Definisi
Secara umum, uterus mempunyai 3 lapisan jaringan iaitu lapisan terluar perimetrium,
lapisan tengah miometrium dan yang paling dalam adalah endometrium (Tortora dan
Derrickson, 2006). Miometrium adalah yang paling tebal dan merupakan otot polos
berlapis tiga; yang sebelah luar longitudinal, yang sebelah dalam sirkuler, dan antara
kedua lapisan ini beranyaman. (Prawirohardjo, 2007). Mioma uteri adalah Neoplasma
jinak berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya (Saifuddin, 1999).
Neoplasma jinak ini mempunyai banyak nama sehingga dalam kepustakaan dikenal juga
istilah fibromioma, leiomioma, fibroid atau pun mioma uteri (Prawirohardjo,
2007).Mioma uteri biasanya berbentuk bulat, berbatas tegas, warna putih hingga merah
jambu pucat, bersifat jinak dan terdiri dari otot polos dengan kuantiti jaringan
penghubung fibrosa yang berbeda-beda. Sebanyak 95% mioma uteri berasal dari corpus
uteri dan 5% berasal dari serviks. Kejadian mioma uteri sukar ditetapkan karena tidak
semua mioma uteri menimbulkan keluhan dan memerlukan tindakan operasi, sebagian
penderita mioma uteri tidak memberikan keluhan apapun dan ditemukan secara kebetulan
saat pemeriksaan.
Mioma uteri sering ditemukan pada masa reproduksi karena adanya rangsangan
estrogen. Dengan demikian mioma uteri tidak dijumpai sebelum datang haid( menarch)
dan akan mengalami pengecilan setelah mati haid ( menapouse). Bila pada masa
menopause tumor yang berasal dari mioma uteri tetap membesar atau bertambah besar,
kenungkinan degradasi ganas menjadi sarcoma uteri. Bila dijumpai pembesaran abdomen
sebelum menarch, hal ini berarti bukan mioma uteri tetapi kista ovarium
Epidemiologi
Spesimen histerektomi wanita premenopause dengan mioma uteri adalah rata-rata 7,6
sedangkan wanita postmenopause adalah 4,2 (Parker, 2007). Random sampling wanita
berusia 35-49 tahun yang menjalani pemeriksaan rutin, hasil rekam medis dan
pemeriksaan sonografi didapatkan pada usia 35 tahun insidensi terjadinya mioma uteri
sebanyak 60% untuk wanita Afrika-Amerika; insidensi ini meningkat sehingga 80% pada
usia 50 tahun. Wanita caucasia mempunyai insidensi setinggi 40% pada usia 35 tahun dan
meningkat sehingga 70% pada usia 50 tahun (Parker, 2007).
Dari penelitian dilakukan oleh Ran Ok et-al di Pusan St. Benedict Hospital Korea
yang dilakukan terhadap 815 kasus mioma uteri diketahui bahwa kasus mioma uteri
tebanyak terjadi pada kelompok usia 40-49 tahun dengan usia rata-rata 42,97 tahun.
Keluhan utama terbanyak pada penderita mioma uteri adalah perdarahan pervaginam
abnormal (44,1%). Mioma uteri tipe intramural adalah yang terbanyak dari tipe mioma
uteri secara patologi anatomi (51,3%). Kadar haemoglobin (Hb) rata-rata penderita
mioma uteri adalah 10,92 gr% dan 37,6% diantaranya dilakukan transfusi darah.
Histerektomi total ditemukan sebagai tindakan penatalaksanaan terbanyak pada kasus
mioma uteri (91,5%) (Ran Ok et-al, 2007 yang dikutip Muzakir, 2008).
Etiopatogenesis
Penyebab utama mioma uteri belum diketahui secara pasti tetapi penyelidikan telah
dijalankan untuk memahami keterlibatan faktor hormonal, faktor genetik, growth factor,
dan biologi molekular (Parker, 2007). Faktor yang diduga berperan untuk inisiasi
terjadinya perubahan genetik pada mioma uteri adalah abnormalitas intrinsik pada
miometrium, peningkatan reseptor estrogen secara kongenital pada miometrium,
perubahan hormonal, atau respon kepada kecederaan iskemik ketika haid. Setelah
terjadinya mioma uteri, perubahan-perubahan genetik ini akan dipengaruhi oleh promoter
(hormon) dan efektor (growth factors) (Parker, 2007)
Bagi Meyer dan De Snoo, mereka mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast.
Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen pada kelinci percobaan ternyata
menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam
abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron
atau testosteron.Puukka dkk menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih
banyak didapati daripada miometrium normal. Menurut Meyer asal mioma adalah sel
imatur, bukan dari selaput otot yang matur (Prawirohardjo, 2007).
Dari penelitian menggunakan glucose-6-phosphatase dihydrogenase diketahui bahwa
mioma berasal dari jaringan uniseluler. Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi
mioma melibatkan mutasi somatik dari miometrium normal dan interaksi kompleks dari
hormon steroid seks dan growth factor lokal. Mutasi somatik ini merupakan peristiwa
awal dalam proses pertumbuhan tumor (Hadibroto, 2005).
Tidak dapat dibuktikan bahwa hormon estrogen berperan sebagai penyebab mioma,
namun diketahui estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan mioma. Mioma terdiri dari
reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dari miometrium
sekitarnya namun konsentrasinya lebih rendah dibanding endometrium. Hormon
progesteron meningkatkan aktifitas mitotik dari mioma pada wanita muda namun
mekanisme dan faktor pertumbuhan yang terlibat tidak diketahui secara pasti.
Progesteron memungkinkan pembesaran tumor dengan cara down-regulation apoptosis
dari tumor. Estrogen berperan dalam pembesaran tumor dengan meningkatkan produksi
matriks ekstraseluler (Hadibroto, 2005)
Faktor Risiko
1. Usia penderita
Mioma uteri merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi
wanita. Jarang sekali ditemukan pada wanita berumur 20 tahun dan belum pernah
(dilaporkan) terjadi sebelum menarche, paling banyak ditemukan pada wanita berumur
35-45 tahun (proporsi 25%). Setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma masih
tumbuh. Proporsi mioma uteri pada masa reproduksi 20-25%. Penelitian Nishizawa di
Jepang (2008) menemukan insidens rates mioma uteri lebih tinggi pada wanita subur
yaitu 104 per seribu wanita belum menopause dan 12 per seribu wanitan menopause
(P<0,001)
2. Hormon endogen (Endogenous Hormonal)
Mioma uteri sangat sedikit ditemukan pada spesimen yang diambil dari hasil
histerektomi wanita yang telah menopause, diterangkan bahwa hormon esterogen
endogen pada wanita menopause pada kadar yang rendah atau sedikit (Parker, 2007).
Awal menarke (usia di bawah 10 tahun) dijumpai peningkatan resiko ( RR 1,24) dan
menarke lewat (usia setelah 16 tahun) menurunkan resiko (RR 0,68) untuk menderita
mioma uteri.
3.Riwayat Keluarga
Penderita mioma yang mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri
mempunyai 2 kali lipat kekuatan ekspresi dari VEGF- (a myoma-related growth factor)
dibandingkan dengan penderita mioma yang tidak mempunyai riwayat keluarga penderita
mioma uteri (Parker, 2007).
4.Etnik
Dari studi yang dijalankan melibatkan laporan sendiri oleh pasien mengenai mioma
uteri, rekam medis, dan pemeriksaan sonografi menunjukkan golongan etnik AfrikaAmerika mempunyai kemungkinan risiko menderita mioma uteri setinggi 2,9 kali
berbanding wanita etnik caucasia, dan risiko ini tidak mempunyai kaitan dengan faktor
risiko yang lain. Didapati juga wanita golongan Afrika-Amerika menderita mioma uteri
dalam usia yang lebih muda dan mempunyai mioma yang banyak dan lebih besar serta
menunjukkan gejala klinis. Pada penelitian terbaru menunjukkan yang Val/Val genotype
untuk enzim essensial kepada metabolisme estrogen,catechol-O-methyltransferase
(COMT) ditemui sebanyak 47% pada wanita Afrika-Amerika berbanding hanya 19%
pada wanita kulit putih. Wanita dengan genotype ini lebih rentan untuk menderita mioma
uteri. Ini menjelaskan mengapa prevalensi yang tinggi untuk menderita mioma uteri
dikalangan wanita Afrika-Amerika lebih tinggi (Parker, 2007).
