Anda di halaman 1dari 10

Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi di RSCM persentase ikterus neonatorum

pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,9%, sedangkan
di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari
50%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg.
(3,7)
Ikterus terjadi apabila terdapat bililirubin dalam darah. Pada sebagian besar neonatus, ikterus
akan ditemukan dalam minggu pertama dalam kehidupannya. Dikemukakan bahwa kejadian
ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada bayi 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta
dilaporkan 32,19 % menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat patologik yang
dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Karena setiap bayi
dengan ikterus harus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar
bilirubuin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. (3,7)
Proses hemolisis darah, infeksi berat ikterus yang berlangsung lebih dari 1 mg/dl juga
merupakan keadaan kemungkinan adanya ikterus patologi. Dalam keadaan tersebut
penatalaksanaan ikterus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat
dihindarkan. (3,7)
2.1. Definisi
Ikterus Neonatorum
Yaitu disklorisasi pada kulit atau organ lain karena penumpukan bilirubin. (2,4,5,6,7,8,9,10)
Ikterus fisiologis
Yaitu ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis,
kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
kernikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. (2,4,9)
Ikterus patologis
Yaitu ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai
yang disebut hiperbilirubinemia. (2,4,9)
Kernicterus
Suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak terkonyugasi
dalam sel sel otak. (2,4,9)
2.2 Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu
diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus. Perbedaan utama
metabolisme adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek.
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi
dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin
indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo
(reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.
(2,7)
2. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai cara yang

selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran
sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama
pada ligandin (protein , glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation Stransferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari
konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar
bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan
adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak Pemberian
fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih
banyak untuk bilirubin. (2,7)
3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukosonide. Walaupun
ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase merubah bentuk
monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide
transferase (UDPG : T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide.
Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus. Isomer bilirubin yang
dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan langsung
kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer
foto). (2,7)
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi
dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak
diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk
banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi
bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.
(2,7)
5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus
Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu,
kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar
bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan
bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke
likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa
saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama
besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas.
Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua
bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi
ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir
semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini
menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa
neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus
hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena
fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia,
asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa,
kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada
albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan
biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indek yang
bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah

yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan kernicterus dengan
pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada
umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar
albumin normal telah tercapai. (2,4,7,8)
Ikterus Fisiologis
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3
mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian
ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4,
dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2
mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus
fisiologis dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai
pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih
lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya
mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan
diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai
pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl
tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan
menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan
laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14
mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl. (4,5,8)
Ikterus Patologis
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak
penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan
oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan
peningkatan konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini
biasanya disebabkan oleh penyakit hemolitik.
Kernicterus
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus
hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya
tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum,
tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot,
opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada
nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental. (4,8,9)
2.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor.
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting
dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar
hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat
infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (2,4,5,7,8,9)
Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu.
Diperkirakan 1 dari setiap 200 bayi aterm, yang menyusu, memperlihatkan peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi yang cukup berarti antara hari ke 4-7 kehidupan, mencapai
konsentrasi maksimal sebesar 10-27 mg/dl, selama minggu ke 3. Jika mereka terus disusui,
hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan menurun dan kemudian akan menetap
selama 3-10 minggu dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan menyusu, kadar
bilirubin serum akan menurun dengan cepat, biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa
hari.
Penghentian menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan cepat, setelah
itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai timbulnya kembali hiperbilirubinemia
dengan kadar tinggi, seperti sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain
dan kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu mengandung 5
-pregnan-3 , 2-diol dan asam lemak rantai panjang, tak-teresterifikasi, yang secara
kompetitif menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase, pada kira-kira 70% bayi
yang disusuinya. Pada ibu lainnya, susu yang mereka hasilkan mengandung lipase yang
mungkin bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus dibedakan dari
hubungan yang sering diakui, tetapi kurang didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia takterkonjugasi, yang diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan menyusu
pada ibu. (9)
2.4. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain,
atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y
dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau
bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan

saluran empedu intra/ekstra hepatik.


Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah
larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila
bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan
saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas,
berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang
terjadi karena trauma atau infeksi. (7,9)
2.5 Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir
(BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro
mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada
BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969).
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau
kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan
tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya. (7,9)
2.6. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat
inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya.
Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini
ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan
dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu
selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi
intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri.
Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai
jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit
terlihat agak kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini
kadang-kadang sulit dipastikan secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian
akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning,
penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah dan nafsu
minum berkurang. Keadaan lain yang mungkin menyertai ikterus adalah anemia, petekie,
pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan nafas, gangguan sirkulasi, atau
gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya ditemukan pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia
berat.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan yang erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut. Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir,
kemungkinan besar disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau
golongan darah lain). Infeksi intra uterin seperti rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis,
atau sepsis bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus pada hari pertama. Pada hari kedua
dan ketiga ikterus yang terjadi biasanya merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus pula

