LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis kelamin
Bangsa
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
II.
: Ny. B
: 48 tahun
: Perempuan
: Indonesia
: Islam
: SMA
: Petani
: Natar
ANAMNESIS
Dilakukan autonamnesis pada tanggal 8 April 2015, jam 08.00 WIB.
Keluhan utama : Kedua mata merah, tanpa gangguan pengelihatan sejak 3 bulan
SMRS.
Keluhan tambahan : Kedua mata terdapat selaput, berair dan terasa mengganjal.
Riwayat penyakit sekarang
Sejak 3 bulan SMRS os mengeluh kedua merah, tanpa gangguan pengelihatan. Pada
awalnya hanya timbul kemerahan, lama kelamaan tampak selaput. Selaput berwarna
putih kemerahan, yang ukurannya makin membesar. Keluhan lain seperti mata berair
+, mata terasa mengganjal +, nyeri -, kotoran mata berlebih -, gatal -, silau -,
pengelihatan menurun -. Kesehariannya pasien bekerja sebagai petani. Pasien
mengakui sering terpapar debu, sinar matahari dan udara panas. Keluhan tersebut
baru pertama kali dirasakan pasien, dan belum pernah berobat.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat sakit mata sebelumnya disangkal pasien. Riwayat trauma, hipertensi,
diabetes mellitus, dan alergi disangkal.
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarga serumah yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.
1
III.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Frekuensi nadi
: 84x/ menit
Suhu
: 36.6oC
Pernafasan
: 20x/ menit
B. Status Generalis
- Kepala
- Leher
- Thorax
- Paru
- Abdomen
- Ekstremitas
Status Oftalmologis
Occuli Dextra (OD)
6/6
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
Ortoforia,
Eksoftalmus(-),
Visus
Koreksi
Skiaskopi
Sensus Coloris
Bulbus Oculi
6/6
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
Tidak Dilakukan
Ortoforia,
Eksoftalmus(-),
Enoftalmus(-)
Tidak terdapat,
Parese/Paralyse
Enoftalmus(-)
Tidak terdapat, bola mata
Palpebra superior
bola
mata
Ekteropion(-),
Enteropion(-), Ekteropion(-),
Trikiasis(-),
Distikiasis(-),
Trikiasis(-),
Khalazion(-),
Hordeolum
(-),
Blefaritis(-),
Ptosis(-),
Distikiasis(-),
Blefaritis(-),
Xantelesma(-)
Ptosis(-),
Xantelesma(-)
Edema(-),
Hiperemis(-),
Enteropion(-),
Ekteropion(-),
Enteropion(-), Ekteropion(-),
Trikiasis(-),
Distikiasis(-),
Trikiasis(-),
Khalazion(-),
Hordeolum
(-),
Blefaritis(-),
Xantelesma(-)
Injeksi(-), Folikel(-),
Papil(-), Litiasis(-)
Injeksi(-), Folikel(-),
Palpebra inferior
Ptosis(-),
Edema(-),
Hiperemis(-),
Distikiasis(-),
Blefaritis(-),
Konjungtiva Palpebralis
Konjungtiva Fornices
Ptosis(-),
Xantelesma(-)
Injeksi(-), Folikel(-),
Papil(-), Litiasis(-)
Injeksi(-), Folikel(-),
3
Papil(-), Litiasis(-)
Injeksi (+), Subkonjungtival
Konjungtiva Bulbi
Papil(-), Litiasis(-)
Injeksi (+), Subkonjungtival
Tampak
putih
berbentuk
pupil,
mm
melewati limbus
Injeksi (-), Ikterik (-)
Jernih, Arcus Senilis (+)
Kedalaman cukup, bening
Warna coklat, kripta baik
Bulat, sentral, tepi regular,
kemerahan,
dengan
apex
RCL/RCTL (+)
Jernih
Refleks fundus (+), papil bulat,
batas tegas, CD ratio 0.3
Jernih
T dig N
Dalam batas normal
IV.
