tahun kemungkinan terjadinya
BBLR cukup besar (Mochtar, 1998).
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar responden berusia
antara 20 35 tahun atau dalam masa
reproduktif aktif sehingga kemungkinan
ibu mengalami terjadinya BBLR
menjadi kecil. Hal ini menyebabkan
sebagian
besar
responden tidak
mengalami BBLR, selain itu posisi ibu
sebagai ibu rumah tangga menyebabkan
ibu memiliki waktu yang cukup banyak
untuk memperhatikan kehamilannya
sehingga
kemungkinan
terjadinya
penyulit kehamilan dapat diminimalkan,
termasuk diantaranya terjadinya BBLR.
3.

Hubungan Antara Pre Eklampsia


Dengan Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR) di RSUD Gambiran
Kota Kediri Tahun 2009

Hasil analisa data dengan


menggunakan spearman rank diperoleh
hasil nilai rho hitung hitung adalah
0,583 dengan P-Value = 0,000 pada
taraf signifikan () 5%. Karena P-Value
< , maka H0 ditolak dan H1 diterima
yang berarti ada hubungan antara pre
eklampsia dengan bayi berat lahir

rendah (BBLR) di RSUD Gambiran


Kota Kediri Tahun 2009 dengan kuat
hubungan sedang.
Pada ibu dengan preeklampsia
terjadi perubahan fisiologi patologi
diantarnya perubahan pada plasenta dan
uterus yaitu menurunnya aliran darah ke
plasenta yang mengakibatkan gangguan
fungsi plasenta. Pada hipertensi yang
agak
lama
pertumbuhan
janin
terganggu. Pada hipertensi yang lebih
pendek bisa terjadi gawat janin sampai
mati janin karena kekurangan oksigen.
Sedangkan tonus uterus dan kepekaan
terhadap rangsangan pada preeklampsia
dan eklamsi mudah terjadi partus
prematurus (Prawirohardjo, 2002).
Pada kejadian di RSUD
Gambiran Kota Kediri, Pre eklampsi
seringkali menyebabkan terjadinya
BBLR karena menyebabkan persalinan
yang prematur. Kejadian pre eklampsi
akan mendorong terjadinya disfungsi
pada plasenta maupun pada uterus
sehingga dapat mendorong terjadinya
persalinan prematur, selain itu diet pada
ibu hamil yang menderita pre eklampsi
akan menurunkan jumlah konsumsi
makanan akibatnya asupan nutrisi janin
juga berkurang. Kombinasi antara
menurunnya
fungsi
uterus
dan
penurunan jumlah konsumsi nutrisi
inilah yang memicu terjadinya BBLR
pada ibu hamil penderita pre eklampsi.
Hasil penelitian menungjukkan
bahwa status gravida responden
sebagian besar adalah 1 yaitu sebanyak
80 responden (58%) dengan usia saat
hamil pada masa reproduktif aktif yaitu
20 35 tahun (78%).
Menurut Mochtar (1998), pada
masa
reproduktif
aktif
maka
kemungkinan terjadinya pre eklampsi
kecil, karena pre eklampsi sering
disebabkan karena peningkatan tekanan
darah yang diakibatkan oleh penurunan
fungsi degeneratif tubuh.
Pada usia reproduktif aktif ini

13

Hubungan Antara Pre Eklampsia Dengan Bayi Berat Lahir Rendah


(Kun Ika)

maka sebagian besar responden tidak


mengalami pre eklampsi akibatnya
terjadinya efek ikutan dari pre eklampsi
misalnya IUGR tidak terjadi, namun
sebaliknya pada respnden
yang
mengalami pre eklampsi kemungkinan
akan mengalami efek ikutan pre
eklampsi misalnya terjadinya gangguan
pada pertumbuhan janin sehingga
terjadinya peningkatan resiko terjadinya
BBLR. Sedangkan ditinjau dari gravida
responden,
kehamilannya
adalah
kehamilan pertama sehingga dalam
melakukan pemeriksaan ANC biasanya
rutin dan setiap keluhan karena ANC
yang dilakukan adalah teratur maka
akan segera tertangani (Budiarto, 2002)

Simpulan
Adanya Preeklampsia dapat
menyebabkan
terjadinya
kejadian
BBLR, hal ini di akibatkan oleh karena
adanya disfungsi plasenta dan uterus
faktor lain yang mempengaruhi juga
adalah kurangnya asupan diet pada ibu
yang
pre
eklampsia
sehingga
berkontribusi terjadinya BBLR.

Aulia, A. 2004. Hubungan Antara


Preeklamsi Dengan Bayi Berat
Lahir Rendah Di Unit Swadana
Daerah Gihabat-Cimahi Tahun
2002-2003. Bandung laporan Tugas
Akhir Program DIV Kebidanan
Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran.
Bagian
Staf
Pengajar
Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2001. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Info Medika.
Biro Pusat Statistik. 2003. Indonesia
Demographic and Health Survey
2002-2003. Jakarta: Biro Pusat
Statistik.
Cunningham, Mac Donald, Gant. 1995.
Obstetric Williams. Jakarta: EGC.
Depkes. 2003. Standart Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: Departamen
Kesehatan.
Dowshens, S; Dkk. 2000. Panduan
Kesehalan Balita: Petunjuk Lengkap
Untuk Orangtua. Jakarta: Erlangga.
Hamilton, M. 1995. Dasar-dasar
Keperawatan Maternitas. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Manuaba, I, B, G. 1998. Ilmu
Kebidanan, Penyakit Kandungan,
dan Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

Saran
Bagi ibu-ibu supaya pergi
konsul,
terutama
yang
beresiko
mengalami Eklampsia di harapkan juga
para petugas kesehatan
mampu
memberikan gambaran yang jelas pada
pasien yaitu tentang dampak bila ada
ibu yang mengalami Eklampsia.

DAFTAR PUSTAKA

14

Mochtar,
R.
1998.
Synopsis
Obstetric.Jilid 1. Jakarta: EGC.

Jurnal Ilmiah Perawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

Notoadmodjo, S. 2002. Metodologi


Penelitian
Kesehatan.
Jakarta:
Rineka Cipta
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Buku
Petunkuk Maternal dan Neonatal.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono. Prawirohardjo.

Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas


Kadiri Kediri

Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas


Kadiri Kediri

15

PERILAKU PEMAKAIAN KONDOM DENGAN KEJADIAN


INFEKSI MENULAR SEKSUAL
Gretta Hapsari Amalya1
Abstract:The high incidence of STDs caused by WPS are doing a lot of
irregularities in the prevention and treatment of STIs, for example, would not
wear a condom every time sexual intercourse, while suffering from sexually
transmitted infections continue to serve the guests and if the pain did not want
to take medicine the doctor. This study wanted to prove whether there is a
relationship between behavior and the use of condoms and willingness to serve
guests with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu Ngunut
Tulungagung District. This study is a correlational analytic studies using crosssectional approach and the ex post facto. Population studies on the localization
of the entire WPS District Kaliwungu Ngunut Tulungagung and the number of
samples selected 65 people WPS with purposive sampling technique. Variable
measured is the behavior of condom use and willingness to serve the guests as
the independent variable, dependent variable while the incidence of STIs. The
results obtained most of the respondents did not use condoms, as many as 42
respondents (64.62%) and almost all of the respondents are willing to serve
guests, as many as 37 respondents (88.1%). While the incidence of STIs, the
majority of respondents infected with STIs, as many as 34 respondents
(52.31%).
Statistical test used in this study is chi square. Condom use behavior is obtained
p-value 0.000 <0.05, so that proves there is a connection between the behavior
of condom use with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu
Ngunut Tulungagung District. While the willingness to serve the guests get the
p-value 0.035 <0.05, so that proves there is a relationship between willingness
to serve guests with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu
Ngunut Tulungagung District.

Keywords : Condom, Serving Customers, STI incidence

Latar Belakang
Infeksi Menular Seksual (IMS)
adalah
penyakit
infeksi
yang
penularannya
terutama
melalui
hubungan seksual. Cara hubungan
kelamin tidak hanya terbatas secara alat
kelamin dengan alat kelamin (genitogenital), atau anus dengan alat kelamin
(ano-genital) sehingga kelainan yang
timbul akibat penyakit kelamin ini tidak
terbatas pada daerah alat kelamin
(ekstra genital) (FK UI, 1989).

Selama dekade terakhir ini


insiden IMS cukup cepat meningkat di
berbagai negeri di dunia, baik di negara
maju maupun negara berkembang. Pada
saat ini IMS termasuk Human
Immunodeficiency Virus / Aquired
Immune
Deficiency
Syndrome
(HIV/AIDS) sudah tersebar secara luas
(pandemic) yang menimbulkan dampak
kesehatan, sosial, ekonomi, dan politik.
Bagi negara berkembang seperti
Indonesia,
IMS
menimbulkan
permasalahan yang cukup besar karena

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual


(Gretta Hapsari A)

terbatasnya sumber daya manusia dan


dana. Kegagalan menemukan dan
mengobati IMS pada stadium dini dapat
menimbulkan komplikasi serius dan
berbagai gejala sisa, pada ibu antara lain
berupa infertilitas, kehamilan ektopik,
infeksi daerah pelvis, kanker saluran
reproduksi, pada waria berupa kanker
daerah anogenital dan pada bayi berupa
kelahiran prematur, lahir mati, serta
infeksi baik pada neonatus maupun
pada bayi, termasuk infeksi konginetal.
Keadaan tersebut ikut menyebabkan
tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Disamping itu IMS diketahui juga
mempermudah penularan HIV yang
selanjutnya dapat berkembang menjadi
AIDS dengan tingkat kematian yang
tinggi. Saat ini di Indonesia, prevalensi
IMS termasuk HIV/AIDS belum akurat,
disebabkan sistem pencatatan dan
pelaporan kasus masih jauh dari
lengkap. Hal ini disebabkan karena,
banyak kasus yang tidak dilaporkan,
karena belum ada undang-undang yang
mengharuskan melaporkan setiap kasus
baru IMS yang baru ditemukan (kecuali
HIV/AIDS) serta fasilitas diagnostik
yang ada sekarang ini kurang sempurna
sehingga sering kali terjadi salah
diagnosis dan penanganannya (Depkes
RI, 1999).
Banyak kasus yang asimtomatik
(tanpa gejala yang khas) terutama
penderita wanita. Meskipun demikian
program
pencegahan
dan
pemberantasan infeksi menular seksual
harus diberi prioritas yang tinggi. Hal
ini
disebabkan
IMS
membawa
konsekuensi mempermudah penularan
HIV/AIDS Sedangkan infeksi klamidia,
ulkus,
gonorhoe,
uretritis
non
gonorhoe, sifilis, dan trikomoniasis
dapat meningkatkan resiko penularan
HIV antara 2 9 kali. Penderita IMS
dengan ulkus genital mempunyai resiko
2 5 kali dibanding penderita tanpa
ulkus (Depkes RI, 1999).

Saat ini di Indonesia prevalensi


gonore dan klamedia tertinggi di Asia.
Hasil Surveilen Terpadu Biologis
Perilaku (STPB, 2007) khusus pada
wanita pekerja seks terus meningkat.
Prevelansi HIV pada 9 provinsi 6%16%. gonore 15,8%-43,9%, klamidia
20,2%-55%, sifilis 1%-17%. Di Jawa
Timur terdapat 19.963 penderita IMS.
Di Kabupaten Tulungagung sejumlah
1.214 orang menderita IMS, dengan
kasus gonoroe 43 (3,5%), suspec
gonoroe 3 (0,24%), servicitis 183
(15%),
uretritis
327
(26,9%),
tricomoniasis 12 (0,9%), ulkus mole 1
(0,08%), herpes genital 10 (0,82%),
kandidia 50 (4,1%),
dan 183 orang
menderita
HIV/AIDS
(Dinkes
Tulungagung, 2010).
Di Kabupaten Tulungagung
terdapat 2 lokalisasi wanita pekerja seks
(WPS) yang menampung 825 WPS,
salah satu lokalisasi tersebut adalah
lokalisasi Kaliwungu yang berada di
Kecamatan Ngunut. Dari data yang ada
di lokalisasi Kaliwungu terdapat 215
WPS, 52 mucikari dan 52 wisma.
Berdasarkan
data
hasil
pemeriksaan pada WPS di lokalisasi
Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tahun
2008-2010 didapatkan bahwa jumlah
WPS yang menderita IMS pertahunnya
semakin meningkat.
Berdasarkan tingginya angka
kejadian IMS disebabkan karena banyak
WPS yang melakukan penyimpangan
dalam
upaya
pencegahan
dan
pengobatan terhadap IMS, di lokalisasi
Kaliwungu Kec. Ngunut Tulungagung
misalnya tidak mau memakai kondom
tiap kali melakukan hubungan seksual,
saat menderita IMS tetap melayani
tamu, bila sakit tidak mau minum obat
dokter, minum obat antibiotik yang
dibeli dari toko. Dari hasil wawancara
dengan 10 WPS masih ditemui 6 WPS
(60%), tidak menggunakan kondom saat
berhubungan seks dengan alasan tamu

17

Jurnal Keperawatan Ilmiah STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

menolak menggunakan kondom, 2 WPS


(20%) tetap melayani tamu walaupun
sedang menderita IMS dengan alasan
tamu banyak, 2 WPS (20%) minum
obat yang dibeli dari toko saat
menderita IMS dengan alasan kalau
periksa ke dokter mahal. Saat ini di
Indonesia prevalensi IMS dipandang
kurang akurat karena sistem pencatatan
dan pelaporan yang belum lengkap,
selain itu juga disebabkan karena
banyaknya lokalisasi liar yang belum
terjamah oleh pelayanan kesehatan.
Sehingga banyak kasus yang belum
terlaporkan, disamping itu banyak kasus
yang belum terdeteksi. Belum ada
kebijakan kusus yang mengharuskan
pelaporan terhadap penemuan kasus
IMS. Serta fasilitas diagnosis yang ada
sekarang kurang sempurna, sehingga
seringkali terjadi salah diagnosis dan
penanganannya (Depkes RI, 1999).
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi penyebaran IMS, antara
lain faktor biologis: faktor umur dan
faktor jenis kelamin, selain itu faktor
lingkungan,
pendidikan,
agama,
perilaku, sosial ekonomi juga bisa
mempengaruhi penyebaran IMS. Bila
para WPS mengetahui cara pencegahan
IMS, dan memahami tentang perilaku
yang dapat memicu terjadinya IMS,
mengerti
tentang
akibat
yang
ditimbulkan oleh penderita IMS dan
dapat
mengaplikasikan
dalam
kehidupan, akan mempermudah tenaga
kesehatan dalam usaha penurunan
insiden dan prevalensi IMS tersebut.
Prinsip
utama
dari
pengendalian/pencegahan IMS adalah
memutuskan mata rantai penularan IMS
dan mencegah berkembangnya IMS
serta komplikasinya. Pencegahan secara
tepat dan penanganan secara dini IMS
bisa disembuhkan dengan baik. Yang
penting sekali untuk diingat adalah
bentuk dan gejala awal yang menjadi
tanda IMS. Bila merasakan tanda gejala

18

IMS, sebaiknya perlu diwaspadai


kemungkinan adanya infeksi IMS.
Pencegahan yang dapat dilakukan
antara lain: tidak melakukan hubungan
seksual pada saat menderita IMS, tidak
berganti
pasangan,
menggunakan
kondom setiap hubungan seksual. Yang
lebih penting dari semua itu adalah
menjaga nilai moral, agama, etika, dan
norma kehidupan bermasyarakat, karena
dengan moral dan etika yang baik kita
akan terhindar dari gangguan atau
penyakit yang akan membawa kita
dalam masalah serius (Setiawan, 2007).
Sudah
banyak
usaha
pemerintah untuk memberantas dan
mengurangi kejadian IMS. Kegiatan ini
dilakukan oleh tim pencegahan infeksi
menular seksual Dinas Kesehatan
Kabupaten
Tulungagung
dan
Puskesmas Ngunut yang berupa
pemeriksaan
berkala,
penyuluhan
tentang pemakaian kondom yang benar.
Disamping
itu
juga
dilakukan
pembagian kondom secara cuma-cuma
dan pengobatan bagi para Wanita
Pekerja Seks baik yang menderita IMS
maupun yang tidak menderita IMS
melalui Program Pengobatan Presumtif
Berkala (PPB). Kegiatan tersebut
dilakukan setiap bulan, sedangkan
untuk pemeriksaan Serology Test
Syphilis Deficiency dan Gonorhoe
dilakukan setiap 5 bulan sekali. Namun
demikian masih banyak ditemui WPS
yang tidak menggunakan kondom saat
melayani tamu, masih melayani tamu,
walaupun sedang menderita IMS, dan
perilaku WPS itu terbukti bisa membuat
prosentase kasus tetap tinggi. Oleh
karenanya harus diupayakan suatu
usaha yang dianggap mempunyai daya
ungkit yang cukup tinggi, untuk
memutuskan
mata
rantai
dan
meminimalkan
penyebaran
kasus
tersebut.
Untuk mencapai tujuan tersebut
diatas, dipandang sangat perlu untuk

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual


(Gretta Hapsari A)

meningkatkan
pengetahuan,
ketrampilan dibidang lain, sikap,
keyakinan, perilaku, tingkat kepatuhan
dan tindakan untuk mengurangi perilaku
berisikonya. Bahkan diharapkan dengan
perubahan perilakunya bisa mencegah
terjadinya penularan terhadap semua
kasus Infeksi Menular Seksual. Karena
WPS adalah kelompok yang paling
potensial
untuk
terjadinya
penularan,meskipun jumlah mereka
relatif
sedikit,
karena
mereka
merupakan pelaku utama terhadap
penularan dan penyebaran
Infeksi
Menular Seksual. Karena program
pencegahan terhadap Infeksi Menular
Seksual merupakan salah satu tugas
bidan di wilayah Puskesmas Ngunut
dan juga merupakan upaya untuk
mendukung tercapainyan Millenium
Developematianment Goals (MDGs)
untuk mengatasi kematian ibu dan bayi
serta
mengendalikan
penyakit
HIV/AIDS. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara
perilaku seksual dengan kejadian
Infeksi Menular Seksual (IMS) pada
WPS di Lokalisasi.
Bahan Dan Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan
dalam penelitian ini dijelaskan dalam
berbagai perspektif yaitu berdasarkan
lingkup penelitian termasuk jenis
penelitian kasus, berdasarkan tempat
penelitian termasuk jenis lapangan,
berdasarkan waktu pengumpulan data
termasuk jenis rancangan crossectional,
berdasarkan ada tidaknya perlakuan
termasuk
jenis
expost
facto
(mengungkap
fakta)
penelitian,
berdasarkan
pengumpulan
data
termasuk
jenis
observasional,
berdasarkan sumber data termasuk jenis
primer, berdasarkan tujuan penelitian
termasuk analitik korelasional.

Pada penelitian ini populasinya


adalah seluruh WPS di lokalisasi
Kaliwungu
Kecamatan
Ngunut
Tulungagung tahun 2010 dengan jumlah
215 orang.
Dalam
penelitian
ini
pengambilan sampel dapat ditentukan
dengan rumus:


=
( 1) + 2. .
= 215 (1,96)2 0,5 0,5
,
=
,
= 64,5
= dibulatkan menjadi 65
responden
Keterangan:
n
= perkiraan jumlah sampel
N = perkiraan besar populasi
Z
= nilai standar normal untuk d =
0,05 (1,96)
P
= perkiraan proporsi, jika tidak
diketahui dianggap 50%
q
= I P (100% P)
d
= tingkat kesalahan yang dipilih (d
= 0,05)
(dikutip dari Zainudin M, 2000)

Dalam penelitian ini peneliti


menggunakan dua variabel, yaitu:
1.

2.

Variabel Independen
Variabel
independen
dalam
penelitian ini adalah perilaku
pemakaian kondom dan kesediaan
melayani tamu WPS.
Variabel Dependen
Variabel
dependen
dalam
penelitian ini adalah kejadian
IMS.

19

Jurnal Keperawatan Ilmiah STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

Bahan yang digunakan


penelitian ini meliputi:

dalam

1. Check list pada WPS di lokalisasi


Kaliwungu Ngunut Tulungagung
2. Kuisioner.
3. Data calon responden yaitu wanita
pekerja seks yang hadir pada saat
jadwal pemeriksaan
4. Sarana yang dibutuhkan untuk
pemeriksaan in spekulo, meliputi:
kamar periksa, bed gynekologi,
lampu penerangan, meja, kursi,
selimut/kain penutup, MnO4 (cairan
sublimat) pada tempatnya, kapas,
speculum, kapas lidi, kaca objek,
larutan NaCl fisiologis (0,9%),
sarung tangan, larutan chlorin.
Instrument
penelitian yang
digunakan
untuk
mengungkapkan
semua variabel bebas yaitu perilaku
penggunaan kondom dengan kuisioner,
infeksi menular seksual dengan
melakukan
pemeriksaan, sedang
kesediaan dengan cara observasi.
Penelitian ini dilakukan di lokalisasi
Kaliwungu
Kecamatan
Ngunut
Tulungagung dilaksanakan pada tanggal
14 September 2010.
Untuk mencari ada tidaknya
hubungan antara perilaku pemakaian
kondom dan kesediaan melayani tamu
pada WPS dengan kejadian IMS
dilokalisasi Kaliwungu kecamatan
Ngunut Tulungagung tahun 2010
dengan menggunakan uji chi kuadrat.

20

Hasil Penelitian
1. Data Umum
a. Umur
2 Resp
(3%)

24 Resp
(37%)

< 20 th
39 Resp
(60%)

20-35
th
> 35 th

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Hasil penelitian pada diagram


diatas menunjukkan bahwa dari total 65
responden sebagian besar responden
berumur 20-35 tahun, yaitu sebanyak 39
responden (60%).
b. Pendidikan
3 Resp.
(5%) 0%

27 Resp.
(41%)

35 Resp.
(54%)

SD
SMP
SMA
PT

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Hasil penelitian pada diagram


diatas menunjukkan bahwa dari total 65
responden
sebagian
besar
dari
responden berpendidikan SD, yaitu
sebanyak 35 responden (54%).

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual


(Gretta Hapsari A)

c. Berdasarkan lama menjadi WPS Di


Lokalisasi Kaliwungu Kecamatan
Ngunut Tulung Agung

b.

Kesediaan Melayani Tamu WPS

Tabel

Hasil tabulasi
melayani tamu

kesediaan

No

12 Resp
(18%)

27 Resp
(42%)

< 1 th
1-2 th
> 2 th
26 Resp
(40%)

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Hasil penelitian pada diagram


diatas menunjukkan bahwa dari total 65
responden hampir setengah dari
responden telah menjadi WPS lebih dari
2 tahun, yaitu sebanyak 27 responden
(42%).
2. Data Khusus
a. Perilaku Pemakaian Kondom
Tabel

Hasil tabulasi perilaku


pemakaian kondom

Pemakai Jumlah Prosentase


an
Kondom
1
Ya
23
35.38
2
Tidak
42
64.62
Jumlah
65
100
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Kesediaan
Jumlah
Pro
melayani
sent
tamu
ase
1
Tidak bersedia
melayani tamu
5
11.9
2
Bersedia melayani
tamu
37
88.1
Jumlah
42
100
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel 2 didapatkan


dari total 42 responden yang tidak
memakai kondom, hampir seluruhnya
dari responden bersedia melayani tamu,
yaitu sebanyak 37 responden (88, 1%).
c. Kejadian IMS
Tabel 3
No

Hasil tabulasi kejadian IMS

Kejadian IMS

Ju
ml
ah

Prosentase

Tidak
Terinfeksi
31
47.69
2
Terinfeksi
34
52.36
Jumlah
65
100
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

No

Berdasarkan tabel 3 didapatkan


dari total 65 responden sebagian besar
dari responden terinfeksi IMS, yaitu
sebanyak 38 responden (58,46%).

Berdasarkan tabel 1 didapatkan


dari total 65 responden sebagian besar
dari responden tidak memakai kondom,
yaitu sebanyak 42 responden (64,62%)
dan 23 responden (35,38%) memakai
kondom.

21

Jurnal Keperawatan Ilmiah STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

Tabulasi Silang Antar Variabel


a. Tabulasi silang Perilaku Pemakaian
Kondom dengan Kejadian IMS
Tabel

N
o

Peril
aku
Pema
kaian
Kond
om
Ya

Tabulasi Silang Perilaku


Pemakaian
Kondom
dengan Kejadian IMS

Kejadian IMS
Tidak
Terinfeksi
Terinfeksi

9.23

10

26.
15
15.
38

32

49.23

27

41.
54

38

58.46

6
5

17
2

Tida
k
Juml
ah

Total
J
m
l
2
3
4
2

Jml

J
ml

bersedia melayani tamu dan terinfeksi


penyakit IMS, yaitu sebanyak 28
responden (66,67%).
Berdasarkan hasil uji statistik Chi
Square didapatkan nilai p yaitu 0,000 <
0.05, sehingga HO ditolak dan H1
diterima, berarti ada hubungan antara
perilaku pemakaian kondom dengan
kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan Ngunut Tulungagung.

