Anda di halaman 1dari 12

FUNGSI CHEMORESEPTOR PADA UDANG

Oleh :
Nama
Rombongan
Kelompok
Asisten

:
:
:
:

Nurfitriyani
I
I
Ade Winda Pradana

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015

I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Sistem

pada

setiap

hewan

memiliki

kekhususan

tergantung

penggunaannya dan sistem ini disebut sistem indra. Sistem indera pada hewan
secara umum terdiri dari indera perasa, indera pembau, indera pendengaran,
indera penglihatan, dan indera peraba. Selain itu, terdapat sebuah indera khusus
yang merupakan penggabungan kerja beberapa indera pada setiap hewan yang
kegunaannya berbeda-beda yaitu indera yang mampu mendeteksi (detector)
keberadaan makanan, musuh, ataupun kondisi lingkungan. Indera ini bekerja
berdasarkan kemampuan elektromagnetik yang dikirim melalui impuls-impuls
listrik pada sel saraf setiap hewan dan setiap hewan memiliki bentuk indera yang
berbeda-beda (Radiopoetro, 1977).
Reseptor dapat dikelompokkan dengan berbagai cara, yaitu berdasarkan
struktur, lokasi sumber rangsangan dan jenis rangsangan yang dapat diterima oleh
reseptor tesebut. Berdasarkan struktur reseptornya, reseptor dapat dibagi menjadi
dua yaitu reseptor saraf dan reseptor bukan saraf. Hewan avertebrata merupakan
hewan yang sangat mengandalkan indera tambahan ini. Hal ini, dikarenakan
belum optimalnya mekanisme penghantaran dalam sistem saraf hewan tersebut.
Secara khusus indera ini memiliki tiga jenis yaitu Chemoreseptor, yaitu indera
yang bekerja dengan stimulus ion dan molekul kimia seperti gas dan merupakan
gabungan indera penciuman dan perasa, Mechanoreseptor, yaitu indera yang
distimulasi oleh energi kinetik dan Photoreseptor merupakan indera yang
merespon energi foton (Radiopoetro, 1977).
Lobster (Panulirus sp.) merupakan komponen penting bagi perikanan
udang di Indonesia, dimana menurut catatat Statistik Indonesia tahun 2005,
lobster menempati urutan ke empat untuk komoditas ekspor dari bangsa Krustacea
setelah marga Penaeus, Metapeaneus dan Macrobrachium (Junaidi & Cokrowati,
2010).

I.2 Tujuan

Tujuan praktikum kali ini adalah untuk mengetahui fungsi-fungsi


chemoreseptor pada lobster.

II. MATERI DAN CARA KERJA


II.1 Materi
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah lobster (Cherax
quadricarinatus), Tubifex sp., dan pelet.
Alat yang digunakan adalah akuarium, senter, stopwatch, dan gunting.
II.2 Cara Kerja
1. Lobster sebanyak 4 ekor disiapkan di dalam akuarium.
2. Lobster diberi perlakuan (kontrol, ablasi mata, ablasi antennula dan ablasi
total).
3. Sajikan pakan ditengah akuarium.
4. Senter dinyalakan di samping akuarium, kemudian lampu ruangan
dimatikan.

5. Gerakan lobster berupa flicking, withdraw, wipping, rotasi dan mendekati


pakan diamati selama 20 menit (10 menit pertama dan 10 menit kedua),
kecuali pada ablasi total dan ablasi antennula hanya diamati gerakan
mendekati pakan saja.
6. Waktu saat lobster melakukan gerakan tertentu dicatat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


III.1 Hasil
Tabel 3.1.1 Pengamatan Gerakan Antennula Lobster sebagai Respon
Terhadap Pakan Tubifex sp.
Perlakuan

Waktu

Flicking

Withdraw

Ablasi

335

105

Mata

344

200

640

302

710
015

025

104

025

308

115

408

315

450

327

524

649

10(I)

10(II)

Wipping

Rotation

MP
608

502

720
920

104
308
755

720

935

820

948
452

10(I)

Ablasi
Total

10(II)

508
531
554
640
703

10(I)

740
124
720
801
202

Ablasi

506

Antenula
10(II)

217
317
503
832
109

10(I)
Normal

903

610

202

(Kontrol)

348
10(II)

356
533

614
456

305

646

416

88

303
641
920
317
716
901

930

552

Tabel 3.1.2 Pengamatan Gerakan Antennula Lobster sebagai Respon


Terhadap Pakan Berupa Pelet.
Perlakuan

Waktu

Flicking

Withdraw

Ablasi

10(I)

