Anda di halaman 1dari 3

OCD | REGULER 63 | SINGGIH PAMUNGKAS | 13/360447/PEK/18973

Cummings et al. (2008) menyatakan bahwa dua tahap akhir dalam pengembangan
organisasi yaitu mengevaluasi intervensi dan menginstitusionalisasinya. Evaluasi adalah
suatu kegiatan yang meliputi feedback baik untuk praktisi OD maupun untuk anggota
organisasi tentang progress dan dampak dari intervensi. Informasi yang didapatkan dari
feedback tersebut menunjukkan hal-hal yang perlu dilakukan bisa untuk diagnosa lebih jauh,
memodifikasi program perubahan atau tingkat keberhasilan intervensi yang diterapkan.
Dalam evaluasi intervensi dua hal penting yaitu feedback dari implementasi intervensi dan
feedback dalam evaluasi itu sendiri. Dalam feedback implementasi yang menjadi fokus
praktisi OD adalah apakah intervensi yang diberikan diterapkan sesuai yang diharapkan
ataukah belum, sedang dalam feedback dalam evaluasi mengindikasikan apakah intervensi
yang diberikan memberikan hasil yang diharapkan ataukah belum. Evaluasi tersebut
dilakukan melalui data yang dikumpulkan mengenai fitur-fitur intervensi, persepsi orangorang yang terlibat, dan dampak-dampak yang telah muncul dalam interval waktu yang
dekat maupun dalam waktu yang lama. Evaluasi dari intervensi juga meliputi keputusan
mengenai desain penelitian dan cara pengukurannya. Keputusan dalam pengukuran harus
disesuaikan dengan teori yang melandasi intervensi tersebut dan sudah termasuk
pengukuran dari fitur-fitur intervensi serta konsekuensi jangka menengah maupun jangka
panjang. Desain penelitian fokus pada pengaturan kondisi supaya kajian terhadap dampak
intervensi secara valid dapat dilakukan.
Institusionalisasi merupakan proses mempertahankan perubahan tertentu dalam
jangka waktu yang tepat, hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa keberhasilan program
perubahan dapat bertahan lama. Para praktisi OD mulai dapat menginstitusionalisasi
intervensinya ketika program perubahan telah kokoh dan menjadi bagian dari fungsi normal
organisasi. Kerangka dalam memahami dan mengembangkan institusionalisasi intervensi
mengidentifikasi karakteristik organisasi (kongruen, stabilitas lingkungan dan teknologi dan
persatuan) dan karakteristik intervensi (spesifikasi tujuan, kemampuan program, tahapan
target perubahan, dukungan dari internal dan dari luar) yang mempengaruhi proses
institusionalisasi (sosialisasi, komitment, alokasi penghargaan, difusi, penginderaan dan
kalibrasi) yang seterusnya secara langsung mempengaruhi indikator persistensi intervensi
(pengetahuan, performa, preferensi, konsensus normatif dan konsensus nilai).
Dalam artikel Prokesh (2009) General Electric melakukan berbagai perubahan dalam
beberapa sektor melalui program pengembangan manjemen kepemimpinan. Program
tersebut terangkum dalam istilah leadership, innovation and growth. Program
pengembangan dan perubahan dalam GE meliputi program pengembangan manajemen
yang berfokus pada pelatihan/pengajaran dan seseorang yang menginspirasi dalam
penerapan pendekatan baru. Namun hal tersebut memiliki kekurangan jika seorang dalam
tim tidak mengambil/mengikuti pelatihan akan menimbulkan resitensi terhadap perubahan.
Solusi permasalah tersebut adalah melalui pelatihan tim manajemen secara utuh. Ketika
para manajer mengikuti program tersebut bersama-sama, mereka akan tampil dengan
memiliki pandangan konsensus terhadap peluang-peluang dan masalah-masalah serta
berbagai langkah untuk mengatasinya, sehingga diperoleh hasil perubahan yang lebih
efektif serta lebih cepat.
General Electric mengidentifikasi nilai-nilai pertumbuhan serta sifat kepemimpinan
yang diperlukan untuk berinovasi, menciptakan bisnis baru, dan ekspansi ke pasar baru
diantaranya adalah external focus, clear thinker, imagination, inclusiveness dan expertise.

