Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

MATA KULIAH POLITIK HUKUM


Dosen: Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D

LAHIRNYA UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI

NAMA: AMIR HAMDANI NASUTION


NIP: 7112034

PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA


PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang menganut tradisi hukum Eropa Konstitental atau sering
disebut dengan sistem hukum civil law. Salah satu ciri utama dari sistem hukum civil law adalah
pentingnya peraturan perundang-undangan tertulis atau statutory laws atau statutory
legislations. Kedudukan statutory laws lebih diutamakan di banding dengan putusan hakim
atau yurisprudensi. Hal ini berbeda dengan sistem common law yang lebih mengutamakan
putusan hakim sebagai rujukan penyelesaian suatu perkara. Oleh karena itu, sistem common law
disebut juga dengan the judiciary law atau the case law.1
Seiring dengan semangat reformasi, wacana penguatan hak konstitusional warga negara
semakin menggeliat baik dalam dunia akademis maupun praktik kenegaraan sehari-hari.
Indonesia telah melakukan perubahan besar dan penting dalam sistem ketatanegaraannya. Salah
satu perubahan tersebut adalah amandemen Undang- Undang Dasar 1945 (reformasi konstitusi)
yang dilakukan sebanyak 4 kali hanya dalam periode 2 tahun. Reformasi konstitusi dipandang
merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan
dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan
rakyat, Good Governance, tegaknya demokrasi dan hak asasi manusia.
Reformasi konstitusi ini dinilai sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan
rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Akibatnya, semua lembaga negara dalam
UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup
1

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Press, 2010) hlm. v

wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar
(concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling
mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip- prinsip tersebut menegaskan cita
negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis. Ini sejalan dengan prinsip
negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 19451 yang menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum, dan penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan
tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa negara Indonesia berdasar atas
hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).

BAB II
SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA

Berkenaan dengan tradisi pengujian konstitusionalitas pasca reformasi yang merupakan


upaya hukum yang dapat dilakukan oleh siapa saja atau lembaga mana saja, tergantung kepada
siapa atau lembaga mana kewenangan diberikan secara resmi oleh konstitusi suatu negara.
Lembaga-lembaga dimaksud tidak selalu merupakan lembaga peradilan, seperti dalam sistem
Prancis, disebut Conseil Constitutionnel yang memang bukan Cour atau pengadilan sebagai
lembaga hukum, melainkan Dewan Konstitusi merupakan lembaga politik. Jika dipakai istilah
judicial review, maka dengan sendirinya berarti bahwa lembaga yang menjadi subjeknya
adalah pengadilan atau lembag judicial (judiciary). Namun, dalam konsepsi judicial review,
cakupan pengertiannya sangat luas, tidak saja menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek
yang diuji, melainkan menyangkut pula segi-segi legalitasnya berdasarkan peraturan perundangundangan dibawah Undang-Undang Dasar.2
Seperti dijelaskan di Bab Pendahuluan, salah satu lembaga negara, hasil amandemen
ketiga konstitusi, yang melaksanakan kedaulatan rakyat adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK
mempunyai kedudukan setara dengan Mahkamah Agung (MA), berdiri sendiri, serta terpisah
(duality of jurisdiction) dengan MA. Fungsi utamanya dikenal sebagai the guardian of the
constitution (penjaga konstitusi).

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi


Press, 2006) hlm. 3

Seperti diketahui, sistem dan mekanisme pengujian konstitusional (constitutional


review) itu sendiri baru saja kita adopsikan ke dalam sistem konstitusi negara kita
dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada bulan Agustus 2003. Pengujian
konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-sungguh
dijalankan atau ditegakan dalam proses penyelenggaraan negara sehari-hari. Pengujian
terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersangkutan sungguhsungguh melaksanakan UUD atau tidak merupakan mekanisme yang sama sekali baru.
Sebelumnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum dan konstitusi negara kita.
Percobaan pertama yang kita adakan dapat dikatakan barulah muncul setelah era
reformasi, yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/2000 yang
memberikan kepada MPR kewenangan aktif untuk menguji konstitusionalitas undangundang. Sebelum ini, prosedur pengujian (judicial review) oleh Mahkamah Agung hanya
dibatasi pada objek peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
Undang-Undang. Dengan demikian, pengujian oleh Mahkamah Agung itu bukanlah
pengujian mengenai konstitusionalitas, melainkan hanya pengujian mengenai legalitas
peraturan perundang-undangan. 3
Lebih lanjut Jimly menegaskan, pengujian aktif (active review) yang seyogyanya akan
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan TAP No. III/MPR/2000 tersebut,
sampai masa berlakunya ketetapan MPR tersebut berakhir, tidak pernah dilaksanakan karena
memang tidak ada mekanisme yang memungkinkannya secara teknis dapat dilaksanakan.
Sekiranyapun hal itu dapat dilaksanakan, maka niscaya apa yang dilakukannya tidak dapat
disebut dengan istilah judicial review, melainkan merupakan legislative review karena organ
MPR itu sendiri termasuk cabang kekuasaan judisial. Betapapun juga, meskipun bukan sebagai
legislator atau lembaga pembentuk undang-undang, MPR adalah lembaga yang termasuk
kategori cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas. Karena itu, pengujian konstitusional
(constitutional review) yang seyogyanya akan dilakukan lebih tepat disebut sebagai legislative

