A. DEFINISI
Karsinoma Bronkogenik adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran nafas.
Di dalam kepustakaan selalu di laporkan peningkatan insiden kanker paru secara progresif, yang
bukan hanya sebagai akibat peningkatan umur rata-rata manusia serta kemampuan diagnostik yang
lebih baik namun oleh karena memang karsinoma bronkogenik lebih sering terjadi (Pengatar Ilmu
Penyakit paru).
B. ETIOLOGI
Seperti kanker pada umumnya, etiologi yang pasti dari karsinoma bronkogenik masih belum
diketahui, namun diperkirakan bahwa inhalasi jangka panjang dari bahan karsinogenik merupakan
faktor utama, tanpa mengesampingkan kemungkinan peranan predisposisi hubungan keluarga
ataupun suku bangsa/ras serta status immunologis. Bahan inhalasi karsinogenik yang banyak disorot
adalah rokok.
Pengaruh rokok:
Bahan-bahan karsinogenik dalam asap rokok adalah antara lain : polomium 210 dan 3,4 benzypyrene.
Penggunaan filter dikatakan dapat menurunkan resiko terkenanya karsinoma bronkogenik, namun
masih tetap lebih tinggi dibanding dengan bukan perokok.
Pengaruh Industri
Yang paling banyak dihubungkan dengan karsinogenik adalah asbestos, yang dinyatakan
meningkatkan resiko kanker 6-10 kali. Menyusul kemudian industri bahan-bahan radioaktif,
penambang uramium mempunyai resiko 4 kali populasi pada umumnya. Paparan industri ini baru
nampak pengaruhnya setalah 15-20 tahun.
Pada tahun 1954, Tokuhotu dapat membuktikan adanya pengaruh keturunan yang terlepas daripada
faktor paparan lingkungan, hal ini membuka pendapat bahwa karsinoma bronkogenik dapat
diturunkan. Penelitian akhir-akhir ini condong bahwa faktor yang terlibat dengan enzim Aryl
Hidrokarbon Hidroksilase (AHH). Status immonologis penderita yang dipantau dari cellular
mediated menunjukan adanya korelasi antara derajat deferensiasi sel, stadia penyakit, tanggapan
terhadap pengobatan serta prognosis. Penderita yang energi umumnya tidak memberikan tanggapan
terhadap pengobatan dan lebih cepat meninggal.
Klasifikasi berdasarkan histopatologi dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa (WHO, 1977).
1. Karsinoma epidermois (Karsinoma Sel Skuamos).
2. Adeno Karsinoma
3. Small cell undiferentiated carcinoma (oat cell)
4. Large cell undeferentiated carcinoma.
C. PATOFISIOLOGI
Kanker paru-paru primer biasanya diklasifkasikan menurut jenis histologinya, semuanya memiliki
riwayat alami dan respon terhadap pengibatan yang berbeda0beda. Walaupun terdapat lebih dari satu
lusin jenis kanker paru-paru primer, namun kanker bronkogenik, termasuk keempat tipe sel yang
pertama, merupakan 95% dari seluruh kanker paru-paru.
Berdasarkan pilihan pengobatan, maka karsinoma bronkogenik biasanya dibedakan menjadi kanker
paru-paru sel kecil (SCLC) dan kanker paru-paru sel tidak kecil (NSCLC).
D. PATHWAYS
Bronchus (percabangan segmen atau subsegmen)
Cell cadangan (reserve cell) basal mukosa bronchus Bersihan jalan nafas tidak efektif
Hyperplasi, metaplasi.
Cell Kanker
Manifestasi Klinis
Proksimal Distal
Sesak nafas
(Wheezing) Gangguan Pertukaran gas
Intratorasik Ekstrapulmoner
Mediastinum
Dispnoe Gg. Kom. Gg. Fungsi Oedema muka gg. Per Nutrisi Penurunan
Verbal. Penglihatan & lengan tukarn.gas krg.;kebut. Curah Jtng
Gg. Pola nafas
Pe Growth Hormon
Jari Tabuh
Sirkulasi Arterial
E. DATA PENUNJANG
1. Radiologis
a. Massa Radiopaque di paru
b. Obstruksi jalan nafas dengan akibat atelektasis
c. Pneumonia
2. Bronkografi
Adapun gambaran bronkografi yang dianggap patognomonik adalah obstruksi stenosis irreguler,
stenosis ekor tikus dan indentasi cap jempol.
3. Sitologi
Dahak yang representatif dapat diperoleh melalui batuk spontan, dengan bantuan aerosol ( 20%
propylene glycol dalam larutan 10% NaCl. Dihangatkan sampai kurang lebih 45-50 C.)atau melalui
bilasan/sikatan aspirasi bronkial.Tatalaksana pada Lung Cancer Detection Program di New York
adalah sbb. Saliva dan post nasal discharge dikeluarkan dahulu, lalu penderita disuruh batuk dalam ,
dahak yang dihasilkan segera difiksasi, kesemuanya ini dilakukan pada 3 hari berturut-turut,
sebaiknya pada pagi hari.
4. Endoskopi
Meliputi pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi serta bilasan bronkial, kerokan/sikatan serta
biopsi. Tujuan pemeriksaan bronkoskopi ( serat optik ) adalah:
5. Biopsi
Bahan biopsi dapat diperoleh melalui cara biopsi perkutaneus transbronkial ataupun open biopsi.