%
35.
38
64.
62
10
0.0
0

Hasil Uji Statistik Kesediaan Melayani


Tamu dengan Kejadian IMS
Tabel 6

Hasil Uji Statistik Chi


Square
Kesediaan
Melayani Tamu dengan
Kejadian IMS

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Hasil penelitian pada tabel 4


didapatkan bahwa dari total 65
responden, hampir setenganya dari
responden tidak memakai kondom dan
terinfeksi penyakit IMS, yaitu sebanyak
32 responden (49,23%).
b. Tabulasi silang Kesediaan Melayani
Tamu dengan Kejadian IMS
Tabel 5

N
o

Kesedi
aan
Melay
ani
Tamu
Tidak
berse
dia
Berse
dia
Juml
ah

Tabulasi Silang Kesediaan


Melayani Tamu dengan
Kejadian IMS
Kejadian IMS
Tidak
Terinfeksi
Terinfeksi
J
m
%
Jml
%
l

4
10
14

9,52

23,81
33,3

1
27
28

2,38

64,28
66,67

Total
Jm
l

11,
9

37

88,
1

42

100

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Hasil penelitian pada tabel 5


didapatkan bahwa dari total 42
responden
yang tidak
memakai
kondom, sebagian besar dari responden

22

Pearson ChiSquare
Continuity
Correction(a)
Likelihood Ratio

Value
5.562(b
)

df

Asy
mp.
Sig.
(2side
d)

.018

3.434

.064

5.282

.022

Fisher's Exact
Test
Linear-by-Linear
Association

5.430

N of Valid Cases

42

E
xa
ct
Si
g.
(2
si
de
d)

Ex
act
Sig
.
(1sid
ed)

.0
35

.03
5

.020

a Computed only for a 2x2 table


b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5.
The minimum expected count is 1.67.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi


Square didapatkan nilai p yaitu 0,035 <
0.05, sehingga HO ditolak dan H1
diterima, berarti ada hubungan antara
kesediaan melayani tamu dengan
kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan Ngunut Tulungagung.

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual


(Gretta Hapsari A)

Pembahasan
1. Perilaku Pemakaian Kondom

Berdasarkan hasil penelitian yang


dilakukan di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan
Ngunut
Tulungagung,
didapatkan dari total 65 responden
sebagian besar dari responden tidak
memakai kondom, yaitu sebanyak 42
responden (64,62%).
Kondom adalah suatu karet yang
tipis, berwarna atau tak berwarna ,
dipakai untuk menututpi zakar yang
tegang sebelum dimasukkan ke dalam
vagina sehingga mani tertampung di
dalamnya dan tidak masuk vagina.
Dengan demikian mencegah terjadinya
pembuahan. Kondom yang menutupi
zakar juga berguna untuk mencegah
penyakit kelamin.
Ada banyak alasan pria tidak mau
pakai kondom karena merasa kesakitan
dan terluka saat memakainya. Hal itu
membuat tujuan penggunaan kondom
gagal dan risiko penyakit menular
meningkat. Untuk itu, pria sebaiknya
pakai ukuran kondom yang sesuai
dengan ukuran alat kelaminnya. Selain
itu pemakaian kondom menyebabkan
sakit dan tidak pas, itulah alasan
sebagian pria yang tidak mau memakai
kondom. Pemakaian kondom yang tidak
tepat memang bisa merobek kondom
atau membuat
kondom terlepas
sehingga mengurangi hasrat seksual
pasangan.
Kondom yang pas sebaiknya
dipilih pria agar risiko yang tidak
diinginkan bisa dicegah. Pria diketahui
tidak suka membeli kondom ukuran
kecil dan sedang karena merasa percaya
diri dengan ukuran alat kelaminnya.
Tapi sebagian pria juga tidak sadar
bahwa kondom yang mereka beli justru
kekecilan.
Faktor lain yang menyebabkan
pria enggan menggunakan kondom

dikarenakan kondom juga mempunyai


beberapa kekurangan, diantaranya:
menganggu kenyamanan bersenggama,
selalu harus memakai kondom yang
baru, selalu harus ada persediaan,
kadang ada yang tidak tahan (alergi)
terhadap karetnya, tingkat kegagalannya
tinggi jika terlambat memakainya,
sobek bila memasukkannya tergesagesa.
Pria dengan kondom yang tidak
pas
akan
cenderung
melepas
kondomnya sebelum acara seks selesai
dan akhirnya tujuan pemakaian kondom
pun gagal. Kondom yang tidak pas
mempunyai dampak bisa berakibat fatal
jika kondom terlepas atau robek.
Kesadaran pria memakai kondom
perlu dibarengi dengan kesadaran yang
tinggi pula akan ancaman berbagai
penyakit seperti gonnore, clamydia,
sifilis, HIV dan lainnya.
2. Kesediaan Melayani Tamu
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan
Ngunut
Tulungagung,
didapatkan dari total 42 responden yang
tidak memakai kondom hampir
seluruhnya dari responden bersedia
melayani tamu, yaitu sebanyak 37
responden (88,1%).
Kesediaan menerima pengaruh
fihak lain itu biasanya tidak berasal dari
hati kecil seseorang akan tetapi lebih
merupakan
cara
untuk
sekedar
memperoleh reaksi positif seperti
pujian,
dukungan,
simpati
dan
semacamnya sambil menghindari hal
hal yang dianggap negatif. Tentu saja
perubahan perilaku yang terjadi dengan
cara seperti itu tidak akan dapat
bertahan lama dan biasanya hanya
tampak selama pihak lain menyadari
akan perubahan sikap yang ditunjukkan.
Kesediaan WPS melayani tamu
memang pekerjaan mereka menuntuk

23

Jurnal Keperawatan Ilmiah STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

untuk melayani tamu. Adapun ada


sebagian kecil responden yang tidak
mau
melayani
tamu,
mungkin
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor,
antara lain kondisi fisik mereka,
kesehatan, mood, ataupun faktor lain
sehingga pada saat penelitian ada
sebagian kecil yang menyatakan tidak
melayani tamu.
Hasil penelitian pada diagram 5.1
didapatkan hampir setengah dari
responden berumur diatas 35 tahun.
Dimana pada umur tersebut seorang
wanita sudah mengalami penurunan
fungsi organ seksual, sehingga secara
fisik akan mudah lelah. Hal tersebut
juga menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan ada sebagian responden
yang tidak melayani tamu.
3. Kejadian IMS
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan
Ngunut
Tulungagung,
didapatkan dari total 65 responden
sebagian besar dari responden terinfeksi
IMS, yaitu sebanyak 34 responden
(52,31%).
Infeksi Menular Seksual (IMS)
adalah suatu infeksi yang sebagian
besar penularanya melalui hubungan
seksual. Hubungan seksual tidak hanya
dilakukan secara kelamin, mulut dengan
kelamin, dan tangan dengan alat
kelamin, sehingga kelainan yang timbul
akibat penyakit ini tidak terbatas pada
alat kelamin saja, tetapi dapat juga pada
daerah di luar alat kelamin (ekstra
genital). Tanda-tandanya juga bias pada
mata, mulut, saluran pencernaan, hati,
otak, dan bagian tubuh lainnya.
Contohnya HIV/AIDS dan Hepatitis B
yang menular lewat hubungan seks
tetapi penyakitnya tidak dapat dilihat
dari
kelaminnya,
artinya
alat
kelaminnya masih tampak sehat
meskipun orangnya membawa bibit

24

penyakit ini. Kalau kita berhubungan


seks dengan orang tersebut, kita dapat
tertular walaupun hanya sekali (Dirjen
PPM dan PL, 2004).
IMS bisa terjadi disebabkan oleh
beberapa perilaku seks antara lain:
sering berganti pasangan seksual,
mempunyai lebih dari satu pasangan
seksual,
hubungan seks dengan
pasangan yang tidak dikenal (WPS),
masih terus berhubungan seks walaupun
dengan
keluhan
IMS,
tidak
menggunakan
kondom
saat
berhubungan seks dengan pasangan
berisiko tinggi.
Infeksi
Menular
Seksual
disebabkan oleh kurang lebih 20-50
mikroorganisme yang terdiri atas
bakteri, parasit, jamur dan virus
termasuk HIV (FKUI, 2003).
IMS
seringkali
tidak
menampakkan gejala, terutama pada
wanita. Namun ada pula IMS yang
menunjukkan gejala umum sebagai
berikut : 1) Keluarnya cairan dari
vagina, penis atau dubur yang berbeda
dari biasanya, 2) Rasa perih, nyeri atau
panas saat kencing atau setelah kencing,
atau menjadi sering kencing, 3) Adanya
luka terbuka, luka basah di sekitar
kemaluan atau sekitar mulut (nyeri
ataupun tidak), 4) Tumbuh seperti
jengger ayam atau kutil di sekitar alat
kelamin, 5) Gatal di sekitar alat
kelamin, 6) Terjadi pembengkakan
kelenjar limfa yang terdapat pada
lipatan paha, 7) Pada pria, kantung pelir
menjadi bengkak dan nyeri, 8) Pada
wanita, sakit perut bagian bawah yang
kambuhan
(tetapi
tidak
ada
hubungannya
dengan
haid),
9)
Mengeluarkan
darah
setelah
berhubungan seks, dan 10) Secara
umum merasa tidak enak badan atau
demam.

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual


(Gretta Hapsari A)

4.

Hubungan Perilaku Pemakaian


Kondom dengan Kejadian IMS

Berdasarkan hasil uji statistik Chi


Square didapatkan nilai p yaitu 0,000 <
0.05, sehingga HO ditolah dan H1
diterima, berarti ada hubungan antara
perilaku pemakaian kondom dengan
kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan Ngunut Tulungagung.
Kejadian
IMS
berhubungan
dengan perilaku kesehatan, yaitu
dimana transaksi seksual atau aktivitas
seksual
antara
WPS
dengan
pelanggannya berlangsung dengan tidak
aman dan tidak terlindungi dari
berbagai macam penularan IMS.
Batasan ini mempunyai dua unsur
pokok yaitu respon dan stimulus atau
perangsangan. Respon atau reaksi
manusia,
baik
bersifat
positif
(pengertian, persepsi, dan sikap) mampu
bersifat aktif (tindakan yang nyata atau
praktis), sehingga apabila seseorang
memahami pola perilaku seksual
sehingga dampaknya adalah angka
kejadian IMS akan menurun.
Perjalanan IMS berawal dari
adanya penderita IMS, baik yang
menimbulkan gejala maupun yang
bersifat
asimtomatis,
melakukan
interaksi yang intens dengan manusia
lainnya yang tidak menderita IMS.
Interaksi tersebut salah satunya adalah
interaksi seksual (sexual interaction),
dimana hubungan seksual yang terjadi
antara penderita IMS dengan pasangan
seksnya yang tidak menderita IMS
berlangsung tidak aman. Hal tersebut
bisa berupa pola hubungan seksual yang
tidak sewajarnya, misalnya melalui
anus (anal intercourse), ataupun
hubungan seksual yang tidak terlindungi
yaitu tanpa penggunaan kondom
sebagai barier yang dimiliki oleh
partner seksualnya.
Hasil penelitian pada tabel 5.4
didapatkan bahwa dari total 65

responden, hampir setenganya dari


responden tidak memakai kondom dan
terinfeksi penyakit IMS, yaitu sebanyak
32 responden (49,23%).
Hal tersebut menunjukkan bahwa
pada orang-orang yang berperilaku
seksual berisiko tinggi, hanya kurang
dari 1 orang yang tertular IMS pada
kelompok pengguna kondom. Secara
medis dan epidemiologis diketahui
bahwa akan terjadi penurunan penularan
IMS pada para pengguna kondom. Dari
studi tersebut juga diketahui bahwa
kondom efektif mencegah IMS.
Bila digunakan secara benar dan
konsisten, kondom mempunyai peranan
penting dalam kesehatan masyarakat,
khususnya dalam pencegahan IMS,
termasuk HIV dan Hepatitis B.
Penggunaan kondom yang baik akan
mengurangi risiko terinfeksi penyakit
tersebut, bagi mereka yang tidak
mampu berpuasa seks.
Kondom memiliki fungsi double
protection yaitu selain untuk mencegah
penularan IMS juga dapat digunakan
sebagai alat kontrasepsi. Hingga saat ini
kondom merupakan alat kontrasepsi
yang paling efektif untuk mengurangi
risiko penularan penyakit seksual.
Bahkan vasektomi atau pemotongan
saluran sperma pada pria pun tidak
mampu mencegah IMS.
Orang yang sudah mengetahui
dirinya terinfeksi IMS harus tetap
menggunakan kondom walaupun sudah
divasektomi untuk mencegah penularan
IMS pada pasangannya, kecuali IMSnya sudah diobati dan sembuh. Meski
demikian, angka penggunaan kondom
pada masyarakat Indonesia masih
rendah.
Pengetahuan dan penyebaran
informasi tentang kondom masih sangat
rendah
sehingga
orang
belum
menggunakannya
secara
tepat.
Kegagalan kondom lebih sering
disebabkan
pemakainya
tidak

25

Jurnal Keperawatan Ilmiah STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

menggunakannya dengan benar, dan


bukan karena mutu kondom itu sendiri.
Mengingat bahwa tidak ada obat
atau intervensi lain dalam pencegahan
IMS, maka penggunaan kondom secara
konsisten dalam berhubungan seksual
merupakan cara pencegahan penularan
IMS yang paling efektif selain dengan
cara abstain seks.
5.

Hubungan Kesediaan Melayani


Tamu dengan Kejadian IMS

Berdasarkan hasil uji statistik Chi


Square didapatkan nilai p yaitu 0,035 <
0.05, sehingga HO ditolak dan H1
diterima, berarti ada hubungan antara
kesediaan melayani tamu dengan
kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan Ngunut Tulungagung.
WPS adalah orang yang bekerja
dengan memperdagangkan seksual. IMS
adalah
penyakit
infeksi
yang
penularannya
terutama
melalui
hubungan seksual. Banyak kasus yang
asimtomatik terutama pada penderita
wanita, kurangnya kesadaran dari para
WPS dan mahalnya biaya pengobatan
yang
menyebabkan
para
WPS
mengobati
sendiri
penyakitnya.
Kesediaan melayani tamu saat sakit
IMS berhubungan dengan perilaku
kesehatan, dimana aktifitas seksual
antara WPS dengan pelanggannya
berlangsung tidak aman dan tidak
terlindungi.
Dalam semalam, WPS biasa
melayani empat sampai lima tamu, dan
hampir semuanya tidak menggunakan
kondom. Hasil penelitian pada diagram
5.3 menunjukkan bahwa dari total 65
responden hampir setengah dari
responden telah menjadi WPS lebih dari
2 tahun, yaitu sebanyak 27 responden
(42%), sehingga dengan pelayanannya
terhadap tamu yang terhitung sudah
sering tersebut, didukung dengan
sebagian
besar
responden tidak

26

menggunakan kondom, maka penularan


IMS sangat rentan sekali terjadi.
Terjadinya penularan IMS melaui
mukosa kulit tubuh yang terbuka,
misalnya pada mukosa dinding vagina,
konjungtiva mata, dinding anus atau
rektum, permukaan kulit yang terbuka.
Kemudian bakteri tersebut akan
berpindah tempat pada manusia sehat
lainnya, berkembang biak, melakukan
metatase atau penyebaran ke seluruh
tubuh melalui sistem peredaran darah.
Pada keadaan lanjut setiap hubungan
seksual
yang
dilakukan
akan
membuahkan penderita IMS baru, dan
akan seperti itu seterusnya jika tidak
tertangani dengan baik. Mobilitas yang
tinggi dari para WPS akan mempercepat
penyebarluasan
IMS
yang
juga
melibatkan masyarakat berisiko rendah
seperti ibu rumah tangga dan lainnya,
yang dijembatani oleh para pelanggan
WPS.
Simpulan
Tingginya angka kejadian IMS
di karenakan pengunjung yang tidak
memakai kondom dan kesediaan WPS
dalam melayani tamu meskipun tamu
tersebut tidak memakai kondom.
Saran
Disarankan bagi WPS agar
meningkatkan
kesadaran
untuk
memakai kondom karena mampu
mengurangi kejadian IMS.
Dan untuk petugas kesehatan
setempat agar sering mengadakan
penyuluhan
kesehatan
tentang
pentingnya
menghindari
penyakit
infeksi yang penularannya terjadi lewat
hubungan seksual yang sering berganti
pasangan.

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual


(Gretta Hapsari A)

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
S.
(1998).
Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
___________.
(2002).
Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik. Edisi Revisi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Daili S.F. (1999). Penyakit Menular
Seksual. Edisi 2. Jakarta: FKUI.
___________.
(2003).
Penyakit
Menular Seksual. Edisi 2. Jakarta:
FKUI.
Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Tulungagung. Laporan Tahun
2009/2010.
FKUI.
(2000).
Kapita
Selekta
Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius.
___________. (2000). Kapita Selekta
Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius.
Hupatena, Ronald. (2003). AIDS, PMS
dan Perkosaan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Mahfoez, I, dkk. (2005). Metodologi
Penelitian Bidang Kesehatan,
Keperawatan dan Kebidanan. Ed.
Yogyakarta: Fitra Maya.
Manuaba,
IBG.
(2005).
Ilmu
Kebidanan Penyakit Kandungan
dan Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Margono. (2001). Dampak Pergaulan
Bebas. Jakarta: Rekayasa Putra.
Muchtar, Rustam. (2005). Sinopsis
Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.
Mundiharno. (1999). Perilaku Seksual
Beresiko Tertular PMS dan
HIV/AIDS. Universitas Gajah
Mada.
Notoatmodjo. Soekidjo. (2002). Metode
Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
____________.
(2003).
Metode
Penelitian Kesehatan dan Ilmu

Perilaku
Kesehatan.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Nurainur.
(1997).
Pengantar
Epidemiologi Penyakit Menular.
Jakarta: Rineka Cipta.
___________. (2003). Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan
Konsep dan Penerapan. Jakarta:
Salemba Medika.
RI,
Depkes.
(1999).
Pedoman
Pengobatan Penyakit Menular
Seksual. Jakarta: Ditjen PPM &
PLP.
____________.
(1996).
Pedoman
Penatalaksanaan
Penyakit
Menular Seksual. Jakarta: Ditjen
PPM & PLP.
____________.
(2003).
Pedoman
Penatalaksanaan
Penyakit
Menular Seksual. Jakarta: Ditjen
PPM & PLP.
Meliono, Armayanti. (2007). Perilaku
Seksual.
[internet].
http://id.wikipedia.org. Diakses 21
Juni 2010.
www.cybernet.com. Anonim. (2007).
Upah Tenaga Kerja Wanita.
Wening, Noor. (2009). Mitos dan
Perilaku
Seksual
Remaja.
[internet]. http://www.jawapos.com.
Diakses 21 Juni 2010.
Suryaatmadja,
Susanto.
(2009).
Kencing Nanah Ancam Anak, Ada
Yang Mengaku Pernah Ke
Lokalisasi.
[internet].
http://www.jawapos.com. Diakses
21 Juni 2010.

Dosen
Fakultas
Ilmu
Universitas Kadiri Kediri

Kesehatan

27

PENGARUH POSISI MIRING UNTUK MENGURANGI


LUKA TEKAN PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN PERSYARAFAN

Nuh Huda1

Abstract: Prevention of pressure ulcer is an important matter that must done by a


nurse, especially in patients with neurological disorders with decreased ability to
mobilize / parese. Evidence Based Nursing Practice (EBNP) became one of the
methods used in this study, conducted on 20 patients with parese, with the level of
muscle strength is less than 3, for 3 weeks, in the Stroke Unite of Cipto
Mangunkusumo Hospital Jakarta. The application of this methode was by setting of
30 degrees in a tilted position to prevent first grade of pressure wound. The
incidences of pressure ulcer were avaluated every day on the bone bumps. And the
results were 19 patients do not got pressure wound, while one person got first grade.

Keywords: setting 30-degree lateral position, pressure ulcer, immobilization

Latar Belakang
Parese merupakan manisfestasi
dari penyakit yang disebabkan oleh
gangguan persyarafan (Wilkinson,
1999). Parase yang terjadi memberikan
gambaran bahwa adanya kelainan atau
lesi sepanjang traktus piramidalis. Lesi
ini dapat disebabkan oleh berkurangnya
suplai darah, kerusakan jaringan oleh
trauma atau infeksi, ataupun penekanan
langsung dan tidak langsung oleh massa
hematoma, abses, dan tumor. Hal
tersebut
selanjutnya
akan
mengakibatkan adanya gangguan pada
tractus
kortikospinalis
yang
bertanggung jawab pada otot-otot
anggota gerak atas dan bawah. Sehingga
seseorang akan mengalami penurunan
kemampuan dalam mobilisasi, dimana
seseorang tidak dapat bergerak secara
aktif/bebas karena kondisi yang

mengganggu pergerakan (aktivitas)


(Smeltzer & Bare, 2005).
Salah satu dampak imobilisasi
adalah dekubitus. Dampak lain dapat
timbul rasa marah, benci pada diri
sendiri dan perasaan tidak berguna
karena akan selalu bergantung pada
orang
lain.
Untuk
mengatasi
ketidakmampuan pasien tersebut, maka
diperlukan penatalaksanaan berupa
pemberian asuhan keperawatan dan
program rehabilitasi guna meningkatkan
kemampuan pasien minimal merawat
diri sendiri dan mencegah komplikasi
akibat imobilisasi tersebut.
Pasien
dengan
gangguan
persyarafan seringkali disertai dengan
adanya penurunan kemampuan dalam
mobilisasi (parese). Suryadi (2004)
membuktikan
bahwa
imobilisasi
menjadi
faktor
yang
signifikan
menyebabkan luka tekan (Sari, 2007).
Sesuai dengan asal katanya, luka tekan

Pengaruh Posisi Miring Untuk Mengurangi Luka Tekan Pada Pasien Dengan Gangguan Persyarafan
(Nuh Huda)

adalah luka akibat adanya tekanan.


Tekanan merupakan faktor penyebab
yang paling utama akan terbentuknya
luka tekan. Mekanisme timbulnya luka
tekan ini berawal dari adanya tekanan
yang intensif, lama, dan berkurangnya
toleransi jaringan (Bryant, 2000).
Kemampuan tubuh dalam mentoleransi
tekanan tersebut dapat dipengaruhi oleh
berkurangnya massa otot, terjadinya
penurunan fungsi tubuh, dan kondisi
pembuluh darah yang mendistribusikan
kebutuhan nutrisi dan oksigen ke
jaringan tersebut. Pencegahan luka
tekan sebaiknya lebih berfokus pada
upaya
mencegah
tekanan
yang
berlebihan dan terus menerus disamping
memperbaiki
faktor-faktor
resiko
lainnya. Perawat spesialis mempunyai
peran yang sangat penting dalam upaya
mencegah terjadinya luka tersebut.
Salah satu hal yang bisa dilakukan
adalah dengan pengaturan posisi yang
benar dan baik, Salah satu posisi yang
bisa
diterapkan
adalah
dengan
pengaturan posisi lateral 30 derajat.
Posisi ini diharapkan dapat mengurangi
resiko terjadinya luka pada pasien yang
mengalami penurunan kemampuan
gerak tersebut. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh
posisi miring dalam pencegahan luka
tekan pada pasien stroke yang
mengalami kelemahan.
Bahan dan Metode Penelitian
Metode
penelitian
adalah
prospektif
cohort, besar sampel
sebanyak 20 responden, yang diambil
secara purposive sampling, di unit
stroke RS. Cipto Mangunkusumo
Jakarta.
Dengan
kriteria
pasien
mengalami
parese
ekstremitas,
gangguan gerak, kekuatan otot kurang
3. Analisa data menggunakan Chi
square dengan tingkat kepercayaan
95%.

Hasil Penelitian
Pelaksanaan pemberian posisi
miring 30 derajat tersebut, pasien
dilakukan perubahan posisi secara
berkala setiap 2 jam. Yaitu mulai jam
08,00 10.00 wib pasien di miringkan
kearah kanan, kemudian jam 10.0012.00 wib pasien di terlentangkan, dan
jam 12.00-14.00 wib pasien di
miringkan kearah kiri, dan seterusnya
seperti itu . Observasi dilakukan setiap
hari
yaitu
dengan
melakukan
pemeriksaan dan penilaian terhadap
terjadinya luka tekan yang dialami pada
pasien tersebut. Observasi pada setiap
pasien dilakukan sampai 6 hari
perawatan. Daerah yang diobservasi
adalah terutama daerah tulang-tulang
yang menonjol yaitu daerah belakang
kepala, sacrum, iskium, koksik, tumit
dan trokanter. Kondisi yang diobservasi
mencakup perabaan kulit yang hangat,
adanya perubahan konsistensi jaringan
lebih keras atau lunak, adanya
perubahan sensasi dan adanya kulit
yang berwarna merah (Braden, 2001).
Dari 20 pasien yang di observasi
tersebut didapatkan hasil sebagai
berikut : 1) Jenis kelamin laki-laki 15
orang dan 5 perempuan, 2). Usia antara
45 tahun sampai 75 tahun 3).
Hemiparese kanan 12 orang dan
hemiparese kiri 8 orang. 4). Kekuatan
otot yang lemah antara 0-3.
Sebelum dilakukan pemberian
posisi lateral 30 derajat, sebelumnya
pasien di lakukan observasi pada
daerah-daerah yang beresiko terkena
luka dekubitus, dengan menggunakan
skala braden, dari observasi ini
didapatkan hasil bahwa 20 pasien yang
diobservasi beresiko mengalami luka
tekan dengan rentang nilai skala 8- 16.
Pada skala braden bila didapatkan
rentang skor nilai > 18, maka pasien
tidak beresiko mengalami luka tekan,
tetapi bila skor nilai 18, maka pasien

29

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

mengalami resiko terjadi luka tekan.