205

19

Mata

10(II)

335

141

Wipping

Rotation

MP

758"

49

109
Ablasi

10(I)

Total

Ablasi
Antenula

10(II)

10(I)

10(II)

228

353

442

559

656

645

747

845
30

10 (I)

Normal
230

(Kontrol)
10(II)

550
740
855

926

553

528
10
55
356
732
25
730
-

616

50
329
450

615
640
820

Keterangan :
Flicking

: gerakan antennula ke depan

Withdraw

: gerakan antennula ke belakang

Wipping

: gerakan antennula membersihkan makanan di mulut

Rotation

: gerakan antennula berputar

MP

: mendekati pakan

III.2

Pembahasan
Lobster adalah hewan nokturnal yang terutama bergantung pada

kemoreseptor mereka untuk mencari makanan. Rangsangan yang diterima dari


sumber yang jauh tersebar oleh aliran sekitar lingkungan daripada difusi
molekular. Ketika arus lemah atau tidak ada, mencari pakan dapat difasilitasi oleh
arus yang dihasilkan oleh hewan itu sendiri. Lobster mempekerjakan organ
anterior mereka untuk menghasilkan berbagai pola aliran. Ketika mencari
makanan udang karang menghasilkan satu atau dua pancaran luar. Pancaran ini
menginduksi arus masuk yang menarik untuk kemoreseptor anterior (Denissenko
et al., 2007). Lobster yang paling responsif terhadap pakan adalah lobster dengan
perlakuan normal dan perlakuan ablasi mata. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Storer (1957), yang menyatakan bahwa antennula pada lobster
merupakan struktur sensor yang dapat bergerak untuk mencari perlindungan,
makan, dan mencari pasangan serta menghindari predator. Oleh karena itu, lobster
yang tidak diberi perlakuan ablasi antennula akan berespon terhadap pakan,
karena fungsi dari antennula tersebut akan hilang jika dilakukan ablasi atau
pemotongan salah satu organ tertentu.
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa lobster dengan pakan
Tubifex sp. pada perlakuan normal 10 menit pertama melakukan pergerakan
withdraw sebanyak 1 kali, wipping sebanyak 1 kali dan mendekati pakan
sebanyak 4 kali, sedangkan 10 menit kedua lobster melakukan pergerakan flicking
sebanyak 5 kali, withdraw sebanyak 2 kali, wipping sebanyak 2 kali, rotation
sebanyak 4 kali, dan mendekati pakan sebanyak 3 kali. Perlakuan ablasi mata
pada 10 menit pertama losbter melakukan flicking sebanyak 4 kali, withdraw
sebanyak 3 kali, wipping sebanyak 1 kali, dan mendekati pakan sebanyak 3 kali,
sedangkan pada 10 menit kedua lobster melakukan flicking sebanyak 7 kali,
withdraw sebanyak 7 kali,

wipping sebanyak 2 kali, dan mendekati pakan

sebanyak 3 kali. Hal ini kurang sesuai dengan pernyataan Roger (1978) bahwa
lobster dengan perlakuan ablasi mata masih bisa melakukan gerakan seperti

flicking, wipping, withdraw, rotation dan mendekati pakan, karena lobster pada 10
menit pertama dan 10 menit kedua tidak melakukan pergerakan rotation.
Perlakuan ablasi antennula pada 10 menit pertama lobster melakukan pergerakan
mendekati pakan sebanyak 3 kali dan pada 10 menit kedua losbter melakukan
pergerakan mendekati pakan sebanyak 7 kali. Perlakuan ablasi total, yaitu lobster
diablasi mata dan antennulanya menunjukkan hasil pada 10 menit pertama lobster
mendekati pakan sebanyak 4 kali dan pada 10 menit kedua lobster melakukan
pergerakan mendekati pakan sebanyak 3 kali. Hal ini tidak sesuai dengan
pernyataan Radiopoetro (1977) bahwa pada perlakuan ablasi total dan ablasi
antennula, lobster tidak dapat melakukan gerakan flicking, wipping, withdraw,
rotation dan mendekati pakan karena organ yang berfungsi sebagai reseptor telah
hilang.
Hasil pengamatan didapatkan bahwa lobster dengan pakan pelet pada
perlakuan normal 10 menit pertama melakukan pergerakan flicking sebanyak 4
kali, withdraw sebanyak 4 kali, wipping sebanyak 1 kali, dan rotation sebanyak 2
kali kali, sedangkan 10 menit kedua lobster melakukan pergerakan flicking
sebanyak 4 kali dan withdraw sebanyak 7 kali. Perlakuan ablasi mata pada 10
menit pertama losbter melakukan flicking sebanyak 1 kali, withdraw sebanyak 1
kali, rotation sebanyak 1 kali, dan mendekati pakan sebanyak 1 kali, sedangkan
pada 10 menit kedua lobster melakukan flicking sebanyak 7 kali, withdraw
sebanyak 1 kali, wipping sebanyak 1 kali, dan mendekati pakan sebanyak 1 kali.
Hal ini kurang sesuai dengan pernyataan Roger (1978) bahwa lobster dengan
perlakuan ablasi mata masih bisa melakukan gerakan seperti flicking, wipping,
withdraw, rotation dan mendekati pakan, karena lobster pada 10 menit pertama
lobster tidak melakukan gerakan wipping dan 10 menit kedua tidak melakukan
pergerakan wipping dan rotation. Perlakuan ablasi antennula pada 10 menit
pertama lobster melakukan pergerakan mendekati pakan sebanyak 1 kali dan pada
10 menit kedua losbter melakukan pergerakan mendekati pakan sebanyak 2 kali.
Perlakuan ablasi total, yaitu lobster diablasi mata dan antennulanya menunjukkan
hasil pada 10 menit pertama lobster mendekati pakan sebanyak 3 kali dan pada 10
menit kedua lobster melakukan pergerakan mendekati pakan sebanyak 2 kali.