External focus (fokus eksternal) didefinisikan sebagai keberhasilan melalui sudut pandang
pelanggan. Selaras dengan dinamika industri. Melihat seluruh sudut disekitar. Clear thinker
didefinisikan mencari solusi sederhana untuk masalah kompleks, menentukan dan terfokus,
komunikasi yang jelas dan prioritas terhadap konsistensi. Imajinasi didefinisikan
menghasilkan ide-ide baru dan kreatif, memiliki banyak ide/akal dan terbuka terhadap
perubahan mengambil risiko baik pada orang maupun ide, dan menampilkan keberanian
dan keuletan. Inklusivitas adalah team player, menghormati ide-ide dan kontribusi orang
lain, menciptakan kegembiraan, mendorong keterlibatan, membangun loyalitas dan
komitmen. Keahlian didefinisikan memiliki pengetahuan yang mendalam domain dan
kredibilitas yang dibangun di atas pengalaman, pengembangan diri secara terus menerus
dan mencintai belajar.
Dalam kasus pada GE menurut Cummings et al (2008) dibutuhkan intervensi untuk
mencapai hubungan interpersonal dan dinamik grup. Proses intervensi tersebut bisa melalui
konsultasi untuk membantu grup menjadi lebih efektif namun juga menjadikan grup tersebut
mampu mendiagnosa permasalahan dalam grup sendiri serta mampu mengembangkan
kemampuan mereka sendiri. Faktor penting dalam hal ini adalah komunikasi, role model
atau teladan dalam sebuah grup, norma dalam penyelesaian masalah dan pengambilan
keputusan dan kepemimpinan beserta kekuasaan wewenangnya. Dalam kasus GE melalui
program LIG nya seseorang yang menginspirasi sangat diperlukan sebagai role model nya.
Sebuah pandangan lain disampaikan dalam artikel dari Katzenbach et al. (2012)
yang menjelaskan tentang perubahan dalam suatu perusahaan membawa masalah yang
cukup rumit terutama masalah budaya, ketika para pemimpin berusaha mengatasi hal
tersebut dengan cara mengubah budaya justru kegagalan yang akan diperoleh. Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa budaya merupakan faktor yang sangat mendalam bagi sebagian
orang, bahkan beberapa perusahaan menganggapnya sebagai aset. Dalam artikel terdapat
lima prinsip utama yang bisa dilakukan seorang pemimpin dalam menghadapi budaya
supaya tidak gagal yaitu sebagai berikut:
1. Match Strategy and Culture, Strategi perusahaan yang diterapkan dalam upaya
mencapai tujuan perusahaan harus selalu sejalan dengan budaya perusahaan yang
sudah mengakar dalam benak orang-orang di dalamnya karena budaya organisasi
selalu mampu mengalahkan strategi organisasi tersebut. Keefektifan strategi sangat
tergantung dengan kesesuaiannya dengan budaya yang ada dalam organisasi tersebut.
Dalam kasus lain jika terjadi ancaman kebudayaan, budaya yang disesuaikan dengan
strategi dan mendukung strategi organisasi tersebut.
2. Focus on a Few Critical Shifts in Behavior, faktor penting lainnya adalah berfokus
terhadap perilaku-perilaku krusial yang mempengaruhi kinerja perusahaan dan
pencapaian tujuannya. Misalnya adalah yang karyawannya diakui secara penuh
kemungkinan akan dicontoh oleh karyawan. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan
observasi dan meminta para karyawan untuk memberi masukan perilaku-perilaku krusial
dan tentang apakah mereka pernah diberikan feedback dari orang yang mengamati
mereka. Perilaku bisa menjadi kunci seseorang ditekankan yang akan berdampak
memperkuat dirinya dengan berinovasi dan mengambil resiko untuk pembuatan ide
baru. Poin ini erat kaitannya dengan evaluasi intervensi yang disampaikan oleh
Cumming et al. (2008) mengenai untuk lebih memperhatikan feedback.
3. Honor the Strengths of Your Existing Culture, Beberapa budaya perusahaan
merupakan produk dari sebuah intensi yang baik dan mempunyai beberapa kekuatan.

Mengakui budaya yang sudah ada sebagai sebuah aset yang berharga akan membuat
perubahan kekuatan organisasi. Organisasi harus mampu memanfaatkan unsur-unsur
budaya yang sudah ada, mengakui serta menghargai para karyawan agar mereka
mendukung strategi organisasi dan menyesuaikan dengan budaya yang sudah ada
dalam organisasi, karyawan atau orang-orang yang sudah selaras dengan strategi dan
budaya yang sudah ada dalam organisasi akan menguatkan organisasi atau perusahaan
tersebut.
4. Integrate Formal and Informal Interventions, Terdapat dua cara melakukan intervensi
yaitu formal dan informal. Dua hal penting dalam intervensi yang harus dilakukan, yaitu
yang pertama adalah dengan mencapai tingkatan emosional (memohon altruisme,
kebanggaan, dan bagaimana perasaan mereka terhadap pekerjaan itu sendiri), serta
yang kedua adalah menekankan pemikiran yang rasional atas self-interest (memberikan
uang, posisi, dan pengakuan eksternal kepada mereka). Pemimpin harus melakukan
kedua hal tersebut agar menguntungkan organisasi dengan tidak mengabaikan informal
saja, tetapi dengan memadukan kedua hal tersebut.
5. Measure and Monitor Cultural Evolution. Empat area yang harus diperhatikan oleh
dalam mengukur dan memonitor evolusi dari budaya, yaitu (1) business performance,
sebagai indikator dari meningkatkan kinerja dalam organisasi dan relevansinya dalam
pencapaian target, (2) critical behaviors, mengukur perilaku yang menunjukkan
seberapa penting perilaku dalam organisasi, (3) milestones, mengukur pencapaian
intervensi tertentu yang sudah tercapai, dan (4) Underlying beliefs, feelings, and mindsets, memonitor sikap budaya dalam organisasi bergerak kearah yang benar.

Cummings, TG & Anderson, CG. 2008. Organization Development and Change, 9th ed.,
Thomson: South-Western, Mason, OH.
Katzenbach, J.R., Steffen, I. & Kronley, C. (2012). Cultural Change That Sticks: Start with
Whats Already Working, Harvard Business Review, July-August, 110-117.
Prokesh, S. (2009). How GE Teaches Teams to Lead Change, Harvard Business Review,
January, 99-106

Anda mungkin juga menyukai