Kemudian observasi ini dilakukan
setiap hari (brown, 2004).
Semua pasien tersebut diberikan
posisi lateral 30 derajat yang disanggah
dengan bantal, kemudian dilakukan
perubahan posisi dari miring kanan,
terlentang dan miring kiri setiap 2 jam.
Kemudian dilakukan observasi setiap
hari. Hasil yang didapatkan pada hari ke
1, didapatkan bahwa 20 pasien beresiko
terjadi luka tekan dengan skala braden
skor nilai yang didapatkan adalah 17
orang skor 10, 2 orang skor 12 dan 1
orang skor 15. Pada observasi hari ke 5
didapatkan data bahwa 15 pasien skala
braden skor 18, 3 orang skor 16 dan 2
orang skor 17.
Observasi hari ke 10 didapatkan
data bahwa 19 orang nilai skala braden
dengan skor >18, 1 orang skor 15 dan
mengalami luka tekan grade 1, yaitu di
daerah sakrum, yang tampak terjadi
kemerahan dan luka grade 1, ditandai
dengan kemerahan, terdapat intak dan
hangat pada lokasi sakrum. Hal tersebut
terjadi pada pasien ini karena kurangnya
upaya melakukan kebersihan toileting
pada daerah punggung, hal ini terbukti
pada saat dilakukan observasi pada pagi
hari selalu didapatkan adanya rembesan
air kencing di pempers dan banyaknya
keringat yang ada ditubuh pasien,
sehingga memudahkan terjadinya iritasi
pada pasien tersebut yang kemudian
terjadi luka tekan.
Pembahasan
Evidence based nursing practice
(EBNP) dapat membantu seorang
perawat dalam mengimplementasikan
hasil penelitian sekaligus melakukan
penelitian lanjutan atau penelitian ulang
yang didasarkan pada keilmuan
penelitian keperawatan yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
EBNP merupakan salah satu metode

30

pembuktian berdasarkan kaidah ilmiah


penelitian yang dirangkai menjadi satu
dan kemudian diaplikasikan dalam
tatanan nyata. EBNP yang telah
dilakukan adalah memberikan posisi
miring 30 derajat untuk mencegah
terjadinya luka tekan pada psien yang
mengalami hemiparese.
Berdasarkan data dari 20 pasien
yang dilakukan posisi miring 30 derajat,
19 orang bebas dari resiko terjadinya
luka tekan, sedangkan 1 orang luka
tekan Gr I. Dari data tersebut masih
terdapat 1 orang yang mengalami
kejadian luka tekan yang terdapat di
daerah sakrum yang ditandai dengan
kulit tampak intak, tampak kemerahan
dan hangat dnegan perabaan. Penyebab
dari hal ini karena faktor toileting yang
kurang bagus yang ditandai selalu
terdapat rembesan pada pampers saat
observasi pagi hari. Hal inilah yang
memicu terjadinya iritasi pada daerah
lokal tersebut sehingga menimbulkan
kerusakan pada daerah tersebut. Salah
satu aspek penting dalam pelayananan
keperawatan adalah menjaga dan
mempertahankan kulit pasien agar
senantiasa terjaga dan utuh. Intervensi
dalam perawatan kulit pasien akan
menjadi salah satu indikator dalam
kualitas pelayanan keperawatan yang
diberikan. Kerusakan integritas kulit
dapat disebabkan karena trauma pada
kulit, tertekannya kulit dalam waktu
yang lama, sehingga menyebabkan lesi
primer yang dapat memperburuk
dengan cepat menjadi lesi sekunder,
seperti pada luka tekan atau dekubitus.
Akibat dari kerusakan integritas kulit
tersebut, akan membutuhkan asuhan
keperawatan yang lebih luas (Potter dan
Perry, 2005).
Defflor, T Vanderwee (2006)
mengatakan
bahwa
luka
tekan
merupakan suatu jaringan nekrosis pada
area yang terlokalisasi dan cenderung
untuk terus menekan jika jaringan lunak

Pengaruh Posisi Miring Untuk Mengurangi Luka Tekan Pada Pasien Dengan Gangguan Persyarafan
(Nuh Huda)

tertekan dalam jangka waktu yang lama.


Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa luka tekan adalah lesi iskemik
kulit dan jaringan lunak dibawahnya
yang terlokalisasi dan cenderung untuk
meluas jika diberi tekanan yang dapat
merusak aliran darah dan limfe dalam
jangka waktu yang lama, tekanan yang
diberikan akan mengganggu suplai
darah kedaerah yang tertekan sehingga
menimbulkan kematian jaringan. Faktor
lain yang dapat mengakibatkan luka
tekan adalah hemiparese. Kerusakan
saraf yang dapat menyebabkan parese
mungkin di dalam otak atau batang otak
(pusat sistem saraf) atau mungkin di
luar batang otak (sistem saraf perifer).
Lebih sering penyebab kerusakan pada
otak adalah : stroke, tumor, truma
(disebabkan jatuh atau pukulan),
multiple sclerosis (penyakit yang
merusak bungkus pelindung yang
menutupi sel saraf), serebral palsy
(keadaan yang disebabkan injuri pada
otak yang terjadi sesaat setelah lahir),
gangguan metabolik (gangguan dalam
penghambatan kemampuan tubuh untuk
mempertahankannya).
Berdasarkan evidenced based
yang telah dikemukakan sebelumnya,
terbukti bahwa luka tekan dapat
dicegah. Salah satu rekomendasi yang
ditawarkan yakni pengaturan posisi.
Saat ini telah dikembangkan bentuk
pengaturan posisi yang dikenal sebagai
posisi miring 30 derajat. (Bryant, 2000
dalam Young, 2004) menjelaskan
tentang bagaimana mengatur posisi
miring 30 derajat pada pasien guna
mencegah terjadinya luka tekan.
Prosedur yang dilakukan, pasien
ditempatkan persis ditengah tempat
tidur, dengan menggunakan bantal
untuk menyanggah kepala dan leher,
selanjutnya tempatkan satu bantal pada
sudut antara bokong dan matras, dengan
cara miringkan panggul setinggi 30
derajat. Bantal yang berikutnya

ditempatkan memanjang diantara kedua


kaki.
Maklebust dalam rule of 30
dimana posisi kepala tempat tidur
ditinggikan sampai dengan 30 derajat
dan posisi badan pasien dimiringkan
sebesar 30 derajat dapat disanggah
dengan bantal. Posisi ini terbukti
menjaga pasien terbebas dari penekanan
pada area trokanter dan sakral (NPUAP,
1996). Aplikasi dari posisi miring 30
derajat ini cukup dapat dilakukan oleh
perawat, mengingat tidak diperlukan
energi yang besar untuk memiringkan
pasien. Pemberian posisi yang benar
sangatlah penting dengan sasaran utama
pemeliharaan integritas kulit yang dapat
mengurangi
tekanan,
membantu
kesejajaran tubuh yang baik, dan
mencegah
neuropati
kompresif
(Smeltzer & Bare, 2002). Pengaturan
posisi bukan semata-mata merubah
posisi pasien berbeda dari posisi
sebelumnya, melainkan membutuhkan
teknik-teknik tertentu agar tidak
menimbulkan masalah luka tekan yang
baru.
EBN yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa pemberian posisi
miring 30 derajat pada pasien yang
mengalami kelemahan anggota gerak
dapat mencegah resiko terjadinya luka
tekan
Penelitian
dilakukan
oleh
Tarihoran E, (2010). Yang berjudul
pengaruh posisi miring 30 derajat
terhadap kejadian luka tekan grade I
pada pasien stroke di RS Siloam
Jakarta.
Dengan
metode
quasy
eskperimen, pada 33 responden yang
terbagi dalam 2 group yaitu kelompok
control 16 responden dan kelompok
intervensi 17 responden. Gambaran
karakteristik
dari
33
responden
penelitian dimana rata-rata usia
responden adalah 65 tahun, dengan usia
paling muda adalah 45 dan yang tertua
85 tahun. Intervensi yang dilakukan

31

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

adalah dengan posisi miring kearah


yang mengalami hemiplegic adalah 1
jam kemudian terlentang 2 jam dan
miring kearah yang sehat 2 jam.
Didapatkan
hasil bahwa
pemberian posisi miring 30 derajat
untuk mencegah kejadian luka tekan,
ditemukan bahwa terdapat 6 (37.5%)
responden pada kelompok kontrol
mengalami luka tekan. Sedangkan pada
kelompok intervensi terdapat 1 (5.9%)
responden terjadi luka tekan. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p= 0.039,
disimpulkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara pengaturan posisi
dengan kejadian luka tekan. Diperoleh
pula nilai OR= 9.600, artinya responden
yang tidak diberi perlakuan posisi
miring 30 derajat mempunyai peluang
9.6 kali untuk terjadi luka tekan
dibanding dengan responden yang
diberi perlakuan posisi miring 30
derajat. Pada kelompok intervensi
ditemukan satu orang responden yang
mengalami luka tekan grade I (Non
Blanchable Erythema) pada area
sakrum di daerah kuadran kanan atas.
Sedangkan pada kelompok control ada
6 responden yang mengalami luka tekan
grade I (Non Blanchable Erythema)
masing-masing
dengan
lokasinya:
trokanter kanan, trokanter kiri + siku
kiri, Trokanter kiri + tumit kiri, tumit
kiri, trokanter kanan + siku kanan,
sakrum kuadran kanan atas.
Penelitian yang dilakukan oleh
Young,T (2004) tentang perbandingan
posisi miring 30 derajat dengan miring
90 derajat pada 46 pasien. Intervensi
yang
dilakukan
adalah
dengan
memberikan posisi miring pada 23
pasien dengan posisi miring 30 derajat
dan 23 pasien lainnya dengan posisi
miring 90 derajat. Yang dilakukan
untuk mencegah luka tekan Gr I (non
blancakble Erythema). Hasil dari
penelitian ini adalah bahwa posisi
miring 30 derajat lebih efektif

32

mencegah terjadinya luka tekan Gr I


pada
pasien
yang
mengalami
imobilisasi.
Penelitian lain dilakukan oleh
Vanderwee
(2006)
tentang
Effectiveness of turning with unequal
time intervals on the incidence of
pressure ulcer lesions K. Vanderwee
(2006). Dengan menggunakan studi
eksperimen pada 235 responden yang
terbagi dalam 2 group, yaitu 122
responden
sebagai
kelompok
eksperimen dan 113 responden sebagai
kelompok control, penelitian ini
dilakukan pada tahun 2003 2005.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
16,4 % pada kelompok eksperimen
mengalami luka tekan (gr 2-4).
Sedangkan 21,2 % terjadi luka tekan
pada kelompok control. Juga disebutkan
bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan secara statistic antara reposisi
2 jam miring kanan, 4 jam terlentang
dan 2 jam miring kiri dengan perubahan
posisi secara bergantian setiap 4 jam.
Simpulan
Luka tekan menjadi hal yang
harus diwaspadai terutama pada pasien
yang mengalami kelemahan gerak.
Pemberian posisi miring/lateral 30
derajat yang dilakukan secara continue
dan benar akan memberikan dampak
yang bagus terhadap pasien yang
mengalami kelemahan anggota gerak
yaitu mencegah dan mengurangi adanya
luka tekan.

Saran
Diharapkan perawat seharusnya
mampu
memberikan
asuhan
keperawatan
yang
professional
diantaranya
adalah
melakukan
pencegahan luka tekan dengan tekhnik
posisi lateral/miring 30 derajat, dan

Pengaruh Posisi Miring Untuk Mengurangi Luka Tekan Pada Pasien Dengan Gangguan Persyarafan
(Nuh Huda)

dilakukan perubahan posisi setiap 1-2


jam pada posisi yang sehat dan 15-30
menit pada posisi yang mengalami
kelemahan/parese.

DAFTAR PUSTAKA
Young. (2004). The 30 tilt position vs
the 90 lateral and supine positions
in reducing the incidence of non
blanching erythema in a hospital
inpatient population. Journal of
tissue viability. Volume: 14
Number:
3
Retrieved
from
http://www. ebscohost.com/uph.edu
on February 2, 2010
Brown. (2004). The Braden scale: A
review of the research evidence.
Retrievedfromhttp://journals.www.
com/orthopaedicnursing/Abstract/2
004 on March 1, 2010.
Bryant, R. (2000). Acute and chronic
wound: Nursing management.
Mosby: St. Louis.
Braden, B. (2001). Protocols by levels
of the risks: Braden scale.
Retrieved
from
http://
www.bradenscale.com/ulcers
on
March 13, 2010.
Defloor, T., Vanderwee, K., Wilborn,
D., Dassen, T. (2006). Pressure

ulcer prevention and repositioning.


Retrieved from http:// www.ahrq
.gov/qual/nursehdbk/pdf. March 5,
2010.
Sari, Y. (2007). Luka Tekan: Penyebab
dan Pencegahan. Retrieved from
www.ppni.com February 4, 2010
Smeltzer Bare. (2005). Medical Surgical
Nursing. Philadelpia:Sounder.
Tarihoran, E. (2010). pengaruh posisi
miring 30 derajat terhadap kejadian
luka tekan grade I pada pasien stroke
di RS Siloam Jakarta. thesis: FKUI
(tidak dipublikasikan).

NPUAP (National Pressure Ulcer


Advisory Panel. (1996). Quick
reference guide. Retrieved from
www.npuap.org/guidelines
on
February 2, 2010.
NPUAP-EPUAP (National Pressure
Ulcer Advisory Panel-European
Pressure Ulcer Advisory Panel).
(2009). Quick reference Guide
Washington DC.
Vanderwee, K., Grypdonck., Bacquer,
Deefloor, T. (2006). Effectiveness
of turning with unequal time
intervals on the incidence of
pressure ulcer lesions. Journal of
advanced nursing Volume: 57 Page
59-68.
Retrieved
from
http://www.ebscohost.com/uph.edu
on February 5, 2010.

Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKES Hang Tuah Surabaya

33

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI TERAPEUTIK DAN


KEPUASAN KELUARGA YANG ANGGOTANYA
DIRAWAT DI PAVILIUN VI B

Dya Sustrami1

Abstract:Progressing the science and medical technology and changing the concept
of individually patient nursing. The perfect nursing caused the communication role
become more important in the giving nursing. The purpose of therapeutic
communication is led to expand the client, such as increasing the function and skill
to satisfy the need and to achieve the realistic personal objective. The aim of the
research is to identify correlation between therapeutic communication and family
satisfaction that one of their families was hospitalized at VI B pavilion Dr.Ramelan
Navy Hospital Surabaya.
This research is using the correlation research metod and design is cross sectional.
The amount of sample is 9 respondents. Technique sampling is using non probability
sampling i.e. purposive sampling. Data gathering is using questonaire and
observation sheet. Data collection, then, was analyzed by spearman rho test.
The result of this research showed that one of their families is having familys
enough and very satisfaction of 8 (89%) and 1 (11%) respondents, respectively.
Spearman Rho test result was obtained that significant value = 0.049 and
correlation coefficient = -0.250 so that H1 was accepted meaning that there is
correlation between therapeutic communication and family satisfaction that one of
their family was hospitalized at VIB Pavilion Dr. Ramelan Navy Hospital Surabaya.
Expected from the result is obtained increasing to apply the therapeutic
communication by nurse at VIB Pavilion in order to increase the family satisfaction.
Keyword : Therapeutic Communication, Famili Satisfaction

Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran serta perubahan
konsep keperawatan dari perawatan
orang sakit secara individual, kepada
perawatan paripurna menyebabkan
peranan komunikasi menjadi lebih
penting dalam pemberian asuhan
keperawatan. Keperawatan pada intinya
adalah sebuah proses interpersonal,
maka perawat yang kompeten harus
menjadi seorang komunikator yang
efektif dan setiap perawat mempunyai
tanggung jawab untukmemperhatikan
perkembangannya sendiri dibidang ini

(Peplau, 1998 dalam Ellis, 2000 :9).


Adapun tujuan komunikasi terapeutik
diarahkan pada pertumbuhan klien,
diantaranya peningkatan fungsi dan
kemampuan
untuk
memuaskan
kebutuhan serta mencapai tujuan
personil yang realistik (PPNI,1999 :11)
Komunikasi yang tidak efektif juga bisa
mengakibatkan tidak puasnya klien dan
keluarga
terhadap
pelayanan
keperawatan termasuk komunikasi
(Suryani, 2005 :80) Seperti yang
disampaikan Sani Sanusi pada majalah
perumahsakitan No. 34 tahun 1995
dalam buletin PPNI bahwa pada

Hubungan Antara Komunikasi Terapeutik Dan Kepuasan Keluarga Yang Anggotanya Di Rawat Di Pav
VI B
(Dya Sustrami)

umumnya hampir sebagian besar


perawat dan rumah sakit di Indonesia
masih kurang komunikasi
pada
pasiennya, dikoran sering kita membaca
banyaknya
keluhan
masyarakat
terhadap pelayanan dirumah sakit.
Setelah ditelusuri salah satu penyebab
yang paling banyak mengakibatkan
kekecewaan masyarakat adalah akibat
kesalahan komunikasi antara perawat
dengan pasiennya dan keluarganya.
Menurut Indirawaty di RSU Haji
Sukolilo Surabaya mengatakan bahwa
ketidakpuasan
klien
terhadap
komunikasi perawat 54,2% tidak puas,
16,7% cukup puas dan 29,2% sangat
puas. Hasil penelitian Saelan, 1998
menyatakan
bahwa
dalam
hal
komunikasi dengan pasien, pendekatan
terapeutik dari semua perawat yang
diteliti sebanyak 38 orang mendapat
materi kurang. Data dilapangan dari 4
pengunjung yang keluarganya dirawat
di Pav VI B menyatakan puas 2 orang,
cukup puas 1 orang dan kurang puas 1
orang.
Observasi
awal
tentang
komunikasi terapeutik yang diterapkan
oleh perawat di ruangan Pav VI B
menunjukkan bahwa hampir semua
perawat
menerapkan
komunikasi
terapeutik secara baik.
Menghadapi pelanggan yang
semakin kritis memang kita dituntut
untuk menyusun strategi yang lebih
canggih. Jika kita amati secara lebih
cermat, kepuasan pelanggan banyak
ditentukan oleh kualitas performa
pelayanan dilapangan. Bila pelayanan
tidak sama atau tidak sesuai dengan
harapan pelanggan, maka dimata
pelanggan pelayanan yang diberikan
dinilai jelek (Yoeti, 1999 :31) Sekalipun
perawat sudah memahami tentang cara
berkomunikasi yang efektif dengan
klien, pada kenyataannya terkadang
perawat tidak mampu melakukannya
dengan baik. Hal ini mungkin
disebabkan adanya hambatan, baik yang

datang dari klien maupun dari diri


perawat (Suryani, 2005: 86) Suatu studi
yang pernah dilakukan oleh Technical
Assistance Research Programmer untuk
The White House Office of Consumer
Affairs di Amerika Serikat mengatakan
jika pelanggan tidak puas akan
berakibat : 90% dari pelanggan yang
tidak puas itu, tidak datang kembali,
setiap orang yang tidak terpuaskan
keinginannya,
akan
menceritakan,
paling sedikit kepada 9 orang teman
atau kerabatnya, 13% dari pelanggan
yang kecewa akan menceritakan
kejadian tersebut kepada lebih dari 20
orang, biaya untuk mencari pelanggan
baru lima kali lipat, dibandingkan kalau
kita memelihara hubungan dengan
pelanggan lama, setiap pelanggan yang
merasa puas terhadap pelayanan yang
diberikan,
paling
sedikit
akan
menceritakan kepada lima orang lain,
dan diantaranya langsung menjadi
pelanggan, peluang terbaik untuk
meningkatkannya adalah dengan jalan
membina hubungan baik dengan
pelanggan (Yoeti, 1999 :54).
Penyedia
jasa
bertanggung
jawab
untuk
meminimalkan
miskomunikasi yang mungkin terjadi
dan menghindarinya dengan cara
merancang jasa yang mudah dipahami
dengan jelas. Dalam hal ini penyedia
jasa harus mengambil inisiatif agar ia
dapat memahami dengan jelas instruksi
dari keluarga klien dan keluarga klien
mengerti benar apa yang akan
diberikan. Untuk mengurangi kesalah
pahaman antara perawat dengan klien
dan keluarganya, yang disebabkan oleh
kesalahan
komunikasi
maka,
dibutuhkan
profesionalisasi
keperawatan yang memerlukan upaya
pembinaan sikap dan kemampuan
professional
perawat
melalui
pendidikan formal maupun tidak formal
yaitu dengan melaksanakan pelatihan

35

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

komunikasi terapeutik (PPNI, 1999


:21).
Berdasarkan uraian diatas,
penulis ingin mengetahui hubungan
antara komunikasi terapeutik dan
kepuasan keluarga yang anggotanya
dirawat di pav VI B Rumkital Dr
Ramelan Surabaya.
Bahan Dan Metode Penelitian
Penelitian ini disajikan dalam
desain korelasional secara cross
sectional,
dimana
penelitian
menekankan pada waktu pengukuran
atau observasi data variabel independen
dan dependen hanya satu kali, pada satu
saat (Nursalam, 2003 :85). Sampel
pada penelitian ini adalah semua
keluarga yang salah satu anggota
keluarganya dirawat dipav VI B yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 9
orang. Tehnik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Non Probability
sampling dengan purposive sampling
,sampel diantara populasi dipilih sesuai
dengan yang dikehendaki peneliti
(tujuan atau masalah dalam penelitian),
sehingga
sampel tersebut
dapat
mewakili karakteristik populasi yang
telah dikenal sebelumnya (Nursalam,
2003: 98). Dimana setelah mendapat
ijin dari institusi pendidikan dan kepala
ruangan
peneliti
mengadakan
pendekatan kepada keluarga yang salah
satu anggota keluarganya dirawat dipav
VI B yang bersedia menjadi responden
dengan cara memberikan informed
consent
kemudian
membagikan
kuisioner tentang tingkat kepuasan
keluarga yang akan diisi oleh responden
yang telah memenuhi syarat inklusi
dalam penelitian ini adalah keluarga
yang salah satu anggotanya dirawat
dipav VI B dalam mengisi lembar
kuisioner perlu didampingi untuk
menjaga apabila ada pertanyaan
kepuasan keluarga yang kurang

36

dipahami sehingga dapat ditanyakan


kepada peneliti. Peneliti melakukan
observasi komunikasi terapeutik yang
diterapkan perawat selama kurang lebih
4
hari
dan
hasilnya
akan
dikonfirmasikan
dalam
bentuk
prosentase dan
narasi Data akan
dianalisa dan diuji menggunakan uji
korelasi Spearman Rho dengan derajat
kemaknaan <0,05 atau 5%. Artinya
apabila <0,05, H1 diterima yang
berarti ada hubungan yang bermakna
antara komunikasi terapeutik dan
kepuasan keluarga yang anggotanya
dirawat dipav VI B. Lokasi penelitian
ini di pav VI B umkital Dr. Ramelan
Surabaya.
Hasil Penelitian
Data Umum Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian
a. Karakteristik Responden Berdasarkan
Umur

Gambar 1 Karakteristik
berdasarkan umur

responden

Berdasarkan gambar di atas


didapatkan data bahwa responden yang
berumur 20-30 tahun sebanyak 5
responden (55%), umur 31-40 tahun ada
3 responden (33%), umur 41-50 tahun
ada 1 orang responden (12 %), dan tak
ada responden yang berumur >50
tahun.

Hubungan Antara Komunikasi Terapeutik Dan Kepuasan Keluarga Yang Anggotanya Di Rawat Di Pav
VI B
(Dya Sustrami)

a. Karakteristik
Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambar 2 Karakteristik responden berdasarkan


jenis kelamin

Berdasarkan
gambar
di
atas
menunjukkan bahwa responden yang
berjenis kelamin perempuan sebanyak 7
orang (78%) dan kelamin laki-laki
sebanyak 2 orang (22%).
c. Karakteristik Responden Berdasarkan
Pendidikan

d. Karakteristik Responden Berdasarkan


Pekerjaan

Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan


pekerjaan

Berdasarkan gambar di atas


didapatkan dari 9 responden yang
bekerja sebagai swasta sebanyak 4
responden (44%), ibu rumah tangga
sebanyak 3 responden sebanyak (34%),
PNS sebanyak 2 responden (22%),
buruh tidak ada responden (0%), dan
purnawirawan tidak ada responden
(0%).
e. Karakteristik Responden Berdasarkan
Hubungan Keluarga

Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan


pendidikan

Gambar di atas menunjukkan


responden
yang
berpendidikan
pendidikan SLTA sebanyak 6 orang
(67%), Akademi sebanyak 2 orang
responden (22 %), responden yang
pendidikan SMP sebanyak 1 orang
responden (11%) dan berpendidikan SD
tidak ada responden (0%).

Gambar 5 Karakteristik responden berdasarkan


hubungan keluarga

Gambar di atas menunjukkan


bahwa Hubungan dengan keluarga
sebagai suami atau istri sebanyak 5
responden (56%), Bapak atau Ibu
sebanyak 2 responden (22%), kakek
atau nenek 1 responden (11%), paman
atau bibi sebanyak 1 responden (11%)
dan dan tidak ada hubungan tidak ada
(0%).

37

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

c.
5.1.2 Data Khusus Hasil Penelitian
a. Komunikasi Terapeutik

Gambar 6 Komunikasi terapeutik

Berdasarkan diagram di atas dapat


diketahui bahwa penerapan komunikasi
terapeutik oleh perawat didapatkan
dalam kategori baik sebanyak 6
responden (66%), cukup sebanyak 3
responden (34%) dan kurang tidak ada 0
(0%).
b. Kepuasan Keluarga

Gambar 7 Kepuasan keluarga

Berdasarkan diagram di atas dapat


diketahui bahwa kepuasan keluarga
dalam kategori cukup puas sebanyak 8
responden (89%), sangat puas sebanyak
1 responden (11%) dan tidak puas,
kurang puas, puas tidak ada 0 (0%).