Jimly Ass.. Sejarah Constitutional Review


http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarahconstitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/ diunduh 21 Juli 2012

review on the constitutionality of law atau pengujian legislatif atas konstitusionalitas undangundang.

Ketentuan umum mengenai Mahkamah Konstitusi ini dalam UUD 1945 dicantumkan
dalam Pasal 7B ayat (1), (3), (4), (5), dan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5),
dan ayat (6) sebagai hasil perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Kemudian ditambah
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil perubahan keempat UUD 1945 pada tahun 2002.
Berdasarkan Aturan Peralihan inilah, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia benar-benar
dibentuk sebelum tanggal 17 Agustus 2003. Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut
ketentuan mengenai mahkamah ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003
menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN-RI Tahun 2003
No. 98, dan TLN-RI No. 4316), dan Keputusan Presiden yang menetapkan 9 (sembilan) orang
hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 15
Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003.

Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan dengan disaksikan oleh


Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada hari Sabtu, tanggal 16 Agustus 2003,
persis 1 hari sebelum tenggang waktu yang ditentukan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD
1945. Keesokan harinya, Minggu, 17 Agustus adalah hari libur, dan hari Senin, 18 Agustus 2003,
adalah hari upacara kenegaraan. Mulai hari Selasa, tanggal 19 Agustus 2003, kesembilan hakim
konstitusi mulai bekerja dengan mengadakan rapat pemilihan ketua dan wakil ketua, serta hal-hal
lain berkenaan dengan pelembagaan lembaga baru ini.

Dengan telah terbentuk dan berfungsinya Mahkamah Konstitusi sejak tanggal 19 Agustus
2003, maka mekanisme pengujian konstitusionalitas oleh lembaga peradilan yang tersendiri

dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Namun, dalam Aturan Peralihan Pasal III UUD
1945 ditentukan pula bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Artinya, sejak disahkannya naskah Perubahan Keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus
2002 sampai dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangan judisial untuk melakukan
pengujian konstitusional (constitutional review) itu sudah berlaku dan untuk sementara waktu
dijalankan oleh Mahkamah Agung yang bertindak selaku Mahkamah Konstitusi Sementara.

Terbukti pula bahwa selama masa 1 (satu) tahun sebelum Mahkamah Konstitusi
dibentuk, di Kepaniteraan Mahkamah Agung telah pula diregistrasi 14 buah berkas perkara
pengujian undang-undang yang diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Itu berarti,
mekanisme pengujian konstitusional itu tidak saja diadopsikan mekanismenya dalam ketentuan
konstitusi sejak tahun 2000, tetapi juga telah mulai diterapkan dalam kenyataan praktek sejak
itu.4

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai kewenangan berwenang


mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Ibid

e. memutus pendapat DPR terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diduga melakukan
pelanggaran hukum. 5

Hal yang krusial mengenai kewenangan MK ini, menurut Yusril Ihza Mahendara ialah
ketika terjadi proses impeachment terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden.Keberadaan
impeachment adalah konsekuensi dari Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan perubahan
kewenangan MPR setelah amandemen UUD 1945. Mekanisme impeachment telah jelas
dirumuskan dalam UUD 1945. Hal krusial ialah mengenai alasan-alasan untuk melakukan
impeacment sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, yakni jika DPR
berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. 6

Ketika saya menyiapkan RUU Mahkamah Konstitusi dan membahasnya bersama DPR,
kami menyepakati untuk mengembalikan segala sesuatu yang dirumuskan di dalam Pasal 7B
ayat (1) ini kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian MK
mempunyai pedoman untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR itu dengan merujuk kepada
bukti-bukti yang sah, agar ketentuan Pasal 7B itu tidak disalahgunakan secara politik untuk
menjatuhkan Presiden. Masalah yang masih tersisa sehubungan dengan penjabaran ketentuan
Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 ini ialah, apakah setelah MK katakanlah memutuskan bahwa
pendapat DPR adalah benar, apakah Presiden dan/atau wakil Presiden masih dapat diadili di
peradilan umum untuk dijatuhi sanksi pidana atas kesalahannya. Walaupun MK telah
memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan kesalahan, namun secara politik

Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pasal 10 ayat 1 dan 2


Yusril
Ihza
Mahendra,
Praktik
Ketatanegaraan
Kita
Ke
Depan,
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/24/praktek-ketatanegaraan-kita-ke-depan/ diunduh 1 September 2013
6

belum tentu MPR akan memutuskan untuk memberhentikan Presiden. Segalanya tergantung
pada keputusan MPR sebagaimana diatur di dalam Pasal 7B ayat (3), (7) dan (8) UUD 1945.7

Menurut Jimly, pengujian atas UU dilakukan dengan tolok ukur UUD. Pengujian dapat
dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU,
sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan
dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat
ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian
mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang
berlaku atau tidak.8
Dalam memahami persoalan sengketa kewenangan antar lembaga negara,

yang

dipersoalkan bukan subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang dipersengketakan,


yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau disebut sebagai kewenangan
konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh
UUD kepada organ-organ yang disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam
pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam
UUD

itu,

Konstitusilah

yang

maka

dianggap

kewenangan-kewenangan

paling

tersebut

tahu

kepada

apa

Mahkamah

maksud

lembaga

yang

konstitusi
mana

di

memberikan
antara

yang

bersengketa.
Mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik menurut Jimly, haruslah ditempuh
melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang diberi hak standing untuk menjadi pemohon
dalam
politik

perkara
adalah

berwenang

Pemerintah,

memutuskan

pembubaran

bukan

benar

orang

tidaknya

per

orang

dalil-dalil

atau

yang

pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi.

partai
kelompok

dijadikan

orang. Yang

alasan

tuntutan

Dengan demikian, prinsip

kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik
7

Ibid.
Jimly Asshiddiqie Kedudukan Mahmakah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
http://jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia/
8

diunduh 1 September 2013

yang pada pokoknya juga adalah orang-orang


memenangkan
timbulnya

pemilihan

gejala

dimana

umum.

Dengan

penguasa

partai politik lain yang kebetulan

mekanisme

politik

yang

ini,

dapat

memenangkan

pula

dihindarkan

pemilihan

umum

memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak
sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.
Selanjutnya, terkait, soal perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang
telah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih
perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa
selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka
perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan
beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh
Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan
pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tersebut tidak
beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak.
Ketentuan-ketentuan demikian itu berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, pemilihan
anggota DPD, pemilihan anggota DPRD (kabupaten/kota ataupun provinsi), maupun untuk
pemilihan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres/cawapres).
Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah
resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan
tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah
Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang
memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a)
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,
terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan

menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar
itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden
dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada MPR.
Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan
pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan MK itu bersifat final
dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat
pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut.
Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di
tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
bersangkutan tetap berada di tangan MPR. Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada
saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu
sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat
bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas
bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan
MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar
konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden
sebagai pihak termohon, yaitu benar- tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan
bertanggungjawab.9

Ibid.

BAB III
KESIMPULAN

Berkenaan dengan pembahasan tersebut, memang dapat dikemukakan pula bahwa


kehadiran Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sangat penting untuk menciptakan keadilan
dalam kehidupan bernegara serta tetap menjaga koridor undang-undang sesuai dengan UndangUndang Dasar.
Ini sejalan dengan prinsip negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD
19451 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan penjelasan umum
UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa
negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(machtstaat).

SUMBER BACAAN

Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstisusi


Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Asshiddiqie, Jimly dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara
Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Press, 2010
_______________,Sejarah
Constitutional
Review
http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukanmk/ diunduh 21 Juli 2012
_______________, Kedudukan Mahmakah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia,
http://jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalamstruktur-ketatanegaraan-indonesia/ diunduh 1 September 2013
Mahendra
Yusril
Ihza,
Praktik
Ketatanegaraan
Kita
Ke
Depan,
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/24/praktek-ketatanegaraan-kita-ke-depan/ diunduh 1
September 2013

Anda mungkin juga menyukai