RESUME
Sclera
Kornea
COA
Iris
Pupil
Lensa
Fundus Refleks
fibrovaskular;
RCL/RCTL (+)
Jernih
Refleks fundus
(+),
papil
Ny.B usia 48 tahun datang dengan kedua merah, tanpa gangguan pengelihatan
sejak 3 bulan SMRS. Pada awalnya hanya timbul kemerahan pada kedua mata, lama
kelamaan tampak selaput. Selaput berwarna putih kemerahan, yang ukurannya makin
membesar. Keluhan lain seperti mata berair +, mata terasa mengganjal +, nyeri -,
kotoran mata berlebih -, gatal -, silau -, pengelihatan menurun -. Os mengakui sering
terpapar debu, sinar matahari dan udara panas. Keluhan tersebut baru pertama kali
dirasakan os, dan belum pernah berobat.
Riwayat trauma, hipertensi, diabetes mellitus, dan alergi disangkal. Tidak ada anggota
keluarga serumah yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.
Berdasarkan pemeriksaan oftalmologi didapatkan
6/6
Injeksi
(+),
Visus
Konjungtiva Bulbi
6/6
Injeksi
(+),
Subkonjungtival bleeding
Subkonjungtival bleeding
(-),
Pinguekula
(-),
Tampak
jaringan
fibrovaskular;
putih
berbentuk
berwarna
kemerahan,
segitiga
dari
jaringan
fibrovaskular;
segitiga
dengan
dengan
melewati limbus
apex
mm
dari
apex
mm
melewati limbus
V.
PEMERIKSAAN ANJURAN
Tes Sondasi
VI.
DIAGNOSIS BANDING
Pterigium
Pinguekula
Pseudopterigium
VII.
DIAGNOSIS KERJA
Pterigium ODS Drajat II
VIII. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
Hindari kontak langsung dengan debu, sinar matahari, udara yang panas
Pergunakan kacamata hitam saat beraktifitas di luar rumah
Observasi ukuran pterigium dan keluhan. Jika terdapat gejala ukuran
membesar,
pandangan
kabur,
mata
berair/terasa
mengganjal
yang
PROGNOSIS
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanationam
: Ad bonam
: Ad bonam
: Ad bonam
BAB II
ANALISA KASUS
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan utama mata kiri merah, tanpa gangguan
pengelihatan sejak 3 bulan SMRS. Penyakit pada mata dikasifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu
mata merah pengelihatan normal, mata merah pengelitahatan turun, mata tenang pengelihatan
turun perlahan, mata tenang pengelihatan turun mendadak dan trauma. Keluhan yang diutarakan
pasien mengarah pada golongan mata merah pengelihatan normal. Yang masuk ke dalam
golongan ini yaitu pterigium, pseudopterigium, pinguekula, konjungtivitis, dann trakoma.
Pasien juga mengeluh pada mata kiri berair dan terasa mengganjal. Keluhan tersebut
terdapat pada pterigium. Pasien menyangkal keluhan nyeri, kotoran mata, gatal dan silau. Pada
kasus ini tidak terdapat gangguan pengelihatan, tetapi pterigium dapat menimbulkan keluhan
gangguan pengelihatan jika sudah mencapai pupil atau menyebabkan astigmatisme.
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif
dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea
dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang
artinya wing atau sayap.
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara
yang panas. Hal ini sesuai degan aktifitas keseharian pasien sebagai petani yang sering terpapar
debu, dan sinar matahari.
Pasien juga mengeluh terdapat selaput pada mata. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan
penunjang, yaitu didapatkan tampak jaringan fibrovaskular; berwarna putih kemerahan.
Pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula, pseudopterigium dan kista dermoid.
Pinguekula merupakan degenerasi hialin submukosa konjungtiva, berbentuk plak berwarna putih
kekuningan yang tumbuh pada konjungtiva. Pseudopterigium merupakan jaringan fibrovaskular,
terjadi perlengketan antara konjungtiva bulbi dan kornea yang mengalami gangguan; terdapat
riwayat trauma. Kista dermoid merupakan tumor kongenital yang berasal dari lapisan
mesodermal dan ekdodermal. Jaringan tumor ini terdiri atas jaringan ikat, jaringan lemak folikel
rambut, kelenjar keringat dan jaringan kulit. Lokasinya dapat tumbuh di orbita posterior sehingga
7
menyebabkan ptosis. Dapat dibedakan dengan tes sondasi. Berikut ini rangkuman perbedaan
diagnosis banding.
Perbedaan
Definisi
Pterigium
Pinguekula
Pseudopterigium
Jaringan
fibrovaskular Degenerasi
hialin Jaringan
fibrovaskular
pada konjungtiva bulbi.
