Anda di halaman 1dari 35

Presentasi Kasus Farmasi

TYPHUS ABDOMINALIS

Oleh :
BRA Isabela Ratu Windriya
G99141102

KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut usus halus yang
disebabkan infeksi Salmonella typhi. Organisme ini masuk melalui makanan dan
minuman yang sudah terkontaminasi oleh feses dan urin dari orang yang
terinfeksi kuman salmonella. Tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever,
typhus dan para typhus abdominalis (Mansjoer et al, 2000).
Saat ini demam tifoid masih berstatus endemik di banyak wilayah di Asia,
Afrika, dan Amerika Selatan, dimana sanitasi air dan pengolahan limbah kotoran
tidak memadai. Sementara, kasus tifoid yang ditemukan di negara maju saat ini
biasanya akibat terinfeksi saat melakukan perjalanan ke negara-negara dengan
endemik tifoid. Pada area-area endemik, kejadian demam tifoid paling tinggi
terjadi pada anak-anak usia 5 sampai 19 tahun, pada beberapa kondisi tifoid secara
signifikan menyebabkan kesakitan pada usia antara 1 hingga 5 tahun. Pada anak
usia lebih muda dari setahun, penyakit ini biasanya lebih parah dan berhubungan
dengan komplikasi yang umumnya terjadi.3 Diseluruh dunia diperkirakan antara
1616,6 juta kasus baru demam tifoid ditemukan dan 600.000 diantaranya
meninggal dunia. Di Asia diperkirakan sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya.
Suatu laporan di Indonesia diperoleh sekitar 310 800 per 100.000 sehingga
setiap tahun didapatkan antara 620.000 1.600.000 kasus. Demam tifoid di
Indonesia masih merupakan penyakit endemik, mulai dari usia balita, anak-anak
dan dewasa. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak
perempuan lebih sering terserang. Peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia
dibawah 5 tahun (Widodo, 2006).
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik
hingga gambaran penyakit khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada
minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
2

nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat (38.8-40.50C). Sifat demam adalah meningkat perlahan-perlahan dan
terutama sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi
lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput (lidah kotor),
hepatomegali, splenomegali, meterioismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. Gejala-gejala lain berupa tubuh menggigil,
batuk, sakit tenggorokan. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia
(Sudoyo et al, 2007).
Perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit demam tifoid
bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit,
mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali.
Pengobatan penyakit tifus dilakukan dengan jalan mengisolasi penderita dan
melakukan desinfeksi pakaian, feses dan urin untuk mencegah penularan.
Pengobatan penderita Demam tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan
suportif meliputi istirahat, diet, dan medikamentosa. Istirahat bertujuan untuk
mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring
absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole,
dan ciprofloxacin sering digunakan untuk merawat demam tifoid di negara-negara
barat. Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu
sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak
terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang
melakukan perjalanan ke daerah endemik (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin) (Mansjoer et al, 2000).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Typhus abdominalis adalah suatu penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi (Zulkarnain et al, 2001).
Sedangkan menurut Gerald T. Keush typhus abdominalis adalah suatu infeksi
demam sistemik akut yang nyata pada fagosit mononuclear dan
membutuhakan tatanama yang terpisah (Keusch, 1999).
Salmonella typhi merupakan bakteri yang berasal dari family
Enterobactericeae, genus Salmonellae, species Enteritica, dan subspecies
Typhimurium. Nama lengkapnya adalah Salmonella enteritica subsp.
Typhimurium atau Salmonella typhi untuk singkatnya. Ia merupakan basil
gram negative yang tidak membentuk spora, bersifat anaerob fakultatif, serta
memfermentasi glukosa, maltose, dan manitol pada uji peragian gula-gula. Ia
tidak membentuk gas tetapi menghasilkan asam jika ditanam pada media
TSIA (Triple Sugar Iron Agar). Bakteri ini berukuran 2-3 x 0,4-0,6m, dan
bergerak dengan flagel peritrikh, sehingga jika ditanam pada media MIO
(Motility Indol Ornithin) akan menghasilkan turbiditas dibagian atasnya
(Zulkarnain et al, 2001).
B. EPIDEMIOLOGI
Typhus abdominalis termasuk penyakit menular yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun tercantum
dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap
belum ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui secara pasti.
Diasia tenggara, ada lebih dari 100 kasus per 100.000 penduduk tiap
tahunnya. Daerah yang lebih sering terdapat kasus ini atau yang merupakan
daerah endemik adalah daerah yang sanitasinya kurang dan air bersih sulit
4

didapat. Penyakit ini lebih sering diderita oleh anak-anak (balita atau bayi)
dan remaja, dengan predisposisi kepada pria. Negara-negara dimana penyakit
ini menjadi penyakit endemik adalah Negara-negara di afrika, asia selatan,
dan asia tenggara, terutama India.
Di Indonesia, jarang dijumpai secara epidemic, tapi lebih sering bersifat
sporadic, terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari
satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat
ditemukan. Ada 2 sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan
tifoid dan carrier.
Di daerah endemic, tranmisi terjadi melalui air yang tercemar dan
makanan yang tercemar oleh carrier yang merupakan sumber penularan yang
paling sering di daerah non endemic (Mansjoer et al, 2000).
C. ETIOLOGI
Salmonella adalah basil gram negative, tidak berkapsul, hampir selalu
motil dengan menggunakan flagella peritrikosa, yang menimbulkan dua atau
lebih bentuk antigen H. Kuman ini meragikan glukosa, sehingga terbentuk
dasar asam dan cekungan basa pada agar beri gula tripel ( TSI ). Umumnya
menghasilkan H2S yang dapat terdeteksi sebagai produk reaksi hitam dan
berfungsi awal untuk membedakan isolate dari Shigella, yang juga
menimbulkan reaksi TSI basa / asam. Salmonella typhi penyebab utama
demam tifoid atau typhus abdominalis. Beberapa salmonella sangat mudah
beradaptasi pada manusia seperti S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B.
sementara sebagian besar spesies beradaptasi pada hewan dan tidak
menyebabkan kesakitan pada manusia. Yang lain menginfeksi baik manusia
dan hewan tingkat rendah, sehingga menyebabkan gastroenteritis atau yang
lebih jarang infeksi terlokalisir, atau septikemik (Keusch, 1999).
D. PATOFISIOLOGI
Kuman S. typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan
dan air tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan asam lambung. Sebagian lagi
5

masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Payeri di ileum
terminalis yang hipertropi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
intestinal dapat terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia
masuk aliran limfe mesenterial, dan mencapai kelenjar limfe mesenterial,
yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini,
S.typhi masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi
lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S.typhi bersarang di
plaque Payeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial.
Semua disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid
disebabkan endotoksemia. Tapi kemudian berdasar penelitian eksperimental
disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam
dan gejala-gejala toksemia pada typhus abdominalis. Endotoksin S.typhi
berperan pada patogenesis, karena membantu terjadinya proses inflamasi
local pada jaringan tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid
disebabkan karena S.typhi dan endotoksinya merangsang sintesis dan
penglepasan zat pirogen olek leucosis pada jaringan yang meradang (Juwono,
1999).

E. MANIFESTASI KLINIS
Sindrom klasik penyakit ini adalah demam selama rata-rata 7-14hari
(ini dapat berlangsung selama 3-21hari) dengan panas setinggi 38,8o-40,5oC.
selama seminggu pertama, demam ini akan berlangsung dengan pola seperti
anak tangga, yang akan semakin lama akan semakin panas, dan turun pada
pagi hari berikutnya. Setelah itu akan diikuti dengan munculnya gejala-gejala
saluran cerna, seperti nyeri abdomen yang diffusa, nyeri tekan abdomen yang
diffusa, atau nyeri kolik berat pada kuadran kanan atas. Nyeri ini disebabkan
oleh peradangan pada plak pyeri di daerah ileum distal. Gejala-gejala yang
berikutnya dapat timbul adalah batuk kering, coated tongue (typhoid tongue),
nyeri tenggorokan, nyeri tumpul pada kepala bagian frontal, delirium, serta
stuporous malaise.
Pada akhir minggu pertama, demamnya akan tetap tinggi atau
memplateau pada suhu 39o-40oC. Lalu akan muncul lesi kulit yang
makulopapuler, berwarna salem pudar diarea batang tubuh, terutama diantara
thorax dan abdomen. Diameter lesi ini adalah 1-4cm, dengan jumlah <5buah
perkelompok, yang akan muncul 10-20 kelompok dan akan sembuh dalam 25 hari. Lesi ini disebut sebagai rose spots atau roseola yang merupakan
emboli bakteri kekulit yang dapat juga muncul pada shigellosis dan
salmonellosis nontyphoidal.
Pada minggu kedua, gejala-gejala pada minggu pertama akan memberat
dan akan muncul gejala-gejala tambahan lain seperti, distensi abdomen, soft
splenomegali, mual dan muntah, myalgia, arthralgia, diare yang berwarna dan
konsistensinya seperti pea soup atau konstipasi berat, penurunan berat badan
yang banyak, serta bradikardia relatif atau munculnya dicrotic pulse (double
beat dengan denyut yang kedua lebih lemah).
Pada minggu ketiga akan terjadi penurunan berat badan yang jauh lebih
banyak sehingga pasien terlihat kurus, bakteremia, toksikemia, infeksi
konjunctiva, takipnea dengan denyut nadi yang lemah dan crackles pada basis
paru, distensi abdomen berat, dan pea-soup diarrhea (diare yang berwarna
hijau kekuningan dengan konsistensi cair dan berbau busuk). Pasien dapat
7

masuk dalam status tifoideus dimana pasien terlihat apatis, bingung, psikosis
atau hanya terbaring diranjang dengan mata setengah terbuka dan tidak
bereaksi terhadap apapun. Serta akan mulai muncul, komplikasi-komplikasi
yang berat, seperti perforasi usus, peritonitis, myocarditis, pendarahan
gastrointestinal, dan sebagainya.
Pada minggu keempat, pasien akan mulai masuk ke fase resolusi, dimana
gejala-gejala yang sebelumnya dia derita akan membaik, demamnya akan
menurun dan akan mencapai suhu normal dalam 7-10hari, walaupun masih
ada kemungkinan relapse dua minggu kemudian. Pasien masih akan
mengalami penurunan berat-badan besar-besaran dan kelemahan tubuh yang
berat, serta masih mungkin terjadi komplikasi yang muncul pada fase ini.
Beratnya dan seberapa cepatnya gejala-gejala diatas muncul dan sembuh
tergantung dari sistem pertahanan tubuh pasien itu sendiri. Semakin kuat daya
tahan pasien, semakin sedikit gejala yang ditimbulkan, dan semakin lama
gejala itu muncul.
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda yang dapat ditemukan adalah rose
spots, hepatosplenomegali, epistaksis, dan bradikardia relatif pada puncak
demam (Mansjoer et al, 2000).
F. DIAGNOSIS
Biakan darah positif memastikan typhus abdominalis, tapi biakan darah
negative tidak menyingkirkan typhus abdominalis. Biakan feces positif
menyokong diagnosis klinis typhus abdominalis. Biakan feces ini, 75% positif
pada minggu ketiga.
Diagnosis serologis kurang dapat diandalkan dibandingkan biakan.
Sebagian besar pasien dapat mempunyai antibody terhadap antigen O, H, dan
Vi ( tes widal ). Jika tidak mendapatkan imunisasi yang baru, titer antibody
terhadap antigen O ( > 1/ 640 ) adalah sugestif, tapi tidak spesifik selama
salmonella serogrup.

