Anda di halaman 1dari 50

EVALUASI KECERNAAN BEBERAPA BAHAN PAKAN PADA

TERNAK PERANAKAN ONGOLE (PO) DAN PERANAKAN


FRISIEN HOLSTEIN (PFH)

DISUSUN OLEH
M ASKARI ZAKARIAH
(09/288529/PT/5771)

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN

Kualitas produksi ternak sangat erat hubungannya dengan kualitas


pakan lokal yang tersedia, sehingga pemanfaatan sumber pakan lokal secara
optimal dapat menentukan produktivitas secara maksimal pula. Namun
demikian, informasi mengenai kualitas pakan lokal yang tersedia, nilai indek
jenis pakan hijauan makana ternak (misalnya alang-alang, rumput benggala,
rumput lapang, rumput gajah), konsumsi pakan sukarela dari pakan lokal
untuk setiap jenis ternak ruminansia masih sangat terbatas. Hal ini
disebabkan lokal komposisi nilai

nutrisi pakan ternak ruminansia yang

digunakan di Indonesia sampai saat ini adalah hasil evaluasi yang ditemukan
di Negara Eropa dan Amerika dimana kondisi alam, pakan dan ternaknya
jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Sehingga penerapan sistem
tersebut tidak memberikan informasi yang bermanfaat dalam rangka
pengembangan dan perencanaan peningkatan produksi ternak ruminansia di
Indonesia.
Sistem evaluasi pakan ruminansia yang dipakai di Indonesia,
dikembangkan di Negara Eropa dengan kondisi alam yang berbeda dengan
Indonesia. Keadaan ini menjadikan sistem tersebut tidak dapat memberikan
informasi yang maksimal dalam rangka pengembangan nutrisi ruminansia.
Adanya

pengetahuan

mendasar

tentang

karakteristik

degradasi

memungkinkan diadakannya evaluasi terhadap nilai kegunaan hayati


terhadap suatu bahan makanan sebagai pemasok zat nutrisi pada ternak
tanpa harus melakukan pengujian secara in vivo, in vitro maupun in sacco.
Tujuan

praktikum

Teknik

Laboratorium

Pakan

adalah

untuk

mengetahui kecernaan in vivo, mengetahui kecernaan in vitro dan in sacco


pada beberapa bahan pakan.

BAB II
KECERNAAN IN VIVO

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Pakan
Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, dapat
diabsorbsi dan bermanfaat bagi ternak, oleh karena itu apa yang disebut
dengan bahan pakan adalah segala sesuatu yang memenuhi semua
persyaratan tersebut (Kamal, 1994), sedangkan Hartadi et al., (1997),
menyatakan bahwa yang dimaksud bahan pakan adalah suatu bahan yang
dimakan oleh hewan yang mengandung energi dan zat-zat gizi (atau
keduanya) di dalam pakan ternak.
.
Rumput Gajah
Rumput gajah adalah salah satu tanaman yang mempunyai potensi
dijadikan sumber biomassa pada energi terbarukan. Berikut adalah klasifikasi
dari Pennisetum purpureum Schum.
Kingdom

: Plantae

Phlum

: Spermatophyta

Class

: Monokotil

Ordo

: Poales

Family

: Poaceae

Genus

: Pennisetum

Spesies

: Pennisetum purpureum Schum


(Tjitrosoepomoe, 2004).

Produksi hijauan rumput raja dua kali lipat dari produksi ruput gajah
yaitu mencapai 200 sampai 250 ton rumput segar/ha/tahun (Rukmana, 2005).
Rumput gajah memiliki 21,2% bahan kering, 13,5 protein kasar, 54% total
3

degistiable nutrient, dan 34,1% serat kasar (Hendrawan, 2002). Kandungan


BK rumput raja menurut Siregar (1989) sebesar 10,2 %, sedangkan menurut
Sutardi (1991) kandungan bahan kering (BK) rumput raja adalah 15,25 %.
Variasi kandungan BK ini terjadi karena adanya perbedaan pada kesuburan
tanah dan umur potong (Utomo et al. 1992). Bahan Organik (BO) adalah
bahan yang hilang setelah pembakaran pada suhu 600C sedangkan sisa
berupa

abu

(mineral)

yang

merupakan

pembentuk

tanaman

(Dwidjoseputro.1985). Utomo et al (1992) mengatakan bahwa kandungan BO


rumput raja pada umur potong 30 hari dan 60 hari masing-masing sebesar
80,63% dan 83,14%.

Konsentrat
Konsetrat adalah suatu bahan pakan yang mempunyai kandungan
serat kasar yang rendah dan mudah dicerna, mengandung pati, maupun
protein tinggi, sehingga nilai nutrien yang terkandung pada konsentrat lebih
baik dari pada hijauan. Konsentrat berdasarkan sifat karakteristik fisik dan
kimianya, serta penggunaannya dapat digolongkan ke dalam kelas empat
dan lima. Kelas empat adalah konsentrat sumber energi sedangkan kelas
lima adalah sumber protein. Konsentrat sumber energi adalah bahan pakan
dengan kandungan serat kasar kurang dari 18 % atau dinding sel kurang dari
35 % dan protein kasar kurang dari 20 %. Konsentrat sumber protein adalah
bahan pakan yang mengandung serat kasar kurang dari 18 % atau dinding
sel kurang dari 35 % dan kandungan protein kasar lebih besar dari 20 %
(Agus, 2008).

Ternak
Sapi Peranakan Onggole (PO)
Sapi PO adalah sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Sumba
Ongole (SO) dengan sapi betina lokal di Jawa yang berwarna putih. sapi PO
4

yang murni mulai sulit ditemukan, karena telah banyak di silangkan dengan
sapi Brahman, sehingga sapi PO diartikan sebagai sapi lokal berwarna putih
(keabu-abuan), berkelasa dan gelambir. Sapi PO terkenal sebagai sapi
pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan
aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah ber-anak,
jantannya memiliki kualitas semen yang baik. Cirinya berwarna putih dengan
warna hitam di beberapa bagian tubuh, bergelambir dan berpunuk, dan daya
adaptasinya baik (Anonim, 2012)
Menurut Abidin (2006) sapi potong adalah jenis sapi khusus dipelihara
untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat
dan kualitas daging cukup baik. Sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai
sapi bakalan, dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga
diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong.
Kriteria pemilihan sapi potong yang baik adalah : sapi dengan jenis
kelamin jantan atau jantan kastrasi, umur sebaiknya 1,5 sampai 2,5 tahun
atau giginya sudah poel satu, mata bersinar, kulit lentur,sehat, nafsu makan
baik, bentuk badan persegi panjang, dada lebar dan dalam, temperamen
tenang, dari bangsa yang mudah beradaptasi dan berasal dari keturunan
genetik yang baik (Ngadiyono, 2007).

Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)


Sapi perah adalah jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan
menghasilkan susu (Blakely dan Bade, 1994). Menurut Siregar (1994) sapi
perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein
(FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH). Sapi PFH merupakan sapi
perah hasil persilangan antara sapi FH dengan sapi lokal yang ada di
Indonesia, dengan sifat FH-nya lebih menonjol. Sapi FH memiliki ciri-ciri fisik

antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki berwarna putih,
kepala panjang dan tidak menghadap atau menjulur kedepan, pada dahi
terdapat warna putih berbentuk segitiga, produksi susunya tinggi, serta
sifatnya tenang dan jinak. Sapi PFH memiliki ukuran kecil, dan untuk sapi
betina yang berumur 14 sampai 18 bulan mempunyai bobot badan sekitar
225 kg dengan produksi susu lebih rendah dari sapi FH (Anonim,2000).

Kecernaan In vivo
Pencernaan

pada ternak

ruminansia merupakan proses

yang

kompleks, melibatkan interaksi yang dinamis antara makanan, mikroba dan


hewan. Pencernaan merupakan proses yang multi tahap. Proses pencernaan
pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh
mikroba di rumen, dan hidrolitis oleh enzim pencernaan di abomasum dan
duodenum hewan induk semang. Sistem fermentasi dalam perut ruminansia
terjadi pada sepertiga dari alat pencernaannya. Hal tersebut memberikan
keuntungan yaitu produk fermentasi dapat disajikan ke usus dalam bentuk
yang lebih mudah diserap. Namun ada pula kerugiannya, yakni banyak
energi yang terbuang sebagai CH4 (6 sampai 8%) dan sebagai panas
fermentasi (4 sampai 6%), protein bernilai hayati tinggi mengalami degradasi
menjadi NH3, dan mudah menderita ketosis (Sutardi 2006).
Kecernaan pada ruminansia dapat ditentukan dengan menggunakan
ternak secara langsung. Kecernaan pakan ditetapkan berdasarkan jumlah
bahan pakan yang dimakan dikurangi jumlah tinja (feses) yang dikeluarkan,
demikian juga dengan nutrien yang tercerna. Penetapan kecernaan secara in
vivo dilakukan menggunakan metode koleksi total atau total collection yang
dibagi menjadi tiga periode yaitu periode adaptasi kandang dan pakan,
periode pendahuluan, dan periode koleksi data masing-masing selama tujuh
hari. Periode adaptasi dan periode pendahuluan ada kalanya dijadikan satu
sehingga tidak ada batasan yang nyata. Koleksi data meliputi konsumsi
6

selama 24 jam dari pukul 8.00 sampai pukul 8.00 pada hari berikutnya
(Ristianto, 2012).
Pada feses terdapat bahan-bahan yang berasal dari tubuh ternak,
yang berupa enzim atau kikisan dinding saluran pencernaan, selain nitrogen
didalam feses terdapat lemak dan mineral metabolik yang terdapat bahan
metabolik didalam feses tersebut sehingga menyebabkan kecernaan yang
ditetapkan lebih rendah (Ristianto, 2012). Menurut Tillman et al (1998)
menyatakan komponen nutrien metabolik dalam feses sukar ditentukan,
berdasarkan penelitian yang sudah dikerjakan diperkirakan nitrogen sebesar
0,1 g/100 g bahan kering yang dikonsumsi, untuk ternak ruminansia nitrogen
metabolik diperkirakan sebanyak 0,5 g/100 g atau dikonversi ke protein kasar
menjadi 3,12 % bahan kering pakan yang dikonsumsi.

MATERI DAN METODE

Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum adalah kandang yang
dilengkapi tempat pakan dan minum, timbangan gantung, timbangan digital,
timbangan Rudd Weight, desikator, koran, besek, ember, sekop, mixer, oven
55OC, oven 105OC, tanur, chopper, hammer mill.
Bahan. Bahan yang digunakan adalah rumput gajah, konsentrat, , sapi
peranakan ongole (PO), dan sapi peranakan Friesian Holstein (PFH)

Metode
Periode pendahuluan
Kandang pengamatan dibersihkan dari sisa pakan dan feses,
kemudian sapi PO dan PFH ditimbang berat badannya dan dihitung jumlah
kebutuhan pakan (feed intake). Ternak diberikan pakan rumput gajah
(Pennisetum purpureum) yang dipotong dengan chopper dan konsentrat.
Pakan diberikan sebanyak 3% dari berat tubuh, sedangkan air diberikan
secara ad libitum. Pakan diberikan antara pukul 08.00 sampai 09.00 WIB dan
pukul 15.00 sampai 16.00 WIB.

Periode koleksi
Koleksi yang dilakukan selama analisis in vivo antara lain koleksi sisa
pakan dan feses. Sisa pakan ditampung dan dihitung setiap hari, lalu diambil
sebanyak lebih kurang 300 gram sebagai sampel yang akan analisis
proksimat. Feses yang dikeluarkan ditampung dan ditimbang setiap harinya,
dan diusahakan tidak tercampur dengan urine, lalu dihomogenkan dengan
mixer (dikomposit). Sampel feses diambil sebanyak 100 gram sebagai
sampel yang akan analisis proksimat. Cara sampling feses dilakukan dengan
cara feses yang ditampung ditimbang kemudian diambil 100 gram setelah itu
8

dikeringkan dengan sinar matahari, setelah semua feses terkumpul, feses


dimasukkan ke dalam koran yang telah ditimbang beratnya lalu dimasukkan
ke dalam oven 55oC sampai bobotnya konstan kemudian digiling setelah itu
dilakukan analisis proksimat. Setelah dilakukan analisis proksimat dihitung
nilai bahan kering tecerna (BKT) dan bahan organik tercerna (BOT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan pada kecernaan in


vivo, maka dapat diperoleh data pengamatan dan perhitungan Konsumsi
Bahan Kering (BK), Bahan Organik (BO), Koefisien cerna Bahan Kering
(KcBK), Koefisen cerna Bahan Organik (KcBO), pada sapi peranakan
onggole (PO) dan Peranakan Frisian Holstein (PFH) sebagai berikut :
Tabel 1. Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik
Paramater
Sapi PO
Sapi PFH
Bahan kering tercerna (BKT)(Kg)
20,60
59,01
Koefisien cerna bahan kering (KcBK) (%)
32,29
59,13
Bahan organik tercerna (BOT)(Kg)
36,23
61,53
Koefisien cerna bahan organik (KcBO) (%) 36,18
61,58
Hasil praktikum menunjukkan sapi PO memiliki BKT sebesar 20,60 Kg
, KcBK sebesar 32,29%, BOT sebesar 36,23 Kg dan KcBO sebesar 36,18%,
sedangkan sapi PFH memiliki BKT sebesar 59,01 Kg , KcBK sebesar
59,13%, BOT sebesar 61,53 Kg , dan KcBO sebesar 61,58%.. Menurut Van
Soest (1994), bahwa faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan pakan
adalah spesies ternak, umur ternak, perlakuan pakan, kadar Serat kasar dan
lignin, pengaruh asosiasi pakan, defisiensi nutrien, komposisi pakan, bentuk
fisik pakan, level pakan, frekuensi pemberian pakan dan minum, umur
tanaman serta lama tinggal dalam rumen. Menurut Endrawati et al. (2010),
sapi PO yang diberi pakan rumput gajah dan konsentrat memiliki KcBK dan
KcBO berturut-turut sebesar 65,362,19% dan 67,102,15%. Hal ini
menunjukkan bahwa KcBK dan KcBO sapi PO dalam praktikum lebih rendah.
Rianto et al. (2007) menambahkan bahwa sapi PO dan sapi PFH yang diberi
pakan rumput gajah, ampas tahu, dan ubi kayu memiliki KcBK masing
sebesar 72,99% dan 72,20%.

10

Koefisien cerna bahan kering (KcBK) sapi Peranakan Onggole dan


Frisian Holstein adalah sekitar 32,41% dan 58,90% sedangkan Koefisien
cerna bahan organik (KcBO) Sapi Peranakan Onggole dan Frisiian Holstein
adalah sekitar 36,09% dan 61,61%. Menurut Tillman et al., (1991),
menyatakan bahwa penambahan serat kasar 1% akan menyebabkan
menurunnya kecernaan bahan organik sekitar 0,7 sampai 1 unit % pada
ternak ruminansia. Mc Donald et al (1995) menyatakan bahwa kecernaan
pakan dipengaruhi oleh komposisi kimia pakan, dan fraksi pakan berserat
berpengaruh besar pada kecernaan.

11

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
KcBK dan KcBO sapi PO lebih rendah daripada sapi PFH. Faktorfaktor yang mempengaruhi kecernaan, yaitu komposisi kimia pakan, daya
cerna semu protein kasar, penyiapan pakan, jumlah pakan yang dikonsumsi
dan faktor ternak, jenis pakan, banyaknya serat kasar dan lignin, palatabilitas
pakan, pengaruh frekuensi pemberian pakan, dan adaptasi perubahan
pakan.

Saran
Saran untuk praktikum in vivo didalam menggunakan bahan pakan
sebaiknya menggunakan bahan pakan yang berbeda, sehingga dapat
membandingkan kecernaannya.

12

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Diakses http://www.fmp.sinarindo.co.id/index.php/7-jenissapi/3-sapi-po-peranakan-ongole pada tanggal 17 desember 2012.


Anonim, 2000. Berternak Sapi Perah.http://sapip.blogspot.com/ diakses
tanggal 10 Desember 2012.
Abidin, 2006. Cara tepat penggemukan sapi potong. PT. agromedia. jakarta
Agus, A. 2008. Panduan Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Penerbit Ardana
Media. Yogyakarta.
Church, D. C.., W G. Pond. 2004. Basic animal nutrition and feeding. Prentice
Hall. New jersey.
Endrawati, E., Endang B., dan Subur P. S. B. 2010. Performans Induk Sapi
Silangan Simmental-Peranakan Ongole dan Induk Sapi Peranakan
Ongole Dengan Pakan Hijauan dan Konsentrat. Buletin Peternakan
Vol. 34 (2): 86-93.
Hartadi, H., kustantinah, R. E. Indarto, N. D. Dono, Zuprisal. 2008. Nutrisi
Ternak Dasar. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Hendrawan Sutanto. 2002. Strategi Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya dan
Teknologi Tepat Guna Pertanian untuk Meningkatkan Pendapatan
Peternak Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian NTB. Badan Litbang Pertanian. Departemen
Pertanian.
Jayanegara, A., A. S. Tjakradidjaja, & T. Sutardi. 2006. Fermentabilitas dan
kecernaan in vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi
kromium organik dan anorganik. Media Peternakan. 29(2): 54-62.
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak I. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas
Peternakan. Yogyakarta.
McDonald, P., R.A. Edwards, J.F.D.Greenhalgh and C.A. Morgan. 1995.
Animal nutrition.
Ngadiyono, N. 2008. Pengembangan sapi potong dalam rangka penyediaan
daging di Indonesia. Pidato pengukuhan guru besar fakultas
peternakan universitas gadjah mada yogyakarta.
Rianto, E., Mariana W., dan Retno A. 2007. Pemanfaatan Protein Pada Sapi
Jantan Peranakan Ongole dan Peranakan Friesian Holstein Yang

13

Mendapat Pakan Rumput Gajah, Ampas Tahu, dan Singkong.


Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner:64-70.
Rukmana, R. 2005. Budidaya Rumput Unggul. Kanisius. Yogyakarta.Siregar,
S. 1994. Pakan Ternak Ruminansia. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tillman, A. D., H. Hartadi, Soedomo Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan
S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tjitrosoepomoe, G. 2004. Taksonomi Tumbuhan
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

(spermatophyta).

Utomo, R. 2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvasif. PT. Citra Aji
Parama, Yogyakarta.
Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant. Second Edition.
Comstock Publishing Associates Cornell University Press. A Division
of Ithaca and London.

14

Lampiran

Data bobot badan ternak


Sapi
PO
PFH

BB awal (kg)
347
318

BB akhir(kg)
341
324

PBB (kg)
-6
6

PBBH (kg/hari)
-0,5
0,5

Data konsumsi ternak


Sapi
PO

PFH

Koleksi
Ke1
2
3
4
Rata-rata
1
2
3
4
Rata-rata

R (BK)
2,52
2,65
2,66
2,67
2,62
2,94
3,39
2,84
3,04
3,05

Konsumsi Pakan (kg BK)


K (BK) Total BK R (BO) K (BO)
1,81
4,33
2,17
1,46
1,81
4,46
2,25
1,46
1,81
4,47
2,26
1,46
1,81
4,48
2,27
1,46
1,81
4,43
2,23
1,46
1,81
4,75
2,48
1,46
1,81
5,20
2,87
1,46
1,81
4,65
2,47
1,46
1,81
4,85
2,61
1,46
1,81
4,86
2,61
1,46

Total BO
3,62
3,70
3,72
3,73
3,69
3,94
4,33
3,93
4,07
4,07

Data kecenaan Ternak


Sapi
PO

PFH

Koleksi Ke1
2
3
4
Rata-rata
1
2
3
4
Rata-rata

Nutrien Tercerna (kg)


BK
BO
47,24
50,86
43,42
46,95
-7,73
-2,16
46,72
49,07
32,41
36,09
70,87
72,10
61,32
63,45
45,90
50,22
57,51
60,69
58,90
61,61

15

Koef. Cerna (%)


BK
BO
47,24
50,86
43,42
46,95
-7,73
-2,16
46,72
49,07
32,41
36,09
70,87
72,10
61,32
63,45
45,90
50,22
57,51
60,69
58,90
61,61

BAB III
KECERNAAN IN VITRO

Tinjauan Pustaka

Bahan Pakan
Pakan ternak merupakan komponen biaya produksi terbesar dalam
suatu usaha peternakan. Oleh karena itu pengetahuan tentang pakan dan
pemberiannya perlu mendapat perhatian yang serius. Ransum yang
diberikan kepada ternak harus diformulasikan dengan baik dan semua bahan
pakan yang dipergunakan dalam menyusun ransum harus mendukung
produksi yang optimal dan efisien sehingga usaha yang dilakukan dapat
menjadi lebih ekonomis.Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian pakan
ternak adalah kebutuhan nutrisi ternak, komposisi nutrisi bahan pakan
penyusun ransum dan bagaimana beberapa bahan dapat dikombinasikan
(penyusunan

ransum

standar)

untuk

mencukupi

kebutuhan

ternak

(Subandriyo, 2000).
Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, disenangi,
dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, dan bermanfaat bagi ternak (Kamal,
1994). Pakan ruminansia khususnya sapi terdiri atas konsentrat dan hijauan.
Konsentrat adalah suatu bahan makanan yang dipergunakan bersama bahan
makanan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan makanan
karena mengandung serat kasar rendah, mudah dicerna, mengandung pati
maupun protein tinggi, sehingga nilainya lebih baik dari hijauan. Fungsi
utama konsentrat adalah untuk mencukupi kebutuhan atau melengkapi
nutrien yang belum dipenuhi oleh pakan yang berasal dari hiijauan (Hartadi et
al., 2005). Menurut kecepatan degradasinya konsentrat dibagi menjadi
empat, yaitu konsentrat sumber energi terdegradasi cepat, konsentrat
sumber energi terdegradasi lambat, konsentrat sumber energi protein
16

terdegradasi cepat dan konsentrat sumber energi terdegradasi lambat.


(Pamungkas et al.,2009; Utomo, 2012).

Pollard
Wheat pollard atau dedak gandum bila digiling untuk menghasilkan
tepung gandum akan diperoleh beberapa hasil ikutan dari gandum tersebut
yang dapat digunakan dalam makanan ternak. Secara ekonomis dapat
digunakan dalam ransum. Dedak gandum hampir seluruhnya terdiri dari
lapisan biji luar gandum yang kasar merupakan salah satu bahan makanan
ternak populer (Anggorodi, 1995). Menurut Hartadi et al. (2005), pollard
merupakan hasil sampingan tepung gandum dan bentuknya berupa pecahan
gandum. Komposisi kimia pollard antara lain 86% dry matter, 4,2% abu,
45,0% ekstrak eter, 6,6% serat kasar, 14,1% bahan ekstrak tanpa nitrogen,
dan 16,1% protein kasar.

Dedak halus
Dedak halus juga dinamakan dedak halus kampung yang merupakan
hasil penumbukan padi kampung-kampung. Dedak halus diperoleh setelah
beras dipisahkan dari kulit gabah dan dedak kasar. dedak semacam ini masih
banyak mengandung bahan berasal dari kulit gabah di samping selaput putih
dan bahan pati. Susunan angka-angka analisisnya adalah 16,2% air, 9,5%
protein, 43,8% bahan ekstrak tanpa N, 16,4% serat kasar, 3,3% lemak dan
10,8% abu (Lubis, 1992).

Bungkil kedelai
Biji kedelai adalah biji-bijian yang tertinggi kandungan proteinnya, yaitu
42%. Apabila digunakan sebagai bahan pakan perlu digiling terlebih dahulu
agar mudah dicampur dengan bahan pakan butir-butiran yang juga sudah
digiling. Bungkil kedelai adalah hasil samping dari pembuatan minyak kedelai
17

dan salah satu bahan pakan konsentrat protein nabati yang sangat baik.
Kandungan asam amino esensialnya mendekati asam amino esensial dari
protein susu, glisinnya cukup tinggi kecuali metionin dan lisinnya rendah.
Bungkil kedelai memiliki kelebihan yaitu kecernaannya tinggi, bau sedap dan
dapat meningkatkan palatabilitas ransum (Kamal, 1994). Bungkil kedelai
mengandung 1,79 mcal net energi laktasi, 48% protein kasar, 86% bahan
kering, 3,4% serat kasar, 2,01% kalsium, dan 1,2% phosfor (Hartadi, 2005).
Energi metabolismenya mencapai 2240 kkal/kg dan lemak kasar yang
terkandung adalah sebesar 5,2%, serta serat kasarnya sebesar 7% (Agus,
2008).Bungkil kedelai telah dijadikan standar bagi sumber protein lainnya,
profil

asam

aminonya

untuk

kebanyakan

jenis

unggas

dan

bila

dikombinasikan dengan

Tepung ikan
Tepung ikan dibuat dari ikan dan sisa-sisanya setelah dikeringkan
terlebih dahulu kemudian digiling menjadi halus. Umumnya ikan yang besar
mengandung banyak zat-zat protein yang mudah dicerna sedangkan ikanikan kecil lebih banyak durinya sehingga kadar proteinnya lebih rendah.
Kandungan nutrien yang terdapat dalam tepung ikan antara lain kadar 86 %
bahan kering, 72% protein kasar, 3% serat, 2.32% kalsium, dan

1.89%

phosphor (Hartadi et al., 2005).

Ternak
Sapi Peranakan Onggole
Sapi Peranakan Onggole merupakan jenis sapi potong

yang

dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Menurut Abidin


(2006) sapi potong adalah jenis sapi khusus dipelihara untuk digemukkan
karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas
daging cukup baik. Sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan,
18

dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh


pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong.
Kriteria pemilihan sapi potong yang baik adalah : sapi dengan jenis
kelamin jantan atau jantan kastrasi, umur sebaiknya 1,5 sampai 2,5 tahun
atau giginya sudah poel satu, mata bersinar, kulit lentur,sehat, nafsu makan
baik, bentuk badan persegi panjang, dada lebar dan dalam, temperamen
tenang, dari bangsa yang mudah beradaptasi dan berasal dari keturunan
genetik yang baik (Ngadiyono, 2007).

Sapi Peranakan Friesian Holstein


Sapi FH memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih,
ekor dan kaki berwarna putih, kepala panjang dan tidak menghadap atau
menjulur kedepan, pada dahi terdapat warna putih berbentuk segitiga,
produksi susunya tinggi, serta sifatnya tenang dan jinak. Sapi PFH memiliki
ukuran kecil, dan untuk sapi betina yang berumur 14 sampai 18 bulan
mempunyai bobot badan sekitar 225 kg dengan produksi susu lebih rendah
dari sapi FH (Anonim,2000).

Kecernaan In Vitro
Kecernaan adalah bagian dari nutrien yang tidak diekskresikan dalam
feses melainkan diasumsikan sebagai nutrien yang diserap tubuh ternak.
Bahan pakanyang baik adalah bahan pakan yang memiliki kecernaan tinggi
sehingga dapat meningkatkan konsumsi pakan, dan kebutuhan nutrien ternak
dapat terpenuhi, sehingga produksi ternak dapat mencapai optimal.
Kecernaan pakan biasanya dinyatakan berdasarkan BK dan sebagai suatu
koefisien

atau

vitro adalah teknik

presentase.

(McDonald

pengukuran

et

degradabilitas

al.,

2002).

dan

Kecernaan in

kecernaan evaluasi

ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium dengan meniru


seperti kondisi sebenarnya (Mulyawati, 2009).
19

Kecernaan suatu bahan pakan untuk ternak ruminansia dapat dihitung


secara akurat pada skala laboratorium dengan percobaan menggunakan
cairan rumen dan pepsin. Tahapan pertama biasa disebut two-stage In Vitro
sebuah metode yang menginkubasikan sampel selam 48 jam dengan cairan
rumen dalam kondisi anaerobik. Tahapan kedua, mikrobia dibunuh dengan
menggunakan HCl sampai pH 2 dan terjadi pencernaan protein kemudian
diinkubasikan dengan pepsin. Residu yang tidak larut dikeringkan dan
diestimasi kecernaan bahan kering (Mc.Donald et al., 2002). Metode dua
tahap yang memiliki pengukuran nilai kecernaan bahan makanan secara in
vitro menggunakan cairan rumen, saliva buatan. Keasaman dipertahankan
pada pH 6,7-6,9 dan ditambahkan gas CO2 untuk menghasilkan kondisi
anaerob. Proses degradasi dengan metode in vitro ini menghasilkan CH4 dan
CO2, gas ini merupakan hasil dari proses fermentasi bahan pakan terutama
Bahan Organik

menjadi volatile fatty acids yang dilakukan oleh mikrobia

rumen (Orskov, 2002).


Faktor yang mempengaruhi metode kecernaan in vitro antara lain
pencampuran pakan, cairan rumen, pengontrolan temperatur, variasi waktu
dan metode analisis. Pengukuran kecernaan yang terjadi dalam rumen
secara in vitro, menyesuaikan dengan kondisi dalam rumen yaitu selama 48
jam. Variasi populasi mikrobia disebabkan karena perbedaan dalam
pemberiaan pakan pada ternak, waktu putar cairan rumen dan metode
penanganan serta proses cairan rumen sebelum digunakan. Keberhasilan
metode in vitro tergantung pada koreksi terhadap berbagai kesalahan yang
bersal dari populasi mikrobia, pH medium, preparasi sampel dan cara kerja
(Crowder dan Cheda, 1982). Pengujian kecernaan jenis pakan mengandung
serat kasar tinggi dapat dilakukan dengan metode in vitro melalui pengukuran
produksi gas. Produksi gas kumulatif dapat dianalisis dengan persamaan
P=a+b(1-e-ct) (Orskov, 2002).

20

Materi dan Metode

Materi
Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah tabung in vitro,
tabung atau botol kaca 25 ml, waterbath suhu 38 sampai 40C untuk
mensimulasi suhu di rumen, magnetic stirer, pengukur pH, termometer,
termos, gas CO2, penyaring, spuit untuk mengambil cairan rumen, dan
timbangan digital.
Bahan. Bahan-bahan yang digunakan adalah tepung ikan, dedak
halus, tepung ikan, bungkil kedelai, cairan rumen sapi PO dan PFH, rumput
Pangola, air hangat, saliva buatan atau Mc. Dougall.

Metode
Preparasi sampel
Sampel yang digunakan 250mg. Utomo (2010) telah melakukan
modifikasi pada jumlah penggunaan substrat, cairan rumen, saliva buatan,
HCl, dan pepsin yang digunakan pada penetapan kecernaan in vitro, yakni
hanya sebanyak 50% yang direkomendasika More dan Barnes.
Cairan rumen
Cairan rumen yang digunakan sebagai donor mikrobia diambil
menggunakan termos yang sebelumnya diisi dengan air pada suhu 39C
sampai penuh. Dalam memasukkan cairan rumen ke termos diusahakan agar
udara luar tidak banyak masuk. Termos yang berisi cairan rumen dibawa ke
laboratorium

dan

segera

digunakan

untuk

donor

mikrobia

untuk

diinokulasikan di medium. Cairan rumen dicampur dengan larutan Mc.


Dougall sambil dialiri gas CO2 dengan perbandingan pencampuran 1 : 4 dan
diukur pH nya sekitar 6,7 sampai 7. Setelah itu 25 ml campuran tersebut
dimasukkan dalam tabung reaksi yang telah diisi sampel dan telah diinkubasi
tadi dan diinkubasikan selama 48 jam dan digojog setiap 8 jam sekali.
21

Uji kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik


(KcBO)
Analisis sampel KBK akan diukur kecernaan BK dan BO (Tilley dan
Terry, 1963). Setelah inkubasi selama 48 jam, tabung disaring satu per satu
melalui crucible yang telah berisi glasswool (yang telah diketahui berat
kosongnya) dan tabung in vitro dicuci dengan menggunakan air panas hingga
tidak ada sampel yang tertinggal. Hasil saringan untuk uji kecernaan bahan
kering dan bahan organik.
KcBK. Crucible yang berisi sampel hasil saringan dimasukkan ke
dalam oven 105C selama semalam dan dimasukkan ke dalam desikator
selama 30 menit lalu ditimbang. Hasil yang diperoleh digunakan untuk
menghitung KcBK.
KcBO. Crucible yang berisi sampel hasil penetapan KcBK diabukan
dalam tanur 600C sampai putih kemudian dimasukkan ke dalam desikator
selama 30 menit dan ditimbang. Hasil yang diperoleh digunakan untuk
menghitung KcBO.
.

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan pada saat praktikum


terhadap kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan Bahan Organik
(KcBO) terhadap beberapa bahan pakan yang digunakan pada saat
praktikum, maka diperoleh data kecernaan bahan kering (KcBK) dan
kecernaan bahan organik (KcBO) adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan Bahan Organik
(KcBO).
Sapi PO (%)
Sapi PFH (%)
Bahan pakan
KcBK
KcBO
KcBK
KcBO
Tepung ikan
26,28
43,59
55,61
41,79
Dedak halus
48,62
47,08
49,49
46,83
Bungkil kedelai
84,54
82,53
90,17
89,05
Pollard
61,63
57,90
54,64
53,24
Rumput Pangola
38,004
33,162
Kecernaan BK yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan
tingginya zat nutrisi yang dicerna oleh mikroba rumen (Anitasari, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan in vitro diantaranya adalah
pencampuran pakan, cairan rumen, pengontrolan temperatur, variasi waktu,
dan metode analisis (Yunus, 1997).
Kecernaan bahan organik yang tertinggi terdapat pada bungkil kedelai
yaitu sebesar 85,787%, dan terendah pada bahan pakan tepung ikan
sebesar 34,868%. Kecernaan BO menggambarkan ketersediaan nutrien dari
pakan dan menunjukkan nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ternak.
Kecernaan bahan kering dapat mempengaruhi KcBO (Tillman et al.,1998).
Pemberian konsentrat yang mengandung protein kasar yang tinggi akan
mengaktifkan mikrobia rumen sehingga meningkatkan jumlah bakteri
proteolitik dan naiknya deaminasi yang mengakibatkan meningkatnya nilai
kecernaan bahan organik (Jayanegara et al., 2006).

23

Menurut Sudirman dan Imran (2001),KcBK dan KcBO rumput pangola


secara in vitro dengan cairan rumen sapi sebesar 43,31% dan 45,76%. Hasil
in vitro pangola dalam praktikum dibawa angka tersebut. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor seperti faktor ukuran partikel bahan pakan, frekuensi
penggojokan, kondisi anaerob pada saat preparasi. Kecernaan bahan kering
dan bahan organik tertera pada tabel 2 :
Tabel. 3 Kecernaan bahan kering dan bahan organik bahan pakan
Sumber

Bahan pakan

KcBK (%)

KcBO(%)

Aryogi et al., (2002)

Dedak padi

52,99

50,76

Susanti et al.,(2007)

Pollard

58,123

60,539

Yulistiani et al., (2011)

Bungkil kedelai

92,43

91,50

Mehrez et al., (1980);


Tarigan (2012)

Tepung Ikan

60

Hasil praktikum menunjukkan hasil yang mendekati data hasil literatur.


Rendahnya KcBK dipengaruhi dari berbagai macam kandungan nutrien dari
berbagai bahan pakan didalamnya. Menurut Anggorodi (1995) faktor-faktor
yang mempengaruhi Kecernaan bahan kering adalah suhu, laju perjalanan
melalui alat pencernaan, bentuk fisik dari pakan, dan pengaruh dari
perbandingan dengan zat lainnya dari bahan pakan tersebut. Ditambahkan
oleh Tilman et al., (1998) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecernaan suatu bahan pakan adalah komposisi kimia bahan,
penyiapan pakan (pemotongan, penggilingan, pemasakan, dan lain-lain),
umur ternak, dan jumlah ransum.
Penggunaan cairan rumen sapi PO dan sapi PFH, tepung ikan
memiliki persentase kecernaan in vitro yang paling rendah kemudian diikuti
dedak halus, pollard, dan bungkil kedelai yang memiliki kecernaan paling
tinggi. Persentase KcBK dan KcBO keempat bahan pakan dengan cairan
rumen sapi PO dan PFH tidak berbeda jauh. Hal ini dapat disebabkan oleh
jenis ternak sapi PO dan PFH yang memiliki kesamaan genetik, dimana sapi

24

PFH merupakan hasil persilangan sapi Friesian dan Peanakan Ongole


sehingga memiliki kemampuan yang sama dalam mengkonsumsi bahan
kering (Rianto et al., 2007).
Penggunaan saliva buatan atau larutan Mc.Dougall pada proses
evaluasi
fermentasi

in vitro bertujuan untuk mempertahankan pH selama proses


berlangsung.

Penggunaan

gas

CO2

bertujuan

untuk

mempertahankan pH selama proses fermentasi. Penambahan gas CO2


dilakukan secara cepat agar tidak terjadi perubahan pH. Penggunaan water
bath dan sachker water bath ditujukan untuk menirukan gerakan didalam
rumen. Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu dalam rumen, yaitu
39 sampai 40oC. Kondisi anaerob diusahakan dengan mengalirkan gas CO2
ke dalam larutan buffer sebelum larutan itu digunakan dan ke dalam larutan
fermentasi sebelum tabung fermentasi ditutup (Utomo et al.,2012).

25

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Persentase KcBK dan KcBO dari yang paling rendah berurutan adalah
tepung

ikan,

dedak

halus,

pollard,

bungkil

kedelai..

Faktor

yang

mempengaruhi nilai kecernaan adalah, jenis pakan, jenis dan bangsa sapi,
kondisi sapi, kondisi cairan rumen yang diambil.

Saran
Analisis disarankan untuk memperbanyak replikasi untuk meningkat
keakuratan data, selain itu bahan pakan yang digunakan disarankan agar
lebih variasi yaitu terdapat bahan pakan hijauan baik rumput maupun legum
sehingga tidak hanya bahan pakan konsentrat.

26

DAFTAR PUSTAKA
Agus, A. 2008. Membuat Pakan Ternak Secara Mandiri. PT Citra Adi
Parama. Yogyakarta.
Amrullah.I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan Ketiga. Lembaga Satu.
Gunungbudi. Bogor.
Anggorodi. 1995. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Anitasari, A. 2010. Pemanfaatan Senyawa Bioaktif Kembang Sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis) untuk Menekan Produksi Gas Metan pada
Ternak Ruminansia. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Aryogi, dan U. Umiyasih. 2002. Nilai kecernaan bahan kering dan protein
kasar pakan penyusun ransum pola crop livestock system padi-sapi di
kabupaten Lumajang dan Magetan. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner:143-145.
Hartadi. H.S., Reksohadiprojo dan A. D. Tillman. D.A. 2005. Tabel Komposisi
Pakan untuk Indonesia. Cetakan ke IV. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Jayanegara, A., A. S. Tjakradidjaja, & T. Sutardi. 2006. Fermentabilitas dan
kecernaan in vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi
kromium organik dan anorganik. Media Peternakan. 29(2): 54-62
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Lubis. D.A, 1992. Ilmu Makanan Ternak. PT. Pembangunan. Jakarta.
Mehrez, A. Z., E. R. Orskov, and J. Opsvlit. 1980. Processing factor affecting
degradability of fish meal in the rumen. J Anim Sci :733-744.
Mulyawati, Y. 2009. Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Biomineral
Dienkapsulasi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 2002.
Animal Nutrition. Prentice Hall. London
Ngadiyono, N. 2008. Pengembangan sapi potong dalam rangka penyediaan
daging di Indonesia. Pidato pengukuhan guru besar fakultas
peternakan universitas gadjah mada yogyakarta.
Orskov, E. R. 2002. Trails and Trials In Livestock Research. Andi Offset.
Yogyakarta.
Orskov, E. R. 1992. Protein Nutrition in Ruminant. Published by Academic
Press Limited, London.

27

Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press.
Jakarta.
Pamungkas, D., R. Utomo, N. Ngadiyono dan, M. Winugroho. 2009.
Supplementing energy and protein source at different rate of
degradability to mixture of corn waste and coffee pod as basal diet on
rumen fermentation kinetic of beef cattle. JITV 15(1): 22-30.
Rianto, E., Mariana W., dan Retno A. 2007. Pemanfaatan Protein Pada Sapi
Jantan Peranakan Ongole dan Peranakan Friesian Holstein Yang
Mendapat Pakan Rumput Gajah, Ampas Tahu, dan Singkong. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner:64-70.
Subandriyo. 2000. Pendugaan kualitas bahan pakan
untuk
ruminansia. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

ternak

Sudirman dan Imran. 2001. Kerbau Sumbawa: Sebagai Konverter Sejati


Pakan Berserat. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau
Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi.
Susanti, S dan E. Marhaeniyanto. 2007. Kecernaan, Retensi Nitrogen dan
Hubungannya dengan Produksi Susu Pada Sapi Peranakan Friesian
Holstein (PFH) yang diberi Pakan Pollard dan Bekatul. Jurnal
PROTEIN. Vol. 15 (2): 141-147.
Tilley, J. M. A. and R. A. Terry. 1963. A two-stage technique for the In Vitro
digestion of forage crop. J. British Grassl. Soc.18: 104-111.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S.
Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan V. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Utomo, R. 2010. Modifikasi metode penetapan kecernaan in vitro bahan
kering atau bahan organik. Buletin Sintesis. Yayasan Dharma Agrika
Semarang. Vol 5 (1): 1-11.
Utomo, R. 2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvasif. PT. Citra Aji
Parama, Yogyakarta.
Yunus,M.1997. Pengaruh umur pemotongan spesies rumput terhadap
produksi komposisi kimia, kecernaan in vitro dan in sacco. Thesis S2,
Fakultas Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Yulistiani, D., I. W. Mathius, dan W. puastuti. 2011. Bungkil kedelai
terproteksi tanin cairan batang pisang dalam pakan domba sedang
tumbuh. JITV 16(1): 33-40.

28

Lampiran

BK
BO
Kelompok berat
berat
sampel sampel
1
sampel crusible (g)
(g)
T.I 1
0.253 19.027
0.225
0.150
T.I 2
0.251 20.735
0.224
0.149
T.I 3
0.252 19.998
0.225
0.149

Kelompok berat
2
sampel
D. 1
0.2537
D. 2
0.2541
D. 3
0.2544
Kelompok
3
B. 1
0.256
B. 2
0.252
B. 3
0.2534

BK
BO
berat
sampel sampel
crusible (g)
(g)
20.3108 0.2314 0.2087
24.6395 0.2318 0.2091
18.3698 0.2321 0.2093

12.8145
10.6833
9.3931

0.2306
0.2270
0.2282

berat
oven
19.191
20.932
20.148

berat
oven
20.432
24.7686
18.4914

DM
BO
berat
residu
residu
tanur
abu
(g)
koreksi
(g)
19.108 0.081
0.164
0.159
0.083
20.831 0.096
0.197
0.192
0.101
20.071 0.073
0.149
0.144
0.076

berat
tanur
abu
20.3188 0.008
24.6528 0.0133
18.381 0.0112

DM
BO
residu
residu
(g)
koreksi (g)
0.1212 0.1163 0.1132
0.1291 0.1242 0.1158
0.1216 0.1167 0.1104

0.2144 12.8532 12.8151 0.0006 0.0387


0.2110 10.7221 10.6838 0.0005 0.0388
0.2122 9.4363 9.3938 0.0007 0.0432

0.0338
0.0339
0.0383

0.0381
0.0383
0.0425

BO
DM
residu
residu koreksi (g)
0.0995 0.0946 0.0994

P. 3

BK
BO
sampel sampel
(g)
(g)
abu
0.2513 23.154 0.2276 0.2167 23.2535 23.1541 1E-04
0.2517 19.9578 0.2280 0.2170 20.0508 19.9557 0.0021
0.2501 22.3717 0.2265 0.2156 22.4557 22.3693 0.0024

Kelompok
5
P. 1
P. 2
P. 3

BK
BO
sampel sampel
(g)
(g)
abu
0.2532 13.1572 0.2294 0.2183 13.3271 13.1617 0.0045
0.253
11.59 0.2292 0.2181 11.6754 11.5937 0.0037
0.253 9.4597 0.2292 0.2181 9.5311 9.4646 0.0049

BO
DM
residu
residu koreksi (g)
0.1699
0.165 0.1654
0.0854 0.0805 0.0817
0.0714 0.0665 0.0665

Kelompok
4
P. 1
P. 2

kelompok
6

BK
BO
sampel sampel

29

abu

0.0930

0.0881

0.0951

0.0840

0.0791

0.0864

DM
residu

BO
koreksi residu

(g)

(g)

0.2270
0.2280
0.2272

0.2111 15.6429 15.6166 0.0016 0.0279


0.2120 21.4649 21.438 0.0031
0.03
0.2113 18.3476 18.3238 1E-04 0.0239

B. 1
B. 2
B. 3

0.2521 15.615
0.2532 21.4349
0.2523 18.3237

kelompok
7
D. 1
D. 2
D. 3

BK
BO
sampel sampel
(g)
(g)
0.2567 21.1639 0.2342 0.2112 21.286
21.17
0.2504 20.5538 0.2284 0.2060 20.6675 20.5631
0.2553 16.3086 0.2329 0.2101 16.4389 16.3181

Kelompok
8
T. 1
T. 2
T. 3

(g)

abu
0.0061
0.0093
0.0095

BK
BO
sampel sampel
(g)
(g)
abu
0.2614 24.6626 0.2330 0.1550 24.8389 24.7425 0.0799
0.2561 18.4262 0.2283 0.1518 18.3049 18.2189
0.255 23.1375 0.2273 0.1512 23.177 23.0901 0.0474

30

0.023
0.0251
0.019

0.0263
0.0269
0.0238

DM
residu koreksi
0.1221 0.1172
0.1137 0.1088
0.1303 0.1254

BO
residu
(g)
0.116
0.1044
0.1208

BO
DM
residu
residu koreksi (g)
0.1763 0.1714 0.0964

0.0395

0.0346

0.0869

BAB IV
KECERNAAN IN SACCO

Tinjauan Pustaka

Bahan Pakan
Pakan ternak merupakan komponen biaya produksi terbesar dalam
suatu usaha peternakan. Oleh karena itu pengetahuan tentang pakan dan
pemberiannya perlu mendapat perhatian yang serius. Ransum yang
diberikan kepada ternak harus diformulasikan dengan baik dan semua bahan
pakan yang dipergunakan dalam menyusun ransum harus mendukung
produksi yang optimal dan efisien sehingga usaha yang dilakukan dapat
menjadi lebih ekonomis.Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian pakan
ternak adalah kebutuhan nutrisi ternak, komposisi nutrisi bahan pakan
penyusun ransum dan bagaimana beberapa bahan dapat dikombinasikan
(penyusunan

ransum

standar)

untuk

mencukupi

kebutuhan

ternak

(Subandriyo et al., 2000).


Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, disenangi,
dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, dan bermanfaat bagi ternak (Kamal,
1994). Pakan ruminansia khususnya sapi terdiri atas konsentrat dan hijauan.
Konsentrat adalah suatu bahan makanan yang dipergunakan bersama bahan
makanan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keeseluruhan
makanan karena mengandung serat kasar rendah, mudah dicerna,
mengandung pati maupun protein tinggi, sehingga nilainya lebih baik dari
hijauan. Fungsi utama konsentrat adalah untuk mencukupi kebutuhan atau
melengkapi nutrien yang belum dipenuhi oleh pakan yang berasal dari
hiijauan (Hartadi et al., 2005). Menurut Utomo et al. (2005)

berdasarkan

kecepatan degradasinya konsentrat dibagi menjadi empat, yaitu konsentrat


sumber energi terdegradasi cepat, konsentrat sumber energi terdegradasi
31

lambat, konsentrat sumber energi protein terdegradasi cepat dan konsentrat


sumber energi terdegradasi lambat.

Pollard
Wheat pollard atau dedak gandum bila digiling untuk menghasilkan
tepung gandum akan diperoleh beberapa hasil ikutan dari gandum tersebut
yang dapat digunakan dalam makanan ternak. Meskipun nilai energi hasil
ikutan gandum tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai gandumnya
sendiri, harganya seringkali cukup murah sehingga dalam jumlah cukup
banyak secara ekonomis dapat digunakan dalam ransum. Dedak gandum
hampir seluruhnya terdiri dari lapisan biji luar gandum yang kasar merupakan
salah satu bahan makanan ternak populer (Anggorodi, 1995).
Menurut Hartadi et al. (2005), pollard merupakan hasil sampingan
tepung gandum dan bentuknya berupa pecahan gandum. Komposisi kimia
pollard antara lain 86% dry matter, 4,2% abu, 45,0% ekstrak eter, 6,6% serat
kasar, 14,1% bahan ekstrak tanpa nitrogen, dan 16,1% protein kasar.

Dedak Halus
Dedak merupakan bahan yang mengandung karbohidrat tinggi tetapi
pemakaian dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan kekurangan
isoleusin dan treonin (Suprijatna et al., 2008 dan Wahju, 2004). Dedak halus
lebih banyak mengandung serat kasar karena dedak halus didapat dari padi
yang ditumbuk (Wahju, 2004). Hadipermata (2007) menyatakan bahwa
bekatul adalah lapisan sebelah dalam dari butiran padi, termasuk sebagian
kecil endosperm berpati. Namun, karena alat penggiling padi tidak dapat
memisahkan antara dedak dan bekatul maka dedak dan bekatul bercampur
menjadi satu sehingga disebut dengan dedak atau bekatul saja. Komposisi
dedak padi pada pakan broiler dapat mencapai 20 sampai 30% tanpa
menurunkan performans, tetapi apabila sampai mencapai 40% maka
32

kecepatan pertumbuhan menurun (Farell, 1994). Susunan angka-angka


analisisnya adalah 16,2% air, 9,5% protein, 43,8% bahan ekstrak tanpa N,
16,4% serat kasar, 3,3% lemak dan 10,8% abu (Lubis, 1992).

Bungkil Kedelai
Bungkil kedelai merupakan hasil ikutan pembuatan minyak kedelai.
Bungkil kedelai sebagai bahan pakan sumber protein asal tumbuhan belum
dapat digantikan oleh bahan jenis lainnya. Kandungan proteinnya berkisar
antara 44% sampai 51%. Beragamnya kualitas bungkil kedelai selain
disebabkan oleh perbedaan kualitas kedelai dan macam proses pengambilan
minyak. Bungkil kedelai merupakan bahan pakan sumber dwi guna, sebagai
sumber protein dan energi. Energi metabolismenya mencapai 2240 kcal/kg
dan lemak kasar yang terkandung adalah sebesar 5.2%, serta serat kasarnya
sebesar 7% (Agus, 2007). Bungkil kedelai mengandung 1,79 mcal net energi
laktasi, 48%protein kasar, 86%bahan kering, 3,4%serat kasar, 2,01%
kalsium, dan 1,2% phosfor (Hartadi, 2005).

Tepung Ikan
Tepung ikan dibuat dari hasil sisa pada pembuatan minyak ikan dan
hasil sisa industri ikan dari berbagai macam ikan laut dan ikan darat sisa
yang sudah tidak dijual untuk dikonsumsi manusia. Penggunaan tepung ikan
dalam ransum menunjukkan respon yang baik daripada konsentrat protein
lain. Agus, 2007).
Kandungan nutrien yang terdapat dalam tepung ikan antara lain kadar
86 % bahan kering, 72% protein kasar, 3% serat, 2.32% kalsium, dan 1.89%
phosphor (Hartadi et al., 2005).). Kandungan asam amino essensial yang
menonjol dalam tepung ikan adalah arginin, glisin, leusin, isoleusin, lisin, dan
valin. Kadar air yang tinggi akan memudahkan proses pembusukan oleh

33

jamur atau bakteri, sedangkan kadar lemak yang tinggi akan menyebabkan
ketengikan setelah penyimpanan (Parakkasi,1986).

Ternak

Sapi Peranakan Onggole


Sapi PO adalah sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Sumba
Ongole (SO) dengan sapi betina lokal di Jawa yang berwarna putih. sapi PO
yang murni mulai sulit ditemukan, karena telah banyak di silangkan dengan
sapi Brahman, sehingga sapi PO diartikan sebagai sapi lokal berwarna putih
(keabu-abuan), berkelasa dan gelambir. Sapi PO terkenal sebagai sapi
pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan
aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah ber-anak,
jantannya memiliki kualitas semen yang baik. Cirinya berwarna putih dengan
warna hitam di beberapa bagian tubuh, bergelambir dan berpunuk, dan daya
adaptasinya baik (Anonim, 2012)
Menurut Abidin (2006) sapi potong adalah jenis sapi khusus dipelihara
untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat
dan kualitas daging cukup baik. Sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai
sapi bakalan, dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga
diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong.
Kriteria pemilihan sapi potong yang baik adalah : sapi dengan jenis
kelamin jantan atau jantan kastrasi, umur sebaiknya 1,5 sampai 2,5 tahun
atau giginya sudah poel satu, mata bersinar, kulit lentur,sehat, nafsu makan
baik, bentuk badan persegi panjang, dada lebar dan dalam, temperamen
tenang, dari bangsa yang mudah beradaptasi dan berasal dari keturunan
genetik yang baik (Ngadiyono, 2007).
34

Sapi Peranakan Friesian Holstein


Sapi perah adalah jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan
menghasilkan susu (Blakely dan Bade, 1994). Menurut Siregar (1994) sapi
perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein
(FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH). Sapi PFH merupakan sapi
perah hasil persilangan antara sapi FH dengan sapi lokal yang ada di
Indonesia, dengan sifat FH-nya lebih menonjol. Sapi FH memiliki ciri-ciri fisik
antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki berwarna putih,
kepala panjang dan tidak menghadap atau menjulur kedepan, pada dahi
terdapat warna putih berbentuk segitiga, produksi susunya tinggi, serta
sifatnya tenang dan jinak. Sapi PFH memiliki ukuran kecil, dan untuk sapi
betina yang berumur 14 sampai 18 bulan mempunyai bobot badan sekitar
225 kg dengan produksi susu lebih rendah dari sapi FH (Anonim,2000).

Degradasi In Sacco
Teknik in sacco biasa dilakukan untuk mengukur degradasi pakan
dalam rumen, dengan menggunakan hewan berfistula rumen. Tingkat
degradasi pakan diukur dari bahan yang hilang pada kantong nilon terhadap
bahan awal yang diinkubasikan dalam rumen. Pengukuran didasarkan pada
lama inkubasi yang berbeda dan berurutan. Pengukuran dengan teknik in
sacco mempunyai keunggulan antara lain menghemat waktu, tenaga dan
biaya (Kurniawan, 2007).
Metode in sacco banyak digunakan karena sederhana dan hanya
menggunakan beberapa ternak berfistula (Soejono, 1990). Beberapa faktor
yang mempengaruhi metode ini, yakni porositas dari kantong nilon, preparasi
pakan untuk inkubasi, waktu inkubasi, jenis ternak, efek pakan yang diberikan
pada ternak, dan posisi kantong di dalam rumen (rskov, 1992).

35

Materi dan Metode

Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum kecernaan in sacco adalah
sapi fistula, kantong nilon, bandul pemberat, tali rafia, timbangan, gunting,
nampan, tali pengait, silika disk, oven, tanur, tang penjepit dan mesin cuci.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum kecernaan in sacco
adalah bahan pakan berupa tepung ikan, dedak halus, bungkil kedelai, dan
pollard.

Metode
Pembuatan kantong nilon
Kantong dibuat dari bahan nilon untuk inkubasi rumen. Kantong yang
diinkubasikan dalam rumen mempunyai porositas 46 dijahit pada ketiga
sisinya dengan las plastik dengan dimensi bagian dalam 6 11 cm. Kantong
nilon ditandai seseuai dengan nomor pakan, waktu inkubasi dan replikasi
kemudian dioven pada suhu 55C selama 1 jam dan ditimbang berat
kosongnya. Kantong nilon untuk inkubasi rumen yang telah ditimbang berat
kosongnya diisi dengan sampel yang akan diuji, 3 gram untuk hijauan dan 5
gram untuk konsentrat dan kemudian kantong diikat diujung kantong.
Inkubasi rumen
Kantong nilon yang telah diisi sampel ditautkan dengan tali rafia pada
cincin yang terbuat dari besi yang dilapisi krom, kemudian diinkubasikan
dalam rumen sebelun pakan pagi didistribusikan. Jumlah kantong nilon per
titik

pengukuran

disesuaikan

dengan

tujuan

pengukuran,

sebaiknya

diperhitungkan kemungkinan adanya variasi individu dan variasi periode


inkubasi.
Sampel diambil sesuai dengan waktu inkubasi, segera dicuci dengan
air kran dingin secara perlahan-lahan sebelum dilanjutkan pencucian
36

menggunakan mesin cuci selama 6 menit dan air yang mengalir. Apabila
pencucian dengan mesin cuci tidak segera dilaksanakan maka kantong nilon
setelah diinkubasi dibekukan pada suhu -15C. Pencucian diperlukan untuk
menghilangkan partikel pakan atau mikrobia yang menempel pada residu
atau kantong nilon. Selanjutnya dilakukan pengeringan pada suhu 60C
selam 48 jam dan ditimbang residunya dan dianalisis bahan kering (BK) dan
bahan organik (BO).

37

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan perhitungan pada saat praktikum terhadap kecernaan BK


dan BO beberapa bahan pakan, diperoleh data rata-rata %kehilangan Bahan
Organik (BO) yang tertera pada tabel 3 dan 4.
Waktu
inkubasi
(jam)
0
2
4
8
16
24
48

Tabel 4. Hasil degradasi in sacco sapi PO


Tepung ikan
Dedak halus
Bungkil kedelai
Pollard (%)
(%)
(%)
(%)
BK
BO
BK
BO
BK
BO
BK
BO
23,89 27,18 33,79 32,86 36,73 37,19 30,04 34,69
26,54 28,34 38,24 53,04 49,59 49,51 47,95 44,39
28,99 29,45 41,93 59,37 58,26 57,86 60,38
52,2
33,32 31,58 47,57 61,98 68,04 67,33 74,97 63,52
36,99 33,56 51,47 62,23 72,5 71,67 81,99 70,84
45
38,76 57,33 62,26 75,86 74,99 87,77 80,61
52,9 46,47 59,92 62,26 76,2 75,35 88,48 83,96

Waktu
inkubasi
(jam)
0
2
4
8
16
24
48

Tabel 5. Hasil degradasi in sacco sapi PFH


Dedak halus
Tepung ikan (%)
Pollard (%)
(%)
BK
BO
BK
BO
BK
BO
25,14
29,3 31,58 34,47 35,82 36,37
26,42
36,15 35,48 55,13 50,85 49,58
27,65
41,64 38,76 62,15 60,31 58,42
29,96
49,59 43,87 65,34 69,99 68,29
32,08
54,71 47,48 65,71 73,82 72,7
37,47
61,49 53,14 65,75 76,16 75,96
44,93
63,79 55,88 65,76 76,32 76,28

38

Bungkil
kedelai (%)
BK
BO
33,11 35,69
51,78 83,77
64,57 88,17
79,35 88,62
86,28 88,62
91,79 88,62
92,42 88,62

Grafik degradasi BK dan BO dari sapi PO dan PFH tertera sebagai berikut :

Grafik 1. Degradasi in sacco BK pakan untuk sapi PO

Degradasi BK sapi PO
% kehilangan BK

120
100

tepung ikan

80

dedak halus
pollard

60

bungkil kedelai

40

Linear (tepung ikan)


20

Linear (dedak halus)

Linear (pollard)
0

20

40

60

Linear (bungkil kedelai)

Lama inkubasi (jam)

Grafik 2. Degradasi in sacco BK pakan untuk sapi PFH

Degradasi BK sapi PFH


% kehilangan BK

120
100

tepung ikan

80

dedak halus
pollard

60

bungkil kedelai

40

Linear (tepung ikan)


20

Linear (dedak halus)

Linear (pollard)
0

20

40

60

Lama inkubasi (jam)

39

Linear (bungkil kedelai)

Grafik 3. Degradasi in sacco BO pakan untuk sapi PO

% kehilangan BO

Degradasi BO sapi PO
100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

tepung ikan
dedak halus
pollard
bungkil kedelai
Linear (tepung ikan)
Linear (dedak halus)
Linear (pollard)
0

20

40

60

Linear (bungkil kedelai)

Lama inkubasi (jam)

Grafik 4. Degradasi in sacco BO pakan untuk sapi PFH

Degradasi BO sapi PFH


% kehilangan BO

120
100

tepung ikan

80

dedak halus
pollard

60

bungkil kedelai

40

Linear (tepung ikan)


20

Linear (dedak halus)

Linear (pollard)
0

20

40

60

Linear (bungkil kedelai)

Lama inkubasi (jam)

Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa persentase


kecernaan baik pada KcBK maupun KcBO pada setiap sampel bahan pakan

40

beraturan, yaitu semakin lama waktu didalam rumen semakin besar pula nilai
kecernaan bahan pakan tersebut karena semakin lama waktu inkubasi akan
semakin besar nilai kecernaan bahan pakan, karena semakin lama berada di
dalam rumen makan akan semakin besar bahan yang dicernanya. Menurut
Hadi et al. (2011), waktu tinggal di dalam rumen yang semakin lama akan
mengakibatkan meningkatnya kontak antara pakan dengan mikrobia rumen,
hal ini akan memungkinkan aktivitas mikrobia rumen semakin besar dalam
mendegradasi pakan. Keterkaitan keduanya dapat memperkecil nilai laju
degradasi fraksi potensial terdegradasi. Perbedaan fraksi potensial larut dan
laju degradasi fraksi potensial terdegradasi dipengaruhi oleh komposisi
nutrient pakan, lama tinggal pakan didalam rumen dan juga ketersediaan
substrat untuk aktivitas mikrobia dalam mendegradasi pakan di dalam rumen.
Hal yang dapat mempengaruhi degradasi In sacco adalah ukuran
partikel pakan, ukuran porositas kantong nylon, luas permukaan kantong, dan
letak kantong di dalam rumen. Degradasi in sacco dari hasil praktikum telah
sesuai literatur yang tertera pada tabel dibawah ini :
Tabel.5 Data literatur degradasi In sacco bahan pakan
Sumber

Degradasi in sacco

Bahan Pakan

BK (%)
Puastuti (2005)

Bungkil kedelai

BO (%)

60 sampai 90

Mc Donald et al, Tepung ikan


(2002)
Aryogi et al., (2002)
Dedak padi

14 sampai 70
52,99

50,76

Susanti et al.,(2007)

58,123

60,539

Pollard

Hasil praktikum menunjukan bahwa nilai kecernaan yang semakin


besar seiring dengan waktu yang semakin lama akan semakin besar nilai
kecernaan bahan pakan karena waktu tinggal yang lebih lama sehingga
dapat dicerna lebih banyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan

41

secara in sacco yaitu Perbedaan fraksi potensial larut dan laju degradasi
fraksi potensial terdegradasi dipengaruhi oleh komposisi nutrien pakan, lama
tinggal pakan didalam rumen dan juga ketersediaan substrat untuk aktivitas
mikrobia dalam mendegradasi pakan di dalam rumen.
Kandungan karbohidrat non struktral dalam dedak halus memberikan
efek pada kehilangan bahan organiknya diukur secara in sacco. Menurut
Harfiah (2005), bahwa proses pencucian sangat mempengaruhi hilangnya
partikel-partikel pakan, akibat adanya bahan pakan yang mudah larut dalam
air dan sebagai akibat dari proses pencucian itu sendiri. Kehadiran mikroba
rumen di dalam kantong selama masa inkubasi dapat juga berperan sebagai
sumber kesalahan dalam penentuan kecernaan pakan menggunakan teknik
in sacco.
Tingginya fraksi pakan lambat terdegradasi dan rendahnya kecepatan
degradasi pakan terjadi pada rumput kaliandra dan rumput raja yang
mengindikasikan bahwa bahan pakan tersebut lebih mudah didegradasi oleh
mikrobia rumen karena dipengaruhi oleh komponen isi sel yang mudah
dicerna dan gampang larut seperti pati, protein, lemak, dan mineral yang larut
(Van Soest, 1994).
Pakan yang mengandung protein yang cukup dapat meningkatkan
pertumbuhan mikroorganisme rumen yang akhirnya dapat meningkatkan laju
degradasi pakan tersebut (Siregar, 1991). Ternak ruminansia membutuhkan
sumber protein yang berasal dari protein mikroba rumen. Sedangkan
produksi protein mikrobial berbeda-beda setiap waktu, hal ini dipengaruhi
oleh jenis pakan yang diberikan (Siregar, 1991). Faktor anti nutrisi dapat
mempengaruhi kehilangan bahan organik, hal ini berhubungan dengan
adanya reaksi dari anti nutrisi dalam menghambat proses metabolisme
mikroorganisme dalam menggunakan substrat.

42

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telh dilakukan dapat disimpulkan bahwa
degradasi bahan pakan secara in sacco tidak optimal yang diketahui melalui
semakin lama inkubasi, nilai degradasi tidak stabil

Faktor-faktor yang

mempengaruhi degradasi bahan pakan secara in sacco adalah kelarutan


bahan pakan, laju degradasi di dalam rumen (outflow rate), tingkat konsumsi,
ketersediaan substrat terfermentasi, populasi mikrobia, ukuran partikel,
bentuk fisik, dan pH rumen.

Saran
Saran yang dapat diberikan untuk praktikum in sacco adalah untuk
pelatihan cara perhitungan dan pembuatan grafik kurang maksimal sehingga
ilmu hanya sebagian yang dapat ditangkap. Sebaiknya untuk setiap acara
apabila memang panjang dan banyak waktu yang dibutuhkan untuk
menyampaikan perhitungan, dibedakan setiap acara untuk satu hari.

43

DAFTAR PUSTAKA
Agus, A. 2008. Membuat Pakan Ternak Secara Mandiri. PT Citra Adi
Parama. Yogyakarta.
Anggorodi. 1995. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Aryogi, dan U. Umiyasih. 2002. Nilai kecernaan bahan kering dan protein
kasar pakan penyusun ransum pola crop livestock system padi-sapi
di kabupaten Lumajang dan Magetan. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner:143-145.
Blakely, J., dan D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi keempat.
Penerjemah: Bambang Srigandono. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W Heinemann. 1990. Feed and
Nutrition : Formely, Feeds and Nutrition Complete. 2nd ed The
Ensminger Pub. Co., California.
Fitri, A., N. Hidayah, D. M. Utami, dan W. W. Suryani. 2010. Pemanfaatan
Senyawa Bioaktif Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis) untuk
Menekan Produksi Gas Metan pada Ternak Ruminansia. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Hadi, R. F., Kustantinah, dan Hari H. 2011. Kecernaan In sacco Hijauan
Leguminosa dan Hijauan Non-Leguminosa Dalam Rumen Sapi
Peranakan Ongole. Buletin peternakan Vol. 35 (2): 79-85.
Hartadi. H.S., Reksohadiprojo dan A. D. Tillman. D.A. 2005. Tabel Komposisi
Pakan untuk Indonesia. Cetakan ke IV. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Kamal, M. 1996. Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Kamal, M., 1994. Nutrisi Ternak I. Laboratorium Makanan Ternak. Jurusan
Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
Lubis. D.A, 1992. Ilmu Makanan Ternak. PT. Pembangunan. Jakarta.
Mc. Donald, P., R. A Edwards and J. F. D Greenhalgh. 2002. Animal
Nutrition. Third Edition. English Language Book Society (ELBS)
Longman Group, Hongkong.
44

Orskov, E.R. 1992. Protein Nutrition in Ruminant. Published by Academic


Press Limited, London.
Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press.
Jakarta.
Puastuti, W. 2005. Tolok Ukur Mutu Protein Ransum dan Relevansinya
dengan Retensi Nitrogen serta Pertumbuhan Domba. Skripsi.
Fakultas peternakan IPB. Bogor.
Sumarsono, 2001. Hasil Hijauan Setaria (Setaria splendida Staft) dalam
Pertanaman Campuran dengan (Centrosema pubescens Benth) yang
Menerima Pupuk Fosfat dan Kotoran Ternak. J. Pengemb. Pet. Trop.
Special. Ed. : 129-136.
Sumarsono, 2002. Ketahanan Sentro (Centrosema pubescens Benth) dalam
Pertanaman Campuran dengan Setaria (Setaria splendida Staft) yang
Menerima Pupuk Fosfat dan Beda Interval Pemotongan.
J.
Pengemb. Pet. Trop. 27 (2) : 76-82.
Susanti, S dan E. Marhaeniyanto. 2007. Kecernaan, Retensi Nitrogen dan
Hubungannya dengan Produksi Susu Pada Sapi Peranakan Friesian
Holstein (PFH) yang diberi Pakan Pollard dan Bekatul. Jurnal
PROTEIN. Vol. 15 (2): 141-147.
Utomo, R. 2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvasif. PT. Citra Aji
Parama, Yogyakarta.
Zuprizal dan M. Kamal. 2005. Nutrisi dan Pakan Unggas. Fakultas
Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

45

Lampiran

Degradasi Bahan Organik


Jenis Sapi
PO
PFH
Rerata

a (%)
27,18
29,3
28,24

b (%)
34,58
34,67
34,625

Waktu
0
2
4
8
12
24
48

Jenis Sapi
PO
PFH
Rerata

a (%)
32,86
34,47
33,665

b (%)
29,40
31,29
30,345

Waktu
0
2
4
8
12
24
48

Bahan Pakan
Tepung ikan
c (per jam)
DT (%)
0,017
7,634545
0,111
45,01018
0,064
26,32236

a+b (%)
61,76
63,97
62,865

Jenis sapi
PO
PFH
27,18
29,3
28,34
36,15
29,45
41,64
31,58
49,59
33,56
54,71
38,76
61,49
46,47
63,79

Bahan pakan
Dedak padi
c (per jam)
0,581
0,54
0,5605

DT (%)
32,86
34,47
33,665

Jenis sapi
PO
PFH
32,86
34,47
53,04
55,13
59,37
62,15
61,98
65,34
62,23
65,71
62,26
65,75
62,26
65,76

46

a+b (%)
62,26
65,76
64,01

Jenis Sapi
PO
PFH
Rerata

a (%)
37,19
36,37
36,78

b (%)
38,16
39,91
39,035

Waktu
0
2
4
8
12
24
48

Jenis Sapi
PO
PFH
Rerata

a (%)
34,69
35,69
35,19

b (%)
49,54
52,93
51,235

Waktu
0
2
4
8
12
24
48

Bahan pakan
Pollard
c (per jam)
DT (%)
0,195
37,19
0,201
36,37
0,198
36,78

a+b (%)
75,35
76,28
75,815

Jenis sapi
PO
PFH
37,19
36,37
49,51
49,58
57,86
58,42
67,33
68,29
71,67
72,7
74,99
75,96
75,35
76,28

Bahan pakan
Bungkil Kedelai
c (per jam)
0,109
1,195
0,652

DT (%)
34,69
35,69
35,19

Jenis sapi
PO
PFH
34,69
35,69
44,39
83,77
52,2
88,17
63,52
88,62
70,84
88,62
80,61
88,62
83,96
88,62

47

a+b (%)
84,23
88,62
86,425

Degradasi Bahan Kering


Jenis Sapi
PO
PFH
Rerata

a (%)
25,14
23,89
24,515

b (%)
31,16
33,72
32,44
Waktu
0
2
4
8
12
24
48

Jenis Sapi
PO
PFH
Rerata

a (%)
31,58
33,79
32,685

b (%)
24,70
26,45
25,575
Waktu
0
2
4
8
12
24
48

Bahan pakan
Tepung ikan
c (per jam)
0,021
0,041
0,031

DT (%)
8,078519
27,37663
17,72758

a+b (%)
56,30
57,61
56,955

Jenis sapi
PO
PFH
25,14
23,89
26,42
26,54
27,65
28,99
29,96
33,32
32,08
36,99
37,47
45
44,93
52,9
Bahan pakan
Dedak padi
c (per jam)
0,086
0,092
0,089

DT (%)
31,58
33,79
32,685

Jenis sapi
PO
PFH
31,58
33,79
35,48
38,24
38,76
41,93
43,87
47,57
47,48
51,47
53,14
57,33
55,88
59,92

48

a+b (%)
56,28
60,24
58,26

Jenis Sapi
PO
PFH
Rerata

a (%)
35,82
36,73
36,275

b (%)
40,5
39,48
39,99

Waktu
0
2
4
8
12
24
48

Jenis Sapi
PO
PFH
Rerata

a (%)
33,113
30,04
31,5765

b (%)
59,31
58,45
58,88

Waktu
0
2
4
8
12
24
48

Bahan pakan
Pollard
c (per jam)
DT (%)
0,232
35,82
0,197
36,73
0,2145
36,275

a+b (%)
76,32
76,21
76,265

Jenis sapi
PO
PFH
35,82
36,73
50,85
49,59
60,31
58,26
69,99
68,04
73,82
72,5
76,16
75,86
76,32
76,2
Bahan pakan
Bungkil kedelai
c (per jam)
DT (%)
0,189
33,11
0,183
30,04
0,186
31,5765
Jenis sapi
PO
PFH
33,113
30,04
51,78
47,95
64,57
60,38
79,35
74,97
86,28
81,99
91,79
87,77
92,42
88,48

49

a+b (%)
92,423
88,49
90,4565

50

Anda mungkin juga menyukai