masih kurang dalam hal teknologi pengolahan. Untuk membuat biofuel dari
limbah organik, setidaknya Indonesia harus memiliki peralatan canggih seperti
mesin pembakaran diesel, ruang fermentasi, dan alat ekstraksi. Ekstraksi
merupakan sistem pemisahan zat yang terkenal sangat mahal dibandingkan alat
adsorbsi, distilasi, maupun azeotrops. Sistem ekstraksi untuk menghasilkan
biofuel tidak dapat ditawar lagi, karena hanya melalui sistem inilah pemisahan
lipid pada limbah organik dapat dilakukan.
Solusi yang ditawarkan
Sumber biofuel lainnya yang sudah ditemukan adalah dengan
menggunakan alga. Alga, terutama mikroalga uniseluler sebetulnya telah lama
diketahui memiliki potensi bagi produksi bahan bakar nabati. Mikroalga memiliki
potensi untuk menghasilkan biomasa dan minyak dalam jumlah signifikan yang
dapat dikonversi menjadi biofuel. Produktivitas biomasanya lebih tinggi daripada
tanaman lain. Untuk berkembangbiak, alga membutuhkan asupan CO 2, sehingga
alga dapat mereduksi karbon dioksida yang ada di dunia, selain itu dia memiliki
kemampuan dalam pembakaran sempurna.
Alga termasuk makhluk hidup yang mudah berkembang biak, sekalipun
dalam kondisi di bawah normal, sebab jenis alga yang begitu variatif memiliki
banyak karakteristik di berbagai kondisi. Sebenarnya, mikroalga dapat digunakan
langsung atau diproses menjadi bahan bakar cair dan gas dengan menggunakan
proses konversi biokimia dan termokimia. Metode konversi yang saat ini
digunakan di Amerika, Australia, Jepang, dan Jerman meliputi gasifikasi, pirolisis,
hidrogenasi, dan liquefaksi. Tentu saja, dalam metode tersebut terdapat sistem
kerja ekstraksi yang memisahkan padatan dan minyak. Tahapan pembuatan
biofuel alga yang begitu rumit dan mahal inilah yang memutuskan berbagai
negara berkembang, termasuk Indonesia untuk tidak menerapkannya. Padahal
secara geografis, Indonesia yang 75% adalah lautan memiliki potensi besar dalam
perkembangbiakan alga.
Penggunaan biofuel bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Caranya
adalah dengan menekan biaya operasional dan mencari alternatif teknologi
pengolahannya, namun tetap mempertahankan keefektifan biofuel tersebut. Untuk
bisa menemukan sistem dan teknologi terbaik dalam pengolahan biofuel, kita
harus mengetahui prinsip dasarnya dan mengaitkannya ke teori-teori yang telah
ada. Harus dimaklumi bahwa Indonesia belum sanggup membeli peralatan yang
mahal. Bukan sekadar itu, peralatan yang mahal dengan teknologi tinggi biasanya
berbanding lurus dengan kerja operasionalnya yang membutuhkan sumber daya
manusia yang berkualitas. Tidak mungkin jika Indonesia harus terus menerus
mengandalkan tenaga luar negeri.
Biofuel dari alga merupakan potensi terbesar yang sangat berpeluang di
Indonesia. Selain alga hidup secara alami di perairan baik itu laut maupun tawar,
alga dapat hidup secara buatan. Benih alga dapat tumbuh dan berkembang biak di
sebuah kolam buatan asalkan terdapat karbon dioksida (CO2), air, dan cahaya
matahari yang cukup. Kolam buatan dapat terbuka atau tertutup, namun lebih
disarankan untuk membuat kolam tertutup agar tidak ada mikroba atau zat-zat lain
yang masuk ke dalam kolam. 100 hektar alga dapat menghasilkan 10 juta barel
atau sekitar 1192,4 juta liter biofuel secara bersih setiap tahunnya. Hal ini setara
dengan 119.240 liter biofuel per satu meter persegi alga setiap tahunnya. Betapa
kayanya Indonesia jika sungguh-sungguh menerapkan alga sebagai biofuel. Hasil
ekstraksi alga dapat dijadikan biofuel, dan ampasnya dapat dijadikan bahan baku
kosmetik. Sungguh sangat menguntungkan jika mengembangkan alga dalam
jangka waktu yang lama.
Pengambilan minyak dari alga masih merupakan proses yang mahal
sehingga masih harus dipertimbangkan untuk menggunakan alga sebagai sumber
biodiesel. Terdapat beberapa metode terkenal untuk mengambil minyak dari alga,
antara lain:
1. Pengepresan (Expeller/Press)
Pada metode ini alga yang sudah siap panen dipanaskan dulu untuk
menghilangkan air yang masih terkandung di dalamnya. Kemudian alga
dipres dengan alat pengepres untuk mengekstraksi minyak yang
terkandung dalam alga. Dengan menggunakan alat pengepres ini, dapat
diekstrasi sekitar 70 75% minyak yang terkandung dalam alga.
2. Hexane solvent oil extraction
Minyak dari alga dapat diambil dengan menggunakan larutan kimia,
misalnya dengan menggunakan benzena dan eter. Namum begitu,
penggunaan larutan kimia heksana lebih banyak digunakan sebab
harganya yang tidak terlalu mahal.
3. Larutan heksana
Larutan ini dapat digunakan langsung untuk mengekstaksi minyak dari
alga atau dikombinasikan dengan alat pengepres. Cara kerjanya sebagai
berikut:
Setelah minyak berhasil dikeluarkan dari alga dengan
menggunakan alat
Pengepres, kemudian ampas (pulp) alga dicampur dengan
larutan cyclo-hexane untuk mengambil sisa minyak alga. Proses
selanjutnya, ampas alga disaring dari larutan yang berisi
minyak dan cyclo-hexane. Untuk memisahkan minyak dan
cyclo-hexane dapat dilakukan proses distilasi. Kombinasi
metode pengepresan dan larutan kimia dapat mengekstraksi
lebih dari 95% minyak yang terkandung dalam alga.
