Anda di halaman 1dari 13

Keadaan sosial-ekonomi, politik dan keagamaan masa akhir kerajaan Israel Utara hingga

masa pemerintahan Yosia di Israel Selatan


Dalam bahasan sebelumnya disimpulkan bahwa kemungkinan bahan asli kitab Ulangan
(pasal 12-26) berasal dari kerajaan Israel Utara, selanjutnya dikembangkan di Selatan dan
memperoleh bentuknya seperti yang kita miliki sekarang pada masa setelah

pembuangan.

Bahan-bahan mengenai peraturan perang dalam Ulangan 20:1-20 yang merupakan bagian dari
bahan asli itu, memiliki konteks sejarah penulisan. Dalam pembahasan ini, secara khusus akan
dibahas mengenai konteks kehidupan umat, terutama konteks sosial-ekonomi, politik dan
keagamaan pada masa di mana bahan pasal 20 itu awalnya dipelihara dan dikembangkan.
Sepertinya waktu yang cocok mengenai masa awal di mana peraturan atau hukum perang ini
dipelihara adalah masa akhir kerajaan Utara atau masa akhir abad VIII SM selanjutnya semakin
dilengkapi pada masa Kerajaan Selatan, terutama pada masa pemerintahan Hizkia (mungkin
sampai masa Manasye dan Amon). Kehidupan umat di Kerajaan Utara pada masa itu mengalami
banyak kesulitan dan kerajaan sedang menghadapi ancaman kehancuran.1
Pada masa ini terjadi ketidakdilan sosial yang menyebar ke seluruh wilayah kerajaan.
Dalam struktur sosial terjadi pengelompokan masyarakat yang menimbulkan kelas-kelas yang
membedakan satu dengan yang lain. Interaksi antara yang kaya dan yang miskin dibatasi oleh
kepentingan ekonomi semata. Artinya bahwa kelompok dari kelas atas atau orang kaya hanya
bergaul dengan masyarakat miskin sejauh memberikan keuntungan bagi pekerjaan mereka. Pada
masa itu, kelompok kelas atas menggunakan perangkat hukum untuk memelihara dan menutupi
kejahatan mereka dan dengan "topeng" penyataan pembangunan ekonomi, mereka telah
melakukan kekerasan sturuktural terhadap masyarakat ekonomi lemah. Sebab masyarakat
ekonomi lemah merupakan alat mereka untuk meraup keuntungan dan meningkatkan
1

Lihat juga Hempel dalam otto eisfeld 174,,,,,,,,,, mana lagi kawannya referensi ini??

perekonomian mereka sendiri. Di samping itu, terjadi juga bentuk-bentuk kecurangan dan
kebohongan terhadap kelompok yang lemah di mana para hakim mengadili secara tidak obyektif.
Mereka dapat disogok sehingga mengadili secara tidak benar dan menjatuhkan hukuman tidak
menurut hukum yang benar (Amos 5:10-12). Praktek-praktek kecurangan itu didukung pula
karena yang menguasai lahan pengadilan adalah masyarakat kelas atas. Keadaan ini
menyebabkan ketidakbebasan memperoleh perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat dan
banyak terjadi kekerasan. Para petani atau masyarakat miskin tidak diberikan jaminan
kepemilikan dari negara termasuk janji akan keuntungan yang dapat mereka perloleh dari kerja
keras mereka.2
Para petani dari latar belakang ekonomi lemah dan masyarakat miskin yang
terpinggirkan, kehidupannya bergantung pada belas kasihan para tuan tanah dan para pemilik
modal yang dapat memberikan pinjaman modal. Keadaan ini menyebabkan pemisahan antara
petani kecil dengan kelompok lainnya terutama pemerintah (lih. Mikha 2:1 dst.; 3:1-9). Keadaan
di mana para petani miskin tidak dapat membayar hutang, menjadi kesempatan bagi pemilik
modal untuk memperlakukan mereka dengan sesuka hati, termasuk terhadap keluarga mereka (2
Raj. 4:1 dst.). Walaupun para petani miskin itu gagal panen, mereka harus membayar pajak
kepada para pemilik modal pada panen berikutnya, atau mungkin juga dengan menjual salah satu
anggota keluarga mereka atau memperhamba diri bagi pemilik modal tesebut (Am. 8:4-16). Para
pemilik modal dan tuan tanah lambat laun menggeser posisi para penduduk yang sebenarnya
memiliki hak waris atas tanah dari leluhur mereka. Akhirnya, masyarakat banyak yang
kehilangan tanah mereka karena dirampas oleh pemilik modal dan tuan tanah (Am. 8:4; bnd.
Mikha 2:9 dst.). Karena keaadaan tersebut muncul kelompok-kelompok masyarakat yang disebut