Hubungan Antara Komunikasi


Terapeutik dan Kepuasan keluarga

Tabel 1 Hubungan antara komunikasi terapeutik


dan kepuasan keluarga

Berdasarkan tabel di atas,


berdasarkan
distribusi
frekuensi
hubungan komunikasi terapeutik dan
kepuasan keluarga yang salah satu
anggotanya dirawat dipav VI B
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya terlihat
bahwa dari 9 responden yang memiliki
kepuasan cukup dengan komunikasi
terapeutik sebanyak 6 responden (67%)
dan
komunikasi
terapeutik
dan
kepuasan keluarga baik sebanyak 3
responden (33%). Setelah dilakukan uji
statistik dengan uji korelasi Spearman
Rho didapatkan nilai signifikan =
0,049 (lebih kecil dari 0,05), dengan
koefisien korelasi -0,250 yang berarti
Ho ditolak. Artinya ada hubungan
antara komunikasi terapeutik dan
kepuasan keluarga yang salah satu
anggotanya dirawat dipav VI B.
Pembahasan
1.

Komunikasi Terapeutik

Berdasarkan gambar 6 di atas


dapat diketahui bahwa komunikasi
terapeutik yang diterapkan oleh perawat
di Pav VI B sebagian besar dalam
kategori baik sebanyak 6 responden
(66%).
Melihat hal tersebut peneliti
menganggap bahwa komunikasi yang
diterapkan oleh perawat Pav VI B
dalam kategori baik disebabkan

38

Hubungan Antara Komunikasi Terapeutik Dan Kepuasan Keluarga Yang Anggotanya Di Rawat Di Pav
VI B
(Dya Sustrami)

sebagian besar perawat Pav VI B


berpendidikan Diploma III, karena
semakin tinggi pendidikan seseorang,
makin mudah menerima informasi dan
makin bagus pengetahuan yang dimiliki
sehingga
penggunaan
komunikasi
terapeutik secara efektif akan dapat
dilakukan dan sebagian besar perawat
Pav VI B bekerja lebih dari 5 tahun,
karena makin lama seseorang, makin
banyak pengalaman yang dimilikinya
sehingga akan semakin baik cara
berkomunikasinya, sikap juga akan
mempengaruhi proses
komunikasi
berjalan efektif atau tidak. Sikap yang
kurang baik akan menyebabkan
pendengar kurang percaya terhadap
komunikator dan kondisi psikologis
mengingat dalam komunikasi terapeutik
dibutuhkan kondisi psikologi yang baik
untuk menjadikan komunikasi menjadi
terapeutik.
Faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi komunikasi terapeutik
terdiri dari: faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal meliputi
komunikator. Dalam hal ini meliputi
pendidikan, lama bekerja, Pengetahuan,
merupakan proses belajar dengan
menggunakan panca indera yang
dilakukan seseorang terhadap obyek
tertentu untuk dapat menghasilkan
pengetahuan dan ketrampilan. Sikap,
dan kondisi psikologis. Sedang faktor
eksternal meliputi : sistem sosial budaya
pada masyarakat dapat mempengaruhi
cara dan sikap dalam komunikasi.
Saluran, suara, sikap tubuh dan
lingkungan (Kariyoso, 1994).

Ramelan Surabaya cukup puas terhadap


komunikasi terapeutik yang diterapkan
oleh perawat Pav VI B. Disamping itu
juga didukung oleh gambar 5.3 bahwa
dari 9 responden didapatkan sebagian
besar pendidikan responden adalah
SMA sebanyak 6 responden (67%).
Melihat data diatas peneliti
menganggap pendidikan mempengaruhi
terhadap penilaian kepuasan seseorang,
karena semakin tinggi pendidikan
seseorang, makin mudah seseorang
menerima informasi, disisi lain puas
atau tidakpuas tergantung persepsi
tentang kepuasan itu sendiri karena
persepsi seseorang tentang kepuasan
bisa positif atau negatif berdasarkan
pengalamannya.
Menurut Wiyono D (1999)
menyatakan bahwa salah satu penilaian
terhadap pelayanan adalah penggunaan
pengalaman pelanggan yaitu kepuasan
atau ketidakpuasan terhadap produk
atau jasa pelayanan. Kepuasan atau
ketidakpuasan adalah suatu keputusan
penilaian terhadap proses. Penilaian
pelanggan bisa positif atau negatif
berdasarkan pengalamannya. Menurut
Wiyono, D (1999) kepuasan klien
dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain
yang
bersangkutan
dengan
pendekatan dan perilaku petugas
terutama, apa saja yang dapat
diharapkan misalnya biaya, prosedur
perjanjian, waktu tunggu, fasilitas yang
tersedia, outcome terapi dan perawatan
yang diterima.
3. Hubungan Komunikasi terapeutik
dan Kepuasan keluarga

2. Kepuasan keluarga
Berdasarkan gambar 7 di atas
dapat diketahui bahwa kepuasan
keluarga dalam kategori cukup puas
sebanyak 8 responden (89%), Dari
angka ini menunjukkan bahwa sebagian
besar responden di Ruang Pav VI B Dr.

Berdasarkan tabel 1 didapatkan


hasil penerapan komunikasi terapeutik
oleh perawat didapatkan dalam kategori
baik sebanyak 6 responden (66%) dan
berdasarkan gambar 5.7 didapatkan dari
9 responden diketahui bahwa kepuasan
keluarga dalam kategori cukup puas
39

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

sebanyak 8 responden (80%). Sehingga


dari hasil analisa data dengan uji
statistik korelasi Speraman Rho dengan
menggunakan SPSS 12,0 ps diperoleh
nilai signifikasi = 0,049 yang kurang
dari = 0,05 maka Ho ditolak, H1
diterima. Ini berarti ada hubungan
antara komunikasi terapeutik dan
kepuasan keluarga yang adekuat. Hal ini
membuktikan bahwa semakin baik
komunikasi maka semakin puas
keluarga.
Sebaliknya
penerapan
komunikasi terapeutik yang kurang
maka kepuasan keluarga juga akan
berkurang.
Hasil penelitian ini dapat
dijelaskan
komunikasi
terapeutik
merupakan hal yang sangat penting
dalam menunjang tingkat kepuasan
keluarga. Perawat dengan penerapan
komunikasi terapeutik yang baik dan
terlebih lagi jika didukung oleh
pendidikan
yang
lebih
tinggi,
pengetahuan, sikap dan lama seseorang
bekerja, semakin banyak pengalaman
yang dimilikinya sehingga akan
semakin baik cara berkomunikasi.
Sehingga
hasil penelitian dapat
disimpulkan
bahwa
komunikasi
terapeutik
berhubungan
dengan
kepuasan keluarga.
Komunikasi yang tidak efektif
juga bisa mengakibatkan tidak puasnya
klien dan keluarga terhadap pelayanan
keperawatan termasuk komunikasi
(Suryani, 2005 : 80). Adanya
komunikasi terapeutik yang baik, maka
komunikasi tersebut akan menjadi
faktor pemicu untuk terciptanya
kepuasan pada keluarga yang salah satu
anggotanya dirawat di Pav VI B
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

40

Simpulan
Penerapan Komunikasi terapeutik
oleh perawat di Pav VI B Rumkital Dr.
Ramelan Surabaya sebagian besar baik.
Kepuasan keluarga di Pav VI B
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
didapatkan sebagian besar cukup puas.
Berdasarkan hasil uji Sperman Rho
didapatkan ada hubungan antara
komunikasi terapeutik dan kepuasan
keluarga di Pav VI B Rumkital Dr.
Ramelan Surabaya.
Saran
Bagi Institusi (Rumah Sakit)
Perlu adanya pelatihan-pelatihan
untuk mendapatkan pengetahuan, baik
melalui pelatihan yang di dalam atau di
luar rumah sakit dan juga perlu
dilakukan
penilaian
terhadap
performance perawat dalam komunikasi
terapeutik klien dan keluarga, baik atau
tidak.
Bagi Keluarga
Mampu menerima keterangan dari
perawat dalam hal kepuasan pelayanan
yang diberikan perawat.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Perlu
diadakan
penelitian
lanjutan tentang komunikasi terapeutik
dan kepuasan keluarga dan menambah
responden agar kevalidan dari kuesioner
dapat diakui.

Hubungan Antara Komunikasi Terapeutik Dan Kepuasan Keluarga Yang Anggotanya Di Rawat Di Pav
VI B
(Dya Sustrami)

DAFTAR PUSTAKA
Alimul,
Aziz.
(2003).
Riset
Keperawatan
Dan
Teknik
Penulisan Ilmuan. Jakarta :
Salemba Medika.
Alma, Buchari. (2002). Manajemen
Pemasaran dan Pemasaran
Jasa, Bandung : CV alfabeta.
Arikunto, Suharsini. (1998). Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Proses. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
PPNI, Buletin. (1999). Pelatihan
Komunikasi Terapeutik Dalam
Asuhan Keperawatan Dengan
Kepuasan Klien, Jawa Timur
Danim, Sudarwan. (2003). Riset
Keperawatan:
sejarah dan
metodologi, Jakarta : EGC
Effendy, Nasrul. (1998). Dasar Dasar
Keperawatan
Kesehatan
Masyarakat, Jakarta : EGC
Ellis, Gates, Ken.Wothy. (2000).
Komunikasi
Interpersonal
Dalam Keperawatan, Jakarta :
EGC
Hamid, Achir yani. S. (1999). Buku
Ajar Riset Keperawatan, Jakarta
: Widya Medika
Kotler, Philip. (2004). Manajemen
Pemasaran, Jakarta : PT Indeks
Keliat, Budi Ana, (1996). Hubungan
Terapeutik Perawat Klien,
Jakarta : EGC
Notoatmojo , Soekidjo , (2002).
Metodologi
Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta
,
(1997).
Ilmu
Kesehatan
Masyarakat. Jakarta :
Rineka Cipta
Nurjanah, Intan Sari (2001). Hubungan
Terapeutik Perawat dan Klien,
Jakarta : EGC
Nursalam.
(2003).
Konsep
dan
Penerapan Metodologi Riset

Keperawatan,. Jakarta :Salemba


Medika.
Nursalam dan Siti Pariani. (2003).
Metodologi
Penelitian
Kesehatan. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Purwanto, H. (1994). Komunikasi Untuk
Perawat. Jakarta : EGC
Sugiyono. (2002). Metode Penelitian
Administrasi. Bandung : Alfa
Beta.
Sugiyono. (2002). Stastistik Untuk
Penelitian. Bandung : Alfa Beta.
Suryani. (2005). Komunikasi Terapeutik
Teori Dan Praktek, Jakarta :
EGC
Tjiptono, Fandy. (2005). Manajemen
Jasa, Yogyakarta : Andi
Wijono, Djoko. (1997). Manajemen
Kepemimpinan Dan Organisasi
Kesehatan, Surabaya : Airlangga
University Press.
Wijono, Djoko. (1997). Manajemen
mutu pelayanan kesehatan teori,
strategi dan aplikasi, Surabaya :
Airlangga University Press.

Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKES Hang Tuah Surabaya

41

PENGARUH KURMA DEGLET NOUR TERHADAP PENURUNAN


TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI PRIMER
Nia Ayu Suridaty1

Abstract: Deglet Nour dates supposed to be used for controlling blood pressure in
hypertension patients. The aim of this study is knowing the effect of Deglet Nour
dates on reducing blood pressure in hypertension patients. Design of this study used
a quasi-experimental. Samples were 36 responden who divided into intervention and
control group where each group had 18 respondens. Intervention group received 147
gr or 15 Deglet Nour dates and nifedipine 1 x 10 mg, meanwhile control group
received nifedipine 1 x 10 mg without Deglet Nour dates. The result showed that
there were decrease of systolic pressure 18,44 mg (p=0,029) and diastolic pressure
14,23 mmHg (p=0,087). Consuming Deglet Nour dates is recomended in order to
decrease and maintain blood prssure stable.

Keyword : hypertension, Deglet Nour dates, blood pressure

Latar Belakang
Hipertensi merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang utama
(Cappuccio et al, 2004). Berdasarkan
data dari Framingham Heart Study
menunjukkan bahwa seseorang yang
normotensif pada usia 55 tahun akan
memiliki 90 % resiko untuk mengalami
perkembangan menjadi hipertensi (JNC,
2003). Tekanan darah akan naik
umumnya seiring dengan pertambahan
umur terutama setelah diatas umur 40
tahun dengan prevalensi hipertensi pada
usia diatas 40 tahun sebesar 20 % 30
% dibandingkan dengan prevalensi
hipertensi pada usia dibawah 40 tahun
sebesar 10 % (Hasurungan,2002).

Perawatan
pada
pasien
hipertensi dengan memodifikasi gaya
hidup antara lain dengan mengadopsi
perencanaan makan menurut The
Dietary
Approaches
to
Stop
Hypertension
(DASH
)
yaitu
mengkonsumsi makanan yang bearasal
dari buah buahan dan sayuran yang
dapat membantu untuk menjaga tingkat
tekanan darah yang sehat dan
membantu menurunkan tekanan darah
(National Institutes of Health, 2006).
World Health Organisation (WHO) dan
International Society of Hypertension
(2003) memberikan rekomendasi untuk
diet tinggi buah buahan dan sayur
sayuran karena mengandung beberapa

Pengaruh Kurma Deglet Nour Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Paien Hipertensi Primer
(Nia Ayu S)

unsur
mineral
seperti
kalium,
magnesium dan kalsium alami yang
dapat membantu menurunkan insiden
hipertensi (Houston & Harper, 2008).
Berbagai macam buah dan
sayuran yang mengandung kalium,
magnesium dan kalsium yang tinggi
seperti pisang, kurma, alpukat, aprikot,
anggur, kentang, wortel, kacang, bayam
dan lain lain. Berdasarkan beberapa
penelitian menunjukkan bahwa diantara
buah dan sayuran tersebut terdapat satu
buah yang tinggi akan potassium,
magnesium dan kalsium dan rendah
sodium dibandingkan buah buahan
yang lainnya yaitu buah kurma
(Houston & Harper, 2008 ; Elleuch et
al, 2008).
Kurma merupakan makanan
pokok penduduk kawasan Arab seperti
Arab Saudi, Aljazair, Maroko, Mesir,
Tunisia dan Iran ( Rostita, 2009).
Konsumsi rata rata tahunan kurma
perkapita dibeberapa negara di kawasan
Arab tergolong tinggi yaitu 150 - 185
Kg ( Rostita, 2009). Sebuah penelitian
mengenai tingkat variasi tekanan darah
dan hipertensi pada populasi Badui
Towara di Mesir menunjukkan bahwa
suku Badui Towara memiliki nilai
tekanan darah dan angka kejadian
hipertensi yang lebih rendah. Hal ini
diperkirakan karena buah kurma yang
dimakan sebagai makanan utama setiap
hari (Vitelson & Kobyliansky, 2001).
Penelitian
tentang
kurma
terhadap penurunan tekanan darah pada
pasien hipertensi primer sejauh ini
belum banyak diketahui. Penelitian
tentang kurma yang telah dilakukan
oleh beberapa pakar menunjukkan
kurma memiliki khasiat sebagai anti
oksidan, anti alergi, analgesik atau
pereda nyeri yang kandungannya sama
seperti aspirin dan lain lain. Namun
belum ada satupun penelitian yang

membuktikan bahwa kurma terutama


jenis kurma Deglet Nour dapat
menurunkan
tekanan
darah.
Berdasarkan uraian diatas maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh terapi kurma Deglet Nour
terhadap penurunan tekanan darah pada
pasien hipertensi primer.
Bahan dan Metode Penelitian
Penelitian
ini
merupakan
penelitian kuasi eksperimen. Desain
kuasi eksperimen merupakan desain
penelitian yang bertujuan untuk
menguji hubungan sebab akibat (Burns
& Grove, 2003). Penelitian ini
menggunaka desain kuasi eksperimen
nonequivalent control group pre test
post test design merupakan desain
penelitian yang memberikan perlakuan
pada dua atau lebih kelompok kemudian
diobservasi sebelum dan sesudah
implementasi (Polit & Hungler, 1999).
Penelitian kuasi eksperimen
nonequivalent control group pre test
post test design memiliki tujuan untuk
mengetahui
kemungkinan
saling
berhubungan sebab akibat dengan cara
memberikan perlakuan atau intervensi
kepada satu atau lebih pada kelompok
yang
dikategorikan
kelompok
eksperimen
kemudian
hasilnya
dibandingkan dan keduanya diukur
sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi.
(Notoadmojo,
2002).
Kelompok kontrol dan kelompok
intervensi tidak dapat dipertimbangkan
adanya persamaan ( nonequivalent)
karena individu dalam kelompok
kontrol berbeda dengan individu dalam
kelompok
perlakuan
intervensi.
Kelompok
kontrol
tidak
akan
mendapatkan kurma Deglet Nour
sedangkan
kelompok
perlakuan
mendapatkan terapi kurma Deglet Nour.
43

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3Nomer 2/ April 2012

Populasi dalam penelitian ini adalah


semua lansia yang menderita hipertensi
primer di Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Mulia 2 Cengkareng dan Sasana
Tresna Werdha Budi Mulia Jelambar.

Tabel 2 Distribusi Indeks Massa Tubuh


pada kelompok Intervensi di
Sasana Tresna Werdha Budi
Mulia Jelambar dan Kelompok
Kontrol di Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Mulia 2 Cengkareng
Tahun 2010 (n1=18, n2 = 18)

Hasil Penelitian
1. Analisa Univariat
Variabel

Tabel 1 Distribusi
Frekuensi
Responden Hipertensi Primer
Berdasarkan Jenis Kelamin
Pada Kelompok Intervensi
Dan
Kelompok
Kontrol
(n1=18, n2=18)
Jenis Kelamin
%

Intervensi

Kontrol

n=18

n=18

Total

33,3

27,8

11

Perempuan

12

66,7

13

72,2

25

Total

18

100

18

100

36

Laki-laki

Berdasarkan tabel 1 diatas


dapat digambarkan bahwa distribusi
frekuensi jenis kelamin responden
hipertensi primer
yang
berjenis
kelamin perempuan lebih banyak yaitu
sebesar
25
orang
(69,4
%)
dibandingkan
dengan
responden
hipertensi primer yang berjenis laki
laki sebesar 11 orang (30,6 %)

44

IMT

Kelompok

Mean

SD

CI95%

Intervensi

23,11

4.079

21.08-25.13

Kontrol

24,94

3.519

23,19-26,69

Berdasarkan tabel 2 dapat


diketahui bahwa rerata IMT pada
kelompok kontrol
lebih
tinggi
dibandingkan kelompok intervensi.
IMT
terendah
pada kelompok
intervensi termasuk dalam kategori
berat
badan
kurang
atau
underweight yaitu sebesar 18 kg/m2
sedangkan
IMT
terendah
pada
kelompok kontrol termasuk ke dalam
kategori normal yaitu sebesar 20
kg/m2. IMT tertinggi pada kelompok
intervensi dan kontrol termasuk ke
dalam kategori gemuk atau obesitas
yaitu sebesar 32 kg/m2
pada
kelompok intervensi dan 31 kg/m2
pada kelompok kontrol.

Pengaruh Kurma Deglet Nour Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Paien Hipertensi Primer
(Nia Ayu S)

Tabel 3 Distribusi Tekanan Darah Sistolik

Tabel 4 Analisa Homogenitas Responden

dan Diastolik Sebelum dan


Setelah Dilakukan Intervensi pada
Kelompok Intervensi di Sasana
Tresna Werdha Budi Mulia
Jelambar dan Kelompok Kontrol
di Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Mulia 2 Cengkareng Tahun
2010 (n1=18, n2 =18)

Berdasarkan IMT dan Tekanan


Darah
Sebelum
Diberikan
Intervensi Antara Kelompok
Intervensi di Sasana Tresna
Werdha Budi Mulia Jelambar dan
Kelompok Kontrol di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Mulia 2
Cengkareng Tahun 2010 (n1=18,
n2 = 18)

Variabel Kelompok Pengukuran Mean SD


TD Intervensi
Sistolik
Kontrol
TD Intervensi
Diastolik
Kontrol

Sebelum
Setelah

Min Max CI 95%

171,22 8.447 153 183 167.02-175.42 Variabel


152,78 7.651 136 164 148,9-156,58 value

Sebelum 167,11 6,833 150 178 163,71-170,51


Setelah 151,83 7,876 134 167 147,92-155,75 IMT
Sebelum 96,67 5.448 90 106 93,94-99,40
Setelah 82,44 5.371 75 90 79,77-85,12
Tekanan
Sebelum 95,72 4,688 90 107 93,39-98,05 Darah
Setelah
82,72 4,725 77 93 80,37-85,07 Sistolik

Berdasarkan tabel 3 diatas


menunjukkan
bahwa
penurunan
tekanan darah sistolik dan tekanan
darah diastolik pada kelompok
intervensi lebih besar dibandingkan
penurunan tekanan darah sistolik dan
diastolik kelompok kontrol dengan
selisih penurunan tekanan darah
sistolik sebesar 18,44 mmHg dan
tekanan darah diastolik sebesar 14,23
mmHg pada kelompok intervensi.
Selisih penurunan tekanan darah
sistolik sebesar 15,28 mmHg dan
tekanan darah diastolik sebesar 13
mmHg.

Tekanan
Darah
Diastolik

Kelompok

Intervensi
Kontrol

Mean

SD

23,11 4.079 18
0,157
24,94 3.519 18

Intervensi
Kontrol

171,22 8.447
167,11 6.883

18
18

0,118

Intervensi
Kontrol

96,67 5.488
95,72 4.688

18
18

0,582

Berdasarkan tabel 4 dalam uji


homogenitas yang dilakukan pada
IMT responden hipertensi primer pada
kelompok intervensi dan kelompok
kontrol menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan atau terdapat kesetaraan IMT
pada kelompok intervensi dan kontrol
yang dibuktikan dengan nilai p = 0,157
> = 0,05 sehingga kesetaraan IMT
pada
kelompok
intervensi
dan
kelompok
kontrol
tidak
akan
mempengaruhi hasil intervensi.
Hasil uji homogenitas pada
tekanan darah sistolik menunjukkan
bahwa tidak ada
perbedaan atau
terdapat kesetaraan tekanan darah
sistolik
antara kelompok intervensi
dan kontrol yang dibuktikan dengan
p = 0,118 > =0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa tekanan darah
sebelum intervensi pada ke dua
kelompok tidak terdapat perbedaan
yang dapat mempengaruhi hasil
45

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3Nomer 2/ April 2012

penelitian dan apabila terdapat


perbedaan pada hasil akhir penelitian
maka perbedaan tersebut disebabkan
oleh intervensi yang diberikan.
2. Analisa Bivariat
Penelitian ini menggunakan
uji
statistika
parametrik
sesuai
dengan uji kenormalan data yang
telah
dilakukan
untuk
melihat
berdistribusi normal atau
tidak
normal
dengan
menggunakan
perhitungan nilai skewness dan
standar errornya. Hasil uji kenormalan
data tekanan darah yang dipergunakan
yaitu 1,33 atau 2 sehingga uji
statistik
yang digunakan untuk
analisa bivariat dengan menggunakan
Dependent
paired
t-test
dan
Independent pooled t test serta regresi
linier.
Analisa Bivariat Rerata Tekanan Darah
Sebelum dan Setelah Intervensi Pada
Kelompok Intervensi di Sasana Tresna
Werdha Budi Mulia Jelambar dan
Kelompok Kontrol di Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Mulia 2 Cengkareng Tahun
2010 (n1=18, n2 = 18)

pada kelompok intervensi adalah


sebesar 0,000. Apabila dibandingkan
dengan nilai maka nilai p = 0,000 <
= 0,05 yang menunjukkan bahwa
ada pengaruh pemberian kurma Deglet
Nour terhadap penurunan tekanan
darah baik sistolik maupun diastolik
sebelum dan sesudah intervensi yang
ditunjukkan dengan adanya selisih
penurunan sebesar 18,44 mmHg pada
tekanan darah sistolik dan 14,23
mmHg pada tekanan darah diastolik.
Hasil uji statistik terhadap
tekanan darah sistolik dan diastolik
pada kelompok kontrol memperlihatkan
nilai p = 0,000 dan jika dibandingkan
dengan nilai = 0,05 maka p = 0,000
< = 0,05 yang berarti bahwa ada
pengaruh obat nifedipine terhadap
penurunan tekanan darah baik sistolik
maupun diastolik dengan selisih
penurunan sebesar 15,28 mmHg
tekanan darah sistolik dan 13 mmHg
pada tekanan darah diastolik.