Chemoreseptor

merupakan alat indera yang bereaksi terhadap zat-zat

kimia, antara lain pakan. Chemoreseptor digunakan untuk mengenali stimulus


yang berasal dari sumber yang jauh dari tubuh, alat itu berupa rambut-rambut
pada antennula dengan nilai ambang yang sangat rendah. Chemoreseptor menurut
Gordon et al., (1982), berfungsi untuk mendeteksi dan mengetahui adanya
makanan, tempat hidup, mengenal satu sama lain dengan menunjukkan tingkah
laku masak kelamin (mating), dan mendeteksi adanya musuh, hanya dengan
stimulus berupa gas berkonsentrasi rendah, chemoreseptor telah dapat mengenali
(Ville et al., 1988). Terdapat sel-sel pada antennula yang dapat membaui adanya
rangsang kimia dari lingkungan terutama peka terhadap asam-asam amino dan
karbohidrat dari pakan (Radiopoetro,1977).
Menurut Roger (1978), reseptor dapat dibagi menjadi beberapa bagian
stimulus yang dideteksi :

Mekanoreseptor, sensitif terhadap stimulus mekanik seperti sentuhan.


Termoreseptor, mendeteksi perubahan temperatur.
Nosiseptor, merespon stimulus nyeri dari kerusakan fisik maupun kimiawi

pada jaringan tubuh, kadar oksigen yang rendah., ditemukan pada otak.
Fotoreseptor, mendeteksi cahaya mengenai retina mata.
Kemoreseptor, mendeteksi energi kimia dan mengubah menjadi energy

listrik.
Osmoreseptor, mendeteksi tekanan osmosis cairan tubuh.
Glukoreseptor, mendeteksi level gula darah.
Mekanisme stimulus yang sampai ke lobster dan diterima oleh organ

chemoreseptor adalah senyawa yang terkandung dalam pakan yang dimasukkan


ke dalam air akan berdifusi dalam air menjadi bentuk-bentuk ion-ion, sehingga
menimbulkan aroma yang khas bagi lobster. Rangsangan ini diterima oleh
chemoreseptor melalui antenula dan ditransformasi ke otak oleh neuron efferent,
kemudian otak akan memprosesnya menjadi tanggapan yang kemudian akan
diteruskan ke organ melalui neuron afferen, selanjutnya organ reseptor melakukan
gerakan sesuai informasi dari otak. Berdasarkan mekanisme ini dapat diketahui
bahwa organ chemoreseptor lobster terletak pada antennula yang berfungsi untuk
merespon kehadiran pakan yang beraroma khas sebagai stimulus zat kimia
(Roger, 1978).