John Bright, A History of Israel, (Philadelphia:Westminster Press, 1981), hlm. 260

sebagai orang lemah, orang miskin dan orang-orang malang atau sengsara (Amos 2:7; 4:1;
5:11).3
Awalnya kehidupan umat memiliki sistem sosial yang terikat dalam sistem persekutuan
kesukuan di dalam ikatan perjanjian dengan Yahwe. Sistem persekutuan itu tidak memiliki
pembedaan kelas sosial, sebab semua pihak memiliki kewajiiban yang sama yang didasarkan
pada perjanjian dengan Yahwe dan semua perselisihan, masalah yang dihadapi, diselesaikan
dengan hukum Yahwe. Pada masa akhir abad VIII SM struktur kehidupan sosial masyarakat
sudah berubah total. sistem kerajaan yang berpusat pada singasana atau mahkota kerajaan telah
mencipta sistem sosial yang baru. Kewajiban sosial sebagai satu persekutuan, telah berubah
menjadi kewajiban negara, bersamaan dengan berkembangnya aktivitas-aktivitas yang bersifat
komersil. Keadaan itu telah menimbulkan hak-hak pribadi sekelompok orang atau kelas-kelas
tertentu. Dampaknya negatif yang ditimbulkan adalah semakin melemahnya ikatan kesatuan
suku dan menghancurkan karakter asli persekutuan yaitu "solidaritas". Selain itu terjadi juga
pemasukan sekelompok masyarakat dari kalangan penduduk sekitar Kanaan yang memiliki latar
belakang sebagai pemilik modal (kaum feodal) dalam sistem sosial masyarakat Israel.4
Selain keterpecahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di kerajaan Israel
Utara, kehidupan keagamaan juga mengalami kemerosotan. Beberapa catatan dalam kitab nabi
yang hidup pada masa itu menunjukkan kemerosotan keagamaan yang terjadi. Walaupun ada
banyak orang yang datang beribadah ke tempat suci dan dengan semarak beribadah (Amos 4:4;
5:21-24), namun kenyataannya mereka tidak sungguh-sungguh melakukan ibadah kepada Yahwe
dan memelihara tradisi Yahwisme. Banyak tempat-tempat suci lokal yang telah menjadi tempat
penyembahan berhala (dewa kanaan). Praktek penyembahan dewa Kanaan itu tumbuh subur
3

Lih. Rainer Albertz, A History of Israelite Religion in the Old Testament Period, Vol. I, (London: SCM Press,
1994), hlm. 159-60; John Bright, A History of Israel, hlm. 260
4
John Bright, A History of Israel, hlm. 260

(Hos. 1-3; 4:11-14 ). Sebagaimana dalam kepercayaan agama Kanaan ada banyak nama dewa,
nama Yahwe pun digantikan dengan nama-nama dewa Kanaan. akhirnya umat banyak yang
menyembah Baal. Para pejabat pemerintah juga banyak yang menyerap kultus dan ritus asli
paganisme (Amos 2:7; 5:26), yang lebih buruk adalah upacara pengorbanan yang dilakukan
untuk para dewa. Mereka menganggap dengan upacara pengorbanan itu akan dapat
menenangkan para dewa dan dapat memberikan kedamaian.
Dalam bait suci sendiri banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para imam
(Hos. 4:14), pelaksanaan formalitas ibadah keagamaan, padahal mereka telah meninggalkan
Tuhan (Hos. 9:1), mabuk-mabukan dalam ibadah (Hos. 4:11), umat yang melakukan ibadah juga
melakukan persundalan (4:13). Hosea sebagai salah seorang nabi yang hidup pada zaman itu
menyebutkan ibadah Israel sebagai ibadah Baal (2:15). Dengan kata lain, Israel telah kehilangan
identitasnya sebagai umat Allah. Atas keadaan itu nabi seperti Amos dengan tegas menyerukan
akan kehancuran Utara atas kejahatan, penipuan, kemunafikan kultus atau ibadah yang mereka
lakukan. Hanya satu syarat yang mungkin menyelamatkan mereka, yaitu mematuhi hukum
Tuhan (5:14). Pada umumnya penekanan nabi sebagai kritik mereka terhadap keadaan yang
terjadi, khususnya dalam bidang keagamaan adalah menyerukan agar umat kembali kepada
konsep ibadah yang berpusat pada kedaulatan Yahwe Israel. Dalam hal ini, kritikan ditujukan
kepada para pemimpin dan pemerintah yang tidak menempatkan Yahwe sebagai pemimpin yang
sebenarnya. Para raja telah memberontak terhadap Yahwe, oleh karena itulah disuarakan dan
ditekankan agar kembali kepada perjanjian dengan Yahwe.5
Pada masa ini pula tradisi-tradisi tua Israel, termasuk hukum-hukum yang berhubungan
dengan tradisi Sinai dan Musa, oleh sekelompok umat yang memeliharanya, diangkat dan
5

Rainer Albertz, A History of Israelite Religion in the Old Testament Period, Vol. I, hlm. 171; John Bright, A
History of Israel, hlm. 263. Pada masa ini pula tradisi-tradisi tua Israel, termasuk hukum-hukum yang
berhubungan dengan tradisi Sinai dan Musa, oleh sekelompok umat yang memeliharanya, diangkat dan
direlevansikan dengan kehidupan umat. Bahan-bahan itu kembali diangkat

direlevansikan dengan kehidupan umat. Bahan-bahan itu kembali diangkat dan direlevansikan
mengingat tidak semua hukum-hukum kuno itu sesuai dengan keadaan atau sistuasi kehidupan
umat yang sudah berubah, yaitu dari sistem persekutuan kesukuan (nomaden) menjadi sistem
kerajaan. Lebih dari itu, hukum-hukum dan tradisi kuno yang diangkat bukan hendak
menekankan segi pelaksanaannya, melainkan segi kerohaniaan atau segi pengajarannya. Ini
berhubungan dengan upaya pembaharuan keagamaan dan pola hidup umat 6 Upaya menafsirkan
ulang, merelevansikan dan mengadaptasikan hukum-hukum dan tradisi kultus kuno Israel
awalnya dikerjakan oleh kelompok imam Lewi (kelompok yang tinggal di bait suci dan masih
memelihara tradisi-tradisi tua Israel) di Utara, dalam situasi yang sedang dihadapi umat pada saat
itu. Hal itu karena ada kesadaran bahwa peraturan-peraturan yang diberikan oleh Musa tak selalu
sesuai lagi dengan kenyataan, karena awalnya hukum itu dibuat bagi kaum pengembara
sementara Israel telah menjadi bangsa yang terorganisasi (negara). Masalah-masalah kehidupan
baru yang berhubungan dengan pola dan sistem sosial, politik yang baru, harus segera dijawab.
Sebagai contoh, wajib militer bagi pria muda yang telah menikah, bahaya dari sekte-sekte kafir
yang dipraktekkan di Kanaan; ketidakadilan dari golongan kaya yang yang menindas kelompok
orang miskin dan lain sebagainya. Jadi perlu menata kembali peraturan-peraturan yang sudah ada
sebelumnya.7 Namun pada masa ini, bahan-bahan tersebut belum dituliskan atau belum
dilembagakan dalam kehidupan umat. Setelah umat berada di Selatan, barulah bahan-bahan itu
dituliskan, dengan tetap didasarkan pada upaya merelevansikan hukum dan tradisi itu dengan
kehidupan umat di Selatan.
6

J.A. Thompson, Deuteronomy, dalam D. J. Wiseman, The Tyndale Old Testament Commentaries, hlm. 45-47;
Gerhard von Rad, Holy War in Ancient Israel, 116
7
Lih. Etiene Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 75;
G. von Rad , Studies in Deuteronomy, hlm. 61, von Rad menekankan bahwa kitab Ulangan merupakan karya
kelompok Lewi yang masih memelihara tradisi tua dan hokum-hukum Amfiktionik, dan kemudian
menafsirkankannya ulang dan mnegadaptasikannya pada periode masa abad ke VII SM.

Pada masa akhir abad ke VIII keadaan politik negara di Utara juga sedang menghadapi
goncangan, khususnya Pada masa setelah kematian raja Yerobeam II di Utara, mulailah
kemunduran yang signifikan dalam kerajaan Israel Utara. Kemunduran itu secara politik
disebabkan oleh dua faktor, yaitu dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam, kerajaan
mengalami perpecahan. Dalam catatan sejarah bahwa tiga dari lima raja terakhir Israel, setelah
kematian Yerobeam II, merebut kekuasaan dan menjadi raja dengan tindakan kekerasan misalnya
raja Shallum, Menahem dan Pekah (lih. 2 Raj. 15:8-28). Motivasi dari tindakan kekerasan yang
dilakukan adalah ambisi pribadi, politik dan permusuhan atau pertentangan lokal. Faktor dari
luar terutama ketika kemaharajaan Asyur bangkit kembali setelah beberapa lama mengalami
kemunduran. Di bawah kepemimpinan Tiglath-Pileser III daerah-daerah sekitar Palestina
termasuk Israel menjadi negara taklukan Asyur. Setiap negara yang ditaklukkan harus mematuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Kerajaan Asyur dan membayar upeti. Dalam keadaan itu, raja
Israel, misalnya Menahem tunduk pada kerajaan Asyur dan memberikan upeti dengan biaya yang
besar. Namun raja kemudian Pekah, dan raja Hosea tidak besedia tunduk dan merancang
pemberontakan.8
Keadaan yang sedang bergejolak dalam kerajaan Israel Utara itu menunjukkan keadaan
politik yang sedang tidak stabil, dan kebijakan-kebijakan yang dibuat menunjukkan tanda-tanda
kehancuran (Hos. 7:1-7; 8:4). Dalam keadaan ini pula tindak kejahatan merajalela dalam
kehidupan di tengah-tengah kerajaan dan dalam kehidupan masyarakat. Sejalan dengan itu pula
praktek-praktek paganisme berkembang, tidak ada kesatuan, tidak ada standar prinsip dan aturan
moral dan tidak ada kesatuan dalam ibadah kepada Yahwe. Sejalan dengan kekacauan internal
yang terjadi, keadaan politik juga mengalami krisis. Perjanjian Yahwe dengan kekuatannya yang
mengontrol umat telah dilupakan. Yesaya menggambarkan kehidupan umat seperti kanibal (9:19
8

John Bright, A History of Israel, hlm. 269-271

dst.). Umat menunjukkan sikap barbar (2 Raj. 15:16 dst.; Am. 1:13).
Kebijakan politik yang paling berbahaya dan paling buruk adalah pada masa
pemerintahan raja Pekah (2 Raj. 15:27-31). Ia merancang persepakatan dengan Rezin, raja
Damascus (Syiria) untuk berkoalisi memberontak terhadap kekuasaan Asyur. Awalnya koalisi
tersebut meminta agar Yehuda bergabung bersama mereka, namun Yehuda menolak. Karena
penolakan tersebut, koalisi Utara dengan Syiria menyatukan kekuatan untuk menyerang Yehuda.
Perang pun terjadi (2 Raj. 16:5), namun belum sempat Yehuda dikalahkan, Ahaz raja Yehuda
meminta bantuan dari Asyur dengan memberikan persembahan kepada Tiglat-Pileser. Akhirnya
kekuatan Asyur maju menyerang koalisi yang dibentuk dan memukul kalah koalisi tersebut (734732 SM). Di Utara, pada masa pemerintahan Pekah, dampak perang adalah semakin
melemahnya posisi kerajaan. Para penduduk sebagian diangkut sebagai budak ke Asyur (2 Raj.
15:29).
Selanjutnya, atas persepakatan Hosea dengan pengikutnya dibunuhlah Pekah dan ia
menjadi raja atas Israel. Kerajaan Israel pada masa pemerintahan Hosea juga mendapat serangan
dari Asyur (raja Salmaneser) dan menyebabkan Hosea harus tunduk. Awalnya Hosea tunduk
kepada kemaharajaan Asyur, namun kemudian ia menjalin hubungan kerja sama dengan kerajaan
Mesir, yang dipimpin oleh raja So dan tidak memberikan uperti kepada Asyur. Karena perbuatan
Hosea itu, maka majulah Asyur sekitar tahun 722/721 memerangi seluruh kerajaan Utara.
Akhirnya Kerajaan Utara jatuh ke tangan raja Asyur (2 Raj. 17:1-6).
Seluruh keadaan sosial, politik dan keagamaan akhir abad ke VIII (sampai hancurnya
kerajaan Israel Utara) telah membangkitkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat
melakukan konfrontasi dan perlawanan terhadap keadaan yang ada dan terhadap kebijakankebijakan, langkah-langkah politik yang ditetapkan oleh para pemimpin. Dua kelompok yang

