Tipes Abdominalis DRIYA BISA
Tipes Abdominalis DRIYA BISA
TYPHUS ABDOMINALIS
Oleh :
BRA Isabela Ratu Windriya
G99141102
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut usus halus yang
disebabkan infeksi Salmonella typhi. Organisme ini masuk melalui makanan dan
minuman yang sudah terkontaminasi oleh feses dan urin dari orang yang
terinfeksi kuman salmonella. Tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever,
typhus dan para typhus abdominalis (Mansjoer et al, 2000).
Saat ini demam tifoid masih berstatus endemik di banyak wilayah di Asia,
Afrika, dan Amerika Selatan, dimana sanitasi air dan pengolahan limbah kotoran
tidak memadai. Sementara, kasus tifoid yang ditemukan di negara maju saat ini
biasanya akibat terinfeksi saat melakukan perjalanan ke negara-negara dengan
endemik tifoid. Pada area-area endemik, kejadian demam tifoid paling tinggi
terjadi pada anak-anak usia 5 sampai 19 tahun, pada beberapa kondisi tifoid secara
signifikan menyebabkan kesakitan pada usia antara 1 hingga 5 tahun. Pada anak
usia lebih muda dari setahun, penyakit ini biasanya lebih parah dan berhubungan
dengan komplikasi yang umumnya terjadi.3 Diseluruh dunia diperkirakan antara
1616,6 juta kasus baru demam tifoid ditemukan dan 600.000 diantaranya
meninggal dunia. Di Asia diperkirakan sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya.
Suatu laporan di Indonesia diperoleh sekitar 310 800 per 100.000 sehingga
setiap tahun didapatkan antara 620.000 1.600.000 kasus. Demam tifoid di
Indonesia masih merupakan penyakit endemik, mulai dari usia balita, anak-anak
dan dewasa. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak
perempuan lebih sering terserang. Peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia
dibawah 5 tahun (Widodo, 2006).
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik
hingga gambaran penyakit khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada
minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
2
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat (38.8-40.50C). Sifat demam adalah meningkat perlahan-perlahan dan
terutama sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi
lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput (lidah kotor),
hepatomegali, splenomegali, meterioismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. Gejala-gejala lain berupa tubuh menggigil,
batuk, sakit tenggorokan. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia
(Sudoyo et al, 2007).
Perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit demam tifoid
bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit,
mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali.
Pengobatan penyakit tifus dilakukan dengan jalan mengisolasi penderita dan
melakukan desinfeksi pakaian, feses dan urin untuk mencegah penularan.
Pengobatan penderita Demam tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan
suportif meliputi istirahat, diet, dan medikamentosa. Istirahat bertujuan untuk
mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring
absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole,
dan ciprofloxacin sering digunakan untuk merawat demam tifoid di negara-negara
barat. Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu
sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak
terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang
melakukan perjalanan ke daerah endemik (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin) (Mansjoer et al, 2000).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Typhus abdominalis adalah suatu penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi (Zulkarnain et al, 2001).
Sedangkan menurut Gerald T. Keush typhus abdominalis adalah suatu infeksi
demam sistemik akut yang nyata pada fagosit mononuclear dan
membutuhakan tatanama yang terpisah (Keusch, 1999).
Salmonella typhi merupakan bakteri yang berasal dari family
Enterobactericeae, genus Salmonellae, species Enteritica, dan subspecies
Typhimurium. Nama lengkapnya adalah Salmonella enteritica subsp.
Typhimurium atau Salmonella typhi untuk singkatnya. Ia merupakan basil
gram negative yang tidak membentuk spora, bersifat anaerob fakultatif, serta
memfermentasi glukosa, maltose, dan manitol pada uji peragian gula-gula. Ia
tidak membentuk gas tetapi menghasilkan asam jika ditanam pada media
TSIA (Triple Sugar Iron Agar). Bakteri ini berukuran 2-3 x 0,4-0,6m, dan
bergerak dengan flagel peritrikh, sehingga jika ditanam pada media MIO
(Motility Indol Ornithin) akan menghasilkan turbiditas dibagian atasnya
(Zulkarnain et al, 2001).
B. EPIDEMIOLOGI
Typhus abdominalis termasuk penyakit menular yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun tercantum
dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap
belum ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui secara pasti.
Diasia tenggara, ada lebih dari 100 kasus per 100.000 penduduk tiap
tahunnya. Daerah yang lebih sering terdapat kasus ini atau yang merupakan
daerah endemik adalah daerah yang sanitasinya kurang dan air bersih sulit
4
didapat. Penyakit ini lebih sering diderita oleh anak-anak (balita atau bayi)
dan remaja, dengan predisposisi kepada pria. Negara-negara dimana penyakit
ini menjadi penyakit endemik adalah Negara-negara di afrika, asia selatan,
dan asia tenggara, terutama India.
Di Indonesia, jarang dijumpai secara epidemic, tapi lebih sering bersifat
sporadic, terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari
satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat
ditemukan. Ada 2 sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan
tifoid dan carrier.
Di daerah endemic, tranmisi terjadi melalui air yang tercemar dan
makanan yang tercemar oleh carrier yang merupakan sumber penularan yang
paling sering di daerah non endemic (Mansjoer et al, 2000).
C. ETIOLOGI
Salmonella adalah basil gram negative, tidak berkapsul, hampir selalu
motil dengan menggunakan flagella peritrikosa, yang menimbulkan dua atau
lebih bentuk antigen H. Kuman ini meragikan glukosa, sehingga terbentuk
dasar asam dan cekungan basa pada agar beri gula tripel ( TSI ). Umumnya
menghasilkan H2S yang dapat terdeteksi sebagai produk reaksi hitam dan
berfungsi awal untuk membedakan isolate dari Shigella, yang juga
menimbulkan reaksi TSI basa / asam. Salmonella typhi penyebab utama
demam tifoid atau typhus abdominalis. Beberapa salmonella sangat mudah
beradaptasi pada manusia seperti S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B.
sementara sebagian besar spesies beradaptasi pada hewan dan tidak
menyebabkan kesakitan pada manusia. Yang lain menginfeksi baik manusia
dan hewan tingkat rendah, sehingga menyebabkan gastroenteritis atau yang
lebih jarang infeksi terlokalisir, atau septikemik (Keusch, 1999).
D. PATOFISIOLOGI
Kuman S. typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan
dan air tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan asam lambung. Sebagian lagi
5
masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Payeri di ileum
terminalis yang hipertropi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
intestinal dapat terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia
masuk aliran limfe mesenterial, dan mencapai kelenjar limfe mesenterial,
yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini,
S.typhi masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi
lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S.typhi bersarang di
plaque Payeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial.
Semua disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid
disebabkan endotoksemia. Tapi kemudian berdasar penelitian eksperimental
disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam
dan gejala-gejala toksemia pada typhus abdominalis. Endotoksin S.typhi
berperan pada patogenesis, karena membantu terjadinya proses inflamasi
local pada jaringan tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid
disebabkan karena S.typhi dan endotoksinya merangsang sintesis dan
penglepasan zat pirogen olek leucosis pada jaringan yang meradang (Juwono,
1999).
E. MANIFESTASI KLINIS
Sindrom klasik penyakit ini adalah demam selama rata-rata 7-14hari
(ini dapat berlangsung selama 3-21hari) dengan panas setinggi 38,8o-40,5oC.
selama seminggu pertama, demam ini akan berlangsung dengan pola seperti
anak tangga, yang akan semakin lama akan semakin panas, dan turun pada
pagi hari berikutnya. Setelah itu akan diikuti dengan munculnya gejala-gejala
saluran cerna, seperti nyeri abdomen yang diffusa, nyeri tekan abdomen yang
diffusa, atau nyeri kolik berat pada kuadran kanan atas. Nyeri ini disebabkan
oleh peradangan pada plak pyeri di daerah ileum distal. Gejala-gejala yang
berikutnya dapat timbul adalah batuk kering, coated tongue (typhoid tongue),
nyeri tenggorokan, nyeri tumpul pada kepala bagian frontal, delirium, serta
stuporous malaise.
Pada akhir minggu pertama, demamnya akan tetap tinggi atau
memplateau pada suhu 39o-40oC. Lalu akan muncul lesi kulit yang
makulopapuler, berwarna salem pudar diarea batang tubuh, terutama diantara
thorax dan abdomen. Diameter lesi ini adalah 1-4cm, dengan jumlah <5buah
perkelompok, yang akan muncul 10-20 kelompok dan akan sembuh dalam 25 hari. Lesi ini disebut sebagai rose spots atau roseola yang merupakan
emboli bakteri kekulit yang dapat juga muncul pada shigellosis dan
salmonellosis nontyphoidal.
Pada minggu kedua, gejala-gejala pada minggu pertama akan memberat
dan akan muncul gejala-gejala tambahan lain seperti, distensi abdomen, soft
splenomegali, mual dan muntah, myalgia, arthralgia, diare yang berwarna dan
konsistensinya seperti pea soup atau konstipasi berat, penurunan berat badan
yang banyak, serta bradikardia relatif atau munculnya dicrotic pulse (double
beat dengan denyut yang kedua lebih lemah).
Pada minggu ketiga akan terjadi penurunan berat badan yang jauh lebih
banyak sehingga pasien terlihat kurus, bakteremia, toksikemia, infeksi
konjunctiva, takipnea dengan denyut nadi yang lemah dan crackles pada basis
paru, distensi abdomen berat, dan pea-soup diarrhea (diare yang berwarna
hijau kekuningan dengan konsistensi cair dan berbau busuk). Pasien dapat
7
masuk dalam status tifoideus dimana pasien terlihat apatis, bingung, psikosis
atau hanya terbaring diranjang dengan mata setengah terbuka dan tidak
bereaksi terhadap apapun. Serta akan mulai muncul, komplikasi-komplikasi
yang berat, seperti perforasi usus, peritonitis, myocarditis, pendarahan
gastrointestinal, dan sebagainya.
Pada minggu keempat, pasien akan mulai masuk ke fase resolusi, dimana
gejala-gejala yang sebelumnya dia derita akan membaik, demamnya akan
menurun dan akan mencapai suhu normal dalam 7-10hari, walaupun masih
ada kemungkinan relapse dua minggu kemudian. Pasien masih akan
mengalami penurunan berat-badan besar-besaran dan kelemahan tubuh yang
berat, serta masih mungkin terjadi komplikasi yang muncul pada fase ini.
Beratnya dan seberapa cepatnya gejala-gejala diatas muncul dan sembuh
tergantung dari sistem pertahanan tubuh pasien itu sendiri. Semakin kuat daya
tahan pasien, semakin sedikit gejala yang ditimbulkan, dan semakin lama
gejala itu muncul.
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda yang dapat ditemukan adalah rose
spots, hepatosplenomegali, epistaksis, dan bradikardia relatif pada puncak
demam (Mansjoer et al, 2000).
F. DIAGNOSIS
Biakan darah positif memastikan typhus abdominalis, tapi biakan darah
negative tidak menyingkirkan typhus abdominalis. Biakan feces positif
menyokong diagnosis klinis typhus abdominalis. Biakan feces ini, 75% positif
pada minggu ketiga.
Diagnosis serologis kurang dapat diandalkan dibandingkan biakan.
Sebagian besar pasien dapat mempunyai antibody terhadap antigen O, H, dan
Vi ( tes widal ). Jika tidak mendapatkan imunisasi yang baru, titer antibody
terhadap antigen O ( > 1/ 640 ) adalah sugestif, tapi tidak spesifik selama
salmonella serogrup.
G.
DIAGNOSIS BANDING
Malaria, hepatitis, bacterial enteritis, demam dengue, infeski rickettsia
(tifus), leptospirosis, amebic liver disease,
TERAPI
1.
2.
3.
Medikamentosa
I.
PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran atau tertular
penyakit ini adalah:
1. Vaksinasi
Ada dua tipe vaksin yang saat ini beredar untuk masyarakat, yaitu:
a. Vaksin Ty21a, yang diberikan pada hari 1, 3, 5, 7, dengan booster tiap 5
tahun. Usia minimum adalah 6 tahun karena vaksin ini merupakan yang
tipe oral live attenuated, yang jika diberikan pada anak yang sistem
pertahanan tubuhnya belum baik, malah akan menyebabkan penyakit.
10
b. Vaksin ViCPS, yang diberikan per IV dalam satu kali suntikan, dengan
booster tiap 2 tahun sekali. Vaksin ini merupakan purified Vi
polisaccharides dari kapsul bakteri. Dan usia minimum pemberian
adalah dua tahun.
2. Untuk mencegah diri sendiri tidak tertular anda harus mencuci tangan
dengan baik dan benar, jangan meminum air mentah, dan jika harus
membeli makanan matang, pilihlah makanan yang panas, serta bersihkan
rumah anda tiap hari.
3. Untuk mencegah penularan ke orang lain, pasien jangan menyentuh atau
mengolah makanan atau minuman, pisahkan barang-barang yang dipakai
pasien, selalu cuci tangan, dan bersihkan rumah tiap hari (Corales, 2004).
J.
PROGNOSIS
Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada
stadium dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya
sedikit penyulit yang terjadi (Mansjoer et al, 2000).
K.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin muncul (dari yang paling sering ke yang paling
jarang) adalah:
1. Pendarahan gastrointestinal (10-20%), Perforasi usus (1-3%), yang paling
sering muncul pada minggu ketiga dan keempat.
2. Gejala neurologis seperti meningitis, Guillain-Barr syndrome, neuritis,
gejala-gejala neuropsikiatrik (delirium dengan mengigau, coma vigil)
dengan menjumput seprei atau selimut dan benda-benda khayalan.
3. Disseminated Intravascular Coagulation, sindrom hematofagositik,
pancreatitis, abses dan granuloma hepatik dan splenik, endocarditis,
pericarditid,
myocarditid,
pyelonefritis,
hemolytic
orchitis,
uremic
hepatitis,
syndrome,
glomerulonefritis,
pneumonia,
arthritis,
11
BAB III
STATUS PASIEN
A.
IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. S
Umur
: 23 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Karanganyar
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Status Perkawinan
: Belum menikah
Pekerjaan
: Mahasiswa
Tanggal Pemeriksaan
: 25 Maret 2015
No RM
: 011365
B.
ANAMNESIS
1.
Keluhan Utama :
Badan panas
2.
nyeri di belakang mata, mulut terasa pahit, tidak nafsu makan dan mual.
Muntah dialami pada hari ke 5, 6 dan 7 demam, sehari 2-3 kali, sekitar 1
gelas belimbing, berupa cairan dan sisa makanan, warna sesuai makanan,
tidak bercampur darah. Bersamaan dengan timbulnya demam, pasien
mengeluhkan perut nyeri di seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan hilang
timbul tidak menentu waktunya, seperti diremas-remas, tidak dipengaruhi
pemberian makanan, mereda dengan dioles minyak kayu putih. Pegalpegal juga dirasakan pasien terutama daerah pinggang. Selama demam,
pasien tidak mengalami kejang, penurunan kesadaran, batuk pilek, nyeri
sendi, ataupun keluar darah. Pasien BAB 2 hari 1 kali selama demam,
konsistensi kadang lunak kadang keras, warna coklat, tidak bercampur
darah ataupun lendir. Pasien BAK lancar warna kuning 5-6 kali sehari
sebanyak 1-1 gelas belimbing , tidak merasa nyeri ataupun sulit.
Dua hari SMRS keluhan dirasakan memberat, oleh keluarga pasien
dibawa ke IGD RSDM.
3.
Riwayat asma ( - )
4.
Riwayat asma ( - )
5. Riwayat Kebiasaan
6. Riwayat Gizi
Sebelum sakit penderita makan teratur 2-3 kali sehari sebanyak 1 porsi
biasa, dengan sayur, lauk pauk tahu, tempe, kadang-kadang memakai
telur dan daging. Dalam sehari penderita minum kurang lebih 8 gelas.
Pasien sehari-hari lebih sering makan dan minum di warung pinggir
jalan. Tetapi semenjak sakit, makan dan minum penderita berkurang
karena penderita merasa mual apabila makan dan minum.
.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah seorang mahasiswa, lajang, tinggal bersama dengan
orang tua dan saudaranya dalam satu rumah. Orangtua penderita bekerja
sebagai Wiraswasta dan penghasilan keduanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.
C.
PEMERIKSAAN FISIK
1.
Keadaan umum
2.
Tanda vital
Tensi
Nadi
3.
Frekuensi nafas
Suhu
Status gizi
Berat Badan
Tinggi Badan
IMT
Kesan
Kulit
: Warna coklat,
4.
: 59 kg
: 166 cm
: 21,4 kg/m2
: normoweight
turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
Kepala
Mata
(+/+), edema
7.
Telinga
8.
9.
Hidung
Mulut
tragus (-)
: Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
: Sianosis (-), gusi berdarah (-), tiphoid tounge (+), papil
lidah atrofi (-), ulserasi (-), stomatitis angularis (-), oral
10.
thrush (-)
: JVP R + 2 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran
Leher
Thorax
kiri,
retraksi
intercostal
(-),
pernafasan
axilla (-/-).
Jantung
Palpasi
: Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di 1 cm
sebelah medial SIC V linea medioclavicularis
sinistra
Perkusi
:
Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis
-
dekstra
Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah: SIC V 1 cm medial linea
medioklavicularis sinistra
15
13. Pulmo
a.
Depan
Inspeksi
Statis
Dinamis
: Normochest, simetris
: Pengembangan dada simetris kanan =
kiri, ketertinggalan gerak (-), retraksi
intercostal (-)
Palpasi
Statis
Dinamis
: Simetris
: Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba
kanan = kiri
Perkusi
Kanan
pada
SIC
VI
linea
Kiri
Auskultasi
Kanan
Kiri
b.
Belakang
Inspeksi
Statis
Dinamis
: Normochest, simetris
: Pengembangan
dada
simetris
Palpasi
Statis
: Simetris
16
Dinamis
Perkusi
Kanan
: Sonor
Kiri
: Sonor
Peranjakan diafragma 4 cm
Auskultasi
Kanan
: Suara dasar vesikuler normal, suara
Kiri
Abdomen
Inspeksi
14.
Ekstremitas
Akral
D.
dingin
_
_
_
_
Oedem
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Pemeriksaan laboratorium darah :
Pemeriksaan
Hb
Hct
AL
AT
AE
MCV
MCH
Hasil
Satuan
HEMATOLOGI RUTIN
14,1
g/dl
39
%
5,0
103 / L
155
103 / L
4,96
103/ L
INDEX ERITROSIT
84
29,5
/um
pg
Rujukan
13,5 17,5
33 45
4,5 11,0
150 450
4,50 5,90
80.0 - 96.0
28.0 - 33.0
17
MCHC
g/dl
33.0 - 36.0
%
%
%
%
%
%
0.00 - 4.00
0.00 - 2.00
55.0-80.0
22.0 - 44.0
0.00 - 7.00
-
mg/dl
60-140
33,6
HITUNG JENIS
1,20
0,70
60,00
35,00
6,60
7,40
KIMIA KLINIK
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
LUC/AMC
Glukosa Darah
Sewaktu
SGOT
SGPT
Cr
Ur
91
45
u/l
47
u/l
1,0
mg/dl
24
mg/dl
ELEKTROLIT
137
mmol/L
3,8
mmol/L
1,07
mmol/L
Na darah
K darah
Cl Ion
0-35
0-45
0,9-1,3
<50
136 145
3,3 5,1
1.17 1.29
Widal Test
Titer O
S. typhi
1 / 320
S. paratyphi
E.
Titer H
1 / 160
1 / 400
1 / 160
DIAGNOSIS BANDING
Typhus Abdominalis
Demam Dengue
Apendisitis
F.
DIAGNOSIS
Typhus Abdominalis
G.
PENATALAKSANAAN
1.
Non Medikamentosa
Kompres
18
2.
Medikamentosa
Infuse D5%
Ciprofloxacin 500 mg
Paracetamol 500 mg
Metoklopramid 10 mg
Penulisan Resep :
R /
No I
IV 3000
No I
S imm
R/
R/
R/
Metoklopramid tab mg 10 No XL
S prn (1-3) dd tab I
Pro : Tn. S ( 23 th )
19
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
1. Infus dextrose 5%
Pemberian infus pada kasus ini hanya sebagai cairan pemeliharaan untuk
mencegah dehidrasi dan sebagai tambahan nutrisi (Tjay, 2001).
2. Ciprofloxacine
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan
pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4hari, dan angka
kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2% (Bhan et al, 2005).
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat
membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai
kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain (WHO,
2003).
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone
dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki
efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar
tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin
untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi.Levofloxacin diberikan dengan
dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2
kali sehari masing-masing selama 7 hari (Bhan et al, 2005).
20
Yang
diberikan
antara
lain
cairan
untuk
mengkoreksi
dan
didistribusi
ke
berbagai
jaringan
serta
cairan
tubuh.
22
Indikasi
Untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap
Ciprofloxacin seperti :
Kontraindikasi
Dosis
Dewasa :
Infeksi ringan / sedang saluran nafas, tulang, sendi, kulit, jaringan lunak :
2 x 250 500 mg sehari.
Infeksi berat saluran nafas, tulang, sendi, kulit, jaringan lunak : 2 x 500
750 mg sehari.
Untuk mencapai kadar yang adekuat pada osteomyelitis akut : dosis tidak
kurang dari 2 x 750 mg sehari.
23
Dosis pada penggunaan fungsi ginjal : Bila bersihan kreatinin kurang dari
20 ml/menit, maka dosis normal hanya diberikan 1 kali sehari atau jika
diberikan 2 kali sehari, dosis harus dikurangi separuhnya.
Efek Samping
Efek terhadap sistem saraf : pusing, sakit kepala, rasa letih, insomnia,
agitasi, tremor ; sangat jarang, paralgesia perifer, berkeringat, kejang,
anxietas, mimpi buruk, konfusi, depresi, halusinasi, gangguan pengecapan
dan penciuman, gangguan penglihatan (misal : penglihatan ganda, warnawarni). Reaksi kadang-kadang timbul setelah pemberian Ciprofloxacin
untuk pertama kalinya. Dalam hal ini Ciprofloxacin harus segera
dihentikan dan segera konsultasi ke dokter.
Efek terhadap hati : hepatitis, sangat jarang : kelainan hati yang berat
seperti nekrosis hati.
Lain-lain : jarang: nyeri sendi, lemas seluruh tubuh, nyeri otot, tendon
vaginitis, fotosensitivitas ringan, tinnitus, gangguan pendengaran terutama
untuk frekuensi tinggi, epistaxis, laryngeal atau pulmonary edema,
hemoptysis, dyspnea, bronchospasm, pulmonary embolism.
25
Meskipun diminum sesuai dengan resep dokter, obat ini dapat menggangu
respons pasien, kemampuan mengemudi dan menjalankan mesin.
Gangguan ini akan lebih berat jika diminum bersama alkohol.
Interaksi Obat
27
Farmakodinamik
di
perifer. Parasetamol
menurunkan
demam
dengan
cara
Indikasi
Indikasi Parasetamol adalah :
Mengurangi nyeri pada kondisi : sakit kepala, nyeri otot, sakit gigi, nyeri
pasca operasi minor, nyeri trauma ringan.
Kontraindikasi
Paracetamol Tablet
Setiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg.
Paracetamol Tablet
Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 1 tablet, 3 4 kali sehari.
Anak-anak 6 12 tahun : 1, tablet 3 4 kali sehari.
Efek Samping
Bila setelah 2 hari demam tidak menurun atau setelah 5 hari nyeri tidak
menghilang, perlu observasi lebih lanjut.
Gunakan Parasetamol berdasarkan dosis yang dianjurkan oleh dokter.
Penggunaan
paracetamol
melebihi
dosis
yang
dianjurkan
dapat
Farmakodinamik
Mekanisme kerja metoklorpamid pada saluran cerna bagian atas mirip dengan
obat kolinergik,tetapi metoklopramid tidak dapat menstimulasi sekresi dari
lambung, empedu, atau pankreas dantidak dapat mempengaruhi konsentrasi
gastrin serum.Efek dari metoklopramid pada motilitas usus tidak tergantung
pada
persyarafan
nervus
vagus.
Tetapidihambat
oleh
obat-obat
Kontraindikasi :
31
Penderita feokromositoma
Tablet 10 mg
Dosis
Efek samping :
32
BAB V
PENUTUP
2.
3.
4.
5.
Pemberian
analgetik
dan
33
DAFTAR PUSTAKA
Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever
[Internet].
2003.
Available
from:
www.who-int/vaccines-documents/
34
Mansjoer, Arif et al. 2000. Demam Tifoid. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi
ketiga. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius. FKUI : p.421-425.
Sudoyo, Aru W, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. 2009. A
comparison of fluoroquinolones versus other antibiotics for treating enteric
fever: meta-analysis. BMJ; 338: 1-11.
Tjay, TH., Rahardja, K. 2001. Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan , dan
Efek- Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo :
64-82.
Widodo, djoko. 2006. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : p.1774-1775.
Zulkarnain, I., Nelwan, RHH., Pohan, GT. 2001. Demam Tifoid. Dalam : Pedoman
Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI : 256-259.
35