Pembahasan
Berdasarkan
hasil
analisis
terhadap data diperoleh hasil sebagai
berikut :
Variabel Kelompok Pengukuran Mean
SD C195%
p valuea. Jenis Kelamin
Hasil penelitian ini menunjukkan
TD
Intervensi
Sebelum
Sistolik
18,44 4,076 16,42-20,47
bahwa responden yang mengalami
Setelah
hipertensi primer sebagian besar berjenis
0,000
Kontrol
Sebelum
kelamin perempuan yaitu sebesar 69,4 %
15,28 4,240 13,17-17,39
sedangkan responden laki-laki sebesar
Setelah
0,000
30,6%. Hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya seperti penelitian yang
TD
Intervensi
Sebelum
Diastolik
14,23 1,734 13,36-15,08
dilakukan di Mumbai yang menunjukkan
Setelah
prevalensi hipertensi lebih banyak pada
0,000
Kontrol
Sebelum
wanita yaitu sebesar 10,57 % sedangkan
13,00 2,376 11,82-14,18
laki-laki sebesar 6,13 % (Joshi, Patel,
Setelah
0,000
Dhar, 2000). Penelitian di Rumah Sakit
militer
Alkharj,
Saudi
Arabia
menunjukkan bahwa angka kejadian
Berdasarkan tabel 5 terlihat
hipertensi pada perempuan sebesar 3,05%
bahwa nilai p pada tekanan darah
dan laki-laki sebesar 2,67% (Siddiqui et
sistolik dan tekanan darah diastolik
46

Pengaruh Kurma Deglet Nour Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Paien Hipertensi Primer
(Nia Ayu S)

al, 2000).
b. IMT
IMT pada responden dalam
penelitian ini termasuk dalam kategori
normal sesuai dengan penelitian
kroseksional
sebelumnya
yang
menunjukkan bahwa peningkatan berat
badan terjadi sampai usia 55 tahun dan
kemudian menurun setelah usia 65
sampai dengan 70 tahun (Safar &
Froslich, 2007).Penelitian di Australia
mengenai IMT pada responden lansia
yang memiliki IMT yang normal
memiliki resiko kematian yang sama
dengan responden lansia yang memiliki
IMT obesitas yang disebabkan oleh
berbagai penyakit termasuk hipertensi
dan penyakit jantung (Barclay, 2010)
c. Pengaruh Kurma Deglet Nour
Terhadap Penurunan Tekanan
darah
Kurma Deglet Nour dapat
menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi pada penelitian ini berdasarkan
dari kandungan mineral, vitamin dan serat
yang terkandung di dalamnya yang telah
terbukti dari beberapa penelitian
sebelumnya dan mekanisme bekerja dari
mineral, vitamin dan serat tersebut yang
dapat menurunkan tekanan darah.
Penelitian-penelitian yang pernah di
lakukan mengenai kandungan kalium
dapat menurunkan tekanan darah antara
lain penelitian klinis dengan pemberian
kalium membuktikan bahwa kalium dapat
menurunkan tekanan darah lebih besar
pada penderita hipertensi yaitu sebesar
4,4 mmHg pada tekanan darah sistolik
dan 2,5 mmHg pada tekanan darah
diastolik dibandingkan dengan kelompok
yang normotensif yaitu sebesar 1,8
mmHg dan 1,0 mmHg pada tekanan
diastolik (Kapoor & Kapoor, 2009).
Penelitian yang dilakukan pada wanita ras

Afrika Amerika dengan hipertensi primer


ringan dan sedang menunjukkan
penurunan tekanan darah setelah
diberikan asupan tinggi kalium (Haddy,
Vanhotte & Feletou, 2005).
d.

Hubungan
Faktor
Perancu
Terhadap Penurunan Darah
Setelah Diberikan Kurma Deglet
Nour
Penelitian ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang meneliti
mengenai pemberian asupan suplemen
kalium dan menunjukkan bahwa tekanan
darah menurun baik baik pada perempuan
dan laki-laki serta tidak ada hubungan
yang signifikanantara jenis kelamin
dengan penurunan tekanan darah setelah
diberikan asupan suplemen kalium (He et
al,
2009).
Penelitian
lainnya
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara jenis kelamin baik perempuan dan
laki-laki dalam mengontrol tekanan darah
(Ong et al, 2008).
Simpulan
Terjadi perbedaan penurunan
tekanan darah diastolik dan sistolik
sebelum dan sesudah pemberian kurma
Deglet pada kelompok intervensi, serta
terjadi perbedaan yang signifikan dalam
penurunan
tekanan
darah
antara
kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol, dan tidak ada hubungan antara
variabel perancu jenis kelamin dan IMT
terhadap penurunan darah.
Saran
Perawat
diharapkan
dapat
memberikan
pendidikan
kesehatan
berupa informasi mengenai kurma Deglet
Nour sebagai makanan yang mengandung
mineral, vitamin dan serat yang berfungsi
untuk menurunkan tekanan darah pada
pasien hipertensi dan berkolaborasi
dengan tim gizi di rumah sakit.
47

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3Nomer 2/ April 2012

DAFTAR PUSTAKA
Appel et al. (1997). A clinical trial of
the effects of dietary patterns on
blood pressure. The
New
England Journal of Medicine,
336(8). April 20, 2010. http//
proquest.umi.com.
Burnier, M et al. (2003). Issues in
blood pressure control and the
potential role of single-pill
combination
therapies.
The
International Journal of Clinical
Practice.
Februari5,2010.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
Cappuccio,
F
et
al.
(2004).
Prevalence,
detection,
management,
and control of
hypertension
in ashanti, west
africa.
American
Heart
Association
Journal.Maret4,
2010.http://www.hyper.ahajournals.
org.
Catherine,
C.
(2006).
Dietary
interventions on blood pressure:
The dietary approaches to stop
hypertension
(DASH)
trials.
International
Life
Sciences
Institute,64(2) Februari 4,2010.
http://www.web.ebscohost.com.
Departemen Kesehatan RI. (2008).
Profil kesehatan indonesia. Maret
4,2010. http://www.depkes.go.id.
Elleuch, M et al. (2008). Date flesh:
Chemical
composition
and
characteristics of the dietary fibre.
Food Chemistry. Maret 1, 2010.
http://www.elsevier.com.
Gizi.net.
(2009).
Hipertensi:
Konsumsi
garam
masyarakat
indonesia berlebihan. Maret 4,
2010. http://www.gizi.net.
Guntara,
L.
(2001).
Hubungan
kadar magnesium serum dan
asupan
magnesium
dengan
hipertensi serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya pada orang
dewasa di kecamatan mampang

48

prapatan, jakarta. Februari 5,


2010. http://www.lib.ui.ac.id.
Hanani,N.(2009).Permintaan
pangan.Mei
6,2010.
http//
nuhfil.lecture.ub.ac.id.
Hasurungan, J. (2002). Faktor
faktor
yang
berhubungan
dengan hipertensi pada lansia di
kota depok tahun 2002. Maret 3,
2010. http://www.digilib.ui.ac.id.
He, F., MacGregor, G. (2001).
Beneficial effects of potassium.
Maret4,2010.http://web.ebscohost.c
om.
Houston, M., Harper, K. (2008).
Potassium,
magnesium,
and
calcium: Their role in both the
cause
and
treatment
of
hypertension.
The
Journalof
Clinical
Hypertension,10(7).
Maret6,2010http://www.web.ebsco
host.com.
Jokisalo, E et al. (2002). Factors
related to non compliance
with
antihypertensive
drug
therapy. Journal of Human
Hypertension,6(8). Maret 1, 2010.
http:// www.nature.com.
Karyawan,
A.(2009).Manajemen
hipertensi
waspadai
penyakit?silentkiller?
Mei 6,
2010. http:// www.idijakbar.com.
Kasjono, H., Yasril. (2009). Teknik
sampling
untuk
penelitian
kesehatan.Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Kusserow,R.
(1990).
Medication
regimens
:
Causes
of
noncompliance.Maret 1, 2010.
http://www.oig.hhs.gov.
Minh,Vet al.(2005).Gender differences
inprevalence and socioeconomic
determinants of hypertension:
Findings from the WHO STEPs
survey in a rural community of
vietnam.Maret1,2010.http://www.n
ature.com.
National Institutes of Health. (2006).

Pengaruh Kurma Deglet Nour Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Paien Hipertensi Primer
(Nia Ayu S)

DASH eating plan. Maret 2, 2010.


http://www.nhlbi.nih.gov.
Notoatmodjo,S. (2002). Metodologi
penelitian
kesehatan.Jakarta
:
Rineka Cipta.
Osher, E., Stern, N. (2009). Obesity in
erderly
subjects.
Diabetes
Journal.Maret 3, 2010. http://www.
proquest.umi.com.
Polit, D., Hungler, B. (1999). Nursing
research
principles
method.Philadelphia : Lippincot.
Rostita. (2009). Khasiat dan keajaiban
kurma. Bandung : Mizan Pustaka
Sugiyono. (2005). Statistika untuk
penelitian. Bandung : Alfabeta
Sutantoro,
B.,
Suryatmojo,
B.,
Wibowo,S.,
Damodoro,
N.
(2000).Pengamatan tekanan darah
pada
stroke
akut.
Berkala
NeuroSains, 1 (3). Februari 2,
2010. http://ojs.lib.unair.ac.id.
Tsang, G. (2009). Potassium and high
blood pressure. Maret 12, 2010.
http://www.healthcastle.com.
Vitelson,
M.,
Kobyliansky,
H.
(2001). Blood pressure variation
and hypertension rates in a premodernized Bedouin population:
Data from tribes of the sinai
peninsula (egypt). Maret 2,
2010.
http://www.bmsap.revues.org.
1

Staf Departemen
Indonesia

Kesehatan

Republik

49

PENGARUH ELEVASI EKSTREMITAS BAWAH


TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN ULKUS DIABETIK
Indah Wulandari1, Krisna Yetti2, Rr.Tutik Sri Hayati3

Absract : Diabetes mellitus result complication, one of them is ulcer. Process of


diabetik ulcus healing influenced by internal factors and external factors. The
internal factor are age, nutrition, some chronic disease, blood glucose, growth factor,
blood cholesterol, and circulation. The other site, the external factor are able to
influence like infection, diabetes history, smoking history, and hypertension history.
This research are aim to get a description about influence of elevation of lower
extremity to diabetic ulcer healing process in Banten". This research using quasi
experiment method with nonequivalent control group design approach.
Sample in this research were diabetes mellitus patient with ulcer, consist of 7
respondent in control group and 6 respondent in intervention group. Univariat
analysis showed that score of healing process between group with elevation more
better than group without elevation. The result of bivariat analysis showed that lower
extremity elevation were significantly associated with diabetic ulcer healing process
(p value 0,003). Nurse should be elevate the lower extremity with diabetic ulcer
during 10 minutes after activity more than 15 minutes. Summary of this research are
the average of healing process of ulcus diabetic at group without elevation is higher
to elevation group. Besides that, there are not related between vascularisation, blood
glucose rate, infection, nutrition, diabetes history, and smoking history to healing
process of diabetic ulcus.
Keyword: Lower extremity elevation, diabetic ulcer, wound healing process 55
reference (1992 2010)

Latar Belakang
Diabetes mellitus adalah suatu
kelompok penyakit metabolik yang
dikarakteristikkan oleh hiperglikemia
akibat defek sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya (American Diabetic
Association, 2007). Komplikasi jangka
panjang dari diabetes melitus salah satunya
adalah ulkus diabetik (15%) (ADA, 2007;
Clayton, 2009) dan 85% merupakan
penyebab terjadinya amputasi pada pasien
diabetes melitus (Clayton, 2009). Lebih
lanjut Clayton (2009), Jeffcoate (2003) dan
Frykberg (2000) mengungkapkan bahwa
komplikasi lanjut ulkus diabetik adalah
terjadinya infeksi.
Salah satu penyebab terjadinya
ulkus diabetik adalah akibat penurunan

sirkulasi ke perifer yang dipengaruhi oleh


tingginya kadar glukosa dalam darah dan
penyakit
arterial
perifer
yaitu
aterosklerosis (Sumpio, 2000; Jeffcoate,
2003; Clayton, 2009). Penurunan perfusi
ke perifer
menyebabkan kematian
(nekrosis) jaringan dan menyebabkan
iskemik perifer dan beresiko kejadian
ulkus diabetik serta mempengaruhi
penyembuhan ulkus (Sumpio, 2000).
Hipoperfusi
perifer
menyebabkan
penurunan suplai oksigen, nutrient, dan
mediator pelarut yang membantu proses
penyembuhan ulkus dan terjadinya
gangren (Sumpio, 2000).
Evaluasi proses penyembuhan
ulkus dilakukan setiap kali ganti balutan
dengan menilai luas dan kedalaman ulkus
serta eksudasi dari ulkus (Frykberg, 2002;

Pengaruh Elevasi Ekstremitas Bawah Terhadap Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik


(Indah W, Krisna Y, Tutik S)

Jeffcoate, 2003; Delmas, 2006; Kruse,


2006; Clayton, 2009). Evaluasi dilakukan
untuk menilai bagaimana kemajuan proses
penyembuhan
ulkus.
Pengukuran
kemajuan proses penyembuhan ulkus
dapat dilakukan dengan menggunakan
healing
index
yaitu
dengan
membandingkan hasil pengukuran hari
pertama dengan hari berikutnya yang
diikuti selama proses penyembuhan ulkus
terjadi (Bozan et al, 2006). Semakin tinggi
healing index, maka semakin besar
kemajuan proses penyembuhan ulkus.
Penatalaksanaan ulkus diabetik
diperlukan agar fase penyembuhan ulkus
dapat difasilitasi dengan baik. Terdapat
tiga prinsip utama manajemen ulkus
diabetik yaitu debridement, off-loading,
dan kontrol infeksi (Jeffcoate, 2003;
Delmas, 2006; Kruse, 2006; Clayton,
2009) dan istirahat (Frykberg, 2002;
Cavanagh, 2005). Lebih lanjut Frykberg
(2002) dan Simon, et al (2004)
menambahkan elevasi ekstremitas bawah
yang mengalami ulkus sebagai salah satu
manajemen ulkus diabetik.
Elevasi
ekstremitas
bawah
bertujuan agar sirkulasi perifer tidak
menumpuk di area distal ulkus sirkulasi
dapat dipertahankan (Frykberg, 2002).
Elevasi ekstremitas bawah dilakukan
setelah pasien beraktivitas atau turun dari
tempat tidur. Saat turun dari tempat tidur,
walaupun kaki tidak dijadikan sebagai
tumpuan, namun akibat efek gravitasi
menyebabkan aliran darah akan cenderung
menuju perifer terutama kaki yang
mengalami ulkus. Elevasi ekstremitas
bawah dilakukan untuk mengatasi efek
tersebut (Frykberg, 2002).
Selain elevasi ekstremitas bawah,
manajemen ulkus lain yang dapat
mempengaruhi proses penyembuhan ulkus
adalah off-loading. Off-loading adalah
upaya mencegah stress mekanikal akibat
tekanan pada ulkus (Slater, 2001). Tujuan
off-loading adalah mencegah penekanan
pada ulkus dan meredistribusikan tekanan
dari ulkus ke area yang lebih luas (Keast,
2000). Tekanan yang berlebih pada ulkus

akan menyebabkan terhambatnya fase


penyembuhan ulkus sehingga ulkus sulit
sembuh
dan
berkembang
menjadi
gangrene (Frykberg, 2002; Kruse, 2006).
Saat
terjadi
ulkus
pasien
tidak
diperbolehkan menggunakan kaki yang
mengalami ulkus sebagai tumpuan berjalan
atau beraktivitas. Salah satu metoda yang
digunakan untuk
off-loading adalah
penggunaan kruk atau kursi roda saat
beraktivitas (Jeffcoate, 2003; Delmas,
2006; Kruse, 2006; Clayton, 2009).
Manajemen ulkus diabetik kaki
diabetik salah satunya adalah elevasi
ekstremitas bawah yang mengalami ulkus.
Elevasi ekstremitas bawah bertujuan
mengembalikan sirkulasi perifer akibat
efek gravitasi saat kaki diturunkan dari
tempat tidur. Elevasi ekstremitas bawah
seperti apa yang diperulkusan agar
penyembuhan
ulkus
dapat
terjadi
merupakan hal yang akan diteliti lebih
lanjut.
Menilik hal di atas, maka masalah
dalam
penelitian
ini
adalah
:
Bagaimanakah
pengaruh elevasi
ekstremitas bawah terhadap skor healing
index perkembangan ulkus diabetik di
Wilayah Banten?.
Bahan Dan Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kuasi
eksperimen
dengan
pendekatan
nonequivalent control group design.
Desain kuasi eksperimen merupakan
desain penelitian untuk mengetahui
penyebab dan efek intervensi (LoBiondoWood & Haber, 2006) terhadap variabel
dependen setelah memanipulasi variabel
independen (Polit & Hungler, 1999).
Nonequivalent control group design
digunakan untuk membandingkan dua
kelompok subjek penelitian,
yaitu
kelompok kontrol dan kelompok intervensi
(Polit & Hungler, 1999).
Besar
sampel
didapatkan
berdasarkan waktu penelitian selama 6
minggu dengan tehnik pengambilan
51

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/ April 2012

sampel menggunakan nonprobability


sampling dengan metoda convenience
sampling. Total sampel di akhir penelitian
adalah 13 responden dengan perincian 7
responden masuk kelompok kontrol dan 6
responden masuk kelompok intervensi.
Selama proses penelitian, peneliti
memberikan perlakukan yang sama kepada
semua responden (right to justice dan right
to fair treatment). Walau pada kelompok
kontrol pada awal penelitian tidak
dilakukan elevasi kaki, namun setelah
penelitian tindakan tersebut diberikan
setelah melihat hasil yang signifikan pada
uji statistik (beneficence). Data responden
dijaga kerahasiaannya dan disimpan dalam
file computer yang hanya bisa diakses oleh
peneliti (right to privacy).
Hasil Penelitian
Responden yang tidak dilakukan
elevasi ekstremitas bawah sebanyak 7
orang (53,8%) dan responden yang
dilakukan elevasi ekstremitas bawah
sebanyak 6 orang (46,2%). Rerata proses
penyembuhan ulkus diabetik pada pasien
diabetes melitus di kelompok intervensi
lebih besar dibandingkan di kelompok
kontrol. Kelompok intervensi rerata
memiliki skor healing index sebesar 0,213
dengan standar deviasi 0,082. Pada alfa
5% diyakini bahwa rerata skor healing
index antara 0,127 sampai dengan 0,299. P
value pada uji statistik menunjukkan nilai
0,003 pada alfa 5% yang berarti terdapat
perbedaan yang signifikan antara proses
penyembuhan ulkus diabetik pada
kelompok dengan elevasi ekstremitas
bawah dan kelompok tanpa elevasi
ekstremitas bawah.

52

Tabel 1
Distribusi Frekuensi Proses Penyembuhan Ulkus
Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus di
Wilayah Banten Tahun 2010 (n1=7, n2=6)
MinMak

95%
CI

0,039

0,020,15

0,0460,119

0,082

0,110,32

0,1270,299

Kelompok

Mean

SD

Tanpa
elevasi

0,083

Elevasi

0,213

Dilihat dari klasifikasi ulkus


kelompok intervensi dan kelompok kontrol
bervariasi dari derajat 2 sampai derajat 4.
Proses penyembuhan ulkus diabetik
tertinggi pada kelompok kontrol yang
dinilai dengan healing index sebesar 0,15.
Hasil pengamatan ulkus menunjukkan
perbaikan proses penyembuhan ulkus
terutama pada kelompok intervensi,
walaupun
pada
setiap
kelompok
mengalami perubahan skor healing index.
Pada kelompok intervensi, edema dan
nyeri yang dirasakan di awal menurun di
akhir penelitian .

Tabel 2
Pengaruh Elevasi Ekstremitas Bawah terhadap
Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik di Wilayah
Banten Tahun 2010 (n1=7, n2=6)
Kelompok
Tanpa elevasi
ekstremitas
bawah
Dengan elevasi
ekstremitas
bawah

Me
an
0,0
83

SD

SE

0,03
9

0,0
15

0,2
13

0,08
2

0,0
34

p
Value

n
7

0,003
6

Pengaruh Elevasi Ekstremitas Bawah Terhadap Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik


(Indah W, Krisna Y, Tutik S)
Gambar 1.
Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik dengan Nilai
Healing Index Terbesar
pada Kelompok Tanpa Elevasi
Hari rawat
pertama
7 mei 2010

Hari rawat
ketujuh
14 Mei 2010

Gambar 2
Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik dengan Nilai
Healing Index Terbesar
pada Kelompok Elevasi
Hari rawat
pertama
24 Mei 2010

Hari rawat
ketujuh
31 Mei 2010

Hasil penelitian juga menunjukkan


tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara variabel perancu vaskularisasi
perifer, kadar glukosa darah, infeksi, status
nutrisi, riwayat diabetes, dan riwayat
merokok dengan proses penyembuhan
ulkus. Walaupun terdapat perubahan kadar
glukosa darah serta nutrisi pada awal dan
akhir penelitian, namun saat dicari
hubungan dengan proses penyembuhan
ulkus tidak didapatkan. Hal ini terjadi
kemungkinan karena jumlah sampel yang
sedikit dengan kekuatan uji 1,1 %
sehingga tidak didapatkan hasil yang
signifikan.
Pembahasan
Frykberg (2002) mengungkapkan
bahwa
salah
satu
intervensi
mengembalikan perfusi setelah pasien

diabetes dengan ulkus beraktivitas adalah


elevasi ekstremitas bawah. Pada penelitian
ini, kelompok intervensi dipantau selama 3
kali shift dinas oleh peneliti dan asisten
peneliti dalam pelaksanaan elevasi
ekstremitas bawahnya. Semua responden
pada kedua kelompok dapat melakukan
mobilisasi ke kamar mandi.
Dalam mobilisasi ditekankan agar
responden tidak memberikan tekanan
berlebih pada kaki yang mengalami ulkus
dan diharuskan menggunakan kursi roda,
kruk, atau bantuan keluarga.
Dalam
pelaksanaannya ada juga responden yang
tidak optimal melakukan
off-loading
dengan alasan sulit bergerak atau tidak
biasa atau karena keterbatasan alat. Namun
setelah
dimotivasi
sebagian
besar
responden mau menggunakan alat bantu
gerak Untuk mengantisipasi kekurangan
alat peneliti menyarankan responden
menggunakan tongkat.
Elevasi ekstremitas bawah berguna
untuk mengembalikan aliran darah dan
mengurangi tekanan di bagian distal
ekstremitas (Seeley, 2004). Aktivitas >15
menit dapat meningkatkan tekanan ke
distal sebesar 20% sehingga meningkatkan
resiko terjadinya edema perifer. Edema
akan meningkatkan tekanan area distal dan
mengurangi perfusi akibat penekanan
arterial. Dengan elevasi ekstremitas
bawah, tekanan tersebut dapat dikurangi.
Hasil penelitian tersebut tidak sama
dengan hasil penelitian yang dilakukan
Park, et al (2010) tentang apakah elevasi
ekstremitas bawah merupakan posisi
optimal terhadap penyembuhan ulkus
diabetik. Pada penelitian tersebut Park
membandingkan penyembuhan ulkus
diabetik yang dengan posisi elevasi
ekstremitas bawah menggunakan empat
bantal dengan merendahkan posisi kaki
30-35 cm di samping tempat tidur.
Hasil penelitiannya menunjukkan
penyembuhan ulkus diabetik antara
merendahkan posisi kaki lebih baik
dibandingkan posisi elevasi ekstremitas
bawah.
Penilaian
Park
dengan
menggunakan trans-cutaneous partial
53

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/ April 2012

oxygen tension (TcpO2) sebelum dan


setelah intervensi.
Hal yang mempengaruhi perbedaan
hasil antara penelitian Park dengan
penelitian di Banten salah satunya adalah
pemilihan evaluasi dalam menilai variabel
independen. Pada penelitian di Banten,
variabel independennya adalah skor
healing index yang digunakan untuk
menilai proses pe nyembuhan ulkus
diabetik. Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan Park, et al (2010) yang menjadi
acuannya adalah tekanan oksigen perifer
sebelum dan setelah penelitian.
Kasus ulkus diabetik, penyebab
terbesar adalah masalah pada vena yaitu
sekitar 80-85% (Simon, et al, 2004).
Namun pada diabetes melitus, penyebab
umumnya adalah karena penyakit arterial
perifer dan campuran antara masalah di
vena dan arterial (mix ulcer) (Obermeyer,
et al, 2008). Oklusi yang timbul di vena
akibat thrombus dari arterial maupun
murni akibat gangguan pembekuan darah
menyebabkan refluks vena massif dan
menghambat
penyembuhan
ulkus.
Penelitian oleh Obermeyer, et al (2008)
menunjukkan bahwa masalah arterial dapat
menyebabkan masalah di vena yang
ditunjukkan dengan nilai ABI yang < 0,8.
Terdapat beberapa hal yang didapat dari
penelitian terkait kadar glukosa darah
adalah persepsi yang salah tentang diet dan
kecemasan responden selama perawatan.
Sebagian besar responden baik pada
kelompok kontrol maupun kelompok
intervensi tidak mau makan. Alasannya
mereka takut gluksoa darahnya meningkat
dan akhirnya ia lama menjalani perawatan.
Padahal menurut Clayton (2009) dan
Lemone & Burke (2004), asupan diet yang
tidak adekuat menyebabkan terpicunya
sekresi
glucagon,
meningkatnya
glukoneogenesis, sehingga meningkatkan
kadar glukosa darah.
Variabel perancu lain yang tidak
mempunyai signifikansi dengan proses
perkembangan ulkus diabetik adalah kadar
glukosa darah. Hasil uji statistik
menunjukkan nilai p sebesar 0,144.
54

Artinya tidak terdapat hubungan antara


kadar glukosa darah dengan perkembangan
ulkus diabetik. Hal ini tentunya berbeda
dengan hasil penelitian Margolis (2000)
yang memasukkan kadar glukosa darah
sebagai salah satu variabel yang
menghambat
penyembuhan
ulkus.
Demikian pula dengan artikel yang ditulis
Keast (2000), Falanga (2005), atau
Pearson (2006) yang juga mengaitkan
hiperglikemi sebagai salah satu faktor
penghambat penyembuhan ulkus.
Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh karena jumlah responden yang kecil
yang tidak menggambarkan hasil yang
sesungguhnya. Selain itu fluktuasi kadar
glukosa darah antar kelompok dan adanya
rentang nilai glukosa darah yang besar
antara nilai terendah dan tertinggi mungkin
menyebabkan hasil uji statistik yang
demikian.
Terdapat beberapa hal yang didapat
dari penelitian terkait kadar glukosa darah
adalah persepsi yang salah tentang diet dan
kecemasan responden selama perawatan.
Sebagian besar responden baik pada
kelompok kontrol maupun kelompok
intervensi tidak mau makan. Alasannya
mereka takut gluksoa darahnya meningkat
dan akhirnya ia lama menjalani perawatan.
Padahal menurut Clayton (2009) dan
Lemone & Burke (2004), asupan diet yang
tidak adekuat menyebabkan terpicunya
sekresi
glucagon,
meningkatnya
glukoneogenesis, sehingga meningkatkan
kadar glukosa darah.
Variabel perancu lain yang tidak
mempunyai signifikansi dengan proses
perkembangan ulkus diabetik adalah kadar
glukosa darah. Hasil uji statistik
menunjukkan nilai p sebesar 0,144.
Artinya tidak terdapat hubungan antara
kadar glukosa darah dengan perkembangan
ulkus diabetik. Hal ini tentunya berbeda
dengan hasil penelitian Margolis (2000)
yang memasukkan kadar glukosa darah
sebagai salah satu variabel yang
menghambat
penyembuhan
ulkus.
Demikian pula dengan artikel yang ditulis
Keast (2000), Falanga (2005), atau