Peninggian antibody empat kali lipat pada sediaan

berpasangan adalah criteria yang baik, untuk memastikan diagnosis typhus

abdominalis selama 2 sampai 3 minggu (Juwono, 1999). Jadi pemeriksaan


widal dinyatakan positif apabila :

Titer O widal I 1/ 320 atau

Titer O widal II naik 4 kali atau lebih dibandingkan titer O widal I


atau

Titer O widal I ( - ) tapi titer O widal II ( + ) berapapun angkanya

Sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya :

Darah perifer lengkap : leucopenia, limfositosis, aneosinofilia

Biakan empedu : tumbuh koloni Salmonella typhi (Zulkarnain et


al,2001).

G.

DIAGNOSIS BANDING
Malaria, hepatitis, bacterial enteritis, demam dengue, infeski rickettsia
(tifus), leptospirosis, amebic liver disease,

infeksi HIV akut, abses

abdomen, toksoplasmosis, appendisitis, TBC, dan Flu.


H.

TERAPI
1.

Bed rest total, sampai 7 hari bebas panas.


Maksudnya untuk mencegah terjadinya komplikasi yakni perdarahan
usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan kekuatan pasien.

2.

Diet saring TKTP rendah serat, lunak sampai 7 hari


bebas panas lalu ganti bubur kasar , dan setelah 7 hari ganti dengan nasi.
Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi
perdarahan usus / perforasi usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu
diistirahatkan.

3.

Medikamentosa

I.

PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran atau tertular
penyakit ini adalah:
1. Vaksinasi
Ada dua tipe vaksin yang saat ini beredar untuk masyarakat, yaitu:
a. Vaksin Ty21a, yang diberikan pada hari 1, 3, 5, 7, dengan booster tiap 5
tahun. Usia minimum adalah 6 tahun karena vaksin ini merupakan yang
tipe oral live attenuated, yang jika diberikan pada anak yang sistem
pertahanan tubuhnya belum baik, malah akan menyebabkan penyakit.
10

b. Vaksin ViCPS, yang diberikan per IV dalam satu kali suntikan, dengan
booster tiap 2 tahun sekali. Vaksin ini merupakan purified Vi
polisaccharides dari kapsul bakteri. Dan usia minimum pemberian
adalah dua tahun.
2. Untuk mencegah diri sendiri tidak tertular anda harus mencuci tangan
dengan baik dan benar, jangan meminum air mentah, dan jika harus
membeli makanan matang, pilihlah makanan yang panas, serta bersihkan
rumah anda tiap hari.
3. Untuk mencegah penularan ke orang lain, pasien jangan menyentuh atau
mengolah makanan atau minuman, pisahkan barang-barang yang dipakai
pasien, selalu cuci tangan, dan bersihkan rumah tiap hari (Corales, 2004).
J.

PROGNOSIS
Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada
stadium dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya
sedikit penyulit yang terjadi (Mansjoer et al, 2000).

K.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin muncul (dari yang paling sering ke yang paling
jarang) adalah:
1. Pendarahan gastrointestinal (10-20%), Perforasi usus (1-3%), yang paling
sering muncul pada minggu ketiga dan keempat.
2. Gejala neurologis seperti meningitis, Guillain-Barr syndrome, neuritis,
gejala-gejala neuropsikiatrik (delirium dengan mengigau, coma vigil)
dengan menjumput seprei atau selimut dan benda-benda khayalan.
3. Disseminated Intravascular Coagulation, sindrom hematofagositik,
pancreatitis, abses dan granuloma hepatik dan splenik, endocarditis,
pericarditid,

myocarditid,

pyelonefritis,

hemolytic

orchitis,
uremic

hepatitis,

syndrome,

glomerulonefritis,

pneumonia,

arthritis,

osteomyelitis, dan parotitis (Corales, 2004).

11

BAB III
STATUS PASIEN
A.

IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Tn. S

Umur

: 23 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Karanganyar

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Status Perkawinan

: Belum menikah

Pekerjaan

: Mahasiswa

Tanggal Pemeriksaan

: 25 Maret 2015

No RM

: 011365

B.

ANAMNESIS
1.

Keluhan Utama :
Badan panas

2.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan demam yang dirasakan sejak 8 hari
SMRS. Demam muncul tiba-tiba tanpa sebab yang jelas dan sebelumnya
pasien tidak menderita sakit. Pasien mengeluh demam terus-terusan tetapi
kadang hingga menggigil, kadang hanya sumer. Panas hingga menggigil
dialami terutama pada sore menjelang malam hari. Pada pagi hari pasien
merasa panas sedikit berkurang. Pasien minum obat mengandug
paracetamol yang dibeli di warung sebanyak 3 butir selama 2 hari namun
panas hanya turun sekitar 3 jam, kemudian panas naik lagi. Pasien juga
merasa lebih baik dengan pemberian kompres pada tubuhnya. Selain
demam, pasien juga mengeluhkan badan lemas, tidak bertenaga, pusing,
12

nyeri di belakang mata, mulut terasa pahit, tidak nafsu makan dan mual.
Muntah dialami pada hari ke 5, 6 dan 7 demam, sehari 2-3 kali, sekitar 1
gelas belimbing, berupa cairan dan sisa makanan, warna sesuai makanan,
tidak bercampur darah. Bersamaan dengan timbulnya demam, pasien
mengeluhkan perut nyeri di seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan hilang
timbul tidak menentu waktunya, seperti diremas-remas, tidak dipengaruhi
pemberian makanan, mereda dengan dioles minyak kayu putih. Pegalpegal juga dirasakan pasien terutama daerah pinggang. Selama demam,
pasien tidak mengalami kejang, penurunan kesadaran, batuk pilek, nyeri
sendi, ataupun keluar darah. Pasien BAB 2 hari 1 kali selama demam,
konsistensi kadang lunak kadang keras, warna coklat, tidak bercampur
darah ataupun lendir. Pasien BAK lancar warna kuning 5-6 kali sehari
sebanyak 1-1 gelas belimbing , tidak merasa nyeri ataupun sulit.
Dua hari SMRS keluhan dirasakan memberat, oleh keluarga pasien
dibawa ke IGD RSDM.
3.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat penyakit serupa ( - )

