Anda di halaman 1dari 4

Mencermati Trade off Lingkungan

Minggu, 19 Juni 2011 22:53 WIB | 7.009 Views

Oleh Hefni Effendi

Jakarta (ANTARA News) - Setiap tanggal 5 Juni, kita patut acungkan jempol atas
jerih payah KLH meramaikan hari lingkungan hidup dengan berbagai event mulai
dari pameran lingkungan yang diikuti berbagai pemangku kepentingan
(stakeholders) lingkungan, seminar, talk show lingkungan, kegiatan
pembangkitan kesadaran lingkungan, aksi nyata peduli lingkungan, dsb.
Seiring dengan itu, ada baiknya pula, jikalau kita mencoba me-reka-reka sampai
sejauh mana performa lingkungan kita dalam dimensi ruang dan waktu.
Mari mundur sejenak ke awal adanya UU Lingkungan di bumi Nusantara ini
yakni sejak UU No 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan, lalu digantikan oleh UU No 23 tahun 1996 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian diperbaharui lagi dengan UU No 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
Pada dua UU sebelumnya (1982 dan 1996), belum disinggung adanya
terminologi trade of dalam pengelolaan lingkungan.
Pada UU No 32 tahun 2009 diintroduksi instrumen ekonomi dalam pengelolaan
lingkungan, yang seyogyanya tercakup valuasi sumberdaya alam. Dalam
valuasi tidak hanya manfaat tangible (kasat mata) dari sumberdaya alam yang
dikuantifikasi dengan nilai rupiah, tapi nilai guna intangible juga diupayakan
dirupiahkan.
UU ini mengamanahkan dibentuknya Peraturan Pemerintah tentang instrumen
ekonomi lingkungan, yang saat ini sedang diformulasikan. Sekarang sudah ada
Panduan Umum Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan Untuk Penyusunan
Amdal (2001).
Fungsi dan Jasa Lingkungan
Sebutlah, sebuah ekosistem hutan bakau (mangrove), di mata pengembang
perumahan, barangkali hamparan ekosistem bakau tersebut akan jauh bernilai
guna jika disulap menjadi water front city atau perumahan bernuansa pantai.
Mereka barangkali kurang menyadari adanya fungsi dan jasa ekologis yang
disiratkan dalam ekosistem hutan bakau seperti: tempat berkembang biak

(breeding ground), tempat asuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan
(feeding ground) biota laut, penahan gelombang, penyerap karbon (carbon sink),
pelindung pantai, dsb.
Dalam mengkuantifikasi manfaat pembangunan, ada ongkos ekologi yang tidak
boleh dinegasikan begitu saja. Ongkos ekologi tersebut lalu diintegrasikan dalam
laju pertumbuhan pembangunan (ekonomi) yang terjadi. Laju pertumbuhan
ekonomi semisal 6% per tahun mungkin akan menciut, jika dikurangi dengan
ongkos ekologi.
Apalagi sebagian besar pertumbuhan ekonomi kita bertumpu pada penggalian
sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, sehingga ongkos ekologi yang
muncul juga akan lebih besar, ketimbang pertumbuhan yang berbasis properti
intelektual.
Ketersediaan sumberdaya alam bersifat terbatas. Sebaran kualitas dan
kuantitasnya tidak merata. Terutama untuk sumberdaya alam tak terbaharui (non
renewable). Permintaan sumberdaya alam mengalami ekskalasi, sebagai
konsekuensi peningkatan pembangunan.
Khusus untuk sumberdaya non renewable sebagian besar diekspor ke luar
negeri. Anak bangsa ini kiranya belum cukup lihai mengolah bahan tersebut
hingga menjadi produk akhir (finished product).
Bahkan untuk produk hayati pun, lebih banyak dikapalkan ke luar negeri dalam
bentuk bahan mentah. Sedihnya lagi untuk produk pertanian tropis, kita dengan
lapang dada membuka pasar lebar-lebar.
Tak heran kalau berbagai macam jeruk asing, hampir mengenyahkan jeruk
Pontianak dan Jeruk Medan di pasaran. Untuk pisang pun kita sepertinya lebih
terpesona dengan pisang impor, padahal pisang lokal banyak sekali corak ragam
dan rasanya.
Apakah ini semua akibat Letter of Intent dengan IMF yang tak kuasa ditolak kala
kita didera krisis moneter tahun 1997 silam ? Juga apakah merupakan
konsekuensi dari AFTA (Asean Free Trade Area), dan globalisasi pasar lainnya,
yang tak juga bisa kita bendung ?
Dengan semakin dikeruknya sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati,

tak pelak lagi akan memodifikasi kemampuan daya dukung lingkungan, yang
selanjutnya pun akan mengganggu daya tampung lingkungan hidup.
Pesatnya pembangunan di segala bidang membawa risiko pada timbulnya
pencemaran dan perusakan lingkungan, yang dapat mengganggu keseimbangan
struktur dan fungsi ekosistem sebagai penunjang kehidupan.
Pada era reformasi di segala lini kehidupan ini, pengerukan sumberdaya alam
secara individual yang tak mengindahkan kaidah kesehatan, keselamatan
pekerja, dan pelestarian lingkungan, makin marak dilakukan.
Tengoklah pertambangan timah inkonvensional di Bangka, pertambangan
batubara di Kalimantan Selatan, para gurandil (penambang emas), dsb. Kita
akan miris menyaksikan bekas galian tambang yang teronggok dan menyisakan
kubangan-kubangan raksasa yang idle (tak dimanfaatkan).
Trade off Ekologi dan Sosial Kemasyarakatan
Di lain pihak para penambang multinasional katanya telah memperlihatkan
ketaatan (complience) terhadap pengelolaan lingkungan, ditunjukan dengan
diperolehnya peringkat biru dan bahkan terkadang hijau pada program PROPER.

Namun menilik massive-nya kuantitas sumberdaya alam non hayati yang


dikeruk, kita jadi khawatir jangan-jangan percepatan habisnya sumberdaya alam
kurang sepadan dengan manfaat yang kita peroleh sebagai putra bangsa yang
berhak terhadap sumberdaya alam tersebut.
Selain trade of (~analog kompensasi) terhadap ongkos ekologi yang perlu
diperhitungkan, trade of terhadap sosial kemasyarakatan seyogyanya perlu
dikedepankan dengan seksama.
Kita was-was kelak habisnya bahan tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara
dan Kabupaten Musi Banyuasin, yang saat ini katanya sebagai kabupaten
terkaya kesatu dan kedua, tidak menyisakan trade of ekologi dan sosial yang
memadai setelah pasca habisnya sumberdaya tambang di sana.
Kita tahu memang bahwa perusahaan telah berkonstribusi dalam bagi hasil
kekayaan alam yang dikeruk, dengan pemerintah. Bahkan dengan adanya
otonomi daerah, wilayah dimana sumberdaya alam tersebut digali akan menuai

porsi yang signifikan.


Arahan dalam merumuskan kebijakan trade of ekologi dan sosial ini menjadi
domainnya pemerintah, sehingga pemanfaatan dana perimbangan dan trade
of betul-betul didedikasikan untuk kedua hal tersebut, bukan untuk proyek
mercu suar atau malah sebagai ladang untuk dikorupsi.
Dari sisi ekologi, paling tidak fungsi dan jasa ekologi yang ada dapat dipulihkan.
Dari sisi trade of sosial, masyarakat d isana tidak kembali miskin setelah
habisnya bahan tambang.
Semestinya muncul keunggulan usaha spesifik yang berbasis sumberdaya
hayati atau berbasis keterampilan dan intelektualitas, yang merupakan hasil
pembinaan dari perusahaan yang saat ini beroperasi sebagai trade of sosial.
Upaya menyelaraskan trade of ekologi dan sosial inilah yang seharusnya
menjadi fokus utama dalam pengelolaan lingkungan, juga dalam implementasi
CSR (Corporate Social Responsibility) di era modernitas ini. Sejatinya
pengejawantahan pengelolaan lingkungan dan CSR tidak dimaknai semata
hanya untuk menggugurkan kewajiban.
Jika tidak, maka terjadinya perusakan lingkungan hidup terus menjadi beban
lingkungan dan sekaligus merupakan beban sosial, yang konsekuensinya
diderita oleh masyarakat sebagai khalayak yang terkadang mungkin hanya bisa
menjadi penonton, atau bahkan asing (outsiders) di kampungnya sendiri.
(***)
*) Sekretaris Eksekutif PPLH-IPB
Editor: Bambang
http://www.antaranews.com/berita/263799/mencermati-trade-off-lingkungan

Anda mungkin juga menyukai