o IDENTITAS PASIEN
Nama
No. RM
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Alamat
Tanggal Masuk Rumah Sakit
Tanggal Anamnesa
: Ny. L
: 75-97-83
: 29 tahun
: Perempuan
: Islam
: JL.Bantar Jati, RT 007 RW 002
: 08 Mei 2015
: 08 Mei 2015
o ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)
Keluhan Utama
Benjolan di perut kanan
Keluhan Tambahan
Nyeri menetap, benjolan tidak dapat dimasukkan kembali.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS Polri dengan keluhan terdapat benjolan pada perut sebelah
kanan sejak dua tahun yang lalu. Pasien mengaku terdapat nyeri yang hilang timbul
akibat benjolan tersebut. Awalnya, pasien merasakan benjolan tersebut sewarna dengan
kulit, hilang timbul, dapat keluar dan dimasukkan kembali, khususnya setelah pasien
batuk atau mengedan. Tetapi sekitar 3 bulan terakhir benjolan dirasakan membesar, sudah
menetap di lokasi dan tidak dapat dimasukkan kembali disertai nyeri yang menetap.
Pasien tidak mengeluhkan adanya mual ataupun muntah. Sebelumnya pasien pernah
dioperasi di RS Ps Rebo dengan keluhan tersebut dan kemudian dinyatakan sembuh.
Status Interna
Kepala : Normocephal
Mata
: Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Eksolftalmus (-/-)
Edema palpebra (-/-)
Leher
: Tidak ada pembesaran KGB
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Trakea tepat berada ditengah
Cor
: Inspeksi: Iktus kordis terlihat samar
Palpasi: Iktus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula sinistra
Perkusi: Jantung normal
Auskultasi: BJ I-II iregular, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
: Inspeksi: Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi: Fremitus taktil dan vokal simetris kanan & kiri
Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler ka-ki, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Abdomen : Datar, supel, bising usus dalam batas normal
NT/NL/NK : -/-/Hepar/Lien tidak teraba pembesaran
Ekstremitas: Akral hangat, edema ektremitas (-/-), sianosis (-/-)
Status lokalis
Regio abdomen ;
Inspeksi : benjolan di regio abdomen
Palpasi : massa (+), bulat, ukuran 3x2x2 cm, hiperemis (-), ukuran rata,
konsistensi kenyal, fluktuasi (-), nyeri tekan (+), reposisi (-)
o PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal: 25/02/2015)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Kolesterol total
Trigliserida
Ureum
Creatinine
Asam Urat
Natrium
Kalium
Chlorida
Gula darah
198
199
39
0,8
5,8
143
3,4
101
123
< 200
< 200
10 50
0,5 - 1,5
3,4 7,0
135 145
3,8 50
99 106
< 200
mg / dL
mg /dL
mg / dL
mg /dL
mg / dL
mmol /L
mmol /L
mmol/L
mg / Dl
sewaktu
Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal: 26/02/2015)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Masa Perdarahan
Masa Pembekuan
Albumin
SGOT/AST
SGPT/ALT
Ureum
11,0
11.000
34
250.000
3
13
3,6
23,9
15,9
24
12-14
5.000-10.000
37-43
150.000-400.000
1-6
10-15
3,5-5,2
<31
<31
10-50
g/dl
u/l
%
/ul
menit
menit
g/dl
U/L
U/L
mg/dl
Creatinine
0,8
0,5-1,3
mg/dl
Asam Urat
5,3
2,4-5,7
mg/dl
Gula Darah
102
<200
mg/dl
Sewaktu
pH
7,42
7,35-7,45
pCO2
46
35-45
mmHg
pO2
74
85-95
mmHg
O2 Saturasi
95
85-95
HCO3
30
21-25
mmol/L
Base Excess
-2,5 - +2,5
mmol /L
3
SBC
29
22-26
mmol /L
Total CO2
31
21-27
mmol/L
SBE
-2,4 - +2,3
mmol/L
o PENATALAKSANAAN
Konsul ke dokter bedah
o Laporan Anestesi
Nama
Umur
No. RM
Diagnosis Pre Operasi
Diagnosis Post Operasi
Ahli Bedah
Ahli Anestesi
Jenis Operasi
Tanggal Anestesi
Tanggal Operasi & Anestesi
Premedikasi
Medikasi
Maintanance
Cairan Infus
: Ny. M
: 56 tahun
: 74-71-68
: Hernia Resisional Permagna Irreponible
: Hernia Resisional Permagna Irreponible
: dr Hamid,Sp.B
: dr Riza,Sp.An
: Laparotomi
: 01 Maret 2015
: 01 Maret 2015
: Fentanyl 100 mcg
: Propofol, Fentanyl, Roculax, Piralen, Efedrin, Tramadol
: Propofol, Roculax, Efedrin
: Ringer Laktat 500ml
70 68 50 65 68 66 78 76 75 72 70 80 80 78 80 80 80 80
-78 80
1.
2.
3.
4.
o PENATALAKSANAAN
A. Terapi umum
Sementara puasa
IVFD KaEN Mg3 1000: RL 1500 = 2500/24 jam
Cek lab post op
Observasi TTV dan nyeri
B. Terapi khusus
Injeksi Cefotaxim 2 x 1 gr
Injeksi Omeprazole 2 x 40 mg
Injeksi Ketorolac 3 x 30 mg
Injeksi Ondancentron 2 x 8 mg
Kriteria
Skor
5
Aktivitas
Pernapasan
Sirkulasi
Kesadaran
Warna
2
2
2
2
10
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
1. Definisi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846.
Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat irreversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak
sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien.
2. Sejarah Anestesi
Awal mula penemuan dan perkembangan Anestesiologi terjadi pada tahun 1846. Ketika
itu seorang dokter gigi yang bernama William Thomas Green Morton memperagakan
penggunaan dietil eter untuk menghilangkan kesdaran dan rasa nyeri pada pasien yang sedang
ditanganinya. WTG Morton bekerja sama dengan Dokter Ahli Bedah kenamaan pada waktu itu
yang bernama Dr John Collins Warren di Massachusetts General Hospital berhasil melakukan
pembedahan tumor rahang pada seorang pasien tanpa memperlihatkan gejala kesakitan.
Telah diakui bahwa jarang sekali ada penemuan dalam ilmu kedokteran diterima begitu
cepat dan secara universal. Namun kehadiran eter dalam waktu singkat (tiga minggu) setelah
peragaan tersebut sudah bias diterima oleh masyarakat kedokteran dan digunakan di beberapa
Rumah Sakit di London.
Hasil temuan Morton tersebut sangat wajar kalau disebut sebagai The most humane
discovery in mankind karena kemudian pembedahan dapat dilakukan tanpa siksaan dan bebas
nyeri.
Selanjutnya, sejarah perkembangan anestesi sejak tahun 1846 sampai dengan tahun 1900
tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Eter yang ditemukan tersebut ternyata merupakan
7
obat yang cukup aman, memenuhi kebutuhan, mudah digunakan dan tidak memerlukan obatobat lain, cara membuatnya juga mudah dan harganya pun murah. Oleh karena itu eter terus
dipakai, tanpa ada usaha untuk mencari obat lain yang lebih baik, apalagi untuk mempelajari
aspek ilmunya dan mengembangkannya sebagai science and clinical art.
Setelah mengalami stagnansi dalam perkembangannya lebih kurang selama 100 tahun
setelah penemuan Morton, barulah kemudian banyak dokter mulai tertarik untuk mempelajari
bidang anestesiologi dan menjadikannya sebagai pilihan karier dan profesi, seperti bidang ilmu
kedokteran yang lain.
Di Indonesia, khususnya di ibukota Jakarta, Anestesiologi lahir pada tahun 1954. Pada
saat itu baru ada satu orang Dokter Spesialis Anestesiologi yaitu (Alm) Dokter Mohammad
Kelan, yang pada mulanya seorang asisten dalam Ilmu Bedah, telah menyelessaikan pendidikan
Anestesiologi di Amerika Serikat. Sebagai perbandingan, kalau di Indonesia pada tahun 1954
baru ada satu Dokter Spesialis Anestesiologi, di Amerika Serikat ketika itu sudah ada lebih dari
1000 orang Dokter Spesialis Anestesiologi.
Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar selama prosedur
medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apa pun yang terjadi. Anestesi umum
biasanya dihasilkan oleh kombinasi obat intravena dan gas yang dihirup (anestesi). "Tidur"
pasien yang mengalami anestesi umum berbeda dari tidur seperti biasa. Otak yang dibius tidak
merespon sinyal rasa sakit atau manipulasi bedah.
Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan pasien dan memantau
fungsi vital tubuh pasien selama prosedur anestesi berlangsung. Anestesi umum diberikan oleh
dokter yang terlatih khusus, yang disebut ahli anestesi, ataupun bisa juga dilakukan oleh perawat
anestesi yang berkompeten.
BAB II
PEMBAHASAN
ANESTESI UMUM
Definisi
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang dihasilkan ketika
pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada pasien
yang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol
dan reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang
dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan
fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: 1. Hipnotik, 2. Analgetik, 3. Relaksasi otot
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan operasi. Satu hal
yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik,
tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.
Metode pemberian anestesi umum dapat dulihat dari cara pemberian obat, terdapat 3 cara
pemberian obat pada anestesi umum:
1. Parenteral
Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena maupun intramuskuler
biasanya digunakan untuk tindakan operasi yang singkat atau untuk induksi anestesi.
Obat anestesi yang sering digunakan adalah:
Pentothal
Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis permulaan 4-6 mg/kg BB
danselanjutnya dapat ditambah sampai 1 gram.
Penggunaan:
Cara Pemberian:
Larutan 2,5% dimasukkan IV pelan-pelan 4-8 CC sampai penderita tidur,
pernapasan lambat dan dalam. Apabila penderita dicubit tidak bereaksi, operasi dapat
dimulai. Selanjutnya suntikan dapat ditambah secukupnya apabila perlu sampai 1 gram.
Kontra Indikasi:
1.Anak-anak di bawah 4 tahun
2.Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah
3.Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran nafas
4.Penyakit jantung
5.Penyakit hati
6.Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena yang baik.
Ketalar (Ketamine)
Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50 mg/cc.Dosis: IV 1-3
mg/kgBB,IM 8-13 mg/kgBB1-3 menit setelah penyuntikan operasi dapat dimulai.
Penggunaan:
1. Operasi-operasi yang singkat
2. Untuk indikasi penderita tekanan darah rendah
Kontra Indikasi:
Penyakit jantung, kelainan pembuluh darah otak dan hypertensi.
10
Oleh karena komplikasi utama dari anestesi secara parenteral adalah menekan
pusat pernafasan, maka kita harus siap dengan peralatan dan tindakan pernafasan buatan
terutama bila ada sianosis.
2. Perektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya sampai
ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto,
pemeriksaanmata, telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi dan
anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan inhalasi pada bayi dan anakanak. Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB
3. Perinhalasi
Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru, masuk ke darah
dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.
Obat-obat yang dipakai:
1. Induksi halotan
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O 2 atau campuran N2O dan O2.
Induksidimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4
ltr/mnt.Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau
sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
2. Induksi sevofluran
11
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan
halotankonsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
3. Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran ( foran, aeran ) atau desfluran jarang
dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk ke dalam
saluran pernafasan, di dalam alveoli paru akan berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah.
Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke
dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar
kedalam jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ
vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit
seperti tulang atau jaringan lemak. Tergantung obatnya, di dalam jaringan sebagian akan
mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau jaringan lain.
Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paruparu. Ekskresi bisa dalam bentuk asli
atau hasil metabolismenya. N2O diekskresi dalam bentuk asli lewat paru. Faktor yang
mempengaruhi anestesi antara lain:
- Faktor respirasi (untuk obat inhalasi).
- Faktor sirkulasi
- Faktor jaringan.
- Faktor obat anestesi.
Faktor respirasi
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai tekanan parsiel
tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan parsielnya makin tinggi. Perbedaan
tekanan parsiel zat anestesi dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi.
Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan
sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih
rendah (keadaan ini terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan.
12
Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi. Proses difusi akan
terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada udem paru
dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat atau keadaan ventilasi yang
menurun misalnya pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi.
Faktor sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan dan
sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat yang dapat diangkut
demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun.
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam
gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah
tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya obat
dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah,
akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
Faktor jaringan
Yang menentukan antara lain:
- Perbedaan tekanan parsiel obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di dalam jaringan.
- Kecepatan metabolisme obat.
- Aliran darah dalam jaringan.
- Tissue/blood partition coefisien
.Faktor zat anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi obat
anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration). Menurut Merkel dan
Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm
yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supramaksimal pada
50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.
13
Stadium anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar tidak terlalu
dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi.
Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi kedalaman
anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil,
tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether.
1. Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak diberikan anestesi
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil bisa dilakukan.
2. Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari hilangnya kesadaran
sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bisa meronta ronta, pernafasan
irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi
(+), tonus otot meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah,
kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks
menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini
membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi
dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan induksi
yang halus dan tepat. Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi pada fase
pemulihan dari anestesi.
3. Stadium III
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas.
Dibagi menjadi 4 plane:
-
Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai dengan
nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal. Gerakan bola mata berhenti,
pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
14
Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa otot
interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidak menurun dan frekuensi
nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai
melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot
makin menurun.
Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot
Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dorninan dari torakal karena
terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar dan reflex cahaya menjadi
hilang, lakrimasi negafif, reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin
menurun.
Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma. Ditandai
dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi
jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi
flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani negative.
4.
Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium over dosis
atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi
respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure.
Induksi Anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena,
inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:
S : Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih bilah
atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tube. Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan
balon (cuffed).
15
A : Airway. Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya
lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape. Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer. Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokan
untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector. Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction. penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
16
dan keluarga mereka. Secara keseluruhan, proses ini memungkinkan untuk optimasi pasien
pada waktu perioperatif.
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi praoperasi memungkinkan pelaksana
anestesi untuk fokus secara khusus pada kondisi saluran napas yang diharapkan, termasuk
membuka mulut, gigi longgar atau bermasalah, keterbatasan dalam rentang gerak leher,
anatomi leher, dan presentasi Mallampati (lihat di bawah). Dengan menggabungkan semua
faktor, rencana yang sesuai untuk intubasi dapat diuraikan dan langkah tambahan, jika perlu,
dapat diambil untuk mempersiapkan bronkoskopi serat optik, laringoskopi video, atau
berbagai intervensi sulit terhadap saluran napas lainnya.
Manajemen jalan napas
Kesulitan yang mungkin dihadaapi dalam manajemen jalan napas, meliputi kondisi
dibawah ini:
Rahang yang kecil atau mundur
Gigi rahang atas yang menonjol
Leher yang pendek
Ekstensi leher terbatas
Pertumbuhan gigi yang buruk
Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan
Trauma pada wajah
Fiksasi antar-gigi
Penggunaan cervical collar yang keras
Berbagai sistem penilaian telah dibuat menggunakan pengukuran orofacial untuk
memprediksi intubasi sulit. Yang paling banyak digunakan adalah skor Mallampati, yang
mengidentifikasi pasien dengan faring yang kurang jelas divisualisasikan melalui mulut
terbuka.
Penilaian Mallampati idealnya dilakukan saat pasien duduk dengan mulut terbuka dan
lidah yang menonjol tanpa phonating. Pada banyak pasien yang diintubasi karena indikasi
emergensi, jenis penilaian seperti ini tidak mungkin. Sebuah penilaian sederhana dapat
dilakukan pada pasien dalam posisi terlentang untuk mendapatkan gambaran dari ukuran
bukaan mulut dan perkiraan lidah dan orofaring sebagai faktor dalam keberhasilan intubasi
(lihat gambar di bawah)
17
Skor Mallampati yang tinggi telah terbukti menjadi prediksi intubasi sulit. Namun, tidak
ada sistem penilaian yang sensitive 100% atau spesifik 100% . Akibatnya, praktisi
mengandalkan beberapa kriteria dan pengalaman mereka untuk menilai jalan napas.
Pelaksana anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang mempengaruhi
kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimal sesuai kondisi pasien. Beberapa
pertimbangan dalam melakukan anestesi umum meliputi:
Keuntungan
-
Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
Dapat digunakan dalam kasus-kasus yang sensitif terhadap zat anestesi local
Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur operasi dengan durasi waktu yang
tak dapat diprediksi atau pada keadaan penambahan waktu operasi
Kekurangan
18
Terkait dengan komplikasi kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan dibutuhkan waktu dalam pengembalian
fungsi mental yang normal
Terkait dengan kondisi hipertermia yang gawat, sebuah kondisi yang jarang, terkait
dengan kondisi otot yang terkena paparan beberapa (tidak semua) zat anestesi
umum yang dapat menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan,
hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hyperkalemia.
sensitif atau memang sudah ada gangguan pada organ vital sebelumnya. Untuk mengatasi
hal ini maka ada tehnik tertentu agar tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan,
yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik
kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) tehnik ini disebut
balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot
mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk
otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas
buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas buatan, penderita akan mengalami kematian,
karena hipoksia. Jadi nafas penderita sepenuhnya tergantung dari pengendalian pelaksana
anestesi, karena itu balance anestesi juga disebut dengan tehnik respirasi kendali atau
control respiration.
Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam keadaan terintubasi.
Dengan menggunakan balance anestesi maka ada beberapa keuntungan antara lain:
- Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat dikurangi. Polusi
kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi inhalasi dapat dikurangi. Selesai operasi
penderita cepat bangun sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita
yang tidak sadar.
- Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa melakukan
hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam darah sampai pada titik tertentu
misalnya pada operasi otak. Dengan hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan
darah untuk operasi yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.
- Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka mempermudah tindakan operasi
pada rongga dada (thoracotomy) tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan. Kita juga
dapat mengembangkan dan mengempiskan paru dengan sekehendak kita tergantung
keperluan. Dengan demikian berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan dalam 3
macam yaitu:
- Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.
20
anestesi: pernafasanpenderita
21
4. Dalam system closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak ada
udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas. Penambahan oksigen
dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan
hipoksia dan anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena
pemberian yang berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga.
menimbulkan pecahnya alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat
obat anestesi dan tidak menimbulkan polusi. Pada system closed dan semiclosed
juga disebut system rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi kembali,
sistem ini juga perlu sodalime untuk membersihkan CO2. Pada system open dan
semi open juga disebut system nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi
yang diinspirasi kembali, system ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar
pada system semi open tidak terjadi rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan
oksigen harus cepat, biasanya diberikan antara 2 3 kali menit volume respirasi
penderita.
System
Rebreathin
Reservoir
bag
Sodalime
keborosan
obat
Open
++++
+++
Semi open
+++
++
Semi closed
++
Closed
Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena, maka disebut anestesi
intravena total (total intravenous anesthesia/TIVA). Bila induksi dan maintenance anestesi
menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile Inhalation and Maintenance
Anesthesia)
Pemulihan anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan penghentian
22
obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka
oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi diaveoli
yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi.
Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,
sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel obat anestesi inhalasi didalamdarah.
Maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi
perbedaan tekanan parsiel tersebut kecepatan difusi makin meningkat. Sementara itu oksigen dari
alveoli akan berdifusi ke dalam darah.
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi kedalam
darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat, menggantikan posisi
obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya difusi obat anestesi inhalasi
dari dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya di dalam darah makin menurun.
Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain akibat difusi di
alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan
keringat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar
obatanestesi di dalam darah. Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka
kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme
atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa menggunakan
pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang
menggunakan pipa endotrakheal maka perlu dilakukan ekstubasi(melepas pipa ET). Ekstubasi
bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah
penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat
terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli
dan naiknya tekanan intra cranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak
terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada operasi
tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam. Pada penderita yang
mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk
mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxant maka dilakukan reverse, yaitu
memberikan obat antikolinesterase.
Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah adekuat bagi
penderita yang sebelumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli anestesi melakukan
23
ekstubasi setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik napas dalam, batuk, menggelengkan
kepala dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih obyektif tentang seberapa besar
pengaruh muscle relaxant adalah dengan menggunakan alat nerve stimulator.
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus
diobservasi dengan cara menilai Aldrettes score nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang
perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:
Nilai
1. Kesadaran:
Sadar penuh
Bangun bila dipanggil
Tidak ada respon
2
1
0
2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan
Apnoe
2
1
0
2
1
0
2
1
0
5. Warna kulit
Normal
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik
Cyanotic
2
1
0
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anestesi umum Stadium anestesi umum meliputi analgesia, amnesia, hilangnya
kesadaran, terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk
menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis
obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari:
1. Hipnotik, 2. Analgetik, 3. Relaksasi otot.
Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan kesadaran
dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Jenis obat anestesi umum Umumnya obat
anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.
Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat sehingga penderita
tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan
induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan
memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau
pemeliharaan.
Tanda dan stadium anestesi Gambaran tradisional tanda dan stadium anestesi (tanda
guedel) berasal terutama dari penilitian efek diatil eter, yang mempunyai mula kerja sentral yang
lambat karena kelarutannya yang tinggi didalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin tidak
mudah terlihat pada pemakaian anestetik modern dan anestetik intravena yang bekerja cepat.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua.
Jakarta: FKUI.2011
2. Wiryana IM, Sujana IBG, Sinardja K, Budiarta IG. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks. 2010
3. Desai AM, General Anesthesia.
Accessed
on
March
2015.
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall .
4. General
Anesthesia.
Accessed
on
March
2015.
Available
at
http://www.mayoclinic.com/health/anesthesia/MY00100
26