Sedangkan bahannya dapat berupa jaringan kelenjar regional jaringan pleura ataupun jaringan paru.
6. Imunologi
Adanya korelasi yang negatif antara kanker dan reaksi imnunologi telah umum diketahui. Gangguan
imunulogik terutama tampak pada Cell mediated immunity yang dapat ditunjukan melalui delayed
hypersensitivity reaction yang jelak, toleransi terhadap skin graft, jumlah circulatory T cell yang
renadh, serta transformasi limfosit invitro yang rendah. Pada saat ini pemeriksaan imunulogik lebih
banyak berperan sebagai faktor prognosis daripada faktor diagnostik. Kesimpulan korelasi uji kulit
dan tanggapan terhadap sitostatika :
a. Kurang dari 1,0 cm. : prognosa jelek, penyakit luas.
b. Kurang dari 2,5 m. ; prognosa lebih baik, penyakit terbatas, tanggap terhadap khemoterapi baik
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif, b/d peningkatan jumlah/perubahan mukus /viskositas sekret,
keterbatasan gerakan dada, /nyeri, kelemahan,kelelahan.
b. Nyeri akut b/d invasi kanker ke pleura, dinding dada.
c. Pola pernafasan tidak efektif b/d obstruksi trakeobronkialoleh sekret, perdarahan aktif, penurunan
ekspansi paru, proses inflamsi.
d. Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan aliran udara ke alveoli atau ke bagian utama paru,
perubahan membran alveoli ( atelektasis , edema paru , efusi, sekeresi berlebihan,/perdarahan aktif.
e. Ansietas b/d ketakutan /ancaman akan kematian , tindakan diagnostik, penyakit kronis.
f. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake inadekuat, peningkatan metabolisme, proses
keganasan.
g. Gangguan body image b/d perubahan struktur tubuh.
H. INTERVENSI
Diagnosa Tujuan-Kriteria Intervensi Rasional
Bersihan Jalan nafas tidak efektif b/d peninjkatan jumlah/viskositas sekret, keterbatasan gerakan
dada/nyeri, kelemahan/kelelahan. Bersihan jalan nafas efektif.
Kriteria ;
a. Menunjukan potensi jalan nafas.
b. Cairan sekret mudah dikeluarkan/dibatukan.
c. Bunyi nafas jelas.
d. Whezing(-)/berkurang 1. Auskultasi bunyi dada, untuk karakter bunyi nafas dan adanya sekret.
2. Bantu untuk nafas dalam efektif anjurkan batuk dengan posisi duduk.
3. Observasi jumlah dan karakter sputum/aspirasi sekret.
4. Lakukan penghisapan dengan menggunakan suction. Bila klien tidak dapat batuk.
5. Dorong masukan cairan/oral sedikitnya 2500 CC/hari dalam toleransi jantung.
6. Kolaborasi : Berikan/bantu dengan IPBB , spirometri, meniup botol
7. Gunakan oksigen humidifikasi/nebulizer ultrasonik . Berikan cairan tambahan melalui IV sesuai
indikasi.
8. Berikan bronkodilator, ekspektoran, atau analgetik sesuai indikasi. Pernafasan bising, ronki, mengi
menunjukan tertahannya sekret/obstruksi jalan nafas
Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksinal, upaya batuk untuk membuang sekret..
Observasi ferfusi daerah akral dan sianosis ( daun telinga, bibir, lidah dan membran lidah )
Lakukan tindakan untuk memperbaiki jalan nafas.
Kolaborasi:
Awasi seri GDA.
Area yang tak terventilasi dapat diidentifikasikan dengan tak adanya bunyi nafas.
Menunjukan hipoksemia sistemik.
Hipoksemia ada pada berbagai derajattergantung pada jumlah obstruksi jalan nafas.
Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran gas .
Pola nafas tidak efektif b/d obstruksi trakeobronkial oleh bekuan darah, sekret banyak ,peradarahan
aktif, penurunan ekspansi paru, proses inflamsi. Pola nafas efektif.
Kriteria :
Frekuensi nafas dalam rentang normal
Suara paru jelas dan bersih.
Berpartisipasi dalam aktivitas. Kaji frekuensi , kedalaman pernafasan dan ekspansi dada., catat upaya
pernafasan ( penggunaan otot bantu pernafasan )
Auskultasi bunyi nafas, dan catat adanya bunyi nafas.
Observasi pola batuk dan karakter sekret
Kolaborasi :
Rujuk ke ahli diet
Awasi pemeriksaan lab. ( BUN, protein serum, albumin Hb.)
Bila perlu berikan nutrisi parenteral. . Berguna dalam mengidentifikasi derajat kurang nutrisi dan
menentukan pilihan intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Soeparman, 1990, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Balai Penerbit FKUI., Jakarta.
Syaifuddin, 1992 Anatomi Fisiologi, untuk Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Doenges M. 1999, Rencana Asuhan keperawatan, Penerbit Buku kedokteran EGC. Jakarta.
Lynda Juall Carpenito 1999, Rencana Asuhan& Dokumentasi Keperawatan., Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.