Pengaruh Elevasi Ekstremitas Bawah Terhadap Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik


(Indah W, Krisna Y, Tutik S)

Pearson (2006) yang juga mengaitkan


hiperglikemi sebagai salah satu faktor
penghambat penyembuhan ulkus.
Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh karena jumlah responden yang kecil
yang tidak menggambarkan hasil yang
sesungguhnya. Selain itu fluktuasi kadar
glukosa darah antar kelompok dan adanya
rentang nilai glukosa darah yang besar
antara nilai terendah dan tertinggi mungkin
menyebabkan hasil uji statistik yang
demikian.
Terdapat beberapa hal yang didapat
dari penelitian terkait kadar glukosa darah
adalah persepsi yang salah tentang diet dan
kecemasan responden selama perawatan.
Sebagian besar responden baik pada
kelompok kontrol maupun kelompok
intervensi tidak mau makan. Alasannya
mereka takut gluksoa darahnya meningkat
dan akhirnya ia lama menjalani perawatan.
Padahal menurut Clayton (2009) dan
Lemone & Burke (2004), asupan diet yang
tidak adekuat menyebabkan terpicunya
sekresi
glucagon,
meningkatnya
glukoneogenesis, sehingga meningkatkan
kadar glukosa darah.
Variabel status nutrisi juga
menunjukkan hasil tidak signifikan dengan
proses perkembangan ulkus diabetik. Hasil
uji statistik menunjukkan nilai p sebesar
0,195 sebelum penelitian dan 0,211 setelah
penelitian.
Artinya
tidak
terdapat
hubungan antara status nutrisi dengan skor
healing index perkembangan ulkus
diabetik. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh MacKay &
Miller (2003) atau Kempest, et al (2010),
yang menyatakan bahwa penyembuhan
ulkus sangat dipengaruhi oleh status
nutrisi.
Jika dianalisa lebih lanjut, hasil uji
statistik menunjukkan rerata nilai IMT
pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi > 20. Nilai ini termasuk kategori
normal. Namun jika melihat nilai CI 95%,
nilai terendah pada kelompok kontrol
maupun kelompok intervensi masuk dalam
kategori malnutrisi karena nilai IMT < 20.
Hal ini terjadi kemungkinan karena jumlah

sampel
yang
kecil
dan
tidak
menggambarkan kondisi sebenarnya.
Selain itu terdapat nilai ekstrim baik pada
kelompok kontrol maupun kelompok
intervensi.
Penelitian ini juga tidak melihat
komponen nutrien yang mengalami
perubahan
dikarenakan
keterbatasan
peneliti. Walaupun pada kenyataannya
status nutrisi dapat dilihat melalui
beberapa indikator seperti kadar Hb, kadar
albumin, kadar asam folat, vitamin A,
vitamin C, Zinc, atau glukosamin. Peneliti
hanya
menggunakan IMT
sebagai
indikator status nutrisi namun tidak
melihat
komponen
nutrien
dalam
penelitian ini.
Variabel infeksi menunjukkan hasil
uji statistik nilai p sebesar 0,175. Hasil
menunjukkan infeksi tidak signifikan
terhadap skor healing index perkembangan
ulkus diabetik. Hal ini bertentangan
dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Emerson (2010). Jika dilihat rerata,
rerata responden dengan kultur positif
lebih besar (0,166) dibandingkan dengan
rerata responden dengan kultur negatif
(0,106). Kemungkinan hal tersebut
disebabkan karena pada kelompok kontrol
maupun kelompok intervensi skor healing
index mengalami perbaikan. Peneliti
berasumsi bahwa hal ini terkait dengan
faktor lain yang dikontrol dalam penelitian
ini yaitu off-loading dan perawatan ulkus
dengan metoda moist.
Pearson (2006) mengungkapkan
pemilihan balutan dan jenis perawatan
ulkus mempengaruhi proses penyembuhan
ulkus. Metoda perawatan ulkus dengan
konsep moist menyebabkan suasana
lembab tetap terjaga sehingga eksudat
dapat terserap lebih baik (Pearson, 2006;
Benbow, 2010). Selain itu tindakan
nekrotomi yang berkala juga membantu
membuang jaringan nekrotik yang
menghambat penyembuhan ulkus.

55

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/ April 2012

Implikasi Penelitian
Saat
penelitian,
peneliti
menemukan bahwa respon responden
cukup antusias saat melihat kondisi
lukanya yang menjadi lebih baik. Namun
di
sisi
lain,
pengetahuan
akan
penatalaksanaan ulkus diabetik di kalangan
petugas kesehatan belum terlihat baik.
Salah satu tindakan yang dapat dilakukan
perawat di lapangan adalah melakukan
tindakan elevasi ekstremitas bawah pada
pasien diabetes melitus dengan ulkus
setiap kali pasien mobilsiasi >15 menit.
Elevasi dapat dilakukan dengan alat
khusus elevasi ekstremitas bawah atau
menggunaan sumber daya yang ada seperti
tumpukan bantal atau selimut untuk
menopang pangkal paha.
Penerapan metoda moist di lain
pihak, tidak dijadikan pilihan utama saat
menemukan pasien dengan kondisi ulkus
yang buruk. Alasan utamanya adalah
efesiensi biaya tidak mungkin dijangkau
oleh pasien dengan karakteristik tertentu.
Padahal manfaat yang didapatkan cukup
besar. Pada pelaksanaan off-loading pun
tidak diketahui banyak oleh petugas
kesehatan di pelayanan. Pasien seringkali
tidak diperhatikan apakah ia menggunakan
kursi roda dalam aktivitasnya, walaupun
alat tersebut tersedia di ruangan. Karena
itu penggunaan metoda sederhana elevasi
ekstremitas bawah dengan penggunaan
balutan moist dan tanpa elevasi aktivitas
merupakan hal yang perlu diperhatikan
dalam penatalaksanaan ulkus diabetik.
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan
rerata proses perkembangan ulkus diabetik
pada kelompok intervensi lebih tinggi
sebesar 0,213 dibandingkan dengan
kelompok
kontrol
yaitu
0,083.
Pelaksanaan elevasi ekstremitas bawah
menunjukkan hasil yang signifikan (P
value
0,003)
terhadap
proses
penyembuhan luka. Perawat sebaiknya
56

melakukan elevasi pada ekstremitas bawah


yang mengalami ulkus diabetik selama 10
menit setiap pasien melakukan aktivitas >
15 menit.
Saran
Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut terhadap faktor perancu yang dapat
mempengaruhi proses penyembuhan ulkus
diabetik. Dalam melaksanakan elevasi
ekstremitas bawah, perlu pula diperhatikan
off-loading dan memilih metoda moist
dalam perawatan ulkus diabetik.
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. (2007).
Diagnosis and classification of
diabetes mellitus. Diabetes Care.
American Diabetes Association. (2007).
Standards of medical care in diabetes 2007. Diabetes Care.
Benbow, M. (2010). Wound Swabs and
Chronic Wounds. Practice Nurse.
Bozan, M.E., Altinel. L., I Kuru,
Maralcan., G. & et al. (2006). Factors
that affect the healing index of
metacarpal
lengthening:
a
retrospective
study. Journal
of
Orthopaedic Surgery, 14(2), 167-71.
Maret 5, 2010, from ProQuest Health
and Medical Complete. (Document
ID: 1155936311).
Cavanagh, P.R., Lipsky, B.A., Bradbury,
A.W., Botek, G. (2005). Treatment
for Diabetic Foot Ulcers. Lancet.
Februari 10 Februari, 2010
Clayton, W. Jr. (2009). A Review of The
Pathophysiology , Classification, and
Treatment of Foot Ulcers in Diabetic
Patients. Januari, 27 2010 melalui
ProQuest
Health and Medical
Complete.
Delmas, L. (2006). Best Practice in the
Assessment and Management of
Diabetic Foot Ulcers. Rehabilitation
Nursing, 31(6), 228-34. Februari 15,
2010, ProQuest Health and Medical

Pengaruh Elevasi Ekstremitas Bawah Terhadap Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik


(Indah W, Krisna Y, Tutik S)

Complete.
(Document
ID: 1166454441).
Falanga, V. (2005). Wound Healing and
Its Impairment in The Diabetic Foot.
Boston: thelancet.
Frykberg, R.G, Armstrong, D., Giurini, J.,
et al. (2000). Diabetic Foot Disorders
A Clinical Practice Guideline. The
Journal of Foot and Ankle Surgery.
Frykberg, R.G. (2002). Diabetic Foot
Ulcer: Pathogenesis and Management.
American Family Phisician. Volume
66 Number 9.
Jeffcoate, W.J., Harding, K.G. (2003).
Diabetic Foot Ulcers. Departement od
Diabetes and Endrocrinology, City
Hospital, Nottingham : The Lancet.
Online Published February, 2003.
February 10, 2010.
Keast, D., & Orsted, H. (2008). The Basic
Principles of Wound Healing. Journal
of Poediatry. February 10, 2010.
http://www.pilonidal.org/pdfs/Principl
es-of-Wound-Healing.pdf.

Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKES Faletehan Serang Banten

Dosen Program Studi FIK UI

Dosen Program Studi FIK UI

57

HUBUNGAN POLA PEMBERIAN ASI DENGAN FREKUENSI


KEJADIAN DIARE DAN ISPA PADA ANAK

Diyah Arini1
Abstract: Breastfeeding is food and beverages that foremost for babies. Foods
addition besides breastfeeding at earlier ages can increase morbidity. Children who
drink ASI rarely get diarrhea than those who drink formula milk. This study aims
at identifying the relations between breast feeding patterns with the frequency of
diarrhea occurance and ARI in children aged 6-12 months in Balong Panggang
Gresik Health center.
The design applied in this study was Analytical observational carried out through
cross-sectional design. The population is a group of mothers having children aged
6-12 months. The sample included 153 mothers selected by probability sampling
approach to Stratified random sampling. Questionnaire was accepted as the
research instrument. Data were analyzed using multiple logistic regression tests.
The study found that the pattern of breastfeeding in children aged 6-12 months was
36.6% partial. With confidence level = 0.05, the study showed the frequency of
diarrhea occurance associated to the breastfeeding pattern (p = 0.006), birth weight
(p = 0.003), and the solid foods provision in < 6 months children (p = 0.008). It
also found a significant relations between ARI occurance frequency of breastfeeding pattern (p = 0.000), giving MPASI in <6 months children (p = 0.026) and
immunization status (p = 0.020)
Implication of this study is the pattern of breastfeeding associated with the
occurance of diarrhea and ARI. Therefore, all parties, both parents and health
workers should pay attention in childrens nutrition, especially for childrens
breastfeeding exclusivity to reduce the occurance of diarrhea and ARI in children.

Keywords: Breastfeeding pattern, Diarrhea, ARI, children aged 6-12 Months

Latar Belakang
Bayi
akan
mengalami
pertumbuhan dan
perkembangan
sensorik, kognitif, motorik dan sosial
yang cepat. Melalui hubungan timbal
balik dengan pemberi perawatan (orang
tua), bayi menjalani poses tumbuh dan
berkembang sesuai dengan tugas
perkembangannya. Untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangannya,
bayi memerlukan dukungan nutrisi yang
optimal (Khasanah, 2011). Air susu ibu
adalah satu-satunya makanan atau

minuman yang dianjurkan untuk bayi


baru lahir sampai usia enam bulan, hal
ini telah ditentukan dalam undangundang kesehatan tentang pemberian
ASI eksklusif. ASI merupakan substansi
bahan yang hidup dengan kompleksitas
biologis yang luas yang mampu
memberikan daya perlindungan, baik
secara aktif maupun melalui pengaturan
imunologis,
namun
menciptakan
pemberian ASI sejak hari pertama tidak
selalu mudah karena banyak wanita
menghadapi
masalah
dalam

Hubungan Pola Pemberian ASI Dengan Frekuensi Kejadian Diare Dan ISPA Pada Anak 6-12 Bulan
(Diyah Arini)

melakukannya, keadaan yang sering


terjadi yaitu sulitnya ASI keluar
(Varney, dkk, 2007). Hal ini membuat
ibu berpikir bayi tidak akan mendapat
cukup ASI sehingga ibu langsung
mengambil langkah berhenti menyusui
dan mengganti dengan susu formula,
atau anak tetap diberi ASI
dan
menambah dengan susu formula atau
makanan yang lain. Pemberian makanan
atau minuman lewat botol kepada bayi
akan menjadi ancaman bagi kesehatan
bayi tersebut di dalam masyarakat sosial
ekonomi lemah, dimana orangtua tidak
mampu membeli susu bubuk yang
bermutu, tidak memiliki air bersih untuk
melarutkannya
dan
tidak
bisa
mensterilkan dot botolnya (Hawes &
Christin,
1993).
Meningkatnya
penggunaan susu formula untuk
makanan bayi, dapat menimbulkan
berbagai masalah di negara-negara
berkembang. Misalnya yang terkenal
dengan trias Jelliffe yang terdiri dari :
kekurangan
kalori
protein
tipe
marasmus, moniliasis pada mulut, dan
diare karena infeksi (Soetjiningsih,
1997). Umumnya, diare pada bayi
datang akibat pencernaan si kecil
kemasukan bakteri. Sumbernya, bisa
dari kurang higienisnya saat pembuatan
susu formula, tetapi bisa juga karena si
kecil alergi terhadap protein susu sapi
yang terkandung dalam susu formula.
Kemungkinan alergi terhadap bayi yang
mengkonsumsi
ASI,
masih
ada
kemungkinan juga meski jauh lebih
kecil dibandingkan bayi yang menerima
susu formula. Wilayah Puskesmas
Balong Panggang Gresik dengan letak
geografis dataran rendah yang rawan
terhadap
bahaya
banjir
karena
berdekatan dengan kali Lamong dan
sungai Bengawan Solo, selain itu
wilayah ini sulit mendapatkan sumber
air. apalagi dengan cakupan ASI
eksklusif yang sangat rendah serta
kebiasaan
masyarakat
dalam

memberikan MP-ASI secara dini pada


bayinya. Keadaan ini dapat menjadi
faktor resiko terjadinya wabah diare dan
ISPA.
Menurut data Riskesdas 2010
persentasi pola menyusui di Indonesia
pada bayi umur 0 bulan adalah 39,8%
menyusui eksklusif, 5,1 % menyusui
predominan dan 55,1% menyusui
parsial, persentase meyusui eksklusif
semakin menurun dengan meningkatnya
kelompok umur bayi dimana pada bayi
yang berumur 5 bulan menyusui
eksklusif hanya 15,3%, menyusui
pedominan 1,5% dan menyusui parsial
83,2%. Berdasarkan data Riskedas 2010
didapatkan
data di Jawa Timur
presentase anak usia 0-23 bulan yang
pernah di susui sekitar 88,8 % dan 79, 8
% masih disusui.
Menurut Sukersa (2001), wabah
diare di Indonesia adalah salah satu
penyebab kematian kedua terbesar pada
balita dan nomor 3 bagi bayi serta
nomor 5 bagi semua umur, sekitar 162
ribu balita meninggal setiap tahun atau
sekitar 460 balita setiap harinya. Hasil
survey
morbiditas
diare
dan
pengetahuan, sikap dan perilaku yang
dilaksanakan oleh DepKes RI pada
tahun 2000 ditemukan angka kesakitan
diare untuk semua umur di Jawa Timur
adalah 283 per 1.000 penduduk,
sedangkan episode pada balita 1,3 kali
per tahun, demikian juga dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA), setiap
tahunnya 40% 60% dari kunjungan di
Puskesmas ialah penderita penyakit
ISPA. Seluruh kematian balita, proporsi
kematian yang disebabkan oleh ISPA
ini mencapai 20 30% (Purnomo,
2008), dari data yang di dapat dari
wilayah
kerja
puskesmas
Balongpanggang Gresik
didapatkan
bahwa angka kejadian diare pada bayi
yang berumur antara 0-12 bulan pada
tahun 2010 yaitu 171 kasus dan ISPA
(batuk bukan Pneumoni) 694 kasus.

59

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

Sedangkan
target pemberian ASI
eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan yang
saat ini hanya mencapai 32,44 % dari
target 80 %. Berdasarkan hasil
observasi dan wawancara dengan
petugas kesehatan yang ada di
Puskesmas Balongpanggang, bahwa
masyarakat Balongpanggang sampai
saat ini masih kesulitan untuk
mendapatkan
air
bersih
untuk
memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Buruknya
pemberian
ASI
eksklusif di Indonesia, terbatasnya
persediaan pangan di tingkat rumah
tangga serta terbatasnya akses balita
sakit terhadap pelayanan kesehatan
yang berkualitas menyebabkan 5 juta
anak menderita gizi kurang. (Arwin,
dkk, 2010). Apalagi dengan melihat
masih tingginya angka kejadian Diare
dan ISPA di Indonesia, khususnya di
Jawa Timur. Sekian banyak usaha
preventif untuk mencegah kematian
anak balita, tampak bahwa pemberian
ASI adalah cara paling banyak untuk
dapat menurunkan kematian anak balita
(Suradi, 2004), namun cakupan ASI
ekslusif masih rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan antara pola
pemberian ASI dengan frekuensi
kejadian Diare dan ISPA pada anak
Bahan Dan Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah jenis analitik
observasional dengan rancang bangun
penelitian
adalah
cross-sectional.
Penelitian dilaksanakan di wilayah
puskesmas Balongpanggang Gresik
mulai bulan Mei - Juli 2011. Populasi
pada penelitian ini adalah ibu yang
memiliki anak berusia 6 12 bulan
yang bertempat tinggal di wilayah
puskesmas
Balongpanggang Gresik
sebanyak 327
ibu.
Berdasarkan
perhitungan diatas maka besar sampel

60

pada penelitian ini adalah 153. Tekhnik


pengambilan sampel dalam penelitian
ini dilakukan secara Stratified Random
Sampling berdasarkan pola pemberian
ASI. Variabel pada penelitian ini terdiri
dari 1)Variabel bebas yaitu pola
pemberian ASI, 2) Variabel terikat
adalah Frekuensi Kejadian diare pada
anak 6-12 bulan dalam 6 bulan terakhir,
3)Variabel pengganggu adalah berat
badan lahir, jumlah balita yang tinggal
bersama anak dalam 1 rumah tangga,
pemberian MPASI pada usia < 6 bulan,
tingkat pendidikan ibu, status ekonomi
keluarga, kepadatan hunian rumah,
status perokok pasif, status imunisasi.
Penelitian ini dianalisis untuk
mengetahui hubungan antara variabel,
yaitu melihat hubungan variabel bebas
dengan variabel pengganggu yang
bermakna
secara
bersama-sama
terhadap variabel terikat dengan
menggunakan Uji statistik
regresi
logistik
ganda
dengan
tingkat
kemaknaan sebesar 0,05.
Hasil Penelitian
1.
a.

Data Khusus
Pola pemberian ASI

N
o

Karakteristik
Responden

frekuens
i

Non ASI

32

20,9

Parsial

56

36,6

Predominan

28

18,3

Eksklusif

37

24,2

Persentase (%)

Tabel di atas memperlihatkan


proporsi
responden
dalam
pola
pemberian ASI yang paling besar secara
parsial (36,6%), secara eksklusif 24,2%,
tidak diberikan ASI 20,9 %, secara
predominan 18,3%.

Hubungan Pola Pemberian ASI Dengan Frekuensi Kejadian Diare Dan ISPA Pada Anak 6-12 Bulan
(Diyah Arini)

b.

ASI

Frekuensi kejadian Diare pada anak


Jarang

No
1

Karakteristik
responden
Sering

frekuensi

Persentase
(%)

61

39,9

Non
ASI
Parsial
Predominan

Jarang

43

28,1

Tidak pernah

49

32,0
Sering

Tabel di atas memperlihatkan


paling besar anak sering mengalami
diare(39,9 %), tidak pernah 32%, jarang
28,1%.
c.

Frekuensi kejadian ISPA pada anak

No

Karakteristik
Responden

frekuensi

Persentase
(%)

Sering

77

50,3

BBLN(refe
rence)
1). MPASI
< 6 bulan

Jarang

37

24,2

Ya

Tidak
pernah

39

25,2

Tidak(refer
ence)
2).
MPASI< 6
bulan

Tabel di atas memperlihatkan


sebagian besar anak sering mengalami
ISPA (50,3%), tidak pernah mengalami
ISPA 24,2%, jarang mengalami ISPA
24,2% dan dari 114 anak yang
mengalami ISPA didapatkan 6 anak
(5,26%) yang mengalami ISPA
pneumoni.

275857
339

0,177

13,798

0,304

0.021

18,362

1,544

275857
339
625,69
5
216,89
4

0,004

55,979

3,628

863,82
3

0,12

27,160

2,071

356,24
2

0,033

42,918

1,345

1369,1
70

0,013

23,332

1,924

282,90
0

BBLN(refe
rence)
2). Berat
badan lahir
BBLR

Sering

3x108

Eksklusive(
reference)
1). Berat
badan lahir
BBLR

Jarang

Jarang
Ya
Tidak(refer
ence)

Tabel di atas dapat disimpulkan


hanya ada tiga yang secara signifikan
yaitu pola pemberian ASI sebagai
variabel bebas dan berat badan lahir
d. Hubungan Pola Pemberian ASI
anak serta pemberian MPASI < usia 6
dengan Frekuensi Kejadian Diare di
bulan yang berpengaruh terjadinya
pada anak usia 6-12 bulan di wilayah
kejadian diare. Pada variabel pola
Puskesmas Balong Panggang Gresik
pemberian ASI dimana anak tidak
diberi ASI OR 6x1016 menunjukkan
Variabel
Jenis
p
Prevalence
dependen
variabel
value
resiko
95% C.I bahwa anak yang tidak diberi ASI maka
Batas
Batas
bawah
atasfrekuensi kejadian diare sering beresiko
Frekuensi
1). Pola
6x1016 kali lebih tinggi dibandingkan
pemberian
dengan pola pemberian ASI secara
ASI
Kejadian
Non
2,183x
1,796x
eksklusif pada anak. Sedangkan
ASI
0.000
6x1016
1015
1018
variabel pola pemberian ASI secara
Diare
261888 207091
Parsial
0.000
7x108
06
23850
parsial
ditemukan
OR
7x108
(sering)
290479 290479
Predominan .
3x108
621
621menunjukkan bahwa anak yang diberi
ASI secara parsial maka frekuensi
Eksklusif
kejadian diare sering beresiko 7x108
(reference)
.
2). Pola
kali lebih tinggi dibandingkan dengan
pemberian
pola pemberian ASI secara eksklusif
61

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

pada anak. Sedangkan pada anak yang


diberi
ASI
secara
predominan
ditemukan OR 3x108 menunjukkan
bahwa anak yang diberi ASI
predominan maka kejadian diare dengan
frekuensi sering beresiko 3x108 kali
lebih tinggi dari anak yang diberi ASI
secara eksklusif.
Hasil analis pada variabel berat
badan lahir rendah dengan kejadian
diare yang sering menunjukkan OR
55,979 artinya frekuensi kejadian diare
sering pada anak dengan berat lahir
rendah sebesar 55 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan berat badan lahir
normal. Sedangkan variabel berat badan
lahir dengan kejadian diare yang jarang
menunjukkan OR 27,160 artinya
frekuensi kejadian diare yang jarang
pada anak dengan berat lahir rendah
sebesar
27
kali
lebih
tinggi
dibandingkan dengan berat badan lahir
normal
Hasil analis pada variabel
pemberian MPASI < 6 bulan pada anak
dengan kejadian diare yang sering
menunjukkan OR 42,918 artinya
frekuensi kejadian diare sering pada
anak dengan pemberian MPASI < 6
bulan beresiko 42 kali lebih tinggi
dibandingkan
dengan
pemberian
MPASI > 6 bulan. Sedangkan variabel
pemberian MPASI < 6 bulan pada anak
dengan kejadian diare yang jarang
menunjukkan p=0,013 dengan OR
23,332 artinya frekuensi kejadian diare
sering pada anak dengan pemberian
MPASI < 6 bulan sebesar 23 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pemberian
MPASI > 6 bulan.

62

e. Hubungan Pola Pemberian ASI


dengan Frekuensi Kejadian ISPA pada
anak usia 6-12 bulan di wilayah
Puskesmas Balong Panggang Gresik
Varia
bel
Depe
nden

Freku
ensi
Kejad
ian
ISPA

Jenis
variabel

p
value

Prevalenc
e resiko

0.998

3x1010

0,000

0.997

15

0,000

0,000

95% C.I
Batas
bawah
Batas atas

1). Pola
pemberian
ASI
Non ASI
Parsial

4x10

Sering
Predominan

0.998

Eksklusive(re
ference)
2). Pola
pemberian
ASI

2x10

Jarang
Non ASI
Parsial
Predominan

Sering

267,640

267,640

0,097

1x108

0,000

0,002

314,969

8,741

11349,907

Eksklusive(re
ference)
1). MPASI <
6 bulan

Ya
Tidak
(reference)
2). MPASI<
6 bulan

0.000

2x1011

2612229
575

1,105x1013

Ya
Tidak
(reference)
1) Status
imunisasi

5x1010

4853814
0052

48538140052

Ya
Tidak
(reference)
2) Status
imunisasi

0,059

473,998

0,801

280565,514

Ya
Tidak
(reference)

0,028

1085,769

2,163

545114,096

Jarang

Sering

267,640

Jarang

Tabel di atas dapat disimpulkan


ada tiga variabel berhubungan dengan
frekuensi kejadian ISPA yaitu pola
pemberian ASI pada frekuensi kejadian
ISPA yang jarang sebagai variabel
bebas dan pemberian MPASI < usia 6
bulan serta status imunisasi anak.
Pada anak yang tidak diberi ASI
akan mengalami serangan ISPA dengan
frekuensi jarang sebesar 267 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pada anak

Hubungan Pola Pemberian ASI Dengan Frekuensi Kejadian Diare Dan ISPA Pada Anak 6-12 Bulan
(Diyah Arini)

yang diberi ASI secara eksklusif. Pada


anak yang
diberi ASI secara
predominan maka frekuensi kejadian
diare jarang beresiko 314 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pola
pemberian ASI secara eksklusif pada
anak.
Frekuensi kejadian ISPA sering
pada anak dengan pemberian MPASI <
6 bulan sebesar 2x1011 kali lebih tinggi
dibandingkan
dengan
pemberian
MPASI > 6 bulan.
Frekuensi kejadian ISPA yang
sering pada anak dengan status
imunisasi tidak lengkap beresiko
473,998 kali dibandingkan dengan
status
imunisasi
yang
lengkap.
Sedangkan frekuensi kejadian ISPA
yang jarang pada anak dengan status
imunisasi tidak lengkap beresiko 1085
kali lebih tinggi dibandingkan dengan
status imunisasi yang lengkap.
Pembahasan
1.Pengaruh
perbedaan
pola
pemberian ASI dengan frekuensi
kejadian diare
Frekuensi kejadian diare yang sering
lebih banyak terjadi pada anak yang
tidak diberikan ASI 87%. Anak tidak
akan menerima imunoglobulin yang
utama pada ASI seperti SIgA sehingga
bayi tidak dapat dilindungi dari
mikroorganisme patogen yang berasal
dari sekitarnya. Anak yang tidak diberi
ASI tidak akan mendapatkan enzim
yang berfungsi membantu pencernaan
bayi dimana fungsi pankreas masih
belum sempurna, sebagai pengangkut
logam-logam (Fe, Mg, Zn dan Se) dan
berfungsi sebagai anti infeksi. Selain itu
anak
tidak akan mendapatkan
karbohidrat utama dari ASI seperti
laktosa yang oleh fermentasi akan
dirubah menjadi asam laktat dimana ini
akan memberikan suasana asam
didalam usus bayi. Sehinggan anak

yang tidak diberi ASI akan mudah


mengalami pertumbuhan balteri yang
patologis
didalam
usus
bayi.
Sedangkan anak yang diberi ASI secara
parsial mengalami diare dengan
frekuensi jarang sebesar13 kali lebih
tinggi dibandingkan anak yang diberi
ASI secara eksklusif. Menyusui secara
parsial adalah menyusui bayi serta
diberikan makanan buatan selain ASI,
baik susu formula, bubur atau makanan
lain sebelum bayi berumur enam bulan
baik diberikan secara kontinyu maupun
diberikan sebagai makanan prelakteal.
Pemberian makanan pendamping ASI
yang
terlalu
dini
juga
akan
meningkatkan angka kematian pada
bayi.
Hal tersebut diperjelas lagi oleh
Kristiyanasari (2009), bahwa pada bayi
baru lahir sistem IgE belum sempurna.
Pemberian
susu
formula
akan
merangsang aktivasi sistem ini dan
dapat menimbulkan alergi. ASI tidak
menimbulkan efek ini. Pemberian
protein asing yang ditunda sampai umur
6 bulan akan mengurangi kemungkinan
alergi.
Peneliti berasumsi
pola
pemberian ASI secara parsial sebagian
besar diberikan oleh ibu di wilayah
puskesmas Balongpanggang Gresik
dikarenakan bahwa tingkat pendidikan
orang tua sangat mempengaruhi dalam
pencegahan penyakit diare pada anak,
ini terbukti dengan tingkat pendidikan
orang tua bayi pada penelitian yang
tidak mengalami diare adalah tingkatan
tinggi (50%) yaitu SMA dan PT.
Namun budaya masyarakat sangat
mempengaruhi dalam pola pemberian
ASI pada anaknya dimana didapatkan
anak yang berusia satu bulan sudah
diberi pisang atau nasi lembek sebagai
tambahan ASI, selain itu ibu yang
masih tinggal bersama dengan orang tua
dimana ada kecenderungan anak
mengikuti pola asuh dari ibu yang telah

63

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

memberikan makanan selain ASI


sebelum anak berusia < 6 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan anak
yang diberi ASI eksklusif
hampir
sepenuhnya tidak diare. Menurut
Soetjiningsih (1997), ASI mengandung
bermacam-macam enzim. Banyak dari
enzim-enzim ini dapat melewati
lambung, karena mempunyai struktur
tersier yang hidrofobik dan ASI
merupakan buffer yang bagus yang
dapat meningkatkan pH menjadi 5,56,0. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Kodrat (2010), bahwa bayi yang diberi
susu eksklusif dari si ibu selama 6 bulan
pertama kelahirannya jarang sekali yang
mengalami alergi pada kulit atau infeksi
karena
bakteri.
ASI
telah
diformulasikan khusus untuk bayi.
Dalam ASI ada efek laksatif yang
menyebabkan bayi tidak sembelit dan
jarang diare. ASI mengurangi resiko
sakit perut. Cairan pada ASI akan
menghancurkan
dan
menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang
berbahaya. Anak yang tetap diberikan
ASI, mempunyai volume tinja lebih
sedikit, frekuensi diare lebih sedikit,
serta lebih cepat sembuh dibanding
anak yang tidak mendapat ASI.
2.Pengaruh
perbedaan
pola
pemberian ASI dengan frekuensi
kejadian ISPA
Frekuensi kejadian ISPA yang
sering lebih banyak terjadi pada anak
yang tidak diberikan ASI 84,4%, dan
secara parsial 87,5 %
dan pola
pemberian ASI secara predominan
sebagian besar mengalami ISPA dengan
frekuensi jarang 82,1% sementara yang
tidak mengalami kejadian ISPA terjadi
pada anak dengan pola pemberian ASI
secara eksklusif 94,6%. Anak yang
tidak diberikan ASI
mengalami
frekuensi kejadian ISPA sering 3 x 109
lebih tinggi dibandingkan pada anak

64

yangdiberi ASI secara eksklusif namun


tidak ada hubungan antara pola
pemberian ASI secara eksklusif dengan
frekuensi kejadian ISPA yang sering
pada naak usia 6-12 bulan. Terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada anak, hal ini
berhubungan dengan penjamu, agent
penyakit dan lingkungan. Salah satunya
adalah polusi udara, hal ini berkaitan
dngan konsentrasi polutan lingkungan
yang dapat mengiritasi mukosa saluran
respiratori. Anak yang tinggal di dalam
rumah berventilasi baik memiliki angka
insidens ISPA yang lebih rendah dari
pada anak yang berada didalam rumah
yang berventilasi buruk. Orang tua yang
perokok menyebabkan anaknya rentan
terhadap pneumonia. Anak yang tidak
diberi ASI mengalami ISPA dengan
frekuensi jarang sebesar 267,640 kali lebih
tinggi dibandingkan pada anak dengan
pemberian ASI secara eksklusif. Sementara
Kramer et al. (2003) menyatakan bahwa
efek perlindungan ASI terhadap penyakit
gastrointetinal dan infeksi pernapasan akan
meningkat seiring dengan eksklusif
tidaknya pemberian ASI yang dilakukan.
Anak yang diberi ASI secara
parsial mengalami ISPA dengan frekuensi
sering sebesar 4x1015
lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian ASI secara
eksklusi sedangkan anak yang diberi ASI
secara parsial mengalami ISPA yang jarang
sebesar 1x108 lebih tinggi dibandingkan
dengan pemberian ASI secara eksklusif.
Penggunaan susu formula dan serta
MPASI, dan jarang memberikan ASI ini
membuat anak lebih rentan terhadap resiko
penyakit, malnutrisi dan kematian lebih
tinggi. Masih banyak faktor yang
mempegaruhi kejadian ISPA diantaranya
berat badan lahir bayi, pengetahuan ibu
yang dikaitkan dengan tingkat pendidikan
ibu, jumlah balita, pemberian makanan
pendamping ASI yang terlalu dini, gizi ibu,
sosial ekonomi, status imunisasi anak dan
lingkungan. Bayi dengan berat badan lahir
rendah
(BBLR)
menunjukkan
kecenderungan
untuk
lebih
rentan
menderita penyakit infeksi dibanding

Hubungan Pola Pemberian ASI Dengan Frekuensi Kejadian Diare Dan ISPA Pada Anak 6-12 Bulan
(Diyah Arini)

dengan bayi dengan berat badan lahir


normal (BBLN). Bayi dengan berat badan
lahir rendah biasanya terlahir sebelum
waktunya (prematur). Bayi yang terlahir
prematur baik secara fisik maupun
fisiologis belum terbentuk secara sempurna,
khususnya organ vital paru-paru.

Anak yang diberi ASI secara


predominan mengalami ISPA dengan
frekuensi sering sebesar 2x108 lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang
diberi kan ASI secara eksklusif.
Sedangkan Anak yang diberi ASI secara
predominan mengalami diare dengan
frekuensi jarang sebesar 314 lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang
diberi kan ASI secara eksklusif. Ginjal
bayi
belum matang atau belum
berkembang secara sempurna. Ginjal
bayi tidak mempu mengelurkan air
dengan cepat sehingga menyebabkan
timbunan air dalam tubuh yang dapat
membahayakan
bayi.
Kelebihan
pemberian air putih dapat melarutkan
natrium (sodium) dalam darah dan akan
dikeluarkan oileh tubuh sehingga dapat
mempengaruhi
aktivitas
otak.
Kebutuhan bayi akan air putih
sebenarnya sudah terpenuhi waktu
minum ASI karena sebagian besar
bahannya adalah air. Selain itu air putih
dengan mudah membuat perut bayi
menjadi penuh sehingga bayi tidak mau
diberikan ASI. Dampak lainnya adalah
bayi mengalami intoksikasi air atau
keracunan air dengan gejala awal adalah
iritabilitas (bayi merengek-rengek),
mengantuk dan mengalami perubahan
mental lainnya. Gejala lainnya adalah
menurunnya suhu tubuh, edema atau
bengkak di sekitar wajah dan kejang.
Selain itu apabila air yang dikonsumsi
tercemar maka anak mudah sekali
mengalami infeksi pernapasan dan
pencernaan.
Anak yang diberi ASI secara
eksklusif oleh ibunya sebagian besar 94,6
% tidak pernah mengalami serangan ISPA.
Hal ini bisa disebabkan zat-zat kekebalan

tubuh di dalam ASI memberikan


perlindungan langsung melawan serangan
penyakit. Sifat lain dari ASI yang juga
memberikan
perlindungan
dengan
penyediaan lingkungan yang ramah bagi
bakteri yang menguntungkan dimana
bakteri tersebut dapat menghambat
perkembangan bakteri, virus dan parasit
yang berbahaya.

Simpulan Dan Saran


Frekuensi kejadian diare dan
ISPA pada anak 6-12 bulan semakin
sering terjadi pada anak yang tidak
diberikan ASI, pemberian ASI secara
parsial ataupun secara predominan. Ibu
dapat melakanakan manajemen laktasi
dan bagi sesama Ibu Menyusui saling
berbagi
pengalaman,
bertukar
informasi, memberi semangat dan
dukungan seputar kegiatan menyusui
dan pemberian ASI, agar ASI Eksklusif
berhasil diberikan kepada bayi selama 6
bulan pertama, dan ASI diteruskan
hingga anak berusia 2 tahun atau lebih,
tidak kalah pentingnya adalah peran
dari pemerintah
agar senantiasa
mensosialisasikan keunggulan ASI
kepada
masyarakat
Serta
mensosialisasikan UU Kesehatan yang
terkait dengan pemberian ASI yang
didukung juga dengan Peraturan
Pemerintah serta bentuk sanksi yang
akan diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Akib Arwin. Zakiudin. Nia. (2010)
Alergi-Imunologi Anak. Edisi 2.
Jakarta. Badan Penerbit IDAI. hlm
189-203
American Academy Of Pediatrics (2005)
Breastheeding and Human Mile
Pediatrics. Vol. 115. hlm 496-506
Arifeen. S. Black. R.E. Sntelman. G. Baqui.
A. Caulfield. L. et al (2001) Exclusive
breastfeeding reduces acute respiratory
infection and diarrhea deaths among
65

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

infants in Dhaka dilums Pediatrics,


vol.108. hlm 1 8.

Hawes, H & Christine S. (1993)


Children for Health British : British
Library Cataloguing-in publication
data.
Khasanah, Nur. (2011). Panduan
Lengkap Seputar ASI dan Susu
Formula. Jogjakarta. FlashBooks.
Kodrat, Laksono. (2010). Dahsyatnya
ASI dan Laktasi. Cetakan ke-1.
Yogyakarta ; Media Baca, hlm 2-49
Kristiyanasari. (2009). ASI, Menyusui,
dan
Sadari.
Cetakan
ke-1.
Yogyakarta ; Nuha Medika.
Pramono, D. (1997) Besar sampel
dalam
penelitian
kesehatan
Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press. Edisi terjemahaan
dari : Lemeshow, S., Hosmer,
D.W., Klar, J., Lwanga. (1990)
Adequacy of sample size in health
studies. WHO : john Willey &
Sons.
Suraatmaja. (2007). Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. CV. Sagung
Seto. Hal 1-15

Soetjiningsih. (1997). ASI Petunjuk


untuk Tenaga Kesehatan. Cetakan
ke-1. Jakarta ; EGC, hlm20-75.

66

Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKES Hang Tuah Surabaya

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG


PENYAKIT DHF DENGAN PREVALENSI DHF

Norma Anugerahwati1, Imroatul Farida2

Abstract: DHF disease have long axisted in Indonesia. Until now DHF disease is
still a serious problem for thegovernment or the people at Indonesia. The purpose
of this research is to analyze corelation level of mother knowwledge about DHF
disease with prevalence of DHF diseases.
This research design is correlational analytic. The population used to 842 house
wifes. A sample taken using a purpotive sampling of 271 house wifes. The
Independent Variables in this research is level of Mother Knowledge about DHF
disease. While dependent variable is prevalence of DHF disease. Data was taken
using quesionare, documentation study, and sheet interview, after data were
tabulated then tested using SPSS with the statistical wilcoxon test.
The results showed that the good of knowledge with occurence of DHF 6 (2,2%)
mothers good level of knowledge but nooccurence of 83 (30,6%) mothers,
sufficient level of knowledge with occurence of DHF 9 (3,3%) mothers, sufficient
level of knowledge but no occorence 125 (46%) mothers, less level of knowledge
with occurence or DHF disease 6 (2,2%) mothers, less level of knowledge but no
occurance 42 (15,5%) mother. From the statistical results of significant value
p=0,000 ( 0,05) meaning H0 refused and H1 accepted.
The research result showed the correlation between level of mother knowledge
about DHF disease with a prevalence of DHF disease in Kedung Kendo Candi
Sidoarjo. Society the result of this research is the need to increase mother
knowledge about DHF disease conducted to reduce the incidence of DHF disease.
Keyword : Knowledge, prevalence, DHF

Latar Belakang
DHF atau DBD (Demam Berdarah
Dengue) merupakan penyakit yang
berbasis lingkungan artinya kejadian
dan penularannya dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan. Penyakit
DHF hingga kini masih merupakan
masalah serius bagi pemerintah maupun
masyarakat di Indonesia. Melalui
program
Indonesia
Sehat
2010
diharapkan masyarakat Indonesia hidup
dalam lingkungan yang sehat dan
mempraktekkan perilaku hidup bersih

dan sehat. Tapi kenyataannya masih


banyak selokan yang airnya tidak
mengalir dikarenakan banyak sampah
terutama sampah plastik, selain itu di
wilayah Desa Kedung Kendo terdapat
banyak tanaman yang rimbun sehingga
dapat menjadi sarang nyamuk, dimana
nyamuk tersebut suka tinggal di kebun.
Melihat kasus DBD di Desa Kedung
Kendo yang relatif tinggi meskipun
tidak ada kasus kematian dan sudah
dilakukan fogging atau pengasapan
sebanyak 2 kali pada bulan April 2009

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

tetap masih banyak anggota keluarga


yang terjangkit penyakit ini.
Kasus DBD pertama kali dilaporkan
terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan
jumlah kematian sebanyak 24 orang.
Data di Indonesia menunjukkan bahwa
angka kejadian DBD di Indonesia
mencapai lebih dari 50 kasus per
100.000 penduduk dengan angka
kematian sekitar 1-2 persen (Kompas,
2010). Berdasarkan data yang di dapat
dari Departemen Kesehatan, 2005
jumlah penderita atau prevalensi
penyakit DBD di Indonesia pada tahun
2000 sebanyak 21.134 penderita, tahun
2001 sebanyak 33.443 penderita, tahun
2002 sebanyak 40.377, dan pada tahun
2003 sebanyak 51.516 penderita. Pada
tahun 2000 Jawa Timur jumlah
penderita penyakit DBD tertinggi
nomor dua setelah DKI Jakarta yaitu
sebanyak 3.247 orang, tahun 2001
meningkat sebanyak 4224 orang, tahun
2002 menjadi 5.308 penderita, pada
tahun 2003 jumlah penderita DBD turun
menjadi 4.216. Berdasarkan data yang
didapat
dari
Dinas
Kesehatan
Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2008
terdapat 516 penderita dengan jumlah
kematian 10 orang dan pada tahun 2009
jumlah penderita DBD meningkat
menjadi 526 orang. Sedangkan di
Puskesmas Candi pada tahun 2008
terdapat 46 penderita dengan jumlah
kematian 1 orang dan pada tahun 2009
terdapat 52 penderita. Dari hasil studi
pendahuluan melalui wawancara yang
dilakukan kepada 10 ibu di dapatkan
data 60 % pengetahuan Ibu tentang
penyebab dan cara penularan dan 40 %
pengetahuan Ibu baik. Sedangkan untuk
tindakan pencegahan 50 % pengetahuan
Ibu kurang, 30 % cukup, dan 20 % baik.
Penyebaran dan penularan virus
dengue dipengaruhi oleh sistem
ketahanan tubuh dan faktor lingkungan.
Jika seseorang memiliki daya tahan
tubuh yang bagus maka orang tersebut

68

tidak akan mudah terserang DBD.


sementara itu, faktor lingkungan
meliputi
kondisi
geografis
dan
kependudukan. Kondisi geografis yang
mempengaruhi
penyebaran
DBD
misalnya ketinggian suatu daerah dari
permukaan laut, curah hujan, angin,
kelembaban,dan musim. Epidemi DBD
mencapai angka tertinggi pada satu
bulan setelah curah hujan mencapai
puncak tertinggi untuk kemudian
menurun sejalan dengan menurunnya
curah
hujan.
Sedangkan
faktor
kependudukan yang ikut mempengaruhi
penyebaran DBD, misalnya kepadatan
penduduk, perilaku, adat-istiadat, dan
kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Daerah yang terjangkit DBD pada
umumnya adalah kota atau wilayah
yang padat penduduk (Susanto, 2007 :
7).
Rumah-rumah
yang
saling
berdekatan memudahkan penularan
nyamuk aedes aegypti mengingat daya
terbangnya maksimal 100 meter
(Nadesul, 2007 : 14). Melihat kondisi
masyarakat Indonesia dan warga Desa
Kedung Kendo yang memiliki perilaku
atau kebiasaan menampung air bersih
yang digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari misalnya mandi atau untuk
air
minum,
dimana
tempat
penampungan tersebut dapat menjadi
sarang nyamuk aedes aegypti. Salah
satu faktor yang mempengaruhi perilaku
adalah pengetahuan masyarakat. Bila
pengetahuan
masyarakat
baik
diharapkan masyarakat dapat mengubah
perilakunya dan melakukan tindakan
pencegahan penyakit DBD. Melihat
bahwa di Indonesia merupakan daerah
yang padat penduduk dan perilaku
masyarakatnya yang suka menampung
air bersih, maka masalah penyebaran
dan angka kejadian penyakit DHF ini
semakin meningkat. Jika penyakit DBD
ini terlambat ditangani, akibat yang
mungkin ditimbulkan bisa lebih dahsyat
dari kasus AIDS (Acquired Immuno

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit DHF Dengan Prevalensi DHF
(Norma A, Imroatul F)

Deficiency Syndrome). Akibat yang


paling utama dari penyakit DBD dapat
merenggut nyawa, tanda dan gejala
selalu tidak tampil nyata, cara jitu
mencegah
DBD
hanya
dengan
memberantas vektornya (Nadesul, 2007
: xix). Untuk itu diperlukan tindakan
segera untuk mencegah terjadinya
penyebaran dan peningkatan angka
kejadian penyakit ini.
Mengatasi penyakit DBD tidak
cukup hanya bergantung pada para
tenaga kesehatan akan tetapi partisipasi
masyarakat dalam hal pencegahan dan
penatalaksanaan awal sangat penting.
Untuk itu diperlukan pengetahuan yang
cukup bagi masyarakat mengenai
pencegahan dan penatalaksanaan awal
DBD.
Dalam
meningkatkan
pengetahuan masyarakat peran perawat
komunitas adalah sebagai educator atau
pendidik. Dimana peran tersebut untuk
membantu
klien
mempertinggi
pengetahuan
dalam
upaya
meningkatkan
kesehatan,
gejala
penyakitnya sesuai kondisi dan tindakan
yang spesifik (Mubarak, 2005 : 78).
Untuk
meningkatkan
pengetahuan
masyarakat dapat dilakukan dengan
penyuluhan kesehatan, selain itu kita
dapat
mendemonstrasikan
cara
pencegahan dan penularan DHF kepada
masyarakat. Sampai saat ini obat dan
vaksin
demam
berdarah
belum
ditemukan dan masih dalam tahap
penelitian. Oleh karena itu, diperlukan
cara-cara pencegahan agar penyakit ini
tidak menyebar. Pencegahan penyakit
DBD sangat tergantung vektornya.
Pengendalian vektor ini dapat dilakukan
dengan
memperhatikan
kondisi
lingkungan dengan cara Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) melalui program
3M yaitu menutup rapat-rapat tempat
penampungan air, menguras tempattempat penampungan air, dan mengubur
atau menyingkirkan barang-barang
bekas yang dapat menampung air hujan.

Dapat
pula
dilakukan
melalui
pengendalian
biologis
dengan
menggunakan ikan pemakan jentik dan
pengendalian
kimiawi
melalui
pengasapan (fogging) dan pembubuhan
bubuk abate (temephus) pada tempattempat penampungan air (Susanto, 2007
: 12).
Bahan Dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
desain penelitian analitik korelasional
menggunakan metode case control,
besar sampel sebanyak 271 responden
yang di ambil secara purposive
sampling dengan kriteria Ibu rumah
tangga yang tinggal di desa kedung
kendo, pendidikan minimal SMP,
berusia 30-50 tahun dan tidak sedang
sakit.

Hasil Penelitian
1. Data Umum
a. Umur
0;0%

0;0%

<30 th

26;10%
69;25%

89;33%

87;32%

30 th - 35
th
36 th - 40th
41 th - 45
th
46 th - 50
th
>50 th

Berdasarkan gambar 1 terlihat


distribusi ibu berdasarkan umur, antara
umur 30 th-35 th dengan jumlah 89
orang (33 %), antara umur 36 th-40 th
dengan jumlah 87 orang (32 %), antara
umur 41 th - 45 th dengan jumlah 69

69

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

orang (25 %), dan antara umur 46 th-50


th dengan jumlah 26 orang (10 %).
b. Pendidikan

0;0%

0;0%

92;34%

19;7%

tidak
sekolah/tida
k lulus SD
lulus SD

lulus SLTP

160;59
%

dengan penghasilan Rp. 500.000 - Rp.


1.000.000/bulan dengan jumlah 90
keluarga (33 %), keluarga dengan
penghasilan
lebih
dari
Rp.
2.000.000/bulan dengan jumlah 36
keluarga (13 %), dan keluarga dengan
penghasilan kurang dari Rp.500.000/
bulan dengan jumlah 21 keluarga (8 %).

d. Pekerjaan

lulus SLTA

0; 0% 0; 0%
271;10 0; 0%
0%

0; 0%

Berdasarkan gambar 2 terlihat


distribusi ibu berdasarkan pendidikan,
sebagian besar pendidikan Ibu dengan
lulusan SLTA sebanyak 160 orang (59
%), pendidikan Ibu dengan lulusan
SLTP sebanyak 92 orang (34 %),
pendidikan
Ibu
dengan
lulusan
Perguruan Tinggi sebanyak 19 orang (7
%).
c. Penghasilan
< Rp

ibu
rumah
tangga
buruh
pabrik

Berdasarkan gambar 4 terlihat


distribusi ibu berdasarkan pekerjaan
Ibu, seluruhnya pekerjaan sebagai Ibu
rumah tangga dengan jumlah 271 orang
(100 %).
e. Pengetahuan

500.000/bulan

36;13%

80;29%
21;8%

Rp 500.000-

90;33%Rp1.000.000/b

40;15%

leflet/poster

ulan

124;46
%

2.000.000/bul
an

Berdasarkan gambar 3 terlihat


distribusi ibu berdasarkan penghasilan,
keluarga dengan penghasilan Rp.
1.000.000-Rp. 2.000.000/bulan dengan
jumlah 124 keluarga (46 %), keluarga

70

televisi

Rp 1.000.000Rp

koran/majal
ah

110;41
%

penyuluhan
41;15%

Berdasarkan gambar 5 terlihat


distribusi ibu berdasarkan sumber
informasi
pengetahuan
hampir
setengahnya informasi tentang penyakit

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit DHF Dengan Prevalensi DHF
(Norma A, Imroatul F)

DHF didapat dari televisi sebanyak 110


ibu (41 %), dari koran atau majalah
sebanyak80 ibu (29 %), dari penyuluhan
petugas kesehatan sebanyak 40 ibu (15
%), dan dari media leaflet atau poster
sebanyak 41 ibu (15 %).