Riwayat asma ( - )

Rawayat alergi obat, makanan, udara dingin (- )

Riwayat sakit darah tinggi (-)

Riwayat sakit ginjal sebelumnya(-)

Riwayat sakit gula (-)

Riwayat trauma (-)

4.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa ( - )

Riwayat asma ( - )

Riwayat alergi (-)

Riwayat sakit darah tinggi (-)


13

Riwayat sakit gula (-)

5. Riwayat Kebiasaan

Riwayat merokok (-)

Riwayat minuman keras (-)

Riwayat olah raga : tidak punya jadwal teratur

6. Riwayat Gizi
Sebelum sakit penderita makan teratur 2-3 kali sehari sebanyak 1 porsi
biasa, dengan sayur, lauk pauk tahu, tempe, kadang-kadang memakai
telur dan daging. Dalam sehari penderita minum kurang lebih 8 gelas.
Pasien sehari-hari lebih sering makan dan minum di warung pinggir
jalan. Tetapi semenjak sakit, makan dan minum penderita berkurang
karena penderita merasa mual apabila makan dan minum.
.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah seorang mahasiswa, lajang, tinggal bersama dengan
orang tua dan saudaranya dalam satu rumah. Orangtua penderita bekerja
sebagai Wiraswasta dan penghasilan keduanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.

C.

PEMERIKSAAN FISIK
1.

Keadaan umum

2.

Tanda vital

Tensi

Nadi

: Tampak sakit sedang, compos mentis,


GCS E4/V5/M6, kesan gizi cukup

3.

Frekuensi nafas

Suhu
Status gizi

: 110 /70 mmHg


: 90x/ menit, irama reguler, isi dan
tegangan cukup, equal
: 22x/ menit
: 38,50C
14

Berat Badan
Tinggi Badan

IMT

Kesan
Kulit
: Warna coklat,

4.

: 59 kg
: 166 cm
: 21,4 kg/m2
: normoweight
turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),

kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),


5.
6.

Kepala
Mata

ekimosis (-), uji torniquet (-)


: Bentuk normocephal, rambut mudah rontok (-), luka (-)
: Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya

(+/+), edema

7.

Telinga

palpebra (-/-), strabismus (-/-)


: Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan

8.
9.

Hidung
Mulut

tragus (-)
: Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
: Sianosis (-), gusi berdarah (-), tiphoid tounge (+), papil
lidah atrofi (-), ulserasi (-), stomatitis angularis (-), oral

10.

thrush (-)
: JVP R + 2 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran

Leher

kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonosi cervical (-),


11.

Thorax

leher kaku (-)


: Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan
=

kiri,

retraksi

intercostal

(-),

pernafasan

abdominothorakal, pembesaran kelenjar getah bening


12.

axilla (-/-).
Jantung

Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak

Palpasi
: Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di 1 cm
sebelah medial SIC V linea medioclavicularis
sinistra

Perkusi
:
Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis
-

dekstra
Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah: SIC V 1 cm medial linea
medioklavicularis sinistra
15

Pinggang jantung : SIC III lateral parasternalis sinistra


konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).

13. Pulmo
a.
Depan

Inspeksi
Statis
Dinamis

: Normochest, simetris
: Pengembangan dada simetris kanan =
kiri, ketertinggalan gerak (-), retraksi
intercostal (-)

Palpasi
Statis
Dinamis

: Simetris
: Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba
kanan = kiri

Perkusi
Kanan

: Sonor, redup pada batas relatif paruhepar

pada

SIC

VI

linea

medioclavicularis dextra, pekak pada


-

Kiri

batas absolut paru hepar


: Sonor, sesuai batas paru jantung pada
SIC VI linea medioclavicularis sinistra

Auskultasi
Kanan

: Suara dasar vesikuler normal, suara


tambahan wheezing (-), ronkhi basah

Kiri

kasar (-), ronkhi basah halus (-)


: Suara dasar vesikuler normal, suara
tambahan wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronkhi basah halus (-)

b.

Belakang

Inspeksi
Statis
Dinamis

: Normochest, simetris
: Pengembangan
dada

simetris

kanan=kiri, retraksi intercostal (-)

Palpasi
Statis

: Simetris

16

Dinamis

: Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba


kanan = kiri

Perkusi
Kanan
: Sonor
Kiri
: Sonor
Peranjakan diafragma 4 cm
Auskultasi
Kanan
: Suara dasar vesikuler normal, suara

tambahan wheezing (-), ronkhi basah


-

kasar (-), ronkhi basah halus (-)


: Suara dasar vesikuler normal, suara

Kiri

tambahan wheezing (-), ronkhi basah


kasar (-), ronkhi basah halus (-)
13.

Abdomen

Inspeksi

: Dinding perut sejajar dengan dinding dada, ascites

(-), scar (-), striae (-)


Auskultasi : Bising usus (+) normal, bising epigastrium (-)
Perkusi
: Timpani, liver span 15 cm, a. traube pekak (+)
Palpasi
: Supel, nyeri tekan (-); hepar: teraba pembesaran,
2 jari BACD, konsistensi lunak, tepi tumpul,
permukaan tidak berbenjol-benjol, nyeri tekan
(-), lien tidak teraba

14.

