Dampak HPV Pada Pria Dan Kaitannya Dengan Kanker Serviks
Dampak HPV Pada Pria Dan Kaitannya Dengan Kanker Serviks
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker serviks adalah penyakit keganasan dengan mortalitas lebih dari 270 000
dan morbiditas lebih dari 500 000 setiap tahunnya di seluruh dunia. Fakta tersebut
menempatkan kanker serviks sebagai tumor ganas terbanyak kedua pada perempuan
di dunia serta menempati peringkat pertama di negara berkembang termasuk
Indonesia.1-4 Departemen Kesehatan RI melaporkan, penderita kanker serviks di
Indonesia diperkirakan 90-100 di antara 100 000 penduduk per tahun. Data tersebut
memperlihatkan bahwa kanker serviks menduduki peringkat pertama pada kasus
kanker yang menyerang perempuan di Indonesia.
Di Indonesia, insidens kanker serviks mulai meningkat sejak usia 20 tahun dan
mencapai puncaknya pada usia 50 tahun. Ketahanan hidup seseorang tergantung
stadium kanker serviks; five years survival rate untuk stadium I, II, III, IV adalah
85%, 60%, 33%, 7%.7,8
Kanker serviks bersifat atipikal atau tidak memiliki gejala dan tanda tertentu
dalam perkembangan awalnya, sehingga mengharuskan setiap perempuan untuk terus
melakukan diagnosis dini dengan pemeriksaan sitologi yaitu tes Papanicolaou (Pap).
Tes Pap telah dilakukan secara rutin di negara maju dan memberikan hasil yang baik
dengan semakin menurunnya insidens kanker serviks sebesar 50-60%.
Pemeriksaan rutin sulit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia
karena sulitnya akses ke pusat pelayanan yang memiliki laboratorium d3an tenaga
kesehatan yang memadai, harga tes Pap yang relatif mahal serta perlunya kunjungan
yang berkali-kali ke pusat kesehatan. Kesulitan tersebut menjadikan banyak
perempuan di Indonesia menjadi malas untuk melakukan skrining. Padahal dengan
skrining rutin, kanker serviks stadium dini akan lebih mudah didiagnosis dan dengan
penatalaksanaan
yang
tepat
akan
menurunkan
insidens
kanker
serviks.
berganti-ganti
pasangan
seksual,
dan
kebiasaan
merokok.
Tingkat
perekonomian yang rendah semakin memperparah hal tersebut karena kebersihan dan
gaya hidup yang tidak higienis. Masalah sosial pun muncul dengan banyaknya
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kanker Serviks
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim
sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak
jaringan normal di sekitarnya.
Kanker serviks atau yang lebih dikenal dengan istilah kanker leher rahim
adalah tumbuhnya sel-sel tidak normal pada leher rahim, perubahan untuk menjadi sel
kanker memakan waktu lama, sekitar 10 sampai 15 tahun atau bahkan mencapai 20
tahun. Kanker ini biasanya terjadi pada wanita yang berusia kisaran 30 sampai dengan
50 tahun, yaitu puncak usia reproduktif perempuan sehingga akan meyebabkan
gangguan kualitas hidup secara fisik, kejiawaan dan kesehatan seksual.
B. Faktor Resiko
Faktor risiko kanker serviks adalah hubungan seksual pada usia muda,
hubungan seksual dengan banyak pasangan seksual, tembakau, kontrasepsi oral,
supresi sistem imun, nutrisi, serta adanya penyakit hubungan seksual misalnya,
trikomoniasis, cytomegalovirus (CMV) dan herpes simplex virus. Faktor risiko
terakhir dan yang paling penting adalah infeksi HPV.
Perempuan yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia <20 tahun
lebih berisiko menderita kanker serviks. Hal tersebut karena pada periode dewasa
muda proses metaplasia sel skuamosa sangat meningkat sehingga risiko terjadinya
transformasi atipik skuamosa meningkat yang kemudian menjadi neoplasia
intraepitel serviks (NIS).