memberi sumbangan bagi upaya pembaharauan keadaan sosial, politik dan keagamaan pada
masa itu adalah kelompok kaum imam dan nabi, namun yang kelihatan di permukaan adalah
tindakan dan pemberitaan para nabi.9
Setelah kehancuran kerajaan Utara, maka hanya ada satu bagian dari dinasti Daud yang
tersisa yaitu Kerajaan Selatan. Namun, di Selatan ternyata keadaan kehidupan umat tidak jauh
berbeda dengan yang terjadi di Utara. Sepertinya ada indikasi bahwa kemerosotan moral dan
sosial yang telah menyebabkan kehancuran kerajaan Utara terjadi juga di Selatan. Dampak dari
koalisi dengan Syiria adalah bahwa Yehuda harus tunduk kepada ketentuan Asyur dan membayar
upeti. Kemenangan atas serangan koalisi Utara-Syiria sebenarnya tidak membuat Yehuda bebas
dari ancaman, sebab akhirnya Asyurlah yang membawa ancaman bagi eksistensi Yehuda. Koalisi
dengan Asyur membawa pengaruh yang merugikan kesatuan umat, kehidupan keagamaan dan
kebijakan politik negara. Pada masa Ahaz di Selatan, pengaruh kebudayaan dan keagamaan
Asyur sangat berkembang. Praktek ibadah keagamaan Asyur dengan segera diberlakukan di
Yehuda (2 Raj,. 16:10-18). Selanjutnya posisi Yahwe sebagai Tuhan nasional bergeser,
digantikan dengan dewa-dewa Asyur.
Keadaan sosial ekonomi juga mengalami kemerosotan. Penyakit sosial umat yang pernah
ada di Utara ternyata dimiliki juga oleh umat di Selatan. Keterpecahan pola hidup sosial, dan
pemusatan kekayaan di tangan sekelompok orang. Orang-orang kaya di Selatan tidak lebih baik
9

Khususnya dalam masa-masa awal perang Utara menghadapi kekuatan Asyur, para nabi (mis. Elia dan Elisa)
menyuarakan protes atas kebijakan para pemimpin yang lebih mengandalkan kekuata militer dari pasukan yang ada
dari pada kekuatan kesatuan seluruh rakyat dan mengandalkan kekuatan Tuhan. para pengambil kebijakan dikritisi
untuki kembali memperhatikan kebijakan mereka di bawah terang perjanjian dengan Yahwe. Atas dasar tradisitradisi dan institusi primitif yang dipakai sebagai norma pada masa sebelumnya, para nabi mengkoreksi kebijakan
politik para raja. Lih. John Bright , A History of Israel, hlm. 249; E.W. Nicholson, dalam, Deuteronomy and
Tradition, menyebutkan bahwa bahan-bahan dari Utara (hukum kitab Ulangan) jelas merefleksikan keadaan
kerajaan Utara, terutama sebagai kritik atas peran para pemimpin kharismatis (raja dan pegawainya) yang tidak
mendasarkan kebijakan politik dan keagamaan ats dasar hukum perjanjian dengan Yahwe. Hal ini jels dalam
Ulangan17:14 dst., yang merumuskan tentang kewajiban raja. Oleh karena itu mereka mengangkat kembali tradisitradisi kuno Israel (Amfiktionik), termasuk tema tentang Perang Suci atau perang Yahwe yang tidak melibatkan peran
raja, melainkan menonjolkan peran sentral Yahwe, pahlawan Israel yang berperang demi umatNya.