Ekstremitas
Akral

D.

dingin

_
_

_
_

Oedem

PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Pemeriksaan laboratorium darah :
Pemeriksaan
Hb
Hct
AL
AT
AE

MCV
MCH

Hasil
Satuan
HEMATOLOGI RUTIN
14,1
g/dl
39
%
5,0
103 / L
155
103 / L
4,96
103/ L
INDEX ERITROSIT
84

29,5

/um
pg

Rujukan
13,5 17,5
33 45
4,5 11,0
150 450
4,50 5,90

80.0 - 96.0
28.0 - 33.0

17

MCHC

g/dl

33.0 - 36.0

%
%
%
%
%
%

0.00 - 4.00
0.00 - 2.00
55.0-80.0
22.0 - 44.0
0.00 - 7.00
-

mg/dl

60-140

33,6
HITUNG JENIS
1,20
0,70
60,00
35,00
6,60
7,40
KIMIA KLINIK

Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
LUC/AMC
Glukosa Darah
Sewaktu
SGOT
SGPT
Cr
Ur

91

45
u/l
47
u/l
1,0
mg/dl
24
mg/dl
ELEKTROLIT
137
mmol/L
3,8
mmol/L
1,07
mmol/L

Na darah
K darah
Cl Ion

0-35
0-45
0,9-1,3
<50
136 145
3,3 5,1
1.17 1.29

Widal Test
Titer O
S. typhi

1 / 320

S. paratyphi
E.

Titer H

1 / 160

1 / 400
1 / 160

DIAGNOSIS BANDING
Typhus Abdominalis
Demam Dengue
Apendisitis

F.

DIAGNOSIS
Typhus Abdominalis

G.

PENATALAKSANAAN
1.

Non Medikamentosa

Bed rest total sampai 7 hari bebas panas

Diet TKTP lunak, rendah serat

Kompres
18

2.

Medikamentosa

Infuse D5%

Ciprofloxacin 500 mg

Paracetamol 500 mg

Metoklopramid 10 mg

Penulisan Resep :
R /

Infus D5% flab No III


Cum infus set No I
Abocath no 22 No I
Three way

No I

IV 3000

No I

S imm

R/

Ciprofloxacine tab mg 500 No XIV


S 2 dd tab I mane ed vespere

R/

Paracetamol tab mg 500 No XL


S prn (1-3) dd tab I

R/

Metoklopramid tab mg 10 No XL
S prn (1-3) dd tab I

Pro : Tn. S ( 23 th )

19

BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
1. Infus dextrose 5%
Pemberian infus pada kasus ini hanya sebagai cairan pemeliharaan untuk
mencegah dehidrasi dan sebagai tambahan nutrisi (Tjay, 2001).
2. Ciprofloxacine
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan
pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4hari, dan angka
kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2% (Bhan et al, 2005).
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat
membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai
kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain (WHO,
2003).
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone
dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki
efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar
tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin
untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi.Levofloxacin diberikan dengan
dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2
kali sehari masing-masing selama 7 hari (Bhan et al, 2005).
20

Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan


bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan
chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan (Thaver et al, 2009).
Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi (Bhutta, 2006).
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar
pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka
kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan
toksis pada sumsum tulang (Kalra et al, 2003).
Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi
suportif.

Yang

diberikan

antara

lain

cairan

untuk

mengkoreksi

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat


melalui parenteral dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan mudah
dicerna secepat keadaan mengizinkan (Bhan et al, 2005).
Farmakokinetik
Ciprofloxasine diabsorbsi secara cepat dan baik melalui saluran cerna,
biovailabilitas absolut antara 69-86%, kira-kira 16-40% terikat pada protein
plasma

dan

didistribusi

ke

berbagai

jaringan

serta

cairan

tubuh.

Metabolismenya di hati dan dieksresi terutama melalui urin.


Farmakodinamik

Ciprofloxacin merupakan antibiotika golongan fluorokuinolon, bekerja


dengan cara mempengaruhi enzim DNA gyrase bakteri.

Ciprofloxacin merupakan antibiotika untuk bakteri Gram negatif dan Gram


positif yang sensitif.

Bakteri Gram positif yang sensitif: Enterococcus faecallis, Staphylococcus


aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus pyogenes.

Bakteri Gram negatif yang sensitif: Campylobacter jejuni, Citrobacter


diversus, Citrobacter freundii, Enterobacter cloacae, Escherichia coli,
Haemophilus influenzae, Klebsiella pneumoniae, Morganella morganii,
21

Neisseria gonorrhoeae, Proteus mirabilis, Proteus vulgaris, Providencia


rettgery, Providencia Stuartii, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhi,
Serratia marcescens, Shigella flexneri, Shigella sonnei.

22

Indikasi
Untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap
Ciprofloxacin seperti :

Infeksi saluran kemih termasuk prostatitis.

Uretritis dan servisitis gonorrhea.

Infeksi saluran cerna, termasuk demam tifoid yang disebabkan oleh S.


thypi.Infeksi saluran nafas, kecuali pneumonia akibat Streptococcus.

Infeksi kulit dan jaringan lunak.

Infeksi tulang dan sendi.

Kontraindikasi

Penderita yang hipersensitif terhadap Ciprofloxacin atau antibiotika


derivat kuinolon lainnya.

Wanita hamil dan menyusui.

Anak-anak dibawah usia 18 tahun.

Dosis
Dewasa :

Infeksi ringan / sedang saluran kemih : 2 x 250 mg sehari.

Infeksi berat saluran kemih : 2 x 500 mg sehari.

Infeksi ringan / sedang saluran nafas, tulang, sendi, kulit, jaringan lunak :
2 x 250 500 mg sehari.

Infeksi berat saluran nafas, tulang, sendi, kulit, jaringan lunak : 2 x 500
750 mg sehari.

Prostatitis kronis : 2 x 500 mg.

Infeksi saluran cerna : 2 x 500 mg sehari.

Gonorrhoea akut : 250 mg dosis tunggal.

Untuk mencapai kadar yang adekuat pada osteomyelitis akut : dosis tidak
kurang dari 2 x 750 mg sehari.
23

Lama pengobatan tergantung beratnya infeksi, kemajuan klinis dan


bakteriologis. Untuk infeksi akut, lama pengobatan biasanya 5 10 hari.
Pada umumnya pengobatan harus diteruskan sampai minimal 3 hari
setelah gejala klinis hilang.