Sebagai catatan, penggunaan larutan kimia untuk
mengekstraksi minyak dari tumbuhan sangat beresiko.
Misalnya larutan benzena dapat menyebabkan penyakit kanker,
dan beberapa larutan kimia juga mudah meledak.
4. Supercritical Fluid Extraction
Pada metode ini, CO2 dicairkan dibawah tekanan normal kemudian
dipanaskan sampai mencapai titik kesetimbangan antara fase cair dan
gas. Pencairan fluida inilah yang bertindak sebagai larutan yang akan
mengekstraksi minyak dari alga.
Metode ini dapat mengekstraksi hampir 100% minyak yang terkandung
dalam alga. Namun begitu, metode ini memerlukan peralatan khusus
untuk penahanan tekanan.
5. Osmotic Shock
I
I0
TI =10 log
26 10
1012
n=10,6 11 unit
Kominfo
dapat
bekerja
sama
dengan
BBTE
dalam
mengimplementasikan gagasan ini. CUP dapat dibuat oleh Kominfo
sehingga menjadi perangkat lunak yang sesuai kriteria dalam ekstraksi
biofuel alga.
3. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
LIPI memiliki banyak staf di dalamnya, termasuk staf teknologi, energi
terbarukan, serta teknologi informasi dan komunikasi. Ketiga staf itu
bisa saling bekerjasama untuk meneliti hasil keefektifan dari sistem
ekstraksi biofuel alga berbasis CUP ini. Jika berdasarkan penelitian
masih kurang efektif, maka BBTE beserta Keminfo dapat mengkaji
ulang sistem yang dibuat. Namun jika sudah efektif, maka LIPI dapat
membantu mensosialisasikannya kepada masyarakat.
4. Peneliti
Sistem ekstraksi ini tidak hanya dapat dilakukan oleh suatu badan atau
organisasi. Peneliti secara perorangan atau kelompok dapat membantu
membuat sistem ekstraksi ini menjadi lebih efektif dengan hasil
maksimum sehingga tidak akan bermasalah jika diterapkan ke
masyarakat.
5. Pemerintah
Semua penelitian yang dilakukan dengan dasar menyangkut hajat hidup
orang banyak tentu sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam
membiayainya. Pemerintah harus membantu peneliti yang tidak
bernaung di bawah suatu badan atau organisasi dengan memberikan
bantuan alat-alat kebutuhan penelitian.
Langkah-langkah Strategis Implementasi Gagasan
Rincian mekanisme kerja sistem ekstraksi biofuel alga berbasis CUP ini
adalah:
1. Mengembangbiakkan alga dalam kolam atau akuarium terbuka agar
asupan CO2 dan cahaya matahari dapat dengan mudah masuk. Namun
lingkungan sekitar harus bersih agar perkembangbiakkan alga tidak
terganggu akibat adanya zat atau makhluk hidup lain yang masuk.
2. Installasi perangkat lunak ultrasonik ke komputer dan menyiapkan
speaker aktif untuk memancarkan gelombang ultrasonik. Atur CUP
tersebut pada frekuensi 28 kHz.
3. Penyimpanan speaker di kolam atau akuarium alga harus sesuai
perhitungan fisika. Ingat bahwa mikroalga dapat pecah jika terkena
taraf intensitas 180 dB. Kita dapat menghitung batas jarak yang harus
dilakukan agar efektif. Speaker yang tersedia di pasaran rata-rata
memiliki daya 100 Watt. Maka:
I
TI =10 log
I0
180=10 log
I
12
10
I =10
I=
W
m2
P
4 r2
102
10 =
4 r2
6
r=2,821 103 m
4.
5.
6.
7.
8.
KESIMPULAN
Gagasan yang diajukan
Penelitian mengenai potensi alga menjadi biofuel memang sudah lama
dilakukan. Permasalahannya adalah mahalnya biaya operasional dalam ekstraksi
alga. Hal tersebut melandasi penulis untuk mengajukan suatu solusi ekstraksi alga
yang lebih murah dan mudah, yaitu dengan menggunakan Computer Ultrasonic
Program (CUP). Secara teori, lipid dalam alga dapat pecah jika ada gelombang
utrasonik. BBTE pernah melakukan uji coba dengan gelombang ultrasonik,
namun masih menggunakan perangkat yang mahal, yaitu ultrasonic cleaner.
Padahal gelombang ultrasonik dapat dibuat dengan program komputer yang bisa
menghasilkan gelombang sesuai kriteria pemecahan lipid, yaitu 28 kHz dan 180
10
Technology.
2010.
Algae
to
Biofuels-The
Process.
http://algatec.com.au/commersialisation-of-algae/. 28 Oktober 2013.
Ceko, Necektwo. 2013. Software Ultrasonik Pengusir Tikus, Nyamuk dan Kawan
Kawan. http://dasar-elektro.bblogspot.com/2013-03-software-ultrasonikpengusir-nyamuk-dan-kawan-kawan. 04 November 2013.
Demirbas, Ayhan, et al. 2012. Algae Energy: Algae as a New Source of Biodiesel.
Springer. New York.
11
: Yolla Miranda
: 1306414841
: Teknik Kimia/Teknik/2013
: Kuningan, 22 Oktober 1995
: Universitas Indonesia
: 085797234031
: Jalan Anggrek 4 No.62 Perumnas Kuningan
Jawa Barat 45514
: SMA Negeri 2 Kuningan
: yollamiranda@gmail.com