Gambaran
Putih
submukosa
konjungtiva
terdapat
kemerahan, Plak
sebelumnya.
putih Perlengketan
Letak
:
Progresif
Reaksi kerusakan
trauma
konjungtiva
cacat
bagian Celah kelopak mata Pada
riwayat
daerah
konjungtiva
nasal
=
Tidak
Tidak ada
kornea sebelumnya
=
Tidak
Ada
Lebih menonjol
Menonjol
Normal
Tidak
permukaan kornea
sebelumnya
Pembuluh darah
konjungtiva
Sonde
Puncak
Histopatologi
diselipkan
pada limbus
Tidak ada (tidak ada head,
(bercak kelabu)
Epitel
ireguler
dan Degenerasi
cap, body)
hialin Perlengketan
Derajat I
Derajat II
Derajat III
: Dua mm dari arah limbus ke kornea hingga < tepi pupil mata
dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
Derajat IV
Derajat pterigium dapat dinilai dengan melihat luas pterigium. Pada pemeriksaan
oftalmologi yang dilakukan ke pasien, tampak jaringan fibrovaskular; berwarna putih
kemerahan, berbentuk segitiga dari arah nasal ke arah pupil, dengan apex 1 mm melewati
limbus. Pasien tersebut digolongkan Pterigium derajat II karena terbatas dari limbus hingga
< 2 mm melewati kornea. Penentuan derajat pterigium diperlukan untuk penatalaksanaan
selanjutnya.
Prinsip penanganan pterigium awal dengan pencegahan paparan terhadap faktor
pencetus, seperti sinar matahari, udara panas dan debu, dengan menggunakan kaca mata
hitam jika beraktivitas di luar rumah. Penanganan medikamentosa maupun tindakan bedah
mempertimbangkan derajat pterigium, keluhan, dan kosmetika. Pada pterigium derajat I dan
II penanganan secara medikamentosa. Dapat diberikan tetes mata antibiotik + kortikosteroid
jika terdapat reaksi peradangan, dengan frekuensi pemberian 3 x sehari, selama 5-7 hari.
Pasien tersebut tidak menunjukkan reaksi peradaJika terdapat keluhan gangguan
pengelihatan, ketidaknyamanan yang menetap (mata merah, silau, berair) dapat dilakukan
tindakan bedah. Indikasi lain tindakan bedah yaitu kosmetika; mengganggu penampilan.
9
Terdapat beberapa metode bedah, antara lain bare sclera, simple closure, sliding flap,
rotational flap, konjungtiva autograft, dan cangkok membran amnion. Eksisi pterigium
disertai konjungtiva autograft memiliki rekurensi pasca operasi yang rendah. Selain itu ada
metode lain yaitu MMC (Mitomycin C) yang menghambat pembentukan fibroblas dan
iradiasi yang menghambat mitosis jaringan.
Pada pasien ini dilaukan observasi ukuran pterigium dan keluhan. Jika terdapat gejala
ukuran membesar, pandangan kabur, mata berair/terasa mengganjal yang mengganggu,
disarankan kontrol kembali, dan direncanakan tindakan bedah eksisi + autograft
konjungtiva.
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1.
PENGERTIAN
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan
invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea
dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang
artinya wing atau sayap.
Gambar 1. Pterigium
2.
Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
c. Faktor Lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
11
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu,
kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan
virus papiloma juga diduga sebagai penyebab dari pterigium.
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima
tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan
terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu
atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura
interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan
fibroblastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah
dingin, iklim kering mendukung teori ini.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal basal stem
cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan menimbulkan
kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan
degenerasi
kolagen
dan
terlihat
jaringan
subepitelial
fibroveskular.
Jaringan
ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyenbuhan luka, mengubah
bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi terhadap TGF- (transforming growth factor-)
berbeda dengan jaringan konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang
berlebihan, TNF- (tumor necrosis factor-) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa
pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan
inflamasi.
