Anda di halaman 1dari 6

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

ISU, TANTANGAN DAN KEBIJAKSANAAN


BETI NASUTION
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
1. Pendahuluan
Dalam berbagai seminar, isu pengembangan Sumber Daya Manusia(SDM)
telah banyak mendapat perhatian. Peningkatan SDM pada dasarnya merupakan
proses peningkatan kualitas manusia dan mentransformasikan manusia menjadi
angkatan kerja produktif, sementara kualitas SDM yang diinginkan (khususnya
dalam PJP II) adalah mampu melaksanakan pembangunan nasional secara inovatif
dan kreatif, secara produktif dan dengan semangat kerja dan disiplin tinggi
(Simanjuntak, 1994).
Pada tingkat makro atau publik berbagai indikator pengembangan SDM telah
ditetapkan antar lain menyangkut peningkatan pendidikan dan ketrampilan
penciptaan lapangan pekerjaan peningkatan efisiensi dan produktifitas kerja dan
peningkatan status kesehatan dan gizi. Dan pada tingkat mikro atau organisasi telah
disarankan berbagai indikator seperti penguasaan teknologi dan pengembangan
kemampuan manusia setinggi mungkin (profesionalisme), serta pemberdayaan
dalam pengambilan keputusan (partisipasi).
Nampaknya respons pemerintah terhadap isu peningkatan SDM cukup cepat
seperti dimanifestasikan dalam berbagai program. Pada tingkat makro misalnya,
telah dicanangkan program yang mengarah pada "link and match" untuk pendidikan
formal, dan pelatihan ketrampilan di berbagai bidang bagi publik yang membutuhkan
dsb. Pada tingkat makro atau organisasi publik, berbagai tipe training atau
pendidikan dan latihan telah dibentuk atau diaktifkan kembali, seperti peningkatan
loyalitas pegawai negeri, training yang bersifat teknis dan fungsional, administrasi
dan manajemen, ilmu dan teknologi, dan bidang-bidang khusus (Kristiadi, 1992).
Nampaknya pemerintah sudah cukup memberikan perhatian pada jenis dan kualitas
pendidikan dan pelatihan dalam menanggapi tuntutan lingkungan yang semakin
lama semakin kompleks, baik tuntutan atau permintaan pasar dalam negeri maupun
luar negeri (globalisasi).
Kenyataan telah menunjukkan bahwa peningkatan SDM sangat penting bagi
pembangunan suatu bangsa. Bukti empiris (khususnya dari negara lain yang sudah
maju) menunjukkan bahwa peningkatan kualitas manusia merupakan kunci
kesuksesan pembangunan atau kesejahteraan masyarakat. Pembangunan akan
berhasil bila dilakukan oleh tenaga-tenaga yang memiliki skills dan knowledge serta
dilengkapi dengan sifat-sifat serta sikap-sikap yang mendukung.
Isu pokok yang sering mendapatkan perhatian pemerintah adalah pemilihan
jenis atau tipe pelatihan atau tranining pengembangan SDM yang cocok dengan
kebutuhan. Diharapkan dengan memilih training yang tepat , tujuan yang ingin
dicapai dapat terealisir secara efektif. Namun isu yang jarang diungkapkan pada
tingkat makro adalah " apakah berbagai usaha pengembangan SDM (yang banyak
menelan banyak biaya) akan secara otomatis meningkatkan kesejahteraan
masyarakat?". Atau pada tingkat mikro, apakah usaha pengembangan SDM dapat
meningkatkan kemampuan organisasi publik dalam mencapai tujuan atau misinya
yaitu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat?
Paper singkat ini akan mencoba membahas isu tersebut, yang sering luput
dari perhatian para decisions makers, dan mencoba membuat spekulasi tentang

2004 Digitized by USU digital library

kebijaksanaan yang seharusnya dilakukan pemerintah agar misi pengembangan SDM


dapat tercapai secara efektif. Kebijakan yang dimaksud disini hanya merupakan
gagasan awal saja, yang kemudian diharapkan dapat dikembangkan secara lebih
intensif.
2. Tantangan Peningkatan SDM Pada Konteks Makro
Arah dan kebijakan peningkatan SDM pada publik telah banyak dibahas. Ada
yang berpendapat bahwa peningkatan SDM pada publik lebih diarahkan pada
pengurangan angka pengangguran. Pengurangan tersebut dilakukan melalui
perluasan kesempatan atau lapangan pekerjaan.
Peningkatan SDM tersebut akan berhasil apabila dikoordinasikan secara baik
yaitu terpadu dan serasi dengan program-program yang lain serta dikelola secara
bersama (Hasibuan, 1994). Ada juga yang melihat peningkatan SDM dari aspek
kualitas, yaitu peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas kerja atau
pendapatan tenaga kerja. Peningkatan ini dilakukan tidak hanya sekedar mengisi
kebutuhan lapangan kerja tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru
(Kartasasmita, 1994). Dan usaha untuk meningkatkan SDM tersebut dilakukan
melalui pelatihan dan pendidikan atau peningkatan "human capital" (Usman, 1994;
Semiawan, 1994).
Usaha peningkatan ini telah lama dilakukan. Mungkin cukup banyak penduduk
yang pernah mengikuti training tersebut sudah mendapatkan pekerjaan. Namun,
pengalaman lapangan telah memberikan bukti bahwa training atau pendidikan non
formal tersebut tidak diikuti dengan tersedianya lapangan pekerjaan, sementara
lapangan pekerjaan lebih didikte oleh pasar. Misalnya, beberapa LSM telah diminta
untuk memberikan training peningkatan produktivitas (achievement motivation
training) bagi para pengusaha kecil. Setelah kembali bekerja, para pengusaha kecil
tersebut menyadari bahwa keberhasilan organisasinya sangat tergantung dari
dinamika permintaan pasar, bukan saja dan kualitas dirinya. Atau contoh
lain,pemerintah telah melatih sekelompok petani untuk menanam jambu mente.
Mereka telah dilatih secara intensif, dan kini mereka telah bekerja bahkan ada yang
telah berhasil memetik hasilnya. Namun, usaha tersebut tidak dapat meningkatkan
kualitas hidupnya karena hasilnya sulit dipasarkan atau mungkin dapat dipasarkan
tetapi dengan harga yang sangat rendah. Setelah mengalami pengalaman yang
sangat pahit ini, mereka berhenti menanam jambu mente.
Dari kasus semacam ini, kita dapat menarik suatu pelajaran bahwa
peningkatan SDM tidak secara otomatis memperbaiki nasib atau kesejahteraan
masyarakat. Faktor pasar dan dinarnika ekonomi (harga) tetap merupakan
lingkungan yang sangat menentukan kelangsungan usaha mereka. Siapa yang
seharusnya mengintervensi pasar dan melindungi usaha mereka? Dan siapa yang
diharapkan secara cepat responsif terhadap hal ini? Hal ini merupakan tantangan di
masa mendatang.
Mungkin pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab di sektor publik
harus melihat usaha peningkatan SDM dalarn konteks jangka panjang, tidak sekedar
pemilihan jenis skills yang hendak ditularkan kepada masyarakat tau mengatur
penyelanggaraan pelatihannya. Bila konteks jangka panjang ini (lingkungan ) tidak
diperhatikan, peningkatan SDM justru menimbulkan frustrasi raja masyarakat dan
bahkan mengurangi kepercayaan terhadap pemerintah sebagai pihak yang
mensponsori program-program pelatihan. Karena itu, pemerintah adalah pihak yang
harus cepat tanggap (responsif) terhadap isu ini.

