Anda di halaman 1dari 3

KODE ETIK Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.


2. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam
peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
3. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk
menyuarakan pendapatnya.
4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi yang penting yang perlu diketahui masyarakat.
6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen
7. Jurnalis menghormati hak narasumber untuk memberi informasi latar belakang, off the
record, dan embargo.
8. Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan
seksual, dan pelaku tindak pidana dibawah umur.
10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam
masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan
politik, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.
11. Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan
fisik dan seksual.
13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari
keuntungan pribadi.
14. Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan.
Catatan: Yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang,
barang dan fasilitas lainnya, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi
jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.
15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
17. Jurnalis menghindari setiap campurtangan pihak-pihak lain yang menghambat
pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode
Etik.

Menurut Versi ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) , Jurnalis memberikan tempat bagi pihak yang kurang
memiliki daya & kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya, Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk
memperoleh berita, foto, dan dokumen kemudian Jurnalis menghormati hak narasumber untuk memberi
informasi latar belakang, off the record, dan embargo dan Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik
akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.

Program kerja dan kasus[sunting | sunting sumber]


Sejak berdiri hingga saat ini, AJI memiliki kepedulian pada tiga isu utama. Inilah yang kemudian
diwujudkan menjadi program kerja selama ini. Pertama, perjuangan untuk mempertahankan
kebebasan pers. Kedua, meningkatkan profesionalisme jurnalis. Ketiga, meningkatkan
kesejahteraan jurnalis. Semua ini merujuk pada persoalan nyata yang dihadapi jurnalis.

Ancaman kebebasan pers[sunting | sunting sumber]


Perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers merupakan pekerjaan rumah utama AJI.
Tidak hanya semasa Orde Baru berkuasa, saat represi terhadap media dan pemberangusan
terhadap kebebasan pers sangat tinggi. Setelah Soeharto tumbang berganti era reformasi, isu
kebebasan pers itu masih terus aktual. Sebab, represi yang dulunya berasal dari negara, kini
justru bertambah dari masyarakat, mulai pejabat dan pengusaha yang merasa terancam oleh
pers yang mulai bebas, hingga kelompok-kelompok preman.
Ancaman bagi kebebasan pers itu ditandai oleh kian maraknya kasus gugatan, baik pidana
maupun perdata, terhadap pers setelah reformasi. Ini diperkuat oleh statistik kasus kekerasan
terhadap jurnalis yang masih relatif tinggi, meski statistik jumlah kasus yang dimiliki AJI cukup
fluktuatif. Tahun 1998, kekerasan terhadap jurnalis tercatat sebanyak 42 kasus. Setahun
kemudian, 1999, menjadi 74 kasus dan 115 pada tahun 2000. Pada tahun 2001 sebanyak 95
kasus, 70 kasus (2002), 59 kasus (2003), dan 27 kasus pada 2004.
Beberapa kasus menonjol dalam kasus kekerasan terhadap pers adalah pembunuhan Fuad
Muhammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta, 1996. AJI memberikan perhatian
serius atas perkembangan tiap tahun kasus ini. Untuk menghargai dedikasinya kepada profesi,
AJI menggunakan nama Udin Award sebagai penghargaan yang diberikan setiap tahun kepada
jurnalis yang menjadi korban saat menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kasus yang tak kalah penting adalah penyanderaan dua wartawan RCTI, Ersa Siregar dan Ferry
Santoro oleh Gerakan Aceh Merdeka, di Aceh Timur, 2003. AJI menggalang dukungan
internasional untuk membantu pembebasan tersebut, serta membentuk tim pembebasan
bersama sejumlah organisasi lainnya. Ferry Santoro akhirnya selamat, namun Ersa tewas saat
terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI.

Profesionalisme jurnalis[sunting | sunting sumber]


Pers profesional merupakan prasyarat mutlak untuk membagun kultur pers yang sehat. Dengan
adanya kualifikasi jurnalis semacam itulah pers di Indonesia bisa diharapkan untuk menjadi

salah satu tiang penyangga demokrasi. Karena itulah, AJI melaksanakan sejumlah training,
workshop, diskusi dan seminar.
Berkaitan soal peningkatan profesionalisme ini, AJI juga membangun Media Center di beberapa
daerah. Misalnya, di Ambon dan Banda Aceh. Media Center di Ambon dibangun saat intensitas
konflik meluas di daerah itu. Pendirian Media Center merupakan salah satu alat untuk
mempromosikan penggunaan jurnalisme damai (peace journalism) kepada jurnalis saat meliput
konflik yang menelan banyak korban jiwa tersebut.
Sedangkan media Center di Aceh dibangun setelah terjadi bencana tsunami. Niat awal dari
adanya media center di daerah tersebut adalah untuk memberi rumah bernaung bagi jurnalis di
Banda Aceh yang hampir sebagian besar menderita kerugian moril dan materiil akibat tsunami,
26 Desember 2004. Setelah masa darurat bencana lewat, media center ini melanjutkan
fungsinya dengan mendorong jurnalis untuk terlibat aktif dalam melakukan fungsi kontrol sosial
terhadap proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Salah satu program penting AJI yang berhubungan dengan etika adalah melakukan kampanye
untuk menolak amplop atau pemberian dari nara sumber. Selama ini, salah satu cara yang
dilakukan adalah dengan melakukan sosialiasi kepada pejabat publik, masyarakat dan tentu juga
wartawan tentang akibat buruk dari praktik ini.

Kesejahteraan jurnalis[sunting | sunting sumber]


Tema tentang kesejahteraan ini memang tergolong isu yang sangat ramai di media. Bagi AJI,
kesadaran akan pentingnya isu ini sudah dimulai sejak Kongres AJI tahun 1997. Dalam kongres
tersebut, dicetuskan untuk memberikan porsi layak kepada isu yang berhubungan dengan aspek
ekonomi jurnalis. Salah satu bentuknya adalah dengan mendorong pembentukan serikat pekerja
di masing-masing media.
Tak mudah memang untuk mendorong isu ini. Sebab, masih ada kekhawatiran di benak
pengusaha bahwa adanya serikat pekerja akan mendatangkan malapetaka, bencana atau
kekacauan di perusahaan media. Pandangan ini juga menunjukkan adanya resistensi
terselubung dari pemilik media soal serikat pekerja. Namun, usaha yang di rintis selama ini tak
sia-sia. Beberapa media sudah memiliki serikat pekerja, meski dengan nama berbeda-beda.
AJI percaya, adanya serikat pekerja memberi dampak baik bagi perusahaan. Dengan adanya
wakil karyawan, maka mereka bisa ikut memengaruhi kebijakan yang akan melibatkan mereka.
Dampak lanjutannya, jurnalis pun bisa mendapatkan penghasilan yang layak sehingga
kebutuhan ekonominya tercukupi. Kami percaya, soal kesejahteraan ini memiliki korelasi cukup
kuat dengan terbentuknya karakter seorang jurnalis profesional.

Anda mungkin juga menyukai