Berganti-ganti pasangan seksual meningkatkan risiko menderita kanker
serviks. Apabila seseorang berganti pasangan seksual lebih dari 5 orang dalam 2 tahun
terakhir, maka kemungkinan menderita kanker serviks meningkat sampai 12 kali lipat.
Faktor risiko lain yang penting adalah hubungan seksual suami dengan pekerja seks
komersial dan dari sumber itu membawa HPV kepada isterinya.
Keterlibatan peran laki-laki terlihat dari korelasi kejadian kanker serviks
dengan kanker penis. Konsep laki-laki berisiko tinggi sebagai vektor dari agen
penyebab infeksi timbul karena meningkatnya kejadian tumor pada perempuan
monogami yang suaminya sering berhubungan seksual dengan banyak perempuan
lain. Laki-laki yang tidak melakukan sirkumsisi juga dapat meningkatkan faktor
risiko seorang perempuan terkena kanker serviks melalui mekanisme yang diduga
berasal dari smegma yang terdapat pada prepusium laki-laki.
Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun
dapat meningkatkan risiko relatif seseorang menjadi 2 kali daripada orang normal.
Proses tersebut diduga karena regulasi transkripsi DNA virus dapat mengenali hormon
dalam pil KB sehingga meningkatkan karsinogenesis virus.
Tembakau baik yang diisap sebagai rokok atau dikunyah mengandung bahan
karsinogen sedangkan asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon
heterocyclic nitrosamines yang memberikan pengaruh buruk pada orang yang
menghirupnya baik sebagai perokok aktif maupun pasif. Seorang perempuan perokok
memiliki konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di
dalam serum.
Kanker serviks juga meningkat pada keadaan supresi sistem imun pada pasien
transplantasi ginjal dan HIV/AIDS.
Terdapat hubungan antara defisiensi asam folat, vitamin C, vitamin E, beta
karoten/retinol dengan peningkatan risiko kanker serviks. Dengan berkurangnya
antioksidan tubuh maka radikal bebas dengan mudah terbentuk dan semakin
menginduksi proses karsinogenesis.
C. Etiologi kanker serviks
HPV merupakan agen yang berperan besar dalam proses terjadinya kanker
serviks. DNA HPV dapat ditemukan pada 99% kasus kanker serviks di seluruh dunia,
karena itu penyebab kanker serviks diduga sebagai akibat infeksi menetap dari virus
HPV.7,17,18 Pada proses karsinogenesis, asam nukleat virus dapat bersatu ke dalam
gen dan DNA manusia sehingga menyebabkan mutasi sel.7,8,19 HPV memproduksi
protein yaitu protein E6 pada HPV tipe 18 dan protein E7 pada HPV tipe 16 yang
masing-masing mensupresi gen P53 dan gen Rb yang merupakan gen penghambat
perkembangan tumor.
Infeksi HPV meningkat sejak tahun 1960 karena meningkatnya penggunaan
kontrasepsi oral. Keterlibatan HPV pada kejadian kanker dilandasi oleh beberapa
faktor yaitu:
1. Timbulnya keganasan pada binatang yang diinduksi dengan virus papilloma
2. Perkembangan kondiloma akuminata menjadi karsinoma
Vitamin E yang banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, bijibijian dan kacang-kacangan), vitamin C yang banyak terdapat dalam sayur-sayuran
dan buah-buahan serta beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat.
Antioksidan tersebut dapat melindungi DNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas
yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia.
Dewasa ini vaksin sebagai metode pencegahan berbagai penyakit infeksi telah
ditemukan. Penggunaan vaksin dalam mencegah kanker serviks berdasarkan 99%
penyebab kanker serviks adalah infeksi HPV menetap.
D. I Vaksin HPV
Infeksi HPV risiko tinggi merupakan penyebab terjadinya kanker serviks,
sehingga tindakan skrining mengalami pergeseran yang semula ditujukan untuk
pencegahan sekunder bergeser untuk tujuan pencegahan primer. Mencegah terjadinya
infeksi HPV risiko tinggi merupakan pencegahan primer dan dianggap lebih penting,
karena pencegahan sekunder mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:
1. pencegahan sekunder tidak mencegah terjadinya NIS(CIN),
2. terapi lesi prakanker yang baru terdeteksi pada pencegahan sekunder seringkali
menimbulkan morbiditas terhadap fungsi fertilitas pasien, dan
3. pencegahan sekunder akan mengalami hambatan pada sumber daya manusia dan
alat yang kurang.