Antennula pada lobster merupakan struktur sensor yang dapat bergerak,


berfungsi untuk perlindungan, makan, dan mencari pasangan serta menghindari
predator. Oleh karena itu, lobster yang diberi perlakuan ablasi antennula akan
tidak akan merespon terhadap kehadiran pakan (Storer, 1957). Antennula
memiliki sel-sel yang dapat membaui adanya rangsang kimia dari lingkungan
terutama peka terhadap asam-asam amino dan karbohidrat dari pakan. Fungsi dari
antennula juga untuk menangkap stimulus kimia berupa pheromon dari hewan
lawan jenis juga untuk mengetahui posisi tubuh. Lobster dengan ablasi total tidak
dapat melakukan gerakan apapun kecuali mendekati pakan, sedangkan lobster
kontrol dan lobster dengan ablasi mata dapat melakukan gerakan mendekati
pakan, karena masih memiliki antennula yang merupakan chemoreseptor,
sehingga dapat melakukan gerakan mendekati pakan, sebagai respon adanya
stimulus berupa pakan yang ditangkap oleh chemoreseptor pada antennula.
Menurut Radiopoetro (1977), pada perlakuan ablasi total tidak terjadi gerakan
karena organ yang berfungsi sebagai reseptor telah hilang.
Gerakan-gerakan antennula udang atau lobster dalam mencari makan
menurut Gordon et al., (1982), yaitu :
1.

Gerakan flicking, yaitu gerakan dimana lobster melakukan gerakan pelucutan


antennula ke depan, dan gerakan tersebut berfungsi dalam mencari atau

2.

mendekati pakan.
Gerakan wipping, yaitu gerakan pembersihan antennula, dimana gerakan
tersebut berfungsi dalam pembersihan setelah mendapatkan makanan atau

3.

setelah memakan pakan.


Gerakan withdraw, yaitu gerakan dimana lobster melakukan gerakan
pelucutan ke belakang, dimana gerakan tersebut berfungsi untuk melawan

4.

atau menghindari musuh yang akan mendekatinya.


Gerakan rotation, yaitu gerakan pemutaran antennula yang berfungsi untuk
mencari sensor kimia. Frekuensi flicking, dipengaruhi oleh keadaan fisiologis
lobster seperti parameter sensori berupa kimia, cahaya, osmotik, dan
rangsangan mekanik.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan sintasan

atau kelulushidupan lobster air tawar diantaranya adalah kualitas benih, jenis
pakan, kualitas air, penyakit dan keberhasilan molting, yaitu pergantian kulit yang

baru. Peran molting sangat penting dalam pertumbuhan lobster, karena lobster
hanya bisa tumbuh melalui molting. Semakin sering lobster melakukan molting,
maka pertumbuhannya juga semakin baik. Keberhasilan molting sendiri sangat
bergantung pada cadangan kalsium yang ada dalam tubuh lobster dan hingga saat
ini banyak dijumpai kematian lobster yang diakibatkan oleh ketidakmampuan
lobster dalam melakukan molting secara sempurna. Salah satu penyebab
kegagalan molting adalah tidak berhasilnya lobster dalam proses gastrolisasi, yaitu
penyerapan kalsium yang ada di dalam tubuhnya. Peran kalsium disini sangat
signifikan dalam proses pengerasan cangkang yang baru setelah lobster berhasil
mengeluarkan cangkang yang lama. Kalsium yang diserap oleh lobster dapat
berasal dari makanan, air, dan hasil kanibalisme atau pemangsaan cangkang yang
lama (Hakim, 2009).

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :

1.

Chemoreseptor pada losbter berfungsi untuk mendeteksi adanya pakan,


mencarinya sampai menemukan pakan dan memberikan respon terhadap
pakan tersebut.

2.

Setiap perlakuan menghasilkan gerakan yang berbeda-beda.

DAFTAR REFERENSI
Denissenko, P., Lukaschuk & Breithaupt. 2007. The flow generated by an active
olfactory system of the red swamp crayfish. Journal of experimental
biology. (210) pp. 4083-4091.
Hakim, R.R. 2009. Penambahan kalsium pada pakan untuk meningkatkan
frekuensi molting lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Jurnal
Gamma, 5(1) pp. 72-78.
Gordon, M. S., G. A. Bartholomeno, Grinele, A. D. Barker, C. & Fred, N. W.
1982. Animal Physiology. New York: Mac Millan Publishing Co Ltd.
Junaidi, M. N., Cokrowati, Z. A. 2010. Aspek Reproduksi Lobster (Panulirus Sp.)
di Perairan Teluk Ekas Pulau Lombok. Jurnal Kelautan Vol : 3 No. 1.
Radiopoetro. 1977. Zoologi. Jakarta: Erlangga.
Roger, W. 1978. Physiology of Animal. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Storer, T.I. 1975. General zoology. , New York: Mc Graw Hill Book Company.
Pearce, E. 1989. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta :Gramedia.
Ville, C. A., Walker, W. F. & Barnes, R. D. 1988. Zoologi Umum. Jakarta:
Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai