Anda di halaman 1dari 31

Tugas Refrat

Asma Bronkhiale
Pembimbing:
Dr. Ari Johari , Sp A

Disusun oleh:

Arsi Shabrina
Eha Julaeha

(110.2006.048)
(110.2006.083)

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD GUNUNG JATI CIREBON
Januari 2011

ASMA
Definisi
Menurut GINA (Global Institute for Asthma) asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran
respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pedoman Nasional Asma Anak mendefinisikan asma yaitu wheezing dan atau batuk dengan
karakteristik sebagai berikut :
-

Timbul secara episodik dan atau kronik. Pengertian kronik menurut UKK
Pulmonologi adalah batuk yang berlangsung lebih dari 14 hari dan atau 3 atau lebih
episode dalam waktu 3 bulan berturut-turut.
Cenderung pada malam / dini hari (nokturnal)
Musiman
Adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik
Bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan
Adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien atau keluarganya

Tidak ada definisi asma yang diterima secara universal; asma dapat dipandang sebagai
penyakit paru obstruktif, difus dengan
1. Hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan
2. Tingginya tingkat reversibilitas proses obstruktif, yang dapat terjadi secara spontan
atau sebagai akibat pengobatan

EPIDEMIOLOGI
Penelitian mengenai prevalensi asma telah banyak dilakukan dan hasilnya telah dilaporkan
dari berbagai negara. Namun umumnya kriteria penyakit asma yang digunakan belum sama,
sehingga sulit untuk membandingkan. Untuk mengatasi hal tersebut telah dilakukan
penelitian prevalens asma di banyak negara menggunakan kuesioner standar, yaitu ISAAC
fase I pada tahun 1996 yang dilanjutkan dengan ISAAC fase III pada tahun 2002. Penelitian
ISAAC fase I telah dilaksanakan di 56 negara, meliputi 155 center, pada anak usia 6-7 tahun
dan 13-14 tahun. Penelitian ISAAC menggunakan kuesioner standar dengan
pertanyaan :have you (your child) had wheezing or whistling in the chest in the last 12
months? untuk mengelompokkan dalam diagnosis asma bila jawabannya iya. Pada anak usia
13-14 tahun selain diminta mengisi kuesioner juga diperlihatkan video asma. Hasilnya
ternyata sangat bervariasi. Untuk usia 13-14 tahun yang terendah di Indonesia (1,6%) dan
tertinggi di Inggris (36,8%). Survey mengenai prevalens asma di Eropa telah dilakukan di 7
negara (Asthma Insight & Reality in Europe = AIRE) meliputi 73.880 rumah tangga, yang
berjumlah 215.158 orang. Hasil survey mendapatkan prevalensi populasi karena asma sebesar
2,7%. Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia telah dilakukan dibeberapa pusat
pendidikan, namun belum semuanya menggunakan kuesioner standar.
FAKTOR RESIKO

Fakor-faktor yang disepakati para ahli antara lain :


1. Jenis kelamin. Anak laki-laki sampai usia 10 tahun memiliki prevalensi asma 1,5- 2
kali lipat anak perempuan.
2. Usia. 25% anak dengan asma persisten mendapatkan serangan mengi pada usia
kurang dari 6 bulang dan 75% mendapatkan serangan mengi pertama sebelum usia 3
tahun. Hanya 5 % anak dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 2835 tahun. 60% tetap menunjukkan gejala seperti anak-anak, dan sisanya tetap
mendapat serangan asma namun lebih ringan dari pada saat masa kanak-kanak.
3. Riwayat atopi. Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma
persisten dan beratnya asma. Kemudian pada anak dengan usia 16 tahun dengan
riwayat asma atau mengi akan terjadi serangan mengi 2 kali lipat lebih banyak jika
anak pernah mengalami hay fever, rhinitis alergi atau eczema. Eczema persisten
berhubungan juga dengan gejala asma persisten.
4. Lingkungan. Allergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain : serpihan
kulit binatan peliharaan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa.
5. Ras. Prevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi
pada ras kulit putih.
6. Asap rokok. Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada
anak yang tidak terpajan asap rokok. Resiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak
janin dalam kandungan.
7. Outdoor air-polution. Diduga, adanya pajanan terhadap endotoksin sebagai komponen
bakteri dalam jumlah banyak dan waktu yang dini mengakibatkan sistem imun anak
terangsang melalui jejak Th-1. Teori tersebut dikenal sebagai hygiene hypothesis.
Sementara beberapa partikel halus di udara seperti debu, nitrat dioksida, karbon
monoksida, atau SO2 diduga meningkatkan gejala asma tetapi belum didapatkan bukti
yang disepakati.
8. Infeksi respiratorik. Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan terbalik
antara atopi dengan infeksi respiratorik. Sebenarnya hubungan antara infeksi
respiratori dengan asma masih merupakan kontroversi. Namun, hal ini tidak berlaku
pada infeksi RSV di usia dini yang mengakibatkan infeksi saluran pernafasan bawah.
Infeksi merupakan faktor resiko yang bermakna untuk terjadinya mengi di usia 6
tahun.

3 fenotip wheezing menurut penelitian TCRS (Tucson Childreen Respiratorys Study) :


1. Transient early wheezing. Fenotip ini ditemukan pada kebanyakan anak yang
mengalami mengi pada 3 tahun pertama kehidupan. Yang gejala menginya hanya
timbul sesekali dan tidak timbul lagi pada usia 6 tahun. Anak pada kelompok ini tidak
mempunyai riwayat keluarga asma, dermatitis atopi, eosinofilia, dan peningkatan
kadar IgE yang lebih dibanding kelompok yang lain. Pada kelompok ini nilai fungsi
paru terendah sudah terjadi saat lahir kemudian pada usia 6 tahun mengalami
perbaikan meskipun tidak pernah senormal anak yang tidak pernah mengalami mengi.

2. Wheezing of late onset. Anak dengan fenotip ini tidak pernah mengalami saluran
napas bawah yang disertai mengi tapi kemudian mengalami mengi pada usia 6 tahun.
Pada kelompok ini mempunya ibu dengan riwayat asma, anak laki-laki dan adanya
riwayat rhinitis pada tahun pertama. Fungsi paru tidak jauh berbeda dibandingkan
dengan anak yang tidak pernah mengalami mengi.
3. Persisten wheezing. Ditandai oleh adanya paling sedikit satu kali penyakit saluran
pernafasan bawah dengan mengi dalam 3 tahun pertama kehidupan dan mengi
ditemukan terus menetap sampai usia 6 tahun. Pada kelompok ini ditemukan ibu
dengan riwayat asma yang lebih banyak dibanding dengan anak yang tidak
mengalami mengi. Pada masa bayi fungsi paru tidak berbeda bermana dibanding
dengan kelompok yang tidak mengalami mengi. Namun pada usia 6 tahun kelompok
ini mengalami wheezing paru yang paling rendah diantara kelompok yang tidak
pernah mengalami mengi.

PATOGENESIS
Karena asma merupakan suatu proses inflamasi kronis yang khas, melibatkan dinding saluran
respiratori, dan menyebabkan terbatasnya aliran udara serta meningkatnya reaktivitas saluran
respiratori. Hiperreaktivitas ini merupakan predisposisi terjadinya penympitan respiratori
sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. Gambaran khas yang menunjukkan
adanya inflamasi saluran resporatori adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel
limfosit-T pada mukosa dan lumen saluran resporatori. Perubahan ini dapat terjadi meskpun
asma tidak bergejala klinis. Pemunculan sel-sel tersebut berhubungan secara luas dengan
derajat beratnya penyakit secara klinis.
Perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratori yang menghasilkan
perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada aliran respiratori. Perubahan ini
dikenal dengan istilah remodelling saluran respiratori atau airway remodelling atau AR.

Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratorik

sedikitnya ada dua jenis Thelper , limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam
produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3 dan granulosit makrofag
koloni stimulating factor (GMCSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF-g, dan TNF-b.
Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL9, IL-3 dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab terhadap terjadinya
reaksi hipersensitivitas tipe lambat maupun yang cell-mediated.
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang
dipresentasikan oleh sel-sel aksesori yaitu suatu proses yang melibatkan molekul major
histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4 + dan MHC kelas I pada sel T
CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cell yang utama dalam saluran nafas.
Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien asma atopik dan
non-atopik wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit T-eosinofil sangatlah

penting, dan hipotesis ini lebih jauh diperkuat lagi oleh ditemukannya sel yang mengekspresi
IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma atopik. IL-5 merupakan sitokin yang penting dalam
regulasi eosinofil. Tingkat keberadaannya pada saluran respiratorik pasien asma berkorelasi
dengan aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.

Inflamasi Akut dan Kronik

Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respon alergi fase cepat dan
pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respon fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh
aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE spesifik, terutama sel mast dan makrofag.
Pada paien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga
ikut berperan. Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respon alergi
fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respon fase lambat. Reaksi cepat
dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE spesifik, terutama sel mast
dan makrofag. Pada paien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya
asma, basofil juga ikut berperan. Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat
menimbulkan respon alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respon
fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE
spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang
kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgM
mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator, seperti
histamin, proteolitik dan enzim glikolitik dan heparin serta mediator newly generated seperti
prostaglandin, leukotrien, adenosin dan oksigen reaktif. Bersama-sama dengan mediatormediator yang sudah terbentuk sebelumnya sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi
kontraksi otot polos saluran respiratrik dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus,
vasodilatasi dan kebocoran mikrovaskuler. Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem
model untuk mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama respon fase lambat dan
selama berlangsung paparan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratorik menghasilkan
sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya sel leukosit proinflamasi
terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi.

Remodelling saluran respiratorik

Merupakan proses yang menyebabkan reposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur
saluran respiratorik. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan sel epitel yang berlanjut,
produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factor (TGF-b) dan
proliferasi serta differensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar submukosa
timbul pada bronkus pasien asma terutama yang kronik dan berat. Secara keseluruhan saluran
respiratorik pada asma memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi yang dapat
menyebabkan penebalan dinding saluran respiratorik. Pada sebagian besar pasien terapat

reversibilitas yang menyeluruh, namun beberapa penderita asma yang tida menunjukkan
gejala mengalami obstruksi saluran respiratorik residual.
PATOFISIOLOGI ASMA

Obstruksi Saluran Respiratorik

Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas pada asma: batuk, sesak dan
wheezing dan disertai hiperaktif saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk
sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh
mediator inflamasi dan terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya
gejala asma yang ditemukan.
Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi ototo polos bronkus yang
diprovokasi oleh pelepasan agonis dari se-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah
histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast; neuropeptida dari saraf
aferen setempat dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran
respiratorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran nafas akibat udem akut, infiltrasi sel-sel
inflamasi dan remodelling , hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vaskuler dan sel-sel
sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratorik. Selain itu, hambatan
saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket
oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular
bronkus dan debris selular.

Hiperreaktivitas Saluran respiratorik

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hipereaktivitas
saluran respiratorik belum diketahui tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot
polos saluran nafas(hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan
perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah
peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama konstraksi otot
polos.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis diperiksa dengan stimulus aerosol histamin atau
metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif kemudian dilakukan pengukuran
perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi lain seperti latihan fisik, hiperventilasi,
udara kering dan aerosol garam hipertonik, adenosin tidak mempunya efek langsung terhadap
otot polos, akan tetapi dapat merangsang penglepasan mediator dari sel mast, ujung serabut
saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratorik. Bila dengan cara histamin didapatkan
penurunan FEV1 20% pada konsentrasi histamin <8mg% maka dapat dikatakan hipereaktif.

KLASIFIKASI ASMA
Dalam GINA 2006 asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta
pola obstruksi aliran udara di saluran nafas.
Derajat penyakit asma ditentukan berdasarkan gabungan penilaian gambaran klinis, jumlah
penggunaan agonis B2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi
awal pasien.
Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut :
1. Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu
Serangan singkat
Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (2 kali)
FEV1 80 % predicted atau PEF 80 %nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal > 2 kali/bulan
FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%
3. Persisten sedang
Gejala erjadi setiap hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala noktunal > 1 kali dalam seminggu
Menggunakan agonis B2 kerja pendek setiap hari
FEV1 60- 80% predicted atau PEF 60- 80% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 >30%
4. Persisten berat
Gejala setiap hari
Serangan sering terjadi
Gejala asma nocturnal sering erjadi
FEV1 60% predicted atau PEF 60% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV >30%
Derajat asma yang dikutip dari Konsensus Pediatri Internasional III tahun 1998:
1. Asma episodik jarang
Merupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai adanya episode <1x tiap 4-6
minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala diantara episodeserangan,
dan fungsi paru normal diantara serangan. Terapi profilaksis dibutuhkan pada
kelpompok ini.
2. Asma episodik sering
Merupakan 20% populasi asma. Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering
dan timbunya mengi pada aktivitas sedangm tetapi dapat dicegah dengan pemberian

agonis B2. Gejala terjadi kurang dari 1x/minggu dan fungsi paru diantara serangan
normal atau hampir normal. Tetapo profilaksis biasanya dibutuhkan.
3. Asma persisten
Terjadi sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi pada
aktivtas ringan, dan diantara interval gejala dibutuhkan agonis B2, lenih dari
3kali/minggu karena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi hari.
Terapi profilaksis sangat dibutuhkan.
Pembagian derajat penyakit asma pada anak
Parameter klinis,
Asma episodik
kebutuhan obat dan faal jarang
paru
(Asma ringan)

1. Frekwensi
serangan

Asma episodik sering

Asma persisten

(Asma sedang)

(Asma berat)

< 1 x / bulan

> 1 x / bulan

Sering

< 1 minggu

1 minggu

Hampir sepanjang
tahun (tidak ada remisi)

biasanya ringan

biasanya sedang

tanpa gejala

sering ada gejala

tidak terganggu

sering terganggu

normal (tidak
ditemukan
kelainan)

mungkin terganggu
(ditemukan kelainan)

2. Lama serangan
biasanya berat
gejala siang & malam
1. Intensitas
serangan
2. Di antara
serangan
3. Tidur dan
aktivitas

sangat terganggu
tidak pernah normal

perlu, non steroid

perlu, steroid

PEF/ FEV1 60-80%

PEF / FEV1 < 60%

variabilitas 20-30%

variabilitas > 30%

tidak perlu
4. Pemeriksaan fisis
di luar serangan
5. Obat pengendali PEF / FEV1 >80%
(anti inflamasi)
6. Uji faal paru (di
luar serangan)
7. Variabilitas faal
paru (bila ada
serangan)

variabilitas < 20%

Jika terdapat keraguan antara derajat penyakit yang satu dengan yang lain maka tatalaksana
diberikan sesuai dengan derajat yang lebih berat.

MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis
Beberapa pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam pertimbangan diagnosis asma
(consider diagnosis of asthma)
-

Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang?


Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari?
Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah berolahraga?
Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat, atau batuk setelah terpajan
allergen atau polutan?
Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan anti-asma?

Setelah menetapkan apakah oseorang anak benar-benar menalami mengi atau batu yang
hebat, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi pola dan derajat gejala. Pola gejala harus
dibedakan apakah gejala tersebut timbul pada saat infeksi virus atau timbul sendiri diantara
batuk pilek biasa. Apabila mengi dan batuk hebat tersebut tidak bersamaan dengan infeksi
virus, selanjutnya harus ditentukan frekuensi dan pencetus gejala. Pencetus yang spesifik
dapat berupa aktivitas, emosi(misalnya menangis atau tertawa), debu, pajanan terhadap bulu
binatang perubahan suhu lingkungan atau cuaca, aerosol/aroma yang tajam dan asap rokok
atau asap dari perapian. Derajat erat ringannya gejala harus ditentukan untuk mengarahkan
pengobatan yang akan diberikan.
Dalam GINA 2006 dinyatakan bahwa anak merupakan kelompok yang sulit untuk
didiagnosis. Hal ini disebabkan karena mengi episodik dan batuk merupakan gejala yang
sering ditemukan pada penyakit anak terutama pada usia <3 tahun. Semakin muda usia anak,
semakin banyak diagnosis banding penyakit untuk menjelaskan mengi berulang/rekuren.
Apabila awitan timbul pada masa neonates, disertai gagal tumbuh, muntah, dan ditemukan
tanda kelainan kardiopulmonal, maka diperlukan pemeriksaan lanjutan, seperti uji keringat
(sweat test) untuk menyingkirkan fibrosis kistik, pemeriksaan fungsi imun, pemeriksaan
untuk menilai adanya refluks, serta foto toraks.
Pada anak dengan gejala batuk rekuren dan mengi ada beberapa hal yang harus ditanyakan
untuk memperkiraka diagnosis banding yaitu :
-

Apakah anak/orangtua benar-benar dapat menjelaskan apa yang disebut mengi?


Apakah terdapat gejala saluran nafas atas : mendengkur, rhinitis, rinosinusitis?
Apakah gejala timbul sejak hari pertama kehidupan?
Apakah awitan gejala sangat tiba-tiba/mendadak?
Apakah terdapat batuk berdahak yan gkronik atau disertai produksi sputum?

Apakah mengi memburuk atau anak menjadi iritabel setelah makan dan bertambah
buruk jika berbaring, muntah atau tersedak?
Apakah terdapat gejala atau gambaran klinis kelainan imunodefisiensi sistemik?
Apakah gejala berlangsung kontinu dan tidak berkurang/membaik?

Meskipun tidak semua mengi adalah asma, tetapi asma merupakan salah satu penyebab
mengi. Maka, mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa semua mendi adalah asma sampai
dibuktikan bukan asma.
Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis, umumnya tidak ditemukan kelainan saat pasien tidak mengalami
serangan. Pada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya lebih berat, dapat dijumpai mengi
di luar serangan.
Dengan adanya kesulitan ini, diagnosis asma pada bayi dan anak kecil (dibawah usia 5 tahun)
hanya merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisis
dan respon terhadap pengobatan). Sebab, pada kelompok usia ini, tes fungsi paru atau
pemeriksaan untuk mengetahui adanya hiperresponsivitas saluran napas tidak mungkin
dilakukan dalam praktek sehari-hari. Tidak jarang, asma pada anak didiagnosis sebagai
bentuk varian bronkitis sehingga mendapatkan pengobatan yang tidak tepat dan tidak efektif,
yaitu berupa pemberian antiobiotika dan obat batuk.
Berdasarkan berbagai hal tersebut diatas, bayi dan anak di bawah 5 tahun dengan batuk
rekuren dan/atau mengi dikelompokkan menjadi 3 kategori,yaitu :
1. Normal
2. Salah satu varian spectrum asma
3. Penyakit atau keadaan serius yang membutuhkan diagnosis dan terapi spesifik
Pada PNAA 2004 dinyatakan bahwa mengi berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal menuju diagnosis. Kemungkinan asma perlu dipikirkan pada anak yang
hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya gejala dan pada pemeriksaan fisis tidak
ditemukan mengi, sesak, dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat dengan batuk malam
hari yang rekuren, asma harus dipertimbangkan sebagai probable diagnosis. Beberapa anak
menunjukkan gejala setelah berolahraga.
Eksaserbasi (serangan) asma
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara progresif.
Gejala dimaksud adalah sesak nafas, batuk, mengi, dada rasa terekan, atau berbagai
kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi diserrai distress pernafasan. Serangan
asma ditandai oleh penurunan PEF atau FEV.
Penilaian derajat serangan asma

Parameter

Ringan

Sedang

Berat

Ancaman henti

klinis, fungsi
paru,

nafas

laboratorium
Aktivitas

Berjalan

Berbicara

Istirahat

Bayi: menangis Bayi:


keras
tangis pendek dan
lemah

Bayi:

Bicara
Kesadaran

Kalimat
Mungkin
teragitasi

Penggal kalimat
Biasanya teragitasi

Kata-kata
Biasanya
teragitasi

Sianosis
Mengi

Tidak ada
Sedang, hanya
pada akhir
ekspirasi

Tidak ada
Nyaring, sepanjang
ekspir +inspirasi

Ada
Sangat nyaring,
terdengar tanpa
stetoskop

Nyata
Sulit/ tidak
terdengar

Biasanya ya

Ya

Gerakan
paradoks
torakoabdominal

Otot bantu nafas Biasanya tidak

berhenti makan

Kebingungan

Retraksi

Dangkal, retraksi Sedang, ditambah


interkostal
retraksi suprasternal

Dalam, ditambah Dangkal/ hilang


nafas cuping
hidung

Laju napas
Laju
nadi
Pulsus
paradoksus

Meningkat
Normal

Meningkat
Takikardia

Meningkat
Takikardia

Menurun
Bradikardia

Tidak ada

10-20 mm Hg

> 20 mm Hg

Tidak ada
(kelelahan otot
napas)

PEFR atau
FEV1

-pra
bronkodilator

(% nilai dugaan / % nilai terbaik)

>60%

40-60%

<40%

>80%

60-80%

<60%

Sa O2 %

>95%

91-95%

< 90%

Pa O2

Normal

>60 mmHg

< 60 mmHg

Pa CO2

< 45 mm
Hg

<45 mm Hg

> 45 mm Hg

-pasca bronko
Dilator

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru mulai dari pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate
(PEFR) atau arus puncak ekspirasi (APE), pulse oxymetry, spirometri, sampai pengukuran
yang kompleks yaitu muscle strength testing, volume paru absolute, serta kapasitas difusi.
Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu : 1. Volume
paru, 2. Fungsi jalan nafas, 3. Pertukaran gas.
Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan maneuver ekpirasi
paksa secara maksimal. Hal ini terutama pada penyakit dengan obstruksi jalan nafas,
misalnya asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan maneuver ini yang dapat dilakukan
pada anak di atas 6 tahun adalah forced expiratory volume in1 second (FEV1) dan vital
capacity (VC) dengan alat spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus
puncak ekpirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan reversibilats
fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendiagnosis asma, menilai derajat berat
penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan asma.
Untuk menilai derajat asma dan respon terapi, PEF harus diukur secara serial dalam 24 jam.
Bahkan jika perlu, diukur selama beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh
nilai baseline melainkan oleh variabilitas, terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah
perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PEF dalam 24 jam. Jika pemeriksaan fungsi paru

tidak tersedia, lembar catatan harian dapat digunakan sebagai alternatif karena metode ini
mempunyai korelasi yang baik dengan fungsi paru.
Pada pemeriksaan spirometri, adanya perbaikan FEV1, sebanyak minimal 12% setelah
pemberian bronkodilator inhalasi dengan/tanpa glukokortikoid mendukung diagnosis asma.
Pada Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, untuk mendukung diagnosis asma anak
dipakai batasan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Variabilitas PEF atau FEV 15%


Kenaikan PEF atau FEV1 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator
Penurunan PEF atau FEV1 20% setelah provokasi bronkus
Penilaian variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama 2 minggu.

Pemeriksaan Hiperreaktivitas Saluran Nafas


Uji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, latihan/olahraga, udara kering dan
dingin, atau dengan salin hipertonik sangan menunjang diagnostik. Pengukuran ini sensitive
terhadap asma, tetapi spesifisitasnya rendah. Artinya, hasil yang negative dapat membantu
menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasil positif tidak selalu berarti bahwa
pasien tersebut memiliki asma.

Pengukuran Petanda Inflamasi Saluran Napas Non-invasif


Penilaian terhadap inflamasi saluran nafas akibat asma dapat dilakukan dengan cara
memeriksa eosinofil sputum, baik yang spontan maupun yang induksi denan garam
hipertonik. Selain itu, pengukuran kadar NO ekshalasi yang merupakan cara menilai petanda
inflamasi yang noninvasive.

Penilaian Status Alergi


Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam serum tidak
banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat membantu menentukan
faktor risiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia <5 tahun dapat digunakan
untuk hal-hal berikut ini :
1. Menetukan apakah anak atopi,
2. Mengarahkan manipulasi lingkungan,
3. Memprediksi prognosis anak mengi
Pemeriksaan laboratorium

Eosinofilia pada darah dan sputum terjadi pada asma. Sputum penderta asma sangan
kental dan keputih-putihan. Pengecatan menggunakan metilen-eosin biasanya
menunjukkan banyak eosinofil dan granula.
DIAGNOSIS BANDING
1. GER
2. Bronkiolitis. Perlu dipikirkan bila bayi < 2 th mengalami serangan wheezing dan
sesak untuk pertama kali. Untuk membedakan antara bronkiolitis dan asma serangan
pertama dilakukan tes bronkodilator. Bila sesak segera hilang, diagnosisnya adalah
serangan asma pertama, tetapi bila sesak tidak berkurang maka kemungkinan asma
belum dapat disingkirkan.
3. Rinosinobronkitis
4. OSAS
5. Fibrosis kistik
6. Primary cilliary dyskinesis
7. Benda asing. Pada anamnesis terdapat riwayat tersedak.
8. Vocal cord dysfunction
9. Tuberculosis kelenjar. Tuberculosis kelenjar yang menekan trakea atau bronki
kadang-kadang menimbulkan wheezing persisten.
ALUR DIAGNOSIS
Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respon terhadap pemberian obat asma baik,
pemeriksaan lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Jika respon terhadap obat asma tidak baik,
sebelum mengganti obat dengan yang lebih poten, harus dibilai lebih dulu apakah dosis
adekuat, cara dan waktu pemberian sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua
aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar, diagnosis bukan asma perlu
dipikirkan.
Berdasarkan alur di atas, diagnosis akhir pada setiap anak dengan gejala batuk dan/atau
mengi dapat berupa sebagai berikut :
1. Asma
2. Asma dengan penyakit lain
3. Bukan asma
Di Indonesia, tuberculosis masih merupaka penyakit yang banyak dijumpai dan salah satu
gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu, uji tuberculin perlu dilakukan
baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan. Dengan cara itu,
penyakit TB yang mungkin terdapat bersamaan dengan asma dapat didiagnosis dan
diterapi. Jika pasien memerlukan steroid untuk pengobatan asma, TB pasien tidak akan
mengalami perburukan karena telah dilindungi dengan obat.
SERANGAN ASMA AKUT
Definisi

Serangan asma akut adalah episode perburukan progresif gejala-gejala batuk, sesak napas,
mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Serangan asma biasanya
karena kegagalan penatalaksanaan asma jangka panjang atau adanya pajanan terhadap
pencetus. Derajatnya bervariasi dari yang ringan sampai yang mengancam nyawa. Karena itu
serangan asma merupakan kegawatdaruratan medik. Namun, serangan asma bisa dicegah atau
paling tidak dikurangi, dengan melakukan identifikasi dini dan terapi intensif.
Tujuan tatalaksana serangan asma
1.
2.
3.
4.

Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin


Mengurangi hipoksemia
Mengembalikan keadaan paru ke fungsi normal secepatnya
Rencana reevaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.

Patofisiologi serangan asma akut


Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran pernapasan secara
luas yang disebabkan oleh kombinasi spasme otot polos bronkus, edema mukosa akibat
inflamasi saluran napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata
di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Dengan tersumbatnya
jalan napas, maka tahanan jalan napas meningkat, udara paru terperangkap dan hiperinflasi
paru. Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus,
menyebabkan ventilasi dan perfusi tidak padu padan (ventiation-perfusion mismatch)
Hiperinflasi paru akan meningkatkan compliance paru sehingga terjadi peningkatan
kerja napas. Tekanan intrapulmonal akan meningkat supaya supaya ekspirasi melalui jalan
napas yang sempit dapat terjadi. Peningkatan tekanan intra pulmonal akan menyebabkan
penutupan dini saluran napas, sehingga meningkatkan terjadinya risiko pneumothorax.
Peningkatan tekanan intratorakal dapat mempengaruhi aliran balik vena dan mengurangi
curah jantung, serta bermanifestasi menjadi pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja
napas menimbulkan perubahan gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi
hipoksia, terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 turun lalu menjadi alkalosis respiratorik.
Namun, karena obstruksi jalan napas yang berat akhirnya terjadi kelalhan otot napas dan
hipoventilasi alveolar yang berakibat hiperkapnia lalu terjadi asidosis respiratorik. Oleh
karena itu jika kadar PaCO2, terus meningkat, meskipun masih dalam kadar yang normal, kita
harus mewaspadai tanda-tanda kelelahan otot napas dan terjadinya gagal napas. Selain itu
dapt pula terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan atau produksi laktat otot napas
yang kelelahan.
Hipoksia dan asidosis dapat merusak sel alveolus sehingga produksi surfaktan
berkurang atau tidak ada sama sekali sehingga meningkatkan risiko terjadinya atelektasis.
Penilaian Derajat Serangan Asma
Parameter Klinis Fungsi
Ringan

Sedang

Berat

Paru

Sesak (Breathless)

Posisi

Bicara
Kesadaran
Sianosis
Mengi

Penggunaan otot bantu


respiratorik

Retraksi

Frekuensi Napas

Frekuensi Nadi

Tanda
ancaman
henti napas
Berjalan
Berbicara
Istirahat
Bayi :
Bayi: tangis Bayi : tidak
menangis
pendek dan mau
keras
lemah,
minum/maka
kesulitan
n
menyusu
atau
bernapas
Bisa
Lebih suka Duduk
berbaring
duduk
bertopang
lengan
Kalimat
Penggal
Kata-kata
kalimat
Mungkin
Biasanya
Biasanya
Irritable
irritable
irritable
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Sedang,
Nyaring,
Sangat
sering hanya sepanjang
nyaring,
pada akhir ekspirasi terdengar
ekspirasi
ekspirasi
tanpa
stetoskop
sepanjang
ekspirasi atau
inspirasi
Biasanya
Biasanya ya Ya
tidak