Pencegahan primer hanya mungkin dilakukan dengan deteksi terjadinya infeksi
HPV risiko tinggi terlebih dahulu. Identifikasi terjadinya infeksi HPV risiko tinggi
dapat dilakukan dengan Hybrid Capture (HC) atau dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Selain itu, berbagai macam cara mendeteksi HPV, antara lain dengan
Vira Pap, Vira Type, dan HPV Profile. Dengan metode metode tersebut dapat
diidentifikasi kelompok HPV risiko rendah (HPV tipe 6, 11, 42, 43 dan 44), dan risiko
tinggi (HPV tipe 16, 18, 31, 33 , 35, 39, 45, 51, 52, 56 dan 58).
Vaksin dihasilkan dari produksi antibodi seseorang atau sel T sebagai hasil
infeksi atau pajanan alami suatu antigen. Vaksin mengandung patogen yang telah mati
atau dilemahkan yang dapat menstimulasi respons imun tubuh. Pada beberapa kasus,
suntikan
booster
diberikan
memori
imun
dan
yang murah.
Vaksin HPV sebagai vaksin kanker serviks adalah vaksin kedua di dunia yang
dapat mencegah terjadinya kanker. Sebelumnya terdapat vaksin hepatitis B untuk
mencegah kanker hati. Teknologi untuk memproduksi vaksin HPV adalah rekombinan
DNA
1. Viral Like Particles Vaccines (VLP): Vaksin dibentuk dengan protein virus, L1,
yang bertanggungjawab dalam membentuk kapsid virus. Protein tersebut
memiliki fungsi untuk membentuk dirinya sendiri menjadi partikel yang
menyerupai virus. Partikel tersebut tidak mengandung DNA virus sehingga
tidak bersifat infeksius dan dapat menghilangkan risiko seseorang terkena
infeksi dari vaksin itu sendiri. Partikel tersebut dapat menstimulasi produksi
antibodi yang dapat mengikat dan menetralkan virus yang bersifat infeksius.
Saat ini penelitian mengenai penambahan polipeptid nonstruktural dari protein
virus ke protein minor L1 dan L2 sedang dilakukan dengan harapan dapat
meningkatkan sifat proteksi vaksin.
2. Recombinant Fusion Proteins and Peptides. Merupakan gabungan ekspresi
antigen dengan peptida sintetik yang dapat berrespons terhadap epitop
imunogenik protein virus. Pada binatang percobaan vaksin ini memiliki
kapasitas untuk menginduksi respons antitumor. Vaksin ini diharapkan dapat
memberikan efek terapeutik terhadap subyek yang sudah terinfeksi.
3. Live Recombinant Vectors. Vaksin berasal dari virus hidup yang direkombinan
dengan virus vaccinia untuk mengekspresikan gen HPV tipe 16 dan 18.
Penggunaan vaksin yang memiliki potensi untuk mengurangi insidens kanker
serviks serta lesi pra-kanker lainnya bukan berarti tidak diperlukannya skrining lagi
seumur hidupnya. Hal tersebut karena 30% kanker serviks disebabkan oleh virus HPV
tipe lain, sehingga seseorang masih dapat terinfeksi meskipun sudah divaksinasi.
Kombinasi vaksin HPV dan program skrining merupakan cara yang paling efektif
dalam mencegah kanker serviks.
Pentingnya penggunaan vaksin sebagai suatu program pencegahan adalah
berdasarkan kenyataan bahwa perempuan di negara berkembang tidak dapat
melakukan skrining terhadap kanker serviks karena kurangnya akses terhadap
pelayanan kesehatan. Analisis saat ini memperkirakan bahwa vaksin HPV memiliki
potensi untuk mengurangi total beban akibat kanker serviks sebesar 51% setelah 40-
50 tahun.