pola hidupnya dengan orang-orang kaya di Utara (Amos 6:1; Mikha 1:5). Mereka hanya
memikirkan diri mereka sendiri tanpa memperhatikan kehidupan saudaranya. Para pemilik tanah
juga memeras orang miskin dengan cara yang tidak jujur (Yes. 3:13-15; 5:1-7; Mikha 2:1-9) dan
para hakim juga berbuat jahat sehingga orang miskin tidak memiliki perlingdungan (Yes. 1:2123; 5:23; Mikha 3:1-4, 9-11). Para pemimpin keagamaan juga tidak memberikan respon dan
kritikan terhadap keadaan yang terjadi dan terhadap kebijakan yang diberlakukan negara,
malahan mengajarkan apa yang tidak benar (Yes. 1:1-17; Mikha 3:5-8, 9-11).
Setelah kematian Ahaz, anaknya yang bernama Hizkiah menjadi Raja di Yehuda (715687/6). Pada masa kepemimpinannya, ia bercita-cita untuk melepaskan Yehuda dari pengaruh
kekuasaan Asyur melalui kebijakan politiknya. Hizkia berusaha melakukan pembaharuan di
bidang sosial, politik dan keagamaan. Upaya yang dilakukan adalah melepaskan diri dari
kekuasaan Asyur dan membersihkan ibadah atau keagamaan Yehuda dari pengaruh ibadah Asyur
dan daerah-daerah sekitar Yehuda. Sedikitnya ada dua faktor penting yang melatarbelakangi
kebijakan-kebijakan yang diambil Hizkia.
a)

faktor-faktor internal 10
Dari dalam negeri, kebijakan Hizkia didorong oleh adanya semangat patriotisme

termasuk dari umat dan hasrat kebanggaan sebagai umat yang merdeka. Selain itu, telah ada
kesadaran dari umat bahwa pada waktu sebelumnya, mereka telah mengabaikan Yahwe,
perjanjian dan hukum-hukumNya (sebagaimana yang disuarakan oleh nabi Yesaya dan Mikha).
Umat sadar bahwa mereka telah menciptakan ketidakadilan dan praktek kultus paganisme
(penyembahan berhala). Umat juga mempertimbangkan seruan para nabi yang mengatakan
bahwa kerajaan Selatan juga akan mendapatkan hukuman dan akan hancur sebagaimana Utara

10

John Bright, A History of Israel, hlm. 279-280; Rainer Albertz, A History of Israelite Religion in the Old
Testament Period, Vol. I, hlm. 180-181

jka tidak kembali kepada Yahwe. Hal itu telah menyadarkan Hizkiah untuk segera mengambil
tindakan pembaharuan terhadap pola hidup umat. Ada juga dorongan dari pemahaman teologi
nasional tentang pemenuhan janji keselamatan dan pemeliharaan Yahwe terhadap keturunan
Daud. Hal itu ditegaskan kembali dalam kultus bahwa Yahwe telah memilih Sion sebagai tempat
kediaman dan pemerintahannya di dunia dan itu telah dijanjikan Yahwe kepada keturunan Daud,
yaitu sebuah dinasti yang akan memerintah selamanya dan berkemenangan atas semua
musuhnya (Maz. 2:14-16; 72:8-11; 89:19-37). Selanjutnya ketetapan dibuat dan disuarakan
bahwa raja yang berdosa akan mengakibatkan penghukuman bagi dirinya sendiri dan bagi semua
umat (2 Sam. 7:14-16; Maz. 89:30-37).
Oleh karena itu Hizkia mengambil beberapa tindakan seperti menjauhkan bukit-bukit
pengorbanan dan meremukkan tugu-tugu berhala dan tiang-tiang berhala, menghancurkan ular
tembaga yang disembah umat, dsb. (lih. 2 Raj. 18:4). selain itu bahwa pembaharuan yang
dilakukan Hizkia tidak hanya di bidang keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial.
Albertz menguraikan bahwa dasar kebijakan untuk pembaharuan keadaan sosial adalah
kitab hukum perjanjian (Kel. 20:23-23:19). Oleh karena itu, hukum pun ditegakkan untuk
melindungi hak orang miskin, yang tertindas, termasuk para budak). Posisi sosial dari orangorang yang terpinggirkan dilindungi dengan hukum, termasuk para janda dan anak yatim (Yes.
1:23; 10:1 dst.; bnd. Kel. 22:20 dst., 23:9). Orang-orang kaya dari kelas atas dilarang menekan
para peminjam modal yang bergantung pada mereka.