dipikirkan penyebab lain seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi kuman, polisitemia,
hemolisis karena perdarahan tertutup, kelainan morfologi eritrosit (misalnya sferositosis),
sindrom gawat nafas, toksositosis obat, defisiensi G-6-PD, dan lain-lain. Ikterus yang timbul
pada hari ke 4 dan ke 5 mungkin merupakan kuning karena ASI atau terjadi pada bayi yang
menderita Gilbert, bayi dari ibu penderita diabetes melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus
setelah minggu pertama biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis neonatal,
stenosis pilorus, hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan lain-lain. (7,9)
2.7. Diagnosis Banding
Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan mungkin
sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela atau
toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam
uterus, mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya.
Ikterus yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat fisiologik, tetapi
dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan
hiperbilirubinemia neonatus. Ikterus nonhemolitik familial (sindroma Criggler-Najjar) pada
permulaannya juga terlihat pada hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus yang timbul setelah hari ke
3, dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai
penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi-infeksi lain terutama sifilis,
toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus yang timbul sekunder akibat
ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama kelahiran atau
sesudahnya, terutama pada bayi prematur. Polisitemia dapat menimbulkan ikterus dini.
Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan, memberi petunjuk
adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubela,
hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia hemolitik
kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti defisiensi enzim
piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit
herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi
kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase, glutation
reduktase atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.
Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa yang
dinamakan inspissated bile syndrome (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik pada bayi
neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus
nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus
koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total.
Kadang-kadang ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa
minggu, seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang
cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang lengkap, yang mencakup penentuan
fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit,
golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Bilirubinemia indirek,
retikulositosis dan sediaan apus yang memperlihatkan bukti adanya penghancuran eritrosit,
memberi petunjuk adanya hemolisis; bila tidak terdapat ketidakcocokan golongan darah,
maka harus dipertimbangkan kemungkinan adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika
terdapat hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis, kelainan metabolisme bawaan, fibrosis
kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu kemungkinan diagnosis. Jika hitung
retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk normal, maka mungkin terdapat
hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau patologik. (9)
2.8. Penatalaksanaan

I. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab


Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang
banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat
memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu yaitu
menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974,
yaitu :
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat
disusun sebagai berikut :
- Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
- Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).
- Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :
- Kadar bilirubin serum berkala
- Darah tepi lengkap
- Golongan darah ibu dan bayi
- Uji coombs
- Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
B. Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir
- Biasanya ikterus fisiologis
- Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini
dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam.
- Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin
- Polisitemia
- Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler
dan lain-lain).
- Hipoksia.
- Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.
- Dehidrasi asidosis.
- Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan
daerah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan
pemeriksaan lainnya bila perlu.
C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
- Biasanya karena infeksi (sepsis).
- Dehidrasi asidosis.
- Difisiensi enzim G-6-PD.
- Pengaruh obat.
- Sindrom Criggler-Najjar.
- Sindrom Gilbert.
D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
- Biasanya karena obstruksi.
- Hipotiroidisme.
- breast milk jaundice
- Infeksi.
- Neonatal hepatitis.
- Galaktosemia.
- Lain-lain.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan :


- Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.
- Pemeriksaan darah tepi.
- Pemeriksaan penyaring G-6-PD.
- Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.
- Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi
dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai
potensi berkembang menjadi kernicterus.
Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu :
1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.
2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg%
pada neonatus kurang bulan.
3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari.
4. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
5. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan
patologis lain yang telah diketahui.
6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
II. Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1. Pengawasan antenatal yang baik.
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan
kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir.
6. Pemberian makanan yang dini.
7. Pencegahan infeksi.
III. Mengatasi hiperbilirubinemia
Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja
sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini
tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang
berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum
melahirkan.
Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya yaitu
pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan
plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum tranfusi tukar
dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke
vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan tranfusi tukar.
Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat
menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar
pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca-tranfusi tukar.
Tranfusi tukar
Pada umumnya tranfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
- Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20 mg%.
- Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam.

- Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.


- Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg% dan uji Coombs direk positif.
Sesudah tranfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan seperti asfiksia perinatal,
distres pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar protein serum kurang atau sama
dengan 5 g%, berat badan lahir kurang dari 1.500 gr dan tanda-tanda gangguan susunan saraf
pusat, penderita harus diobati seperti pada kadar bilirubin yang lebih tinggi berikutnya.
IV. Pengobatan umum
Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi atau faktor penyebab dan perawatan yang baik.
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu pemberian makanan yang dini dengan cairan dan
kalori cukup dan iluminasi kamar bersalin dan bangsal bayi yang baik.
V. Tindak lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia yaitu kernicterus. Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita
hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut :
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa (3,4,9)
2.9. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar
darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru
tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan
dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi
mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan
adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian.
Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia
dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun
perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya. (7,9)
DAFTAR PUSTAKA

1. Arfin Behrman Kligman, Nelson; Dalam Ilmu Kesehatan Anak, volume I, edisi 15,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999, hal 610-617.
2. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Hepatologi Anak dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak FKUI, Buku 2, edisi 7, Bab 20, Infomedia, Jakarta, 1997, hal : 519-522.
3. Shopin Steven M Kern Icterus; Newborn Jaundice on line, Verginia Commonhealth
Univercity, http.//www.mcvfoundation.org.
4. Prawirohartono EP, Sunarto (ed), Ikterus dalam Pedoman Tata Laksana Medik Anak RSUP.
Dr. Sardjito, Edisi 2, Cetakan 2, Medika FK UGM, Yogyakarta 2000, hal 37-43.
5. Poland R, dan Ostrea E.M.; Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam Klaus M.H, Fanaroff
A.A (ed); Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1998, hal 367-389
6. Sacharin R.M., Penyakit Saluran Pencernaan, Hepar dan Pankreas dalam Ni Luh Gede

Yasmin Asih (ed); Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2, EGC, Jakarta, 1993, hal 475.
7. Asil Aminullah; Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam A.H. Markum (ed),
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, edisi 6, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1999, hal :
313-317.
8. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Perinatologi dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak FKUI, Buku 3, edisi 7, Bab 32, Infomedia, Jakarta, 1997, hal : 1101-1115.
9. Behrman R.E.; Kliegman R.M., Nelson W.E., Vaughan V.C. (ed); Icterus Neonatorum in
Nelson Textbooks of Pediatrics, XIVrd Edition; W.B. Saunders Company, Philadelphia,
Pennsylvania 19106, 1992; pages 641-647.
10. Glaser K.L., Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn in Pediatrics, in
www.medstudents-pediatrics.htm, 2001; page 1-3.

Anda mungkin juga menyukai