Sampai saat ini penelitian vaksin menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
menginduksi antibodi seseorang terhadap infeksi HPV. Vaksin kuadrivalen dengan
tipe HPV 6, 11, 16, 18 diperkirakan dapat mencegah sekitar 70% kanker serviks di
seluruh dunia. Vaksin dengan tipe HPV yang pal- ing sering di dunia yaitu tipe 16, 18,
31, 33, 45, 52, 58 diharapkan dapat mencegah 87% dari seluruh kasus kanker serviks
di dunia.27,28
Di negara maju, vaksin HPV diterima oleh kalangan perempuan muda, orangtua
serta kalangan medis. Hal-hal yang mendasari keputusan tersebut adalah tingginya
efektivitas dan keamanan vaksin, risiko tinggi infeksi HPV serta insidens kanker
serviks yang masih tinggi di dunia.
Vaksin HPV mendapat tantangan berupa perlawanan dari kaum agama dan etik
karena pemberian vaksin terhadap penyakit menular seksual dianggap dapat
memberikan kebebasan seksual kepada anak-anak. Untuk menjawab kontroversi
tersebut, National Survey of Family Growth menyatakan bahwa hanya 10% laki-laki
dan 7% perempuan dewasa yang belum pernah berhubungan seksual menggunakan
alasan tidak ingin menderita penyakit menular seksual sebagai alasan utama. Hal
tersebut lebih dipengaruhi faktor lingkungan baik keluarga maupun masyarakat. Data
tersebut belum ada di negara berkembang sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.
Pertanyaan lain adalah siapa yang harus divaksinasi. Jika fungsi utama vaksin
tersebut adalah untuk mengurangi insidens infeksi HPV maka pengurangan jumlah
yang terinfeksi akan tampak jika vaksinasi diberikan pada perempuan sebelum
mereka berhubungan seksual. Vaksinasi dapat diberikan pada perempuan berumur 913 tahun dengan asumsi mereka belum pernah berhubungan seksual pada rentang usia
tersebut. Pemberian vaksin kepada perempuan yang telah berhubungan seksual
sebelumnya juga dapat mengurangi jumlah infeksi HPV meskipun efektivitasnya
tidak sebaik pada mereka yang belum pernah berhubungan seksual.
Pemberian vaksin pada laki-laki dapat dipertimbangkan apabila vaksin tersebut
terbukti efektif dalam mengurangi insiden kondiloma pada laki-laki. Ide vaksinasi
pada laki- laki adalah untuk mengurangi insidens kondiloma pada laki- laki dan secara
tidak langsung pada perempuan pasangannya serta untuk mengurangi insidens kanker
penis, anus dan mulut yang berhubungan dengan infeksi HPV. Pemberian vaksin pada
laki-laki masih dalam pertimbangan, karena vaksinasi pada laki-laki setelah
pemberian vaksin kepada seluruh perempuan tidak akan memberikan pengaruh yang
8
bermakna pada insidens infeksi tersebut. Perhitungan tersebut tidak dapat dipakai
apabila terdapat hambatan dalam distribusi vaksin kepada seluruh perempuan di suatu
negara. Pada keadaan tersebut mungkin pemberian vaksin kepada perempuan dan
laki-laki akan menjadi lebih efektif dalam mencegah infeksi akibat HPV.
Pengaruh keberhasilan vaksin secara menyeluruh dalam mengurangi kematian
akibat kanker serviks, terutama apabila diberikan pada anak-anak, tidak dapat dilihat
dalam waktu singkat. Diperlukan berpuluh-puluh tahun kemudian yaitu waktu yang
diperlukan seorang anak untuk menjadi dewasa dan memiliki kemungkinan yang
besar untuk terkena kanker serviks. Pengaruh jangka pendek yang dapat dilihat adalah
berkurangnya insidens NIS 2 sampai sepertiga atau setengahnya. Hal tersebut akan
berpengaruh pada kurangnya tingkat morbiditas serta kurangnya biaya yang
diperlukan untuk penatalaksanaannya.