5.Berat Badan
Satu studi prospektif dijalankan dan dijumpai kemungkinan risiko menderita mioma
uteri adalah setinggi 21% untuk setiap kenaikan 10kg berat badan dan dengan
peningkatan indeks massa tubuh. Temuan yang sama juga turut dilaporkan
untuk wanita dengan 30% kelebihan lemak tubuh. Ini terjadi kerana obesitas
menyebabkan pemingkatan konversi androgen adrenal kepada estrone dan menurunkan
hormon sex-binding globulin. Hasilnya menyebabkan peningkatan estrogen secara
biologikal yang bisa menerangkan mengapa terjadi peningkatan prevalensi mioma uteri
dan pertumbuhannya (Parker, 2007).
Beberapa penelitian menemukan hubungan antara obesitas dan peningkatan insiden
mioma uteri. Suatu studi di Harvard yang dilakukan oleh Dr. Lynn Marshall menemukan
bahwa wanita yang mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas normal,
berkemungkinan 30,23% lebih sering menderita mioma uteri. Ros dkk, (1986)
mendapatkan resiko mioma uteri meningkat hingga 21% untuk setiap 10 Kg kenaikan
berat badan dan hal ini sejalan dengan kenaikan IMT (Djuwantono, 2004 yang dikutip
Muzakir, 2008).
Klasifikasi Mioma Uteri
Berdasarkan letaknya mioma uteri diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu:
1. Mioma Uteri Subserosum
Lokasi tumor di sub serosa korpus uteri. Dapat hanya sebagai tonjolan saja,dapat pula
sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai. Pertumbuhan ke
arah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum, dan disebut sebagai mioma
intraligamen. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga peritoneum sebagai
suatu massa. Letaknya di bawah tunika serosa, kadang-kadang vena yang ada
dipermukaan pecah dan menyebabkan perdarahan intra abdominal. Perlekatan dengan
ementum di sekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari tangkai
ke omentum. Akibatnya tangkai semakin mengecil dan terputus, sehingga mioma
terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga peritoneum.
Mioma subserosum dapat pula tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke
ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga
disebut wandering/parasitic fibroid (Prawirohardjo, 2007).
2. Mioma Uteri Intramural
Disebut juga sebagai mioma intraepitalial, biasanya multiple. Apabila masih kecil,
tidak merubah bentuk uterus, tapi bila besar akan menyebabkan uterus berbenjolbenjolan bertambah besar dan berubah bentuknya. Mioma sering tidak memberikan
gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya massa tumor di
daerah perut sebelah bawah.
3. Mioma Uteri Submukosum
Mioma yang berada di bawah lapisan mukosa uterus atau endometrium dan tumbuh
kearah kavum uteri. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan bentuk dan besar
kavum uteri. Bila tumor ini tumbuh dan bertangkai, maka tumor dapat keluar dan
masuk ke dalam vagina yang disebut mioma geburt. Mioma submukosum walaupun
hanya kecil selalu memberikan keluhan perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit
dihentikan, sehingga sebagai terapinya dilakukan histerektomi.
Gejala Klinis
1. Perdarahan tidak normal
Hipermenorea, menoragi dan metroragi adalah bentuk perdarahan yang sering
dijumpai menstruasi karena meluasnya permukaan endometrium dalam proses
menstruasi yang menyebabkan gangguan kontraksi otot rahim, distorsi, dan
kongesti dari pembuluh darah disekitarnya dan ulserasi dari lapisan endometrium.
Perdarahan berkepanjangan
Akibat perdarahan penderita dapat mengeluh anemis karena kekurangan darah,
bila
1.Tanpa
keluhan
2.
3.
Menjelang
Besar
mioma
<
menopause
12
minggu
kehamilan
b. Dalam decade terakhir ini ada usaha mengobati mioma uterus dengan Gurh Agonis
(Gurha) selama 16 minggu
c. Pengobatan
Operatif
uterus.
khusus
tidak
operasi/menjelang
1.
2.
menopause:
Radiasi
Pasangan
radium
SUMBER
Bobak, Jensen, 2005, Perawatan Maternitas dan Ginekologi, Jakarta : EGC
Manuaba, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana.
Jakarta. EGC
Mochtar Rustam, 1998, Sinopsis Obstetri Jilid I Edisi 2, Jakarta Buku Kedokteran
EGC
Prayetni, 1996. Asuhan Kebidanan pada Ibu dengan Gangguan Sistem
Reproduksi. Jakarta. Pusdiknakes : Depkes RI.
Prawiroharjo, Sarwono, 2005, Ilmu Kandungan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Prawiroharjo, Sarwono, 2006, Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Saifuddin, AB. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Sastrawinata, Sulaiman, 1983, Obstetri Patologi, Bandung : bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung