Anda di halaman 1dari 8

CERPEN

JUDUL

: SULAP-SULAP KAKI

KARYA

: YOLLA MIRANDA

SEKOLAH : SMA NEGERI 2 KUNINGAN

SULAP-SULAP KAKI
Kunfayakun. Maka terjadilah. Sayang, hanya berlaku untuk Tuhan. Kalau
saja dia bisa, cukup dengan memutar telunjuk sembari menatap sinis, tentu akan
menyenangkan melakukan sulap seperti itu. Dia bisa sulap? Harusnya begitu. Tapi
telunjuknya terlalu biasa dengan kuku yang tidak rata dan titik-titik hitam di
sudutnya, menjijikan. Dia tahu sulap? Tentu tahu, tapi dia tidak tahu bagaimana
caranya menjalankan sulap itu, apa mengucap mantra lalu memutar jari, ataukah
memutar jari lalu berkonsentrasi? Dia punya buku sulap, namun tak berguna.
Tahap pertama yang harus dilakukan berdasarkan buku itu adalah berpikir keras,
sedangkan dia saja tidak paham apa yang harus dipikirkan.
Petang tidak diam. Semua benda tidak bisu jika ada yang menggerakan.
Jika penggerak itu diam, tentu benda akan diam. Sekarang dia diam di sudut teras
sana, entah menunggu apa. Dia menunggu sesuatu yang bergerak. Kucing?
Bukan, karena sedari tadi dia menghiraukan kucing kampung yang bergelayut
manja di kakinya. Lagipula kucing bukan benda selama ia belum diberi air keras.
Jadi, siapa pun jangan berpikir dia sedang menunggu seseorang atau suatu
makhluk. Sebuah benda yang dicarinya, yang mungkin hanya akan datang jika dia
sudah lihai bermain sulap.
Kau lihat, kan. Aku bahkan sangat payah melakukan sulap.
Perempuan itu terkekeh. Kepangannya yang mirip lilitan limbubu itu
bergentoyongan. Kurasa kau lebih payah dari apa yang kau katakan.
Maksudmu?
Tau sulap saja tidak. Bagaimana bisa kau melakukannya?
Kau yang payah, Nona! giginya sedikit menggertak, tapi sungguh tidak
terlihat menyeramkan untuk ukuran kepala gundul yang bersua.
Kenapa aku? Aku tidak sedang berpikir tentang sulap, kan?
Aku belum selesai bicara. Sulap Tuhan yang kumaksud.
Perempuan itu tertawa. Lesung pipinya terlihat jelas, tapi tidak cukup
mempesona, karena dia memiliki jahitan kecil di sudut bibirnya.
Sampai kapan kita akan menunggu? Ini sudah petang, Kaisar.
Aku tau.

Lalu?
Kalau kau ingin pulang, pulang saja! matanya terbelalak, keringat turun
perlahan dari dahinya yang bersih.
Aku takut lewat jembatan itu.
Sebab karena aku pun takut, aku harus menunggu sepatu itu kembali.
Si rambut helix hanya terdiam. Tidak mungkin menunggu sepatu,
kecuali.... Ya, kecuali Tuhan bermain sulap.
Dia masih betah menunggu sepatunya tiba, sepatu hitam bertali dengan
beberapa jahitan sol di bagian dalamnya. Bukan karena harganya yang langka atau
suatu kenangan yang terkandung di dalamnya, tapi satu alasan yang tidak akan
dimengerti orang. Ia takut melewati jembatan tanpa sepatu. Konyol sepertinya.
Tapi sungguh mereka sedang tidak membuat suatu lelucon. Jika saja ada orang
yang ingin mencari tahu, mereka akan memberikannya. Di bawah jembatan itu
bukan sungai atau sekadar kolam yang berisi ikan lele. Di sanalah neraka dunia,
kalau saja ada yang mau merasakan panasnya. Setiap saat ketika melewati
jembatan itu, letupan lumpur akan meraih-raih. Percikan lumpur seakan bergulat
dengan udara yang hendak menyentuh kaki mereka. Telapak kaki yang telanjang
adalah sasaran utamanya. Lumpur itu ingin membuat mereka melepuh, setidaknya
berteriak di atas jembatan. Percikannya mungkin tidak akan pernah sampai ke atas
lutut. Tapi jangankan lutut, telapak kaki pun rasanya sudah mati rasa jika ia
berhasil menggoda mereka. Sekarang, sungguhkan naif jika dia menunggu
sepatunya tiba?
Semua siswa tidak akan kembali lagi ke sekolah untuk hari ini. Jadi
kurasa tidak mungkin.
Mereka akan kembali untuk beribadah di masjid. Kau tahu sendiri hanya
sekolah ini yang punya masjid.
Mereka bisa shalat di rumah.
Pasti ada yang kemari. Satu atau dua orang.
Dan mereka belum tentu membawa sepatumu.
Memang belum tentu, tapi mungkin ada yang mengenakannya.

Perempuan itu hanya menghela napas sambil membiarkan angin


memainkan helaian rambutnya yang tidak terpatri. Sementara dia terkapar lemas
dengan kepala beralaskan kardus.
Kata-katanya memang tidak diragukan, meskipun dia hanya berharap
sulap yang akan Tuhan lakukan, tapi nyatanya memang benar, satu, dua, tiga,
empat, lima, enam orang masuk ke dalam masjid dengan sepatu dan sandal yang
beragam. Dia tidak memerhatikannya, bahkan lebih memilih tidur daripada
mencari-cari sepatu yang ia perkirakan.
Kaisar, kau tidak tergiur untuk memeriksa sepatu-sepatu itu, hah?
Perutnya kembang kempis. Sungguh dia tidak mendengar perkataan
perempuan itu.
Kaisar, kalau kau tidak menghiraukanku. Aku akan pulang bersama
mereka.
Dia beringsut secepat kilat, seperti ada lumpur panas yang menggoda
telinganya.
Apa mereka sudah berada di dalam?
Ya, tentu saja.
Lihat sepatu-sepatu yang mereka gunakan. Adakah yang mirip dengan
sepatuku? dia menyodorkan sepatunya yang tidak sepasang.
Perempuan itu mencari-cari dengan rok yang terkibas-kibas angin. Lampu
redup cukup membuat permainan ini terasa lebih menantang. Semua sepatu
berwarna hitam dan bertali, hanya ada satu orang yang mengenakan sandal teplek.
Kau lihat itu, Nona! Itu pasangan sepatuku! dia mendorong
punggungnya, hampiir saja tubuh mungil dan kepangannya tersungkur ke jalan.
Tidak mungkin ini sepatumu, Kaisar. Dia punya pasangannya.
Itu bukan pasangannya. Sebelahnya itu milikku. Kau cium saja baunya!
Bibir dengan bekas jahitan di sudutnya itu mendadak terdiam. Dia hanya
menelan ludah sembari menggerak-gerakan bibirnya. Tidak. Kau saja yang
mencium!
Kau tidak akan pernah percaya padaku kalau aku yang menciumnya.
Ayolah, kau buktikan sendiri agar kau tidak terus menerus menuduhku.

Sepertinya ada yang berpikir keras, lebih keras dari aksi sebelum melewati
jembatan itu.
Aku akan percaya, Kaisar.
Dia terkekeh, rasa kemenangan begitu terpancar dari senyumnya yang
sumringah.
Lihat, bahkan ukurannya sangat pas di kakiku. Tidak diragukan lagi. Ini
memang pasangan sepatuku yang hilang. Orang ini pasti telah mencurinya saat
jam istirahat.
Perempuannya hanya menggeleng. Dia berjinjit, melihat ke arah dalam,
berharap orang-orang itu belum selesai dengan aktivitasnya.
Kau kenal si pemilik sepatu ini?
Perempuannya menggeleng. Tidak jelas wajah yang datang. Lampunya
redup, lagipula sepertinya mereka tidak melihatmu juga, karena kau tidur di
belakangku.
Dia hanya mengangguk-angguk.
Kita harus pulang sekarang, Kaisar. Sebelum mereka datang dan
tersadar.
Hei, aku bukan pencuri, Nona!
*
Puluhan siswa dan guru tertatih-tatih. Satu telapak kakinya diperban tebal.
Wajah mereka muram. Tak satu pun dari mereka yang menjadi korban berbicara
dengan sesamanya. Kaki mereka sekarang seperti ukuran telapak kaki gajah. Bau
luka bakar dan nanah yang sangat menyengat. Pasti ada satu yang mereka lupakan
ketika melewati jembatan; sepatu.
Mereka rasanya enggan untuk belajar, tapi tidak dengan mengajar.
Meskipun dia berpikir pasti setengah hati. Siapa yang tahu kalau luka bakar dari
lumpur panas itu dapat bertahan hingga menahun? Bahkan jauh lebih parah jika
mereka mengenakan perban seperti itu, karena lukanya tertutup. Ya, mungkin
karena mereka malu dengan wujud dan bau yang tak tertahankan dari semburan
lumpur panas. Mau bagaimana lagi selain menutupi dan bersabar hingga Tuhan
kembali memainkan sulapnya.
Kau tidak mengenakan sepatu saat lewat jembatan itu?

Lelaki berkumis tipis dengan dagunya yang tirus itu menggeleng. Sebelah
sepatuku hilang saat petang. Kupikir bisa melewati jembatan dengan satu sepatu.
Dia menelan ludah seketika. Wajahnnya yang tenang mendadak berubah.
Matanya yang sipit, membesar hanya dalam beberapa detik saja. Kakinya ingin
berlari. Jika Tuhan mau memainkan sulap, dia ingin meminta untuk menghapus
pertanyaannya tadi.
Hari ini sepatu lebih berharga daripada uang sekali pun.
Lelaki itu hanya mengangguk dengan suara rintihan yang nampak
disembunyikan. Dia berhasil kabur dengan pernyataan yang sangat memukau,
mengelabuinya dengan stigma yang tidak akan pernah ditebak oleh siapa pun. Dia
tengah merasa sebagai pencuri, kecuali jika Tuhan memainkan sulap untuk
perasaannya.
Kau mau shalat, Kaisar? lelaki paruh baya dengan kaki kanannya yang
diperban menepuk pundaknya saat berlari.
Eh, emm, eh, e, hmmm.
Kau dikejar setan?
Tidak ada setan yang mengejar di siang bolong seperti ini, Pak.
Korban lumpur yang juga pengajar itu mengangguk. Dia menatapnya ragu.
Yakin kau mau shalat?
Tentu saja.
Kenapa kau tidak menanggalkan sepatumu?
Aku shalat dengan sepatu ini saja.
Loh?
Ingin rasanya dia menutup hidung karena bau nanah dan luka bakar dari
kaki pengajar itu. Telapak kaki Bapak tidak akan pernah terkena lumpur kalau
saja Bapak tahu hal ini.
Lelaki dengan sebagian telapak kakinya yang besar itu menggeleng. Apa
kau lebih mementingkan sepatu daripada kesempurnaan shalatmu?
Dia mulai terdiam. Bau luka semakin tidak tertahankan. Nanah mulai
mengucur dari perban yang dikenakan lelaki itu, semakin menjijikkan.
Aku tidak kuat berdebat! dia menanggalkan sepatunya dan bergegas lari
ke sudut kamar mandi, untuk muntah dan bergidik.

*
Kau lihat sepatuku tidak?
Kau lihat sepatuku tidak?
Kau lihat sepatuku tidak?
Jangan sembrono, Kaisar. Kau yang bilang sendiri bahwa sepatu lebih
penting daripada uang.
Tapi kau lihat sepatuku?
Lain kali memang perlu membuat lem kaki.
Siapa yang memakai sepatuku? Kenapa hanya ada sebelah?
Nanti sebaiknya kau bawa masuk sepatumu ke dalam.
Kau, ya, yang memakai sepatuku?
Kalau kau butuh perban, datang saja ke rumahku.
Aku tidak mau kakiku melepuh!
Tapi pasti melepuh kalau tidak pakai sepatu!
Aku tidak mau!!!
Kaisar?
Matanya memicing, tajam. Lelaki itu datang lagi dengan rambut yang
basah.
Pak, sepatu saya sebelahnya lagi hilang! Coba kalau Bapak tidak
memaksa saya untuk melepas sepatu! dadanya naik turun, tapi pengajar itu
begitu santai dengan senyum yang mengembang.
Maafkan saya, Kaisar. Sungguh, tak ada maksud untuk membuat telapak
kakimu terluka.
Dia terdiam. Tangannya sudah mengepal. Bau busuk itu muncul lagi.
Hatinya berdesir, pasti dia akan mengalaminya.
Kau pakai saja sepatu yang tinggal sebelah. Mungkin akan jauh lebih baik
jika hanya satu orang yang terluka daripada harus ada dua korban, lelaki
berkacamata itu menyodorkan sepatu hitam.
Sebaiknya memang Bapak menganjurkan siswa untuk mengenakan lem
kaki, dia melengos pergi dengan wajah merah dan kepala berasap.
*
Kaisar, kau sudah tau, kan, kedua kaki Pak Marno diamputasi?

Dia memainkan pulpennya. Hanya angin lalu perempuannya berkata


demikian.
Kau sudah tau, kan, kalau sepatu yang dulu kau ambil sewaktu petang itu
ternyata sepatu beliau?
Hampir saja dia tercekat. Napasnya seperti terhenti. Kakinya gemetar.
Kau, kau, kau mengada-ada, Nona!
Sungguh, Kaisar. Aku sendiri yang menanyakannya.
Kau tau, Kaisar? Kakinya tenggelam di lumpur, karena begitu panasnya
berjalan di atas jembatan tanpa sepasang sepatu.
Kau tau, Kaisar? Orang-orang mengerumuninya kemarin sore.
Kau tau, Kaisar? Media massa meliputnya habis-habisan.
Kau tau, Kaisar? Berita ini begitu hangat

diperbincangkan di

mancanegara.
Kau tau, Kaisar? Dia korban terparah selama ini.
Kau tau, Nona? Kedua sepatu ini adalah sepatunya.
***

Anda mungkin juga menyukai