Pada akhirnya insidens kanker serviks akan bergantung pada jumlah populasi
risiko tinggi yang divaksinasi, jumlah tipe HPV yang dimasukkan ke dalam vaksin,
lama proteksi vaksin serta apakah komunitas medis dan masyarakat tetap mengikuti
skrining rutin.
Tantangan lain adalah komunikasi kepada pemerintah mengenai pentingnya
pencegahan penyakit menular seksual yang umum dan tidak berbahaya namun dapat
menjadi penyakit ganas setelah 20-30 tahun. Diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai tipe virus HPV yang paling banyak menginfeksi suatu negara sebab
walaupun vaksin tersebut 100% efektif, tetap tidak akan melindungi infeksi virus
yang tidak terdapat di dalam vaksin.
10
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebanyakan pria dengan infeksi HPV
tidak pernah menimbulkan gejala ataupun masalah kesehatan. Namun, jika
berkembang menjadi suatu penyakit , maka gejala yang di timbulkan adalah
munculnya beberapa benjolan pada daerah kemaluan yang tidak nyeri, biasanya
berbentuk seperti kembangkol dan terjadi setelah beberapa minggu setelah hubungan
seksual. Hal ini mengarah kepada kutil kemaluan. Jika benjolan berjumlah satu
terdapat di penis, diawali dengan perubahan warna dan penebalan kulit disertai
dengan pembengkakan kelenjar getah bening dan terasa nyeri, maka hal ini mengarah
kepada kanker penis. Sedangkan jika terjadi pendarahan dari anus disertai rasa gatal,
nyeri atau tidak nyaman di sekitar anus, pembesaran kelenjar getah bening daerah
kemauluan dan perubahan kebiasaan buang air besar maupun bentuk kotoran, maka
hal ini mengarah kepada kanker anus. Sampai sekarang, belum ada metode pasti
untuk mendeteksi infeksi HPV pada pria. Satu-satunya tes yang ada saat ini hanya
untuk mendeteksi infeksi HPV pada wanita dan resikonya terhadap kejadian kanker
mulut rahim. Metode ini tidak efeksi sebagai screening untuk mengetahui resiko
terjadinya kanker ataupun kutil kelamin pada pria. Sama halnya dengan pengobatan
infeksi HPV pada pria. Sampai saat ini belum ada terapi yang dianjurkan untuk
pengobatan infeksi HPV. Namun sudah ada terapi anjuran bagi kondisi kesehatan
yang ditimbulkan karena infeksi ini. Pada pasien dengan kutil kelamin misalnya dapat
diobati dengan berbagai macam modalitas terapi. Mulai dari menggunakan obat
obatan hingga dengan cara pembedahan untuk menghilangkan benjolan. Akan tetapi
perlu diingat bahwa pengobatan ini tidak menyembuhkan penyakit seutuhnya dan
biasanya kutil akan muncul kembali setelah beberapa bulan. Terapi juga tidak
menurunkan resiko penuluranan HPV ke pasangannya.
Pada kasus kanker penis, anus dan tenggorokan, terapi pilihan adalah dengan
cara pembedahan, kemoterapi dan radiasi; bahkan dapat menggabungkan dua
modalitas terapi sekaligus. Alangkah bijak bagi pasien untuk mengkonsultasikan
pengobatan kedokter spesialis agar dapat menentukan pilihan yang terbaik bagi
mereka. Mengingat bahaya infeksi HPV pada pria, maka akan lebih baik jika
mencegah terinfeksi dibandingkan mengobati. Untuk mencegah supaya tidak
11
terinfeksi HPV hanya bisa dilakukan dengan cara tidak berhubungan intim. Karena
pria yang hanya memiliki satu pasangan intim pun dapat terinfesi oleh HPV jika
pasangannya sudah terinfeksi sebelumnya. Namun untuk menurunkan resiko
terinfeksi, dapat ditempuh melalui beberapa cara. Di antaranya adalah dengan
pemakaian kondom. Jika digunakan dengan baik (menutupi seluruh batang penis dan
digunakan dari awal hingga akhir berhubungan intim) maka kondom dapat
menurunkan resiko menularkan dan terinfeksi HPV. Akan tetapi, infeksi dapat terjadi
pada daerah yang tidak tertutup kondom. Maka dari itu pemakaian kondom tidak
sepenuhnya mencegah penularan infeksi HPV.