Dangkal,
retraksi
interkostal

Ancaman
henti napas

Kebingungan
Nyata
Sulit
atau
tidak
terdengar

Gerakan
paradoks
torakoabdominal
Dangkal/
hilang

Sedang,
Dalam,
ditambah
ditambah
retraksi
napas cuping
suprasternal
hidung
Takipnea
Takipnea
Takipnea
Bradipnea
Pedoman nilai laju baku napas pada anak sadar :
Usia
Frekuensi napas normal
<2 bulan
<60/menit
2-12 tahun
<50/menit
1-5 tahun
<40/menit
6-8 tahun
<30/menit
Normal
Takikardi
Takikardi
Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak :
Usia
Laju nadi normal

Pulsus Paradoksus
(pemeriksaannya tidak
praktis)
PEFR atau FEV1 (% nilai
prediksi/% niai terbaik)
Prabronkodilator

Pascabronkodilator

SaO2%
PaO2%

2-12 bulan
1-2 tahun
3-8 tahun
Tidak ada
<10 mmHg

>60%
>80%

<160/menit
<120/menit
<110/menit
Ada
Ada
10-20 mmHg >20 mmHg

40-60%
60-80%

>95%
91-95%
Normal
>60 mmHg
(biasanya
tidak perlu
diperiksa
<45 mmHg
<45 mmHg

PaCO2

Tidak
ada,
tanda
kelelahan otot
napas

<40%
<60%
Respons<2
jam
90%
<60 mmHg

>45 mmHg

Derajat serangan harus digolongkan ke derajat yang lebih berat apabila pasien memberi
respon yang kurang baik pada terapi atau serangan memburuk lebih cepat atau pasien
berisiko tinggi.
Pasien Risiko Tinggi :
Pasien tertentu memiliki risiko tinggi untuk menglami serangan berat yang mengancam
nyawa, yaitu antara lain pasien dengan riwayat sebagai berikut :

Serangan asam yang mengancam nyawa


Intubasi karena serangan asma
Pneumotoraks atau pneumomediastinum
Timbul gejala dalam jangka waktu yang lama
Belum lama atau baru lepas dari penggunaan steroid sistemik
Kunjungan ke IGD atau perawatan di rumah sakit karena asma dalam setahun terakhir
Tidak teratur berobat sesuai rencana
Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
Penyakit psikiatrik atau masalah sosial

Alur Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak

Terapi Medikamentosa

Bronkodilator
-adrenergik short acting
-adrenergik agonis merupakan terapi fundamental dan pilihan pada serangan
asma. Stimulasi terhadap reseptor -adrenergik menyebabkan perubahan ATP
menjadi Cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos yang menyebabkan
terjadinya bronkdilatasi. Efek lainnya antara lain peningkatan klirens

mukosilier, penurunan permeabilitas vaskular, dan berkurangnya pelepasan


mediator dari sel mast. Reseptor 1 terutama terdapat di jantung, sedangkan
reseptor 2 terutama terdapat di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus,
sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, serta pankreas.
o Epinefrin/adrenalin
Penggunaan epinefrin tidak direkomendasikan lagi untuk mengobati
serangan asma akut, kecuali jika tidak ada 2 agonis selektif.
Pemberian subkutan : epinefrin 1:1000 (1 mg/ml) dengan dosis : 0,01
ml/kgBB (maksimum : 0,3 ml) dapat diberikan 3 kali dengan selang 20
menit. Inhalasi racemic epinephrin 2,25% aerosol dapat diberikan
dengan nebuliser.
Efek samping : sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, teremor dan
hipertensi.
o 2 agonis selektif
Jenis 2 agonis selektif yang sering digunakan antara lain salbutamol,
terbutalin dan fenoterol.
Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/KgBB/x/6 jam
Dosis Terbutalin oral adalah 0,05-0,1 mg/KgBB/x/6 jam.
Dosis fenoterol 0,1 mg/kgBB/x/6 jam.
Dosis salbutamol subkutan 10-20 mcg/kgBB/x
Dosis terbutalin subkutan 5-10 mcg/kgBB/x
Pemberian oral efek bronkodilatasinya akan mulai setelah 30 menit,
efek puncak dicapai dalam 2-4 jam, lama kerja 5 jam. Pemberian
inhalasi efek brnkodilatasinya dalam 1 menit, efek puncak dalam 10
menit dan lama kerja 4-6 jam. Pemberian subkutan tidak memberikan
efek lebih baik dari inhalasi karena itu tidak dianjurkan jika cara
inhalasi memungkinkan.
Pemberian secara inhalasi unutk serangan ringan dengan menggunakan
metered dose inhaler (MDI) 2-4 semprotan (puff) tiap 3-4 jam, untuk
serangan sedang 6-10 semprotan tiap 1-2 jam, serangan berat 10
semprotan. Pemberian MDI dengan spacer dan masker sebanyak 3-4
kali semprotan memiliki efek yang sama dengan nebulizer. Dosis
salbuta,ol untuk nebulizer : 0,1-0,15 mg/kgBB (maksimal : 5 mg/x),
dengan interval 20 menit atau nebuliser secara kontinu dengan dosis
0,3-0,5 mg/KgBB/jam (maksimal 15 mg/jam). Pasien yang tidak
responsif dengan pemberian 2 kali MDI atau spacer atau nebuliser
digolongkan sebagai nonresponder dan pada inhalasi ke-3 diberikan
ipatropium bromida. Nebulasi terbutalin dapat diberikan dengan dosis
2,5 mg atu 1 respules/nebulisasi.
Pemberian secara IV dapat dilakukan pada serangan asma berat, karena
pada saat seperti itu obat yang diberikan secara inhalasi sulit mencapai
bagian distal obstruksi. Namun, beberapa penelitian menunjukkan
tidak ada perbedaan yang bermakna antara IV dan inhalsi pada

keadaan tersebut. Pemberian IV dapat dipertimbangkan jika pasien


tidak merespon pemberian cara inhalasi. Salbutamol IV dosis : 0,2
mcg/kgBB/menit naikkan 0,1 mcg tiap 15 menit dengan dosis
maksimal 4 mcg/KgBB/menit. Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB
melalui infus, selanjutnya dilanjutkan dengan 0,1-4 g/KgBB/jam
dengan infus kontinu.
Efek samping 2 agonis antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
palpitasi, takikardi, ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang
dapat menyebabkan hipokalemia dan hipokalemi.
Methyl Xanthine (teofilin kerja cepat)
Memiliki efek samping yang lebih banyak serta batas keamanan yang lebih
sempit dari 2 agonis sehingga hanya diberikan pada asma berat yang tidak
berespon terhadap 2 agonis dan antikolinergik serta steroid. Dosis awal
aminofilin : 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam 20 ml D5% atau NaCl 0,9% dalam
20-30 menit. Jika sudah mendapat aminofilin 12 jam sebelumnya, dosis
diberikan setengahnya. Dosis rumatan 0,5-1 mg/kg BB/jam. Dosis maksimal
16-20 mg/kgBB/hari.Efek samping : mual, muntah, sakit kepala, pada
konsentrasi lebih tinggi menimbulkan kejang, takikardi, aritmia.
Initial dose unutk aminofilin :
1-6 bulan : 0,5 mg/kgBB/jam
6-11 bulan : 1,0 mg/kgBB/jam
1-9 tahun : 1,2-1,5 mg/kgBB/jam
Usia>10 tahun : 0,9 mg/kgBB/jam

Antikolinergik
Pemberian nebulasi 2 agonis dan antikolinergik (ipratopium bromida) menghasilkan
efek bronkodilatasi yan lebih baik jika masing-masing obat diberikan secara sendirisendiri. Kombinasi ini diberikan jika 1 kali nebulisasi 2 agonis tidak/kurang
memberikan respon. Dosis : 0,1 ml/KgBB, nebulisasi per 4 jam. Dapat juga diberikan
dalam larutan 0,025% dengan dosis : >6 tahun 8-20 tetes, usia <6 tahun 4-10 tetes.
Efek sampingnya antara lain kekeringan (minimal) atau rasa tidak enak di mulut
(dosis oral 0,6-8 mg/kgBB pada orang dewasa.

Kortikosteroid
Tidak diberikan pada serangan asma ringan. Dapat diberikan pada keadaan :
- Terpai inhalasi 2 agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup
lama.
- Serangan asma tetap terjadi meskipun pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai controller.
- Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya

Untuk mencapai perbaikan klinis membutuhkan waktu 4 jam, efek maksimum dicapai
12-24 jam. Pemberian kortikosteroid bisa mencegah progresivitas asma, mencegah
perlunya rawat inap di rumah sakit, mengurangi gejala, memperbaiki fungsi paru,
serta memperbaiki respon bronkodilatasi yang ditimbulkan oleh 2 agonis. Preparat
oral antara lain prednison, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1-2 mg/kg
BB/hari diberikan 2-3 kali perhari selama 3-5 hari.
Kortikosteroid IV perlu diberikan pada kasus asma yang dirawat di rumah sakit.
Metilprednisolon merupakn pilihan utama karena penetrasinya ke jaringan paru yang
paling baik, memberikan efek antiinflamasi yang lebih besar, serta efek
mineralokortikoid yang minimal. Dosis metilprednisolon IV 1 mg/kgBB/4-6 jam.
Hidrokortison IV dosisnya 4 mg/kgBB setiap 4-6 jam. Deksametason pemberiannya
secara bolus IV, dengan dosis -1 mg/KgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari, diberikan
setia 6-8 jam.

Obat-Obat Lain
- Magnesium Sulfat
Dianjurkan sebagai terapi sistemik pada serangan asma berat. Pemberian obat
ini dipertimbangkaan pada anak dengan serangan asma berat yang dirawat di
ICU, terutama yang tidak/kurang berespon terhadap pemberian kortikosteroid
sistemik berulang dengan 2 agonis dan aminofilin. Dosis magnesium sulfat
25-50 mg/kgBB IV, diberikan selama 1 jam. Kadar magnesium serum
sebaiknya diperiksa tiap 6 jam. Infus magnesium harus dititrasi untuk menjaga
kadar magnesium dalam darah tetap sebesar 3,5-4,5 meq/dl. Efek samping
pkelemahan otot, penurunan refleks tendon dalam., hipotensi, takikardia,
muntah, flushing kulit, dan disritmia jantung.
- Mukolitik
Pemberian Mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat dilakukan
tetapi harus ati-hati pada anak-anak yang refleks batuknya tidak
optimal.inhalasi mukolitik hasilnya tidak sugnifikan
- Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan
- Obat sedasi
Pemberian obat sedasi juga tidak dianjurkan pada asma, karena dapat
mendepresi pernapasan
- Antihistamin
Antihistamin dapat memperburuk keadaan pada serangan asma, karena dapat
memperkental sputum
Terapi Suportif
- Oksigen
Dapat diberikan pada serangan sedang dan berat. Sebaiknya pada bayi dan
anak kecil diukur juga saturasi oksigennya. Jika sudah diberi oksigen namun
saturasi masih di bawah 90% dan kondisi pasien memburuk, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan analisa gas darah. Pertahankan saturasi oksigen di
level 95% pada bayi dan anak. Hal ini dapt dicapai dengan cara memberikan
oksigen melalui kanula nasal, masker atau kadang-kadang head box pada

bayi.pada nebulisasi 2 agonis, sebaiknya oksigen diberikan untuk mengatasi


efek samping hipoksia.
Capuran helium dan oksigen
Inhalasi Kelioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pada pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan
pulses paradoksus, peakflow, dan mengurangi sesak. Cara ini juga bisa
mencegah kebutuhan ventilasi mekanik pada beberapa pasien. Hal ini terjadi
karena sifat helium yang ringan yang dapat mengubah aliran turbulen menjadi
laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli. Tetapi
masih dilakukan penelitian leboh lanjut mengenai efek helioks pada serangan
ama.
Terapi cairan
Dapat dilakukan pada asma berat. Hal ini terjadi karena kurang kuatnya
asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea, serta akibat efek
diuretik teofilin. Pemberian cairan harus berhati-hati untuk menghindari efek
overhydration; pada asma berat, terjadi peningkatan sekresi ADH yang
memudahkan retensi cairan serta terdapat tekanan negatif yang tinggi dari
tekanan pleura pada puncak inspirasi (peak inspiratory pleural pressure) yang
memudahkan terjadinya edema paru. Biasanya jumlah caairan yang diberikan
adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

TATALAKSANA JANGKA PANJANG ASMA PADA ANAK


Tujuan

Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak pada umumnya, ternasuk
bermain dan berolahraga.
Sesedikit mungkin angka absensi sekolah
Gejala tidak timbul pada siang atau malam hari
Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok
Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan
Efek samping obat dapat dicegah sehingga tidak/sesedikit mungkin timbul, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dibagi dalam 2 kelompok besar, obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller).
a. Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator 2
agonis hirupan kerja pendek atau golongan xantin kerja cepat. Hanya jika perlu saja.

Jika hirupan tidak ada, 2 agonis dapat diberikan per oral. Penggunaan teofilin
sebagai bronkodilator semakin tidak dianjurkan penggunaannya sebab batas
keamanannya sempit. Namunnjika tidak tersedia 2 agonis oral, teofilin dapat
digunakan dengan memperhatikan efek samping. Pemberian anti inflamasi sebagai
obat pengendali untuk asma ringan tidak dianjurkan.
b. Asma Episodik Sering
Penggunaan 2 agonis hirupan lebih dari 3x seminggu (tanpa menghitung penggunaan
pra aktivitas fisik), atau serangan sedang atau berat terjadi lebih dari sekali dalam
sebulan, merupakan indikasi penggunaan antiinflamasi sebagai pengendali. Obat yang
digunakan adalah kortikosteroid dosis rendah. Kortikosteroid yang digunakan sebagai
standar adalah budesonid. Dosis budesonid antara lain :
- <12 tahun : 100-200 g/hari
- >12 tahun : 200-400 g/hari
Jika tatalaksana suatu derajat asma sudah adekuat, namun responnya tetap tidak baik
dalam 8-12 minggu maka tatalaksananya berpindah ke derajat asma yang lebih kuat
(step up), namun jika asma terkendali dalam waktu 8-12 minggu, maka
tatalaksananya bepindah ke derajat yang lebih ringan (step down), jika
memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
c. Asma Persisten
Bergantung pada kasusnya, steroid dapat diberikan langsung dosis tinggi lalu
diturunkan sampai dosis rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya,
mulai dari dosis rendah sampai dosis tinggi hingga gejala dapat dikendalikan. Dosiss
steroid hirupan yang masih dianggap aman, setara budesonid 400g/hari. Efek
samping steroid hirupan yaitu mengganggu pertumbuhan dapat dikurangi dengan
penggunaan spacer yang bertujuan untuk mengurangi deposisi obat di orofaringeal.
Selain itu pasien dianjurkan berkumur setelah menggunakan obat, lalu air kumurnya
dibuang. Jika setelah pemberian steroid oral dosis rendah tidak ada perbaikan, maka
steroid dapat ditingkatkan ke dosis medium (setaa dengan 200-400 gram budesonid)
atau dapat diberikan steroid dosis rendah ditambah 2 agonis long acting (LABA),
atau teophylline slow release (TSL), atau anti-leukotriene reseptor (ALTR).
Jika setelah 8-12 minggu masih ada gejala asma, dapat diberikan steroid dosis tinggi
atau tetap diberikan steroid dosis rendah namun ditambah LABA, atau TSR atau
ALTR.
Dosis tinggi steroid hirupan adalah :
- Anak<12 tahun : 400 g budesonid/hari
- Anak >12 tahun : 600 g budesonid/hari
Jika dosis hirupan sudah mencapai >800 g/hari,tetapi tidak menimbulkan respon
yang baik, maka dapat digunakan steroid oral. Dosis awal steroid oral adala 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan
selang sehari pada pagi hari. Pemberian antihistamin nonsedatif seperti ketotifen dan

setrizin dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis, namun ini hanya untuk
mengobati rinitisnya saja.
Kebijakan Step up dan step down
Syarat-syarat step up :
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah
dilakukan
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan sudah tepat caranya
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4-6 minggu
4. Efek samping ICS (inhaled corticosteroid) tidak ada
Syarat-syarat step down :
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis
terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebab-sebabnya dan kalau sudah dikoreksi,
maka ICS dapat diturunkan bersama-sam dengan penambahan LABA dan atau
ALTR.
Cara Pemberian Obat
Usia
<5 tahun

5-8 tahun

>8 tahun

Alat Inhalasi
Nebuliser
MDI (metered dose inhaler) dengan alat peregang (spacer),
aerochamber, babyhaler
Nebuiser
MDI dengan spacer
DPI (dry powder inhaler) : diskhaler, turbuhaler
Nebuliser
MDI dengan spacer
DPI
MDI tanpa spacer

ASMA DENGAN MASALAH KHUSUS

1. Excercise-induced asthma (EIA)


Excercise-induced asthma adalah penyempitan saluran nafas yang bersifat sementara
setelah melakukan aktivitas fisik yang berat. Menurut GINA, EIA merupakan

manifestasi dari hiperaktivitas bronkhial, bukan merupakan bentuk khusus penyakit


asma. Sering terjadi pada anak dan deasa muda karena aktivitasnya yang tinggi.
Mekanisme terjadinya penyempitan saluran napas pada EIA, berhubungan dengan
perubahan mukosa saluran respiratorik akibat hiperventilasi, atau perubahan
osmolaritas cairan pada mukosa saluran respiratorik.
Diagnosis
Diagnosis EIA dimulai dari anamnesis untuk mengidentifikasi anak dengan asma
persisten, termasuk riwayat pemakaian SABA inhalasi serta respon klinisnya, riwayat
pemeriksaan uji fungsi paru pada anak usia di atas 5 tahun, kemampuan melakukan
aktivitas fisik yang terbatas, timbulnya gejala setelah melakukan aktivitas fisik, serta
faktor pencetus dan faktor yang memperberat gejala seperti udara dingin dan jenis
udara yang dilakukan. Geoffrey dkk mencoba menyusun jenis olahraga yang tersering
menimbulkan EIA sampai yang terjarang antara lain maraton, treadmill, sepeda
ergometer, renang, atau jalan santai. Gejala EIA meliputi napas pendek, batuk,
wheezing, rasa dada tertekan dan sesak napas. EIA sering tidak disadari oleh orang
tua maupun anaknya sehingga tidak terdiagnosis oleh dokter.
Temuan subyektif pada EIA antara lain : wheezing, batuk, napas pendek, merasa
kondisi fisik tidak sehat, kurang berminat terhadap aktivitas fisik, sedangkan temuan
objektivnya antara lain : penurunan FEV1 10-15%, proteksi terhadap penurunan
FEV1 sebesar 15%, respon positiv terhadap bronkodilator.
Patofisiologi
Terdapat dua hipotesis, yaitu hipotesis termal dan hipotesis osmotik. Menurut
hipotesis termal, mukosa saluran respiratorik menyalurkan panas dan energi ke dalam
saluran respiratorik di bawah mukosa. Pada keadaan saluran respiratorik yang dingin
setelah aktivitas fisik, akan terjadi mekanisme pemanasan secara cepat, dan
mengakibatkan kongesti dan peningkatan permeabilitas vaskular serta edema yang
akhirnya menimbulkan penyempitan bronkus.
Menurut hipotesis osmotik, penguapan air dari mukosa saluran respiratorik akan
menyebabkan timbulnya keadaan hiperosmolar, seingga air akan bergerak dari sel-sel
di sekitarnya dan volume sel tersebut akan berkurang. Keringnya saluran respiratorik
dan keadaan hiperosmolaritas tersebut akan mengakibatkan degranulasi sel mast,
selanjutya terjadi pelepasan mediator-mediator inflamasi, antara lain leukotrien, yang
kemudian menimbulkan bronkokonstriksi.
Mediator-mediator lain yang ikut berperan antara lain prostaglandin, konsentrasi
adenosin plasma dan NO.
Terapi
Hampir semua anak dengan EIA adalah asma persisten dengan aktivitas fisik sebagai
pencetus EIAnya. Penatalaksanaan asma persiten dengan kortikosteroid inhalasi akan
membantu penyembuhan EIAnya. Sementara terapi nonfarmakologinya adalah diet

rendah garam. Selain itu, melakukan pemanasan sebelum berolahraga dan diakhiri
dengan pendinginan baik untuk mencegah EIA.
2. Asma Nokturnal
Secara objektif, pemeriksaan fungsi paru penting untuk melihat keparahan dari asma
nokturnal. Peak flow meter merupakan pemeriksaan yang murah dan dapat
memberikan gambaran buat pasien dan dokter mengenai perubahan fungsi paru pada
malam hari. Sehingga pasien lebih waspada terhadap kemungkinan serangan malam
hari. Studi yang dilakukan oleh Turner dkk menunjukkan pasien dengan serangan
asma malam memiliki derajat serangan nerat kurang dari 50% sedangkan sebagian
besar sebagian besar pasien memiliki derajat serangan ringan sampai sedang. Banyak
pasien yang menjadi terbiasa dengan keadaan penyempitan saluran napas, sehingga
tidak berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Banyak pasien yang tidak memiliki
persepsi mengenai derajat penyempitan saluran respiratori secara obyektif, sehingga
diperlukan pengukuran dengan peak flow meter.
Penatalakasanaan
Tujuan penatalaksanaan asma nokturnal adalah mempertahankan fungsi aru dan
memperbaiki kualitas tidur. Sebelumnya sebaiknya dipahami tentang konsep
multifaktorial yang dapat menyebabkan asma nokturnal. Pada malam hari terjadi
penurunan kadar kortisol, adrenalin dan temperatur suhu tubuh serta peningkatan
tonus vagal yang terjadi secara normal sesuai dengan irama sirkadian tubuh.
Peningkatan inflamasi yang disebabkan oleh penurunan kortisol dan adrenalin
tersebut menyebabkan terjadinya serangn asma di malam hari.