b)

faktor-faktor eksternal 11
Pada masa Hizkia, Asyur sedang sibuk mengurus daerah-daerah taklukannya yang mulai

melakukan pemberontakan, misalnya Babilonia yang dipimpin Marduk-Apaliddina (2 Raj:


11

John Bright, A History of Israel, hlm. 280-281

20:12; Yes 39:1) yang mendapat pertolongan dari raja Elam, membuat Asyur tidak dapat lagi
mengontrol Babilonia. Selain itu raja Asyur Sargon II pemberontakan taklukan mereka
Karkhamis di Syiria tahun 717, memaksa Sargon untuk menghancurkan pemberontakan tersebut.
Singkatnya keadaan di mana Asyur sedang giat melakukan pemberontakan, menjadi kesempatan
yang tepat untuk melakukan langkah-langkah perubahan dalam kerajaan Selatan. Sejala dengan
keadaan itu, bangkit pula kekuatan besar yang memperngarujhi kekuasaan Asyur yatiu kerajaan
Mesir. Keadaan ini yang nantinya memberikan kesempatan bagi negara-negara taklukan Assyur
untuk meminta pertolongan dalam pemberontakan yang akan dilakukan. Salah satu negara
taklukan Asyur di daerah Filistin telah melakukan pemberontakan dengan tidak membayar upeti
kepada raja Asyur, juga mendorong kebijakan politik luar negeri Hizkiah. Dalam catatan sejarah
ada catatan-catatan yang menunjukkan bahwa Yehuda, Edom dan Moab telah berkoalisi untuk
melawan Sargon dan ada catatan dalam teks-teks Asyur yang mengatakan bahwa Mesir telah siap
untuk memberikan pertolongan terhadap usaha pemberontakan tersebut. Sepertinya raja Ethiopia
juga telah mengajak Hizkia untuk mekukan pemberontakan.
Keadaan ini menjadi sebuah polemik dalam kerajaan Selatan. Permasalahannya adalah
apakah Yehuda harus melakukan pemberontakan atau tidak.

Namun akhirnya Hizkia

memutuskan untuk melakukan pemberontakan dan merancang persiapan dengan baik. Hizkiah
bergabung dengan Asdoth yang telah terlebih dahulu melakukan pemberontakan. Bukan hanya
itu, Hizkia juga meminta pertolongan dari Mesir. Strategi militer dan persiapan pun dirancang
(misalnya dengan pembuatan bentteng pertahanan, menutup sumber air yang keluar dari Yehuda,
dll.).
Sikap yang diambil oleh Hizkia segera mendapat protes dari nabi Yesaya. Yesaya melihat
bahwa kebijakan yang diambil Hizkia tidak tepat, sebab jauh dari pimpinan Tuhan. Hizkia lebih

