Anda di halaman 1dari 3

DIRINDU DINGINNYA

Bau pagi yang khas menelusup masuk lewat jendela kayu kamar ku. Bau embun mulai datang. Uh!
Jatuh tepat di atas kelopak mata ku. Siapa lagi kalau bukan ayah yang melakukannya. Bangun anak
manja, sekolah tak menunggu kedatangan mu untuk memulai kegiatannya, ucapnya dingin. Sedingin
air dalam bak mandi yang tak pernah hangat. Begitulah drama pagi yang selalu terjadi setiap hari di
rumah kami.
Setelah melahirkan aku, ibu sering sakit-sakitan. Akhirnya, ketika umur ku baru menginjak sepuluh
bulan, ibu meninggalkan kami berdua untuk selamanya. Ayah yang pribadinya kaku dan dingin harus
berusaha merangkap menjadi sosok ibu. Meskipun susah bersikap lembut tapi setidaknya ia berusaha
menjadi orangtua yang baik bagi ku, mencukupi segala kebutuhan ku dan melindungi putri semata
wayangnya ini dari bahaya kehidupan di luar rumah kami. Rumah kami yang dingin.
Ayah memberi ku nama Anisa Wahid. Guru ku di sekolah menengah pertama pernah membahas arti
nama-nama semua murid di kelasnya. Tidak banyak, kelas ku isinya hanya 10 orang. Maklum desa ku
terpencil, kesadaran pentingnya pendidikan pun kurang. Aku gembira sekali saat mengetahui arti dari
nama ku, Perempuan nomor satu. Teman-teman di kelas ku juga ikut tepukau. Hebat. Selama ini aku
tak pernah menanyakan hal itu pada ayah. Peduli saja tidak. Karena sehebat apapun nama ku, tiap
pagi ia akan tetap panggil aku dengan sebutan anak manja. Padahal bermanja-manja dengannya saja
tidak pernah. Ayah dingin. Aku malas.
Tapi aku penasaran. Aku ingin dengar dari mulut ayah sendiri tentang nama yang diberikannya.
Mungkin juga tentang harapan yang ia gantungkan pada ku. Akhirnya sepulang dari sekolah hari itu,
aku langsung menemui ayah di toko kelontong miliknya di depan rumah. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku
langsung menyergap ayah dengan pertanyaan tentang nama ku. Sepertinya ayah agak bingung dengan
pertanyaan yang sangat tiba-tiba tersebut. Ia berpikir sejenak dan mulai membuka mulutnya.
Jawabannya singkat, Karena ayah laki-laki dan kamu satu-satunya perempuan di rumah ini. Hanya
itu?!, tanya ku agak keras. Sepertinya ayah kurang suka dengan nada itu, ia pun kembali sibuk
melayani konsumennya. Aku sebal jawaban ayah tidak sesuai dengan apa yang guru ku katakan dan
semakin sebal dengan perlakuannya yang seperti tidak mempedulikan aku. Sebal!
Aku merasa selama ini kami seperti keluarga bisu. Bicara betul-betul seperlunya. Berkeluh kesah pun
aku bingung seperti apa. Kadang sepulang aku dari sekolah, aku pergi ke makam ibu. Tak ada yang
aku bicarakan selain tentang ayah, ayah dan hanya ayah. Tapi apalah bedanya, makam pun tak bisa
bicara. Aku bosan. Akhirnya aku hanya memendam dan berdoa. Aku yakin Tuhan akan memberikan
jalan yang terbaik bagi kehidupan ku yang dingin ini.
Aku tak tahu sampai kapan ayah akan bersikap dingin seperti itu. Tapi apapun yang ayah perintahkan
pasti segera ku laksanakan. Ayah suruh aku bersihkan rumah, aku bersihkan rumah sampai benarbenar bersih. Ayah suruh aku belanja ke pasar, aku cepat-cepat pergi ke pasar. Ayah suruh aku belajar
dengan baik, aku belajar dengan sangat-sangat baik. Bahkan UN SMA ku tahun lalu mendapat nilai
terbaik se-provinsi. Aku hanya anak sederhana bukan anak yang suka menuntut orangtua minta ini
dan itu. Keinginan ku hanya satu, ayah melihat aku.

Sampai pada akhirnya aku berhasil memperoleh beasiswa di salah satu universitas negeri ternama di
pulau Jawa. Aku bahagia mendapat berita tersebut sekaligus sedih harus meninggalkan ayah sendiri di
rumah yang dingin itu. Meskipun menyebalkan tapi hanya ayah lah satu-satunya yang aku miliki di
dunia ini. Dan ini kata-kata termanis yang pernah ayah tuturkan sebelum ia kembali ke pulau kami
yang sepi dan terpencil itu. Sampai desa, ayah akan jadi orang termiskin. Karena harta ayah satusatunya ada di sini, ucapnya. Waw, mungkin kata-kata seperti ini yang membuat ibu ku jatuh cinta
pada ayah. Pantas ayah jarang bicara, menurut ku kata-kata yang keluar dari mulutnya cukup
berbahaya. Aku hanya terharu dan tersipu mendengar ucapan ayah. Berjalan lah nak. Berjalan
dengan yang maha satu. Karena-Nya lah kamu mampu menjadi perempuan nomor satu, tuturnya.
Dan untuk pertama kalinya ayah memeluk dan mencium kening anak semata wayangnya ini.
Aku merasa sangat bersyukur mendapat beasiswa di luar pulau. Kalau bukan karena hal tersebut
mungkin sampai saat ini aku masih belum bisa merasakan peluk cium dari ayah. Aku rindu rumah
yang dingin. Aku rindu ayah.

UNSUR INTRINSIK

1. Tema: Kasih Sayang


2. Latar :
Latar Tempat: Rumah, Toko Kelontong
Latar Waktu : Pagi hari, Siang hari
Latar Suasana : Kesal, Terharu
3. Penokohan:
Aku : Penurut
Ayah Aku : Penyayang
4. Sudut Pandang: Orang Pertama Tokoh Utama
5. Alur: Alur Maju
6. Amanat :
Jangan pernah membenci orang tua kita karena seburuk apapun perlakuan mereka
terhadap kita mereka tetap sayang kepada kita.
Jangan pernah me

Anda mungkin juga menyukai