Faktor reversibilitas
Faktor ekstrinsik harus dipertimbangkan pada setiap pasien meskipun faktorfaktor tesebut sulit diketahui. Walaupun seseorang tidak menunjukkan gejala
pada siang hari, namun agen-agen pencetus (faktor ekstrinsik) yang terdapat
di lingkungannya, baik lingkungan kerja maupun di rumah (seperti bulu
binatang, debu kayu) juga dapatnya menyebabkan timbulnya gejala efek
lambat dan asma nokturnal.
Pada pasien dengan rinosinusitis, yang aspirasi cairan sinusnya dapat
memperburuk asma,maka diperlukan pengobatan rinosinusitis dengan
menggunakan larutan salin, dekongestan oral dan steroid nasal.
Pada pasien dengan GERD yang aspirasi asam lambungnya dapat
menginduksi asma nokturnal, dapat dicoba penggunaan batang kayu atau
batu bata berukuran 4 inci yang digunakan saat tidur. Pemberian obat yang
mempercepat pengosongan isi lambung seperti metoclopropamide dapat
membantu.
Paisen yang mengalami hipersomnolen, mendengkur dengan keras, iritabel,
gelisah dalam tidur, hipertensi, eritrositosis, atau gejala lain yang menuju

sleep apnea sebaiknya diperiksakan lebih lanjut kemudian diobat bila benar
terbukti sleep apnea. Banyak metode untuk mengobati sleep apnea, namun
yang paling berhasil adalah cpap nasal.
2-adrenergik agonis
Untuk mengatasi asma nokturnal digunakan 2-adrenergik agonis kerja
panjang, salmeterol. 50 g salmeterol dapat memperbaiki kualitas tidur dan
50-100 g salmeterol secara inhalasi 2 kali sehari akan memperbaiki arus
puncak pagi hari bila dibandingkan plasebo
Teofilin
Zwillich dkk menunjukkan adanya keunggulan penggunaan teofilin lepas
berkala (12 jam) dalam pengobatan asma nokturnal ringan sampai sedang
bila dibandingkan dengan 2-adrenergik agonis lepas pendek. Tidak hanya
perbaikan FEV1 pada waktu pagi, tetapi juga didapati lebih sedikit desaturasi
oksigen pada malam hari. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua
obat tersebut dalam perubahan kualitas tidur. Selain itu, penelitian lain
menunjukkan teofilin memiliki efek sebagai antiinflamasi.
Kortikosteroid
Beam dkk menyatakan bahwa waktu pemberian kortikosteroid yang tepat
berperan dalam pencegahan masuknya sel-sel inflamasi ke paru sesuai irama
sirkadianhasil penelitian tersebut menekankan terdapatnya hubungan antara
dosis dan waktu pemberian prednison terhadap penurunan perburukan fungsi
paru pada malam hari dan penurunan inflamasi saluran napas. Pemberian
steroid inhalasi dapat dipertimbangkan pada pasien asma nokturnal, tetapi
memberikan hasil yang beranekaregam.
Antikolinergik
Morison dkk mengatakan bahwa pemberian atropin dapat menimbulkan
bronkodilatasi pada pukul 04.00 sampai pukul 16.00. Dibutuhkan dosis
malam hari yang lebih tinggi daripada dosis malam hari yang hari lebih
tinggi daripada dosis siang hari untuk memperpanjang waktu efektif kerja
obat, namun hal tersebut dapat meningkatkan timbulnya efek samping
Modifikasi Leukotrien
Obat ini memerlukan evaluasi yang lebih lanjut yang berhubungan dengan
dosis dan waktu pemberian serta kemampuannya mempengaruhi respon
inflamasi pada malam hari. Walaupun demikian, pasien yang gagal dengan
pengobatan yang telah disebutkan di atas, obat ini dapat diberikan.
Efektivitas obat pada setiap pasien dapat diapantau dengan pemeriksaan
obyektif seperti PFR dan perbaikan gejala yang terjadi.

PENCEGAHAN ASMA
Beberapa langkah penangan asma pada anak adalah sebagai berikut :

1.
2.
3.
4.
5.
6.

pemberian edukasi pada pasien dan keluarganya tentang asma


Penilai dan pemantauan derajat asma
Penghindaran terhadap factor resiko
Pembuatan rencana tatalaksana jangka panjang
Menatalaksana eksaserbasi atau serangan
Follow-up

Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi atau anak yang
mempunyai resiko untuk menjadi asma di kemudian hari. Langkah pertama adalah mengenali
adanya faktor resiko untuk terjadinyadinya asma di kemudian hari yaitu dengan mengenali
orangtua dengan atopi. Oleh karena itu, upaya pencegahan primer sudah dapat dilakukan
dimulai ketika belum terjadinya potensi genetic bersatu, yaitu dengan rekayasa genetika.
Akan tetapi, hal ini belum dapat dilakukan, sehingga upaya pencegahan primer saat ini masih
ditujukan pada janin atau bayi dengan risiko asma. Pada masa prenatal, orangtua dihindari
terhadap lingkungan yang dapat bersifat sebagai faktor risiko. Penghindaran yang dianjurkan
adalah terhadap lingkungan, terutama indoor pollutants yaitu asap rokok, debu rumah yang
mungkin mengandung banyak tungau debu rumah, dan lain-lain.
Pada masa pascanatal, bayi dihindari dari pemberian air susu ibu (ASI) yang mengandung
makanan yang dapat menyebabkan alergi. Pemberian ASI yang lama (4 bulan) dapat
mengurangi resiko asma di kemudia hari.
Sherman melaporkan bahwa pemberian antibiotik pada awal kehidupan dapat meningkatkan
kejadian asma. Hal ini dibantah oleh Coledon dkk., yang mendapatkan data bahwa pemberian
antibiotik pada awal kehidupan tidak mempengaruhi prevalens asma.
Pemberian probiotik untuk menurunkan kejadian asma saat ini banyak dibicarakan.
Diperkirakan acaranya adalah melalui supresi Th2 yang berperan terhadap inflamasi dan
produksi IgA. Faktor yang meningkatkan prevalens asma yang sudah disepakati adalah
infeksi respiratory sincytial virus (RSV). Ada dua kemugkinan mekanisme terjadinya
peningkatan tersebut. Mekanisme pertama, mungkin saja pada anak tersebut, yang telah
mempunyai riwayat atopi, melakukan reaksi berlebihan terhadap infeksi RSV, sehingga
kerusakan pada saluran respiratorik menjadi lebih hebat dan berdampak di kemudian hari.
Mekanisme kedua, infeksi RSV akan mengakibatkan kerusakan hebat pada saluran
respiratorik, sehingga kemudian tersebut berdampak di kemudian hari.
Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma/inflamasi pada seorang anak yang
sudah tersensitisasi. Secara klinis hal ini telah dibuktikan dengan menggunakan obat
antihistamin.
Selain pemberian obat-obatan tersebut, faktor resiko lain seperti allergen harus dihindari juga.
Pencegahan sekunder juga sama seperti pada pencegahan primer, sebab tanpa penghindaran
terhadapa allergen maka pencegahan sekunder menjadi tidak bermakna.

Pencegahan tersier
Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan pada seorang anak yang sudah
menderita asma dengan menghindari kontak dengan faktor pencetus.

Daftar Pustaka
Rahajoe Nastiti N, Supriyatno Bambang, Setyanto Darmawan. Buku Ajar Respirologi. Edisi
ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI : 2008. h.71-198
World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Pedoman Bagi
rumah Sakit Rujukan di Tingkat kabupaten/kota. Depkes RI : 2009. h. 99-102
Behrman Richard, Kliegman Robert, Arvin Ann. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi ke-15.
Jakarta : EGC. 2000. h. 776
Purnomo. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronkiale pada
Anak. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. 2008
Asma. Diunduh dari www.pediatrik.com pada Februari 2011
Konsensus Asma

Anda mungkin juga menyukai