mengandalkan kekuatan pribadi dan tidak mengandalkan Tuhan (Yes. 20). Berkoalisi dengan
kekuatan asing sama artinya dengan memalingkan diri dari Tuhan dan berusaha memutuskan
perjanjian yang telah diikat Yahwe dengan umat (Yes. 30). Sikap Hizkia itu sendiri sepertinya
telah meninggalkan ideologi nasionalisme religius yang telah dibangunnya.12
Pemberontakan dilakukan pada masa setelah kematian Sargon II. Namun anak Sargon,
Sancherib yang kemudian menggantikan posisi ayahnya mengambil tindakan untuk
menghancurkan pemberontakan Hizkia. Pada tahun 701 Sancherib melakukan penyerbuan (2
Raj. 18:13-16). Walaupun Hizkia telah membuat persiapan pertahanan yang baik, namun
kekuatan pasukan Asyur dapat mengalahkan Hizkia. Akibatnya bahwa Hizkia dan kerajaan
Yehuda harus tunduk kembali kepada kekuasaan Asyur dan harus memberikan upeti yang mahal.
Selanjutnya pada masa sekitar tahun 690/89 ketika Hizkia mendengar bahwa Mesir akan
membantu mereka ia pun sekali lagi melakukan pemberontakan melawan Asyur. Mengetahui
sikap Hizkia, maka Sancherib menyusun kekuatan untuk menyerang Yehuda, namun karena
mengetahui bahwa Mesir akan segera datang membantu Yehuda, Sancherib menahan serangan
dan mengirimkan perintah agar Yehuda menyerahkan diri kepada Asyur. Pada saat itu, Hizkiah
berpikir bahwa jika Yehuda menyerah, maka dampaknya adalah Yehuda akan hancur dan
penduduknya akan diangkut ke pembuangan (2 Raj. 18:31 dst.). pada saat itu, Yesaya berusaha
keras mengingatkan Hizkia bahwa Allah akan campur tangan dan tidak akan membiarkan
Yerusalem jatuh ke tangan Asyur jika Hizkia mengandalkan Yahwe (2 Raj. 19:29-34; Yes. 14:2427). Pada masa akhir kehidupan Hizkia, ia masih mau mendengarkan apa yang diperintahkan
Allah melalui nabi Yesaya. Kedaaan selanjutnya tidak jelas, mengapa Asyur tidak jadi
menyerang Yehuda, namun dalam catatan Alkitab menyebutkan bahwa secara ajaib, ratusan

12

Rainer Albertz, A History of Israelite Religion in the Old Testament Period, Vol. I, hlm. 168; John Bright, A
History of Israel, hlm. 281

prajurit Asyur mati terbunuh di kemah mereka sendiri (2 Raj. 19:35).13


Setelah kematian Hizkia, pemerintahan dipegang oleh anaknya, Manasye (687-642).
Namun dalam melaksanakan kepemimpinannya, ia tidak setia dengan cita-cita dan perjuangan
pembaharuan yang dilakukan oleh ayahnya. Manasyeh malah tunduk kepada Asyur dan
mematuhi ketentuan yang ditetapkan kerajaan Asyur. Bukan hanya kebijakan politik Yehuda
yang dipengaruhi oleh Asyur, melainkan juga sistem kultus keagamaan. Manasye akhirnya
mengadopsi prakterk kultus Asyur dan daerah-daerah sekitar Yehuda (Mesopotamia). Manasye
membangun bukit-bukit penyembahan dan pengurbanan, membangun mezbah-mezbah dewa
Baal di bait suci, mendirikan patung Asyera di Rumah Tuhan mempersembahkan anaknya
sebagai

korban dalam api (2 Raj. 21:3-7).

Dengan tindakan dan praktek keagamaan itu,

akhirnya identitas dan keunikan Yehuda sebagai umat Allah telah tidak dapat lagi dibedakan
dengan bangsa-bangsa lain. Akhirnya keagamaan nasional menjadi merosot, hukum Yahwe
dilupakan dan terjadi banyak kejahatan dan ketidakadilan sosial (Zef. 1:9; 3:1-7). Keadaan itu
juga menyebabkan timbulnya sikap skeptisme atau keraguan umat akan

kemahakuasaan

tindakan Allah dalam sejarah umat (Zef. 1:12).


Pada saat itu, upaya reformasi yang telah dilakukan Hizkia sama sekali dihentikan dan
suara-suara yang bersifat profetis sama sekali diam. Semua suara profetis yang menentang
kebijakan Manasye diperlakukan dengan kejam atau dianiaya (2 Raj. 21:16). Pada masa ini
terjadi banyak kesulitan, penganiayaan yang dihadapi umat. Keadaan itu pun masih berlanjut
sampai pada kepemimpinan putra Manasye yaitu Amon. 14 Sepertinya penulis kitab Raja-raja
menempatkan raja Manasye sebagai raja yang paling jahat sejak dinasti Daud yang dosa-dosanya
tidak dapat dilupakan (2 Raj. 21:9-15; 24:3 dst.; Yer. 15:1-4).

13
14

John Bright, A History of Israel, hlm. 286-287


John Bright, A History of Israel, hlm. 311

Anda mungkin juga menyukai