(92 %) dan kejadian penyakit DHF


sebanyak 21 orang (8 %).
3. Hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan prevalensi
Tabel

2. Data Khusus
Tabel

1
Distribusi
Tingkat
Pengetahuan Ibu di Desa
Kedung Kendo Kecamatan
Candi, Juni 2010

No

Tingkat Pengetahuan

Jumlah

prosentase

Baik

89 ibu

33 %

Cukup

134 ibu

49 %

Kurang

48 ibu

18 %

271 ibu

100 %

Total

Berdasarkan tabel 1 didapatkan


bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang
penyakit DHF adalah 134 (49 %) Ibu
dengan tingkat pengetahuan cukup, 89
(33 %) Ibu dengan tingkat pengetahuan
baik, dan 48 (18 %) Ibu dengan tingkat
pengetahuan kurang.
1. Prevalensi penyakit DHF
Tabel 2 Prevalensi Penyakit DHF di
Desa
Kedung
Kendo
Kecamatan Candi, Juni 2010
No

Prevalensi penyakit
DHF

Jumlah

Prosentase

Ada kejadian

21 orang

8%

Tidak ada kejadian

250 orang

92 %

271 orang

100 %

Total

Berdasarkan tabel 2 didapatkan


bahwa prevalensi penyakit DHF adalah
sebagian besar tidak ada angka kejadian
dengan jumlah 250 orang dari 271 ibu

Tingkat
Pengetahuan
tentang
penyakit
DHF

Hubungan antara tingkat


pengetahuan Ibu tentang
penyakit
DHF
dengan
prevalensi penyakit DHF di
Desa
Kedung
Kendo
Kecamatan Candi, Juni 2010
Prevalensi penyakit DHF
Ada Kejadian

Tidak ada
kejadian

Total

Baik

2,2 %

83

30,6
%

89

Cukup

3,3 %

125

46,1
%

134

kurang

2,2 %

42

15,5
%

48

total

21

7,7 %

250

92,3
%

271

Hasil uji statistic Wilcoxon z = -12,456 dengan = 0.000

Hasil data diatas terlihat bahwa


jumlah keseluruhan responden dalam
penelitian ini yaitu 271 ibu yang tinggal
menetap di desa Kedung kendo. Dimana
ibu yang memiliki tingkat pengetahuan
baik dengan kejadian penyakit DHF
sejumlah 6 (2,2 %) ibu dan tingkat
pengetahuan baik dengan tidak ada
kejadian sejumlah 83 (30,6 %) ibu,
tingkat pengetahuan cukup dengan
kejadian penyakit DHF sejumlah 9 (3,3
%) ibu dan tingkat pengetahuan cukup
dengan tidak ada kejadian sejumlah 125
(46,1%) ibu, tingkat pengetahuan
kurang dengan kejadian penyakit DHF
sejumlah 6 (2,2 %) ibu dan tingkat
pengetahuan kurang dengan tidak ada
kejadian sejumlah 42 (15,5 %) ibu.
71

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

Setelah dilakukan analisa data


dengan menggunakan SPSS 16,0 for
windows didapatkan hasil dengan =
0,000 ( tabel= 0,05) yang berarti H0
ditolak dan H1 diterima. Hal ini
menyatakan bahwa ada hubungan yang
erat dan bersifat positif antara tingkat
pengetahuan dengan prevalensi kejadian
penyakit DHF di desa Kedung Kendo
kecamatan Candi Sidoarjo sejak 16
April 13 Juni 2010.
Pembahasan
1. Tingkat pengetahuan Ibu tentang
penyakit DHF
Hasil analisa data tabel 1 di atas
dapat diketahui pengetahuan Ibu tentang
penyakit
DHF didapatkan
hasil
pengetahuan
responden
terbanyak
adalah berpengetahuan cukup berjumlah
134 (49 %) ibu, diikuti dengan tingkat
pengetahuan baik berjumlah 89 (33 %)
ibu,
dan
yang
paling
sedikit
pengetahuan kurang berjumlah 48 (18
%) ibu.
Faktor
pendidikan
sangat
berpengaruh terhadap pengetahuan
seseorang
seperti
halnya
yang
diungkapkan oleh Mubarak (2007 : 3031) menyatakan bahwa makin tinggi
pendidikan seseorang semakin mudah
pula mereka menerima informasi, dan
pada akhirnya makin banyak pula
pengetahuan
yang
dimilikinya.
Sebaliknya rendahnya pendidikan ibu
maka semakin rendah pula informasi
yang
didapat
sehingga
akan
menurunkan
tingkat
pengetahuan
terhadap masalah kesehatan dalam
penelitian ini adalah pengetahuan
tentang penyakit DHF. Berdasarkan
gambar 5.2 bahwa sebagian besar
responden berpendidikan lulusan SLTA
sebanyak 160 orang (59 %). Responden
yang berpendidikan tinggi akan
cenderung memiliki wawasan yang luas
dan mudah untuk menerima informasi
72

dari luar misalnya radio, televisi,


majalah atau Koran, ataupun dari orang
lain. Pengetahuan juga dipengaruhi oleh
faktor umur sesuai dengan pernyataan
Mubarak (2007 : 30-31) yaitu Dengan
bertambahnya umur seseorang akan
terjadi perubahan pada aspek fisik dan
psikologis (mental). Pada aspek
psikologis atau mental taraf berfikir
seseorang semakin matang dan dewasa.
Berdasarkan gambar 1 bahwa responden
rata-rata berusia antara 30-35 tahun
dengan 89 orang (33 %), antara umur
36-40 tahun dengan jumlah 87 orang
(32 %), antara umur
41-45 tahun
dengan jumlah 69 orang (25 %), dan
antara umur 46 th-50 th dengan jumlah
26 orang (10 %). Selain dipengaruhi
oleh pendidikan dan usia, pengetahuan
juga dipengaruhi oleh status ekonomi.
Berdasarkan gambar 5.3 penghasilan
keluarga terbanyak adalah berkisar
antara Rp. 1.000.000 - Rp. 2.000.000/
bulan sebanyak 124 (46 %) ibu. Status
ekonomi
seseorang
juga
akan
menentukan tersedianya suatu fasilitas
yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,
sehingga status sosial ekonomi ini akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang
(Sumantini, 2009). Semakin besar
penghasilan seseorang atau status
ekonomi
semakin
mudah
pula
mendapatkan fasilitas yang didapat
untuk memperoleh suatu pengetahuan.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat pengetahuan dari
responden tidak hanya dari pendidikan
atau usia juga diperoleh dari
pengalaman sebelumnya. Pengalaman
merupakan Suatu kejadian yang pernah
dialami seseorang dalam berinteraksi
dengan lingkungannya (Mubarak, 2007
: 30-31). Apabila keluarga sebelumnya
sudah pernah menderita penyakit DHF
secara
tidak
langsung
dapat
meningkatkan informasi mengenai
penyakit ini dan untuk tindakan
selanjutnya apabila ada anggota

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit DHF Dengan Prevalensi DHF
(Norma A, Imroatul F)

keluarga terkena kembali, diharapkan


ibu dapat mencegah dan mengatasi
untuk penanganan awal penyakit DHF.
Oleh sebab itu petugas kesehatan
sebaiknya memberikan penyuluhan
lebih banyak tentang penyakit DHF
agar pengetahuan ibu lebih meningkat.
2. Prevalensi penyakit DHF
Hasil analisa penelitian pada
tabel 2 tentang prevalensi penyakit DHF
didapatkan 250 (92 %) tidak mengalami
kejadian DHF selama periode pada
bulan Januari-Juni 2010 dan 21 (8 %)
orang mengalami kejadian DHF selama
periode bulan Januari-Juni 2010.
Prevalensi merupakan frekuensi
penyakit lama dan baru yang terjadi
pada suatu masyarakat pada waktu
tertentu. Prevalensi rate ini merupakan
indikator atau tolak ukur untuk
mengetahui kejadian dan pola suatu
penyakit. Prevalensi rate ini bergantung
pada dua faktor yaitu jumlah orang yang
sakit pada waktu yang lalu dan lamanya
menderita sakit. Penyakit DHF atau
sering dikenal dengan sebutan demam
berdarah merupakan penyakit yang
berbahaya karena dapat menyebabkan
kematian dalam waktu yang relatif
singkat. Hal ini dikarenakan bahwa
tanda dan gejala penyakit DHF ini sukar
untuk
dikenali
sehingga
sering
terlambat dalam penanganannya. Untuk
itu diperlukan pengetahuan yang baik
tentang pencegahan dan penanganan
awal penyakit serta mengenali tanda
dan gejala penyakit DHF.
Sebagian besar keluarga di Desa
Kedung Kendo tidak pernah mengalami
kejadian penyakit DHF selama periode
bulan Januari-Juni 2010. Hal ini dapat
disebabkan pengetahuan ibu di Desa
Kedung Kendo cukup baik dan kondisi
fasilitas TPA yang baik yaitu
pengurasannya satu minggu sekali.
Menurut WHO (1998) bahwa salah satu

yang mempengaruhi meningkatnya


wabah penyakit DHF adalah kejenuhan
nyamuk penular penyakit DHF yang
artinya semakin banyak nyamuk
penular, semakin banyak virus dengue
yang ditularkan sehingga angka
kejadian penyakit DHF ini meningkat.
Hal ini dapat ditekan dengan cara
pemberantasan vektor nyamuk dengan
penatalaksanaan lingkungan terpadu
dan pengendalian kimiawi serta
biologis. Pengendalian vektor nyamuk
diharapkan dapat memutuskan rantai
penularan penyakit DHF sehingga tidak
ada kejadian penyakit DHF. Menurut
hasil penelitian Nugroho (1999)
Kepadatan nyamuk dipengaruhi oleh
adanya kontainer baik itu berupa bak
mandi, tempayan, vas bunga, kaleng
bekas yang digunakan sebagai tempat
perindukan
nyamuk.
Untuk
itu
diperlukan pengurasan secara rutin
setiap satu minggu sekali dan
penguburan barang bekas agar tidak
menjadi tempat perindukan nyamuk.
Dari kuisioner yang sudah disebarkan
didapatkan hasil bahwa ibu kadangkadang menguras bak mandi satu
minggu sekali sebanyak 82(30 %) ibu,
sering sebanyak 81 (30 %) ibu, selalu
sebanyak 79 (29 %) ibu, dan tidak
pernah sebanyak 29 (11 %) ibu. Hal ini
berarti frekuensi ibu menguras bak
mandi setiap satu minggu sekali sudah
cukup bagus, akan tetapi perlu
peningkatan kesadaran bagi ibu yang
kadang-kadang dan tidak pernah
menguras bak mandi setiap satu minggu
sekali. Untuk itu peranan petugas
kesehatan sangat penting yaitu untuk
meningkatkan kesadaran ibu dengan
meningkatkan pengetahuannya yang
dapat melalui penyuluhan kesehatan
tentang pencegahan dan tatalaksana
PSN.
Menurut penelitian Fathi, et al
(2005) ada peranan faktor lingkungan
dan perilaku terhadap penularan DBD.

73

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

Salah satu faktor lingkungan adalah


kepadatan penduduk atau kepadatan
rumah. Rumah-rumah yang saling
berdekatan memudahkan nyamuk aedes
aegypti berpindah dari satu rumah ke
rumah yang lainnya. Dari hasil studi
dokumentasi data tentang jumlah
kejadian penyakit DHF di Puskesmas
Candi didapatkan hasil jumlah kasus
penyakit DHF banyak menyerang di
lingkungan perumahan, dimana jarak
antara satu rumah dengan rumah yang
lainnya saling berdekatan bahkan tidak
ada jarak atau saling berdempetan. Hal
ini berarti dapat meningkatkan resiko
penyebaran penyakit DHF dimana
nyamuk aedes aegypti sangat aktif
mencari makan dan dapat menggigit
banyak orang dalam waktu yang pendek
mengingat daya terbangnya maksimal
100 meter.
Selain dari kontainer kepadatan
nyamuk juga dipengaruhi oleh tempat
beristirahatnya, nyamuk aedes aegypti
suka
bersembunyi
di
bawah
kerindangan pohon ataupun pakaian
yang tergantung. Melihat kondisi
lingkungan di Desa Kedung Kendo
masih banyak terdapat pohon-pohon
yang tinggi dan rindang baik itu di
halaman rumah ataupun di dekat sungai.
Melihat jawaban ibu pada lembar
kuisioner didapatkan data bahwa
kadang-kadang memiliki kebiasaan
menggantung
pakaian
sejumlah
83(31%) ibu, sering menggantung
pakaian sejumlah 70(26%) ibu, selalu
menggantung
pakaian
sejumlah
63(23%) ibu, dan tidak pernah
menggantung
pakaian
sejumlah
55(20%) ibu. Menurut hasil penelitian
Duma et al (2007) tentang analisis
faktor yang berhubungan dengan
kejadian DBD di Kecamatan Baruga
Kota Kendari menyatakan bahwa
kebiasaan menggantung pakaian dapat
berpengaruh pada kejadian penyakit
DHF. Semakin padat populasi nyamuk

74

Aedes, maka semakin tinggi pula risiko


terinfeksi virus DBD dengan waktu
penyebaran lebih cepat sehingga jumlah
kasus penyakit DBD cepat meningkat
yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya KLB (Fathi, 2005). Selain itu
program pemerintah yaitu bila ada
anggota masyarakat yang terserang
penyakit DHF segera dilakukan
penyemprotan
(fogging)
untuk
mencegah penularan penyakit DHF.
3. Hubungan tingkat pengetahuan
dan prevalensi penyakit DHF
Berdasarkan tabel 3 diatas
terlihat bahwa jumlah responden dalam
penelitian ini berjumlah 271 orang.
Dimana responden yang memiliki
pengetahuan baik dengan adanya
kejadian penyakit DHF selama periode
bulan Januari-Juni 2010 sebanyak 6 (2,2
%) ibu dan pengetahuan baik dengan
tidak ada kejadian sejumlah 83 (30,6 %)
ibu, pengetahuan cukup dengan
kejadian penyakit DHF sejumlah 9 (3,3
%) ibu dan pengetahuan cukup dengan
tidak ada kejadian sejumlah 125
(46,1%) ibu, pengetahuan kurang
dengan kejadian penyakit
DHF
sejumlah 6 (2,2 %) ibu dan pengetahuan
kurang dengan tidak ada kejadian
sejumlah 42 (15,5 %) ibu.
Menurut hasil penelitian Duma
et al (2007) tentang analisis faktor yang
berhubungan dengan kejadian DBD di
Kecamatan Baruga Kota Kendari
menyatakan bahwa faktor pengetahuan,
kebiasaan
menggantung
pakaian,
kondisi TPA, kebersihan lingkungan
berhubungan dengan kejadian DBD.
Dari hasil penelitian ini didapatkan data
sekitar 216 (80 %) ibu masih memiliki
kebiasaan menggantung pakaian. Hal
ini berarti sesuai dengan penelitian
Duma et al. Pakaian yang menggantung
merupakan tempat kesukaan nyamuk
aedes aegypti beristirahat yang mana

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit DHF Dengan Prevalensi DHF
(Norma A, Imroatul F)

sewaktu-waktu nyamuk ini dapat


menggigit manusia. Hal ini dapat
dicegah dengan melakukan tindakan
pencegahan dengan perlindungan diri
misalnya menggunakan lotion atau obat
anti nyamuk dan kelambu saat tidur
baik siang ataupun pada malam hari.
Selain itu dari lembar dokumentasi
didapatkan data penyakit DHF ini
banyak menyerang di lingkungan
perumahan dimana jarak antara satu
rumah dengan rumah lainnya saling
berdekatan bahkan saling berdempetan
mengingat kemampuan terbang nyamuk
aedes aegypti adalah 100 meter. Hal ini
berarti semakin dekat jarak antara satu
rumah dengan rumah lain maka
semakin besar resiko penularan
penyakit DHF. Akan tetapi tidak
menutup
kemungkinan
bahwa
penularan penyakit DHF ini semakin
besar, selain dari faktor lingkungan
penularan
penyakit
DHF
juga
dipengaruhi oleh sistem ketahanan
tubuh seseorang. Jika seseorang
memiliki daya tahan tubuh yang baik
maka orang tersebut tidak akan mudah
terserang penyakit DHF.
Menurut penelitian Wilman
Tinambunan (1988) yang dikutip oleh
Aziz Alimul (2003 : 229) bahwa tingkat
pengetahuan seseorang dipengaruhi
oleh pendidikan, yang mana hal tersebut
dapat mempengaruhi seseorang dalam
perilaku dan motivasi untuk bersikap
dalam hal kesehatan. Pengetahuan
sangat
erat
kaitannya
dengan
pendidikan, namun faktor-faktor lain
yang
mendukung
pengetahuan
seseorang antara lain pengalaman yang
diperoleh sebelumnya baik itu dari hasil
penginderaan (membaca dan mendengar
dari media informasi misalnya Koran,
majalah, televisi, maupun radio)
ataupun informasi yang diberikan oleh
orang lain misalnya penyuluhan dari
petugas kesehatan. Dari hasil penelitian
tentang sumber informasi pengetahuan

ibu hampir setengahnya didapatkan dari


media televisi sebanyak 110 ibu (41 %),
media koran atau majalah sebanyak 80
ibu (29 %), media leflet atau poster
yang ada di fasilitas kesehatan dan
sarana umum sebanyak 41 ibu (15 %),
dan melalui penyuluhan oleh petugas
kesehatan sebanyak 40 ibu (15 %).
Melihat tabel 1 pengetahuan ibu
paling banyak adalah cukup sehingga
masih
diperlukan
peningkatan
pengetahuan kembali. Dari hasil
kuisioner yang telah disebarkan
didapatkan hasil bahwa frekuensi ibu
menguras bak mandi setiap satu minggu
sekali sudah cukup bagus yaitu 82(30
%) ibu kadang-kadang menguras bak
mandi, sering menguras bak mandi 160
(59 %) ibu, dan tidak pernah menguras
bak mandi 29 (11 %) ibu. Akan tetapi
masih
diperlukan
peningkatan
pengetahuan ibu untuk meningkatkan
kesadaran ibu. Dengan demikian
program pemerintah berupa penyuluhan
kesehatan
masyarakat
dalam
penanggulangan penyakit DBD antara
lain dengan cara menguras, menutup,
dan mengubur (3M) sangat tepat dan
perlu dukungan luas dari masyarakat
dalam
pelaksanaannya.
Selain
penyuluhan
kesehatan
masyarakat
masih memerlukan tambahan informasi
mengenai kebijakan pemerintah yaitu
fogging. Fogging atau penyemprotan
dilakukan segera setelah ada laporan
dari masyarakat tentang kejadian
penyakit DHF, peran serta masyarakat
dalam kejadian penyakit DHF sangat
penting untuk mencegah penularan
penyakit DHF ini. Semakin cepat
pelaporan dari masyarakat semakin
cepat pula tindakan petugas kesehatan
untuk mencegah penularan penyakit
DHF ini.
Peran petugas kesehatan juga
sangat penting dalam tindakan segera
pencegahan penyakit DHF. Tindakan
pencegahan DHF meliputi integrasi

75

Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

tindakan surveilens dan pengobatan


penyakit; surveilens dan pengendalian
vektor; pengawasan air tampungan yang
baik, sanitasi, serta penanganan sampah
padat; dan pendidikan kesehatan yaitu
komunikasi kesehatan masyarakat dan
partisipasi
komunitas.
Melalui
pendidikan
kesehatan
dapat
meningkatkan pengetahuan seseorang
yaitu ibu, keluarga, dan masyarakat.
pengetahuan
kesehatan
dapat
mempengaruhi perilaku
kesehatan
sebagai
hasil
jangka
menengah
(intermediate impact),
selanjutnya
perilaku kesehatan akan berpengaruh
pada meningkatnya indikator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran dari
pendidikan. Prevalensi adalah salah satu
indikator atau tolak ukur kesehatan
untuk mengetahui kejadia dan pola
suatu penyakit, dalam penelitian ini
adalah mengenai penyakit DHF.
Pengetahuan ini diperlukan untuk
mengetahui cara pencegahan, tanda dan
gejala, serta cara penanganan penyakit
DHF.
Dengan
mengetahui
cara
mencegah penyakit DHF diharapkan
keluarga mampu mencegah terjadinya
penularan penyakit DHF sehingga dapat
menekan angka kejadian penyakit DHF.
Selain itu penyuluhan tentang tanda dan
gejala penyakit agar ibu dapat
melakukan penanganan awal terhadap
penyakit DHF ini dan tidak terlambat
dalam penanganan awalnya sehingga
tidak sampai pada kondisi yang gawat
atau sampai meninggal. Oleh karena itu
keluarga
perlu
meningkatkan
pengetahuannya
untuk
mencegah,
mengenali tanda dan gejala, serta
penanganan awal agar tidak terjangkit
penyakit DHF ataupun ada anggota
keluarga yang meninggal akibat
penyakit DHF.

76

Simpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan bahwa tingkat pengetahuan
ibu tentang penyakit DHF di Desa
Kedung Kendo Kecamatan Candi
Sidoarjo rata-rata cukup. Prevalensi
penyakit DHF di Desa Kedung Kendo
Kecamatan Candi Sidoarjo selama
periode bulan Januari-Juni 2010 dengan
angka kejadian sebanyak 21 orang dan
tidak ada kejadian sebanyak 271 orang.
Hasil penelitian ini ada hubungan antara
tingkat pengetahuan ibu tentang
penyakit DHF dengan prevalensi
penyakit DHF.
Saran
1. Bagi Puskesmas
Petugas
Kesehatan
dapat
mengetahui
dengan
jelas
dan
meningkatkan pengetahuan melalui
penyuluhan
kesehatan
kepada
masyarakat tentang penyakit DHF
dalam
pencegahannya
dengan
memberikan leaflet dan poster baik di
fasilitas kesehatan ataupun di sarana
umum lainnya.
2.

Bagi
ibu,
Masyarakat

Keluarga,

dan

Dari hasil penelitian ini dapat


menjadi masukkan kepada masyarakat
untuk lebih memperhatikan pengelolaan
lingkungan
dan
melakukan
perlindungan diri seperti melakukan
program 3M dan pelaksanaan PSN
secara mandiri dan teratur, serta
memakai lotion dan obat anti nyamuk
sebagai tindakan pencegahan penyakit
DHF.

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit DHF Dengan Prevalensi DHF
(Norma A, Imroatul F)

3. Bagi Peneliti lain


Hasil penelitian ini dapat
diteruskan oleh peneliti lain dengan
menambah jumlah variabel dan
melakukan penelitian dengan judul
Hubungan
Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi Angka Kejadian DHF .

DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Nasrul (1998). Dasar-Dasar
Keperawatan
Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : EGC.
Hendra,
(2008).
Pengetahuan.
www.wordpress.com. 6 Februari
2010.
Hidayat, Azis Alimul (2006). Pengantar
Ilmu Keperawatan Anak Buku 2,
Jakarta : Salemba Medika.
Hastuti, Oktavi. (2008). Demam
Berdarah Dengue Penyebab &
Cara
Pencegahannya.
Yogyakarta : Kanisius
Kompas, (2010) . Januari - April,
10.471
kasus
DBD
.
kompas.com. 6 Februari 2010.
Murwani, Arita (2008). Perawatan
Pasien
Penyakit
Dalam,
Jogjakarta : Mitra Cendekia
Press.
Nadesul, Handrawan (2007). Cara
Mudah Mengalahkan Demam
Berdarah, Jakarta : PT Kompas
Media Nusantara.
Nasronudin, dkk (2007). Penyakit
Infeksi di Indonesia, Solusi Kini

dan Mendatang, Surabaya :


Airlangga University press.
Notoatmodjo,
Soekidjo
(2003).
Pendidikan
dan
Perilaku
Kesehatan, Jakarta : Rineka
Cipta.
Notoatmodjo,
Soekidjo
(2005).
Metodologi
Penelitian
Kesehatan, Jakarta : Rineka
Cipta.
Notoatmodjo,
Soekidjo
(2007).
Kesehatan Masyarakat Ilmu &
Seni, Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo (2007). Promosi
dan Ilmu Perilaku, Jakarta :
Rineka Cipta.
Nursalam (2005). Asuhan Keperawatan
Bayi dan Anak Untuk Perawat
Dan Bidan, Jakarta : Salemba
Medika.
Susanto, Agus. (2007). Waspadai
Gigitan Nyamuk. Jakarta : PT.
Sunda Kelapa.
WHO (1998). Demam Berdarah
Dengue Diagnosis, Pengobatan,
Pencegahan, dan Pengendalian.
Jakarta : EGC.

Norma Anugerahwati Mahasiswa Program


Studi Ilmu Keperawatan STIKES Hang
Tuah Surabaya
Imroatul Farida S,Kep.,Ns Dosen Program
Studi Ilmu Keperawatan STIKES Hang
Tuah Surabaya

77

Anda mungkin juga menyukai