Cara lain adalah dengan melakukan surkumsisi (sunat) pada pria. Menurut studi
yang dimuat dalam Oxford Journal of Infectious Disease tahun 2008, dinyatakan
bahwa pria yang telah disirkumsisi memiliki resiko yang lebih rendah terifeksi HPV.
Tidak hanya itu, penularkan HPV yang pada pria yang sudah disunat lebih rendah
sehingga pasangannya akan terlindungi dari kejadian kanker mulut rahim. Cara yang
paling baru dalam menurunkan resiko terinfeksi adalah dilakukan vaksinasi HPV.
Vaksin HPV dapat melindungi pria dan remaja laki-laki terhadap tipe HPV yang dapat
menimbulkan kutil kelamin dan kanker anus. Biasanya diberikan sebanyak 3 kali
dalam waktu enam bulan.
12
13
BAB III
KESIMPULAN
Kanker serviks merupakan kanker yang dapat mempengaruhi perempuan
dengan latar belakang dan umur yang berbeda di seluruh dunia. Dimulai dengan
serviksdan kemudian mencapai vagina.
menyebabkan kanker yang dapat mengarah kepada kanker serviks; HPV 16 dan 18,
menyebabkan lebih dari 70 % kanker serviks di dunia.
Pencegahan kanker serviks yang dilakukan dapat bersifat primer (vaksinasi)
maupun sekunder (deteksi dini). Vaksinasi bersama screening dapat mengurangi
resiko terkena kanker serviks dibandingkan hanya dengan screening saja dan dapat
mengurangi jumlah screening yang tidak normal yang memerlukan tindak lanjut
secara berarti. Bukan hanya wanita saja, namun pria juga membutuhkan vaksin untuk
HPV.
Vaksin HPV untuk pria dipercayai dapat melindungi dari beberapa tipe HPV
yang dapat menyebabkan masalah kesehatan pada pria. Vaksin ini berkerja dengan
cara memberi kekebalan terhadap 4 tipe HPV tersering, 2 tipe yang sering
menyebabkan kutil kelamin dan 2 tipe yang paling sering menyebabkan kanker
termasuk, kanker anus. Vaksinasi HPV masih kurang diminati oleh para pria. Hal ini
mungkin disebabkan masih kurangnya pengetahuan para pria tentang vaksinasi HPV
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Aziz MF. Masalah pada kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran 2001;133
2. Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Cermin Dunia
Kedokteran 2001;133:8-13.
3. National Institutes of Health. Cervical Cancer Prevention 2006: Cervical
cancer risk factor.. Diunduh dari http://www.cdc.gov/cancer/cervical.
4. Schiffman M, Castle PE. The promise of global cervical-cancer prevention. N
Eng J Med 2005;353(20):2101-4.
5. Franco EL, Curzick J, Hildesheim A, de Sanjose S. Issues in planning cervical
cancer screening in the era of HPV vaccination. Vaccine 2006;24S3:S171-7.
6. 22. Koutsky LA, Harper DM. Current findings from prophylactic HPV
vaccine trials. Vaccine 2006;24S3: S3114-21
7. Centers for Disease Control and Prevention. 2012.HPV and Men Fact
Sheets.http://www.cdc.gov/std/hpv/stdfact-hpv-and-men.htm.29th May 2012.
8. Gerend, Mary A. PhD, Barley, Jessica BS.2009. Human Papillomavirus
Vaccine Acceptability Among Young Adult Men. Journal of the American
Sexually Transmitted Diseases Association. Volume 36. No. 1. P5862. http://journals.lww.com/stdjournal/Fulltext/2009/01000/Human_Papilloma
virus_Vaccine_Acceptability_Among.13.aspx. 28th May 2012.
15