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi ditemukan peningkatan
area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus selama fase awal
pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat pada pterigium dibanding
dengan konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik, SP (substance P), VEGF (Vascular
endothelial growth Factor) dan SCF (Stem Cell Factor) pada pterigium meningkat,
berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+ MNC. Hal ini menunjukkan pada pterigium
terlibat pertumbuhan EPCs (Endothelial Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang
merupakan faktor pencetus neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari
sumsum tulang melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan
proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium, dengan epitel meluas ke
stroma. Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan epitel dikelilingi sel-sel fibroblas
yang aktif, karakteristik dari E-cadherin, penumpukan -catenin di intranuklear dan
limphoid factor-1 meningkat pada epitel pterigium. Sel epitel meluas ke stroma pada SMA/ vimentin dan cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition
terlibat dalam patogenesis pterigium. -catenin meningkat pada pterigium dan PFC
(pterigial fibroblast) dibandingkan pada konjungtiva normal. -catenin berperan penting
dalam patogenesis pterigium.
13
3.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi dan
data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui faktor resiko
pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin lakilaki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan
pasien terpapar sinar matahari.
Pterigium termasuk dalam kelompok penyakit mata merah dengan pengelihatan
normal. Penyakit lain yang terdapat dalam kelompok ini antara lain pinguekula,
pseudopterigium, konjungtivitis, keratokonjungtivitis, trakoma.
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata
sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang
memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan
astigmatisme. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea
dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat
berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.
B. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai lipatan
berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura
interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari
kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal.
Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual
axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium
mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut body,
bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo
timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.
14
Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati
kornea
Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata
dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
Gambar 2. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea lebih dari 2mm,
namun belum melewati pupil
f. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
Pterigium
Pinguekula
Pseudopterigium
Jaringan fibrovaskular Benjolan
pada Perlengketan konjungtiba
konjungtiva
Warna
berbentuk segitiga
Putih kekuningan
Letak
keabu-abuan
Celah kelopak bagian Celah kelopak mata Pada daerah konjungtiva
Putih-kuning
:
Progresif
Reaksi kerusakan
cacat
Putih kekuningan
bagian yang
terdekat
dengan
kornea
>
Sedang
Tidak ada
=
Tidak
Tidak ada
=
Tidak
Ada
Lebih menonjol
Menonjol
Normal
permukaan kornea
sebelumnya
Pembuluh darah
konjungtiva
Sonde
Puncak
Ada
Funchs
Histopatologi
diselipkan
pada limbus
Tidak ada (tidak ada head,
(bercak
kelabu)
Epitel ireguler
degenerasi
dalam stromanya
cap, body)
dan Degenerasi
hialin Perlengketan
hialin jaringan
submukosa
konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis Banding Pterigium
4.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium
16
yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau
2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat
rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.
Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat
diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk
salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat
perbaikan pengobatan dihentikan.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk
gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju
tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi pterigium
bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin.
Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan
menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun
memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai, namun
tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadangkadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot.
Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical
removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi
hingga 5% adalah conjunctival autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang
digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva
yang secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya
akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk menyebabkan pterigium
rekuren.
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka
17
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
Indikasi Operasi pterigium
Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan
yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama
untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari
kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat,
jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
Beberapa teknik yang dapat dilakukan:
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk
epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen pada
beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari
konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di
eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft
konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari
18
membran
amnion
juga
telah
digunakan
untuk
mencegah
termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah
mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:
1.
Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off
2.
sampai 6minggu.
Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
3.
4.
5.
KOMPLIKASI
20
Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan komplikasi
yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau retinal detachment
Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada sklera dan
kornea
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium post operasi.
Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi
dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterigium.
6.
PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada
hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 24 jam postop dapat
beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan
graft dengan autograft atau transplantasi membran amnion.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Artini, Widya, Prof, Dr, Sp.M(K). Hutauruk, Johan A, Dr, Sp.M(K). Yudisianil, Dr,
Sp.M(K). Pemeriksaan Dasar Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
2011.
2. Chandra DW, et all. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared with
subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive primary
pterygium which underwent. Berkala llmu Kedokteran, vol. 39, no. 4. Desember 2007.
3. Gazzard G, et all. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British
Journal of Ophthalmology. 2002; 86(12): 13411346.
4. Ilyas, S, Prof, Dr, Sp.M. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2010.
5. Ilyas, S, Prof, Dr, Sp.M. Kedaruratan dalam lmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran
6.
7.
8.
9.
22