Dosis pada penggunaan fungsi ginjal : Bila bersihan kreatinin kurang dari
20 ml/menit, maka dosis normal hanya diberikan 1 kali sehari atau jika
diberikan 2 kali sehari, dosis harus dikurangi separuhnya.

Efek Samping

Dari kasus-kasus yang telah dilaporkan, resiko efek samping tendonitis


tidak segera hilang meskipun penggunaan fluorokuinolon dihentikan. Efek
samping pada tendon dapat terjadi sampai beberapa bulan setelah
pengobatan dihentikan.

Efek terhadap saluran cerna : mual, diare, muntah, gangguan pencernaan,


dispepsia, nyeri abdomen, kembung, anoreksia, disfagia. Kalau terjadi
diare berat atau persisten selama atau sesudah pengobatan, segera
konsultasi dengan dokter karena gejala tersebut mungkin menutupi
kelainan yang lebih serius (kolitis pseudomembran) yang memerlukan
tindakan segera. Kalau ini terjadi, pemberian Ciprofloxacin harus segera
dihentikan.

Efek terhadap sistem saraf : pusing, sakit kepala, rasa letih, insomnia,
agitasi, tremor ; sangat jarang, paralgesia perifer, berkeringat, kejang,
anxietas, mimpi buruk, konfusi, depresi, halusinasi, gangguan pengecapan
dan penciuman, gangguan penglihatan (misal : penglihatan ganda, warnawarni). Reaksi kadang-kadang timbul setelah pemberian Ciprofloxacin
untuk pertama kalinya. Dalam hal ini Ciprofloxacin harus segera
dihentikan dan segera konsultasi ke dokter.

Reaksi hipersensitivitas : reaksi kulit seperti erupsi akibat obat, urtikaria,


eriterma makula, sindroma Stevens Johnson, kemerahan pada kulit, gatal,
24

drug fever. Reaksi anafilaktik / anafilaktoid (seperti edema pada wajah,


vaskular, dan laring; dyspnea yang bertambah berat sehingga terjadi syok
yang mengancam jiwa). Dalam hal ini Ciprofloxacin harus segera
dihentikan, tindakan kedaruratan medis (misalnya mengatasi syok) harus
dilakukan.

Efek terhadap renal / urogenital : nefritis interstisial, gagal ginjal


(termasuk gagal ginjal yang transien), polluria, retensi urine, pendarahan
uretral vaginitis dan asidosis.

Efek terhadap hati : hepatitis, sangat jarang : kelainan hati yang berat
seperti nekrosis hati.

Efek terhadap kardiovaskular : jarang: takikardia, palpitasi, atrial flutter,


ventricular ectopy, syncope, hipertensi angina pektoris, infark myocardial,
cardiopulmonary arrest, cerebral thrombocyst, wajah merah dan panas,
migren, pingsan.

Lain-lain : jarang: nyeri sendi, lemas seluruh tubuh, nyeri otot, tendon
vaginitis, fotosensitivitas ringan, tinnitus, gangguan pendengaran terutama
untuk frekuensi tinggi, epistaxis, laryngeal atau pulmonary edema,
hemoptysis, dyspnea, bronchospasm, pulmonary embolism.

Efek pada darah : eosinofilia, leukositopenia, leukositosis, anemia


granulositopenia. Sangat jarang: trombositopenia, trombositosis, kelainan
protrombin.

Efek pada nilai laboratorium / deposit urine : kadar transaminase dan


alkali fosfatase dalam darah mungkin meningkat untuk sementara; ikterus
kolestatik dapat terjadi terutama pada pasien yang pernah mengalami
kelainan; peningkatan kadar urea, kreatinin dan bilirubin darah secara
transien; hiperglikemia; pada kasus tertentu kristaluria dan hematuria.

Peringatan dan Perhatian

25

Jika selama penggunaan fluoroquinolone pasien mengalami rasa nyeri,


pembengkakan serta peradangan pada tendon dan ruptur tendon, maka
agar:

Segera menghentikan penggunaan obat ini.

Segera menghubungi dokter untuk mengkonsultasikan alternatif obat


pengganti.

Menghindari aktivitas olahraga dan aktivitas lain yang menggunakan


tendon yang terkena dampak.

Ciprofloxacin tablet harus ditelan dengan air secukupnya untuk mencegah


kristaluria.

Hati-hati pemberian pada penderita dengan gangguan ginjal (lihat dosis).

Pemberian tidak boleh melebihi dosis yang dianjurkan.

Ciprofloxacin harus diberikan dengan hati-hati pada penderita usia lanjut.


Pada kasus epilepsi dan pasien yang pernah mengalami gangguan susunan
syaraf pusat / SPP (misalnya ambang kejang rendah, riwayat konvulsi,
aliran darah ke otak berkurang dan stroke), Ciprofloxacin hanya diberikan
jika manfaatnya lebih besar dibanding resikonya, karena pasien demikian
mungkin akan menderita efek samping SPP.

Meskipun diminum sesuai dengan resep dokter, obat ini dapat menggangu
respons pasien, kemampuan mengemudi dan menjalankan mesin.
Gangguan ini akan lebih berat jika diminum bersama alkohol.

Seperti halnya antimikroba lainnya, pemberian jangka lama dapat


mengakibatkan pertumbuhan berkelebihan dari mikroorganisme yang
kurang peka.

Hindarkan penderita dari matahari yang berlebihan. Bila terjadi


fototoksisitas, pengobatan harus segera dihentikan.

Interaksi Obat

Obat-obat yang mempengaruhi keasaman lambung (antasida) yang


mengandung alumunium atau magnesium hidroksida akan mengurangi
26

absorpsi Ciprofloxacin. Karena itu Ciprofloxacin harus ditelan 1-2 jam


sebelum atau minimal 4 jam sesudah meminum antasida. Pembatasan ini
tidak berlaku pada antasida yang tidak mengandung alumunium atau
magnesium hidroksida.

Pemberian Ciprofloxacin bersama teofilin dapat meningkatkan kadar


teofilin dalam plasma sehingga dapat menimbulkan efek samping teofilin.
Apabila kombinasi ini tidak dapat dihindarkan, kadar teofilin dalam
plasma harus dimonitor dan dosis teofilin harus dikurangi. Jika kadar
teofilin tidak dapat dimonitor, pemberian Ciprofloxacin harus dihindari.

Kenaikan kadar kreatinin serum untuk sementara terlihat pada pemberian


Ciprofloxacin bersama siklosporin. Dalam hal ini, kadar kreatinin serum
harus sering dipantau (dua kali seminggu).

Harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya interaksi pada pemberian


Ciprofloxacin bersama probenesid.

Pemberian Ciprofloxacin dan anti-koagulan oral dapat memperpanjang


waktu pendarahan.

Pemberian bersama metoklopramid mempercepat absorpsi Ciprofloxacin


(Hermawan dan Sumandjar, 2004).
3. Paracetamol
Farmakokinetik

Absorpsi : diberikan peroral, absorpsi bergantung pada kecepatan


pengosongan lambung, dan kadar puncak dalam darah biasanya tercapai
dalam waktu 30-60 menit.

Distribusi : Asetaminofen sedikit terikat dengan protein plasma

Metabolisme : dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah


menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida, yang secara farmakologi
tidak efektif.

Ekskresi : diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk tidak berubah.

27

Farmakodinamik

Paracetamol atau acetaminophen adalah obat yang mempunyai efek


mengurangi nyeri (analgesik) dan menurunkan demam (antipiretik).
Parasetamol mengurangi nyeri dengan cara menghambat impuls/rangsang
nyeri

di

perifer. Parasetamol

menurunkan

demam

dengan

cara

menghambat pusat pengatur panas tubuh di hipotalamus.

Parasetamol merupakan penghambat COX-1 dan COX-2 yang lemah di


jaringan perifer dan hampir tidak memiliki efek anti-inflamasi/anti-radang.
Hambatan biosintesis Prostaglandin (PG) hanya terjadi bila lingkungan
yang rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus sedangkan lokasi
inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan leukosit,
hal ini lah yang menjelaskan efek antiinflamasi parasetamol tidak ada.
Studi terbaru menduga parasetamol juga menghambat COX-3 di Susunan
Saraf Pusat yang menjelaskan cara kerjanya sebagai anti piretik.

Indikasi
Indikasi Parasetamol adalah :

Mengurangi nyeri pada kondisi : sakit kepala, nyeri otot, sakit gigi, nyeri
pasca operasi minor, nyeri trauma ringan.

Menurunkan demam yang disebabkan oleh berbagai penyakit. Pada


kondisi demam, paracetamol hanya bersifat simtomatik yaitu meredakan
keluhan demam (menurunkan suhu tubuh) dan tidak mengobati penyebab
demam itu sendiri.

Kontraindikasi

Parasetamol jangan diberikan kepada penderita hipersensitif/alergi


terhadap Paracetamol.

Penderita gangguan fungsi hati berat.

Sediaan dan Dosis


28

Paracetamol Tablet
Setiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg.

Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml


Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 125 mg.

Paracetamol Sirup 160 mg/5 ml


Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 160 mg.

Paracetamol Sirup Forte 250 mg/5 ml


Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 250 mg.

Dosis yang umum diberikan :

Paracetamol Tablet
Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 1 tablet, 3 4 kali sehari.
Anak-anak 6 12 tahun : 1, tablet 3 4 kali sehari.

Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml


Anak usia 0 1 tahun : sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 1 2 tahun : 1 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 2 6 tahun : 1 2 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 6 9 tahun : 2 3 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.
Anak usia 9 12 tahun : 3 4 sendok takar (5 mL), 3 4 kali sehari.

Efek Samping

Mual, nyeri perut, dan kehilangan nafsu makan.

Penggunaan jangka panjang dan dosis besar dapat menyebabkan kerusakan


hati.

Reaksi hipersensitivitas/alergi seperti ruam, kemerahan kulit, bengkak di


wajah (mata, bibir), sesak napas, dan syok.
Peringatan dan Perhatian
29

Bila setelah 2 hari demam tidak menurun atau setelah 5 hari nyeri tidak
menghilang, perlu observasi lebih lanjut.
Gunakan Parasetamol berdasarkan dosis yang dianjurkan oleh dokter.
Penggunaan

paracetamol

melebihi

dosis

yang

dianjurkan

dapat

menyebabkan efek samping yang serius dan overdosis.


Hati-hati penggunaan parasetamol pada penderita penyakit hati/liver,
penyakit ginjal dan alkoholisme. Penggunaan parasetamol pada penderita
yang mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko kerusakan fungsi
hati.
Hati-hati penggunaan parasetamol pada penderita G6PD deficiency.
Hati-hati penggunaan parasetamol pada wanita hamil dan ibu menyusui.
Parasetamol bisa diberikan bila manfaatnya lebih besar dari pada risiko
janin atau bayi. Parasetamol dapat dikeluarkan melalui ASI namun efek
pada bayi belum diketahui pasti (Hermawan dan Sumandjar, 2004).
4. Metoclopramide
Farmakokinetik
Absorbsi : Setelah pemberian oral, cepat dan hampir sepenuhnya diserap, data
yang terbatas menunjukkan bahwa 30-100% dari dosis oral mencapai sirkulasi
sistemik sebagai metoclopramide berubah. konsentrasi plasma puncak biasanya
dicapai pada 1-2 jam. Setelah pemberian IM, bioavailabilitas absolut adalah
74-96%. Onset : Setelah pemberian oral, 30-60 menit untuk efek pada GI tract.
Setelah pemberian IM, 10-15 menit untuk efek pada GI tract. Setelah
pemberian IV, 1-3 menit untuk efek pada GI tract. Durasi : 1-2 jam.
Distribusi : didistribusikan ke sebagian besar jaringan tubuh dan cairan;
konsentrasi tinggi pada mukosa, hati, saluran empedu, dan kelenjar ludah,
dengan konsentrasi yang lebih rendah di otak, jantung, timus, adrenal, jaringan
adiposa, dan sumsum tulang. Melewati plasenta, didistribusikan ke dalam susu
pada manusia, konsentrasi susu lebih tinggi dari konsentrasi plasma 2 jam
30

setelah penggunaan oral. Protein plasma binding 13-30% (terutama albumin).


Metabolisme : Minimal dimetabolisme; tidak diketahui apakah metabolit utama
yang ditemukan dalam urin adalah aktif.
Eliminasi : Diekskresikan dalam urin (85%) sebagai obat tidak berubah dan
metabolites dan juga dalam kotoran (sekitar 5%). Minimal dihapus oleh
hemodialysis atau peritoneal dialysis. Waktu paruh (half life) Biphasic;
terminal-fase paruh adalah 2,5-6 jam pada dewasa. Paruh eliminasi sekitar 4,14,5 jam pada anak anak.

Farmakodinamik
Mekanisme kerja metoklorpamid pada saluran cerna bagian atas mirip dengan
obat kolinergik,tetapi metoklopramid tidak dapat menstimulasi sekresi dari
lambung, empedu, atau pankreas dantidak dapat mempengaruhi konsentrasi
gastrin serum.Efek dari metoklopramid pada motilitas usus tidak tergantung
pada

persyarafan

nervus

vagus.

Tetapidihambat

oleh

obat-obat

kolinergik.Metoklopramid mempengaruhi Chemoreceptor Trigger Zone)


medulla yaitu dengan menghambatreseptor doopamin padat CTZ. Mekanisme
kerja dengan cara meningkatkan ambang rangsang CTZdan menurunkan
sensitivitas saraf visceral yang membawa impuls saraf aferen dari
gastrointestinalke pusat muntah pada formatio reticularis lateralis.
Indikasi

Untuk meringankan (mengurangi simptom diabetik gastroparesis akut dan


yang kambuh kembali)

Juga digunakan untuk menangulangi mual, muntah metabolik karena obat


sesudah operasi

Rasa terbakar yang berhubungan dengan refluks esofagitis

Kontraindikasi :
31

Penderita gastrointestinal hemorrhage, obstruksi mekanik atau perforasi

Penderita feokromositoma

Penderita epilepsi atau pasien yang menerima obat-obatan yang


menyebabkan reaksiekstrapiramidal

Sediaan dan Dosis

Tablet 10 mg
Dosis

Dewasa : 3 kali sehari 10 mg

Efek samping :

Efek SSP : kegelisahan, mengantuk, kelelahan dan kelemahan. Rekasi


ekstrapiramidal distonia akut

Gangguan endokrin : galaktore, amenore, ginekomastia, impoten sekunder,


hiperprolaktinemia

Efek kardiovaskular : hipotensi, hipertensi supraventrikular, takikardia dan


bradikardia

Efek gastrointestinal : diareEfek hati :hepatotoksisitas

Efek hematologik : neutropenia, leukopenia, agranulositosis

Reaksi alergi : gatal-gatal, urtikaria dan bronkospasme (Tjay, 2001).

32

BAB V
PENUTUP

Typhus abdominalis merupakan infeksi akut usus halus oleh Salmonella


typhii dan mudah menular. Adapun penularannya melalui pasien dengan typhoid
dan carier. Manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai dapat
menimbulkan kematian. Diagnosa pasti ditegakkan dengan biakan darah, biakan
feces, pemeriksaan serologis dan biakan empedu.
Pada kasus diatas diberikan terapi non medikamentosa dan medikamentosa
yang meliputi:
1.

Bedrest total untuk mencegah


komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.

2.

Diet saring TKTP rendah


serat dan lunak untuk mengistirahatkan usus

3.

Pemberian infuse D5% untuk


mencegah dehidrasi dan pemberian nutrisi.

4.

Pemberian antibiotik untuk


menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi.

5.

Pemberian

analgetik

dan

antipiretik serta antiemetik sebagai pengobatan simptomatis


Pasien Typhus abdominalis harus segera ditangani karena jika tidak ,
endotoksin kuman akan meluas dan menyebabkan komplikasi bahkan kematian,
sehingga penderita perlu dirawat. Dengan penanganan yang cepat maka resiko
terjadinya komplikasi dan kematian dapat diminimalkan.

33

DAFTAR PUSTAKA
Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever
[Internet].

2003.

Available

from:

www.who-int/vaccines-documents/

(Diakses Maret 2015).


Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. 2005. Typhoid fever and paratyphoid fever.
Lancet, 366: 749-62.
Bhutta ZA. 2006. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract; 14: 26672.
Corales, R. 2004. Typhoid Fever. www.emedicine.com. (Diakses Maret 2015).
Hermawan, AG., Sumandjar, T. 2004. Penanganan penderita Demam Tifoid
Dewasa Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam: Protap IPD-FK UNS
RSUD Dr. Moewardi, SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNS- RSUD Dr.
Moewardi Surakarta : 115-116 .
Juwono, R. 1999. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI : 435-441.
Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. 2003. Current trends in the
management of typhoid fever. MJAFI; 59: 130-5.
Keusch, GT. Salmonellosis. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : EGC.: 755-758.

34

Mansjoer, Arif et al. 2000. Demam Tifoid. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi
ketiga. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius. FKUI : p.421-425.
Sudoyo, Aru W, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. 2009. A
comparison of fluoroquinolones versus other antibiotics for treating enteric
fever: meta-analysis. BMJ; 338: 1-11.
Tjay, TH., Rahardja, K. 2001. Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan , dan
Efek- Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo :
64-82.
Widodo, djoko. 2006. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : p.1774-1775.
Zulkarnain, I., Nelwan, RHH., Pohan, GT. 2001. Demam Tifoid. Dalam : Pedoman
Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI : 256-259.

35

Anda mungkin juga menyukai