2004 Digitized by USU digital library

3. Tantangan Peningkatan SDM pada Organisasi Publik


Sejak Max Weber mencetuskan tipe ideal organisasi yang disebut birokrasi,
peningkatan skill lewat trining dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
produktivitas merupakan keharusan. Bahkan beberapa dekade yang lalu, salah
seorang ahli organisasi meminta perhatian kepada birokrasi untuk meningkatkan
SDM bagi mereka yang pernah dipromosikan atau menduduki jabatan baru.
Alasannya adalah bahwa mereka yang menduduki jabatan baru atau yang lebih
tinggi semakin lama semakin tidak kualified (kurang kompeten) karena menduduki
posisi yang kurang sesuai dengan keahlian mereka ketika diangkat untuk pertama
kalinya. Hal ini sering dikenal dengan peter principle" (lihat pemikiran Peter dalam
Chandler & Plano, 1988).
Dengan demikian, training atau peningkatan ketrampilan bagi para pegawai
bukan saja dilakukan karena ketertinggalan dalam ilmu dan teknologi atau
penyesuaian dengan lingkungan yang dinamis, tetapi juga karena dikwatirkan bahwa
semakin tinggi kedudukan atau posisi seseorang dalam organisasi, bila tidak
dilakukan intervensi, semakin rendah kualitas atau kemampuannya dalam
melakukan tugas. Jadi, pengembangan SDM dalam organisasi merupakan suatu
keharusan, bahkan harus dilakukan secara rutin bagi setiap orang yang mendapat
kesempatan untuk dipromosikan. Diharapkan agar aparat organisasi publik benarbenar melakukan pekerjaannya secara profesional atau disebut "professionalization".
Dewasa ini, profesionalisasi merupakan suatu nilai yang sangat didambakan
oleh suatu organisasi, termasuk organisasi pelayanan publik. Dalam meningkatkan
kinerja organisasi publik diperlukan suatu strategi profesional yang didasarkan atas
kemampuan melakukan tugas (pekerjaan) dan kesediaan melakukan penyesuaian
tingkah laku (lihat Lovrich, 1989). Bagi mereka yang dianggap belum mampu
melakukan pekerjaan dan tidak bersedia melakukan penyesuaian tingkah laku,
strategi peningkatan SDMnya dapat dilakukan melalui "trainning". Bagi mereka yang
mampu melakukan pekerjaan tetapi tidak menginginkan perubahan tingkah lakunya,
diperlukan coaching" dan bagi mereka yang mampu melalukan pekerjaan yang
dibutuhkan sementara bersedia melakukan, perubahan pada tingkah lakunya,
diperlukan menontoring. Hal ini dapat dilihat pada table berikut .
Kemampuan melakukan
tugas/perkerjaan

Sikap Terhadap Perubahan Tingkah Laku


Tidak Bersedia
Bersedia Berubah
Berubah
Disiplin
Trainning

Tidak dapat melakukan


tugas yang diserahkan
Dapat melakukan tugas
Coaching
yang diserahkan
Diadaptasi dari Iovrich,1989, tabel 29. 1.

Mentoring

Berbagai kemungkinan pengembangan diatas dijalankan dalam rangka


managemendevelopment" . Disamping strategi management development ini,
diterapkan juga strategi lain dalam rangka meningkatkan profesi yaitu "organization
development" (OD).
Meskipun demikian, dalam suatu organisasi publik cenderung juga terjadi
gejala "bureaucratization". Penekanan pada hierarki,otoritas, tanggung jawab dan
sistim kontrol dari atas seringkali merupakan kendala atau hambatan yang
menjengkelkan karena para aparat profesional seringkali tidak memiliki keleluasaan
(discreation) untuk bertindak tau melakukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan
tuntutan profesinya. Pengalaman birokrasi seperti ini pernah dialami oleh Philipina
(lihat Varela, 1992). Di dalam negeri, nampaknya pengalaman ini masih ada dan

2004 Digitized by USU digital library

dapat dilihat dari beberapa kasus sederhana yang diperoleh dari pengalaman,
keterlibatan dalam training SDM, dan penelitian lapangan.
Pengembangan sumberdaya manusia di perguruan tinggi sendiri sering kali
menjadi kasus yang menarik. Dalam rangka peningkatan SDM perguruan tinggi,
beberapa dosen dikirim ke luar negeri dengan menghabiskan dana (human capital)
yang cukup besar dalam rangka mengikuti 52 maupun 53. Mestinya setelah kembali,
ia langsung ditugaskan, untuk mengajar atau membimbing skripsi atau thesis, atau
disertasi dalam rangka menerapkan ilmu yang masih relatif baru" Namun karena
kepangkatannya yang belum cukup, mereka belum bisa atau tidak dapat melakukan
peningkatan SDM di univeritasnya. Mereka baru dapat melakukan tugas tersebut
setelah mereka memiliki kepangkatan tertentu yang kadang-kadang makan waktu
lama. Ketika memenuhi syarat untuk melakukan tugas tersebut, ilmunya sudah
dianggap ketinggalan. Kasus yang demikian menunjukkan bahwa orang lebih
mementingkan pengamanan peraturan dari pada mengejar tercapainya tujuan atau
misi organisasi itu sendiri.
Pada birokrasi pemerintah terjadi hal serupa. Dari beberapa peserta yang
telah mengikuti program pelatihan sumberdaya manusia, pernah mengungkapkan
(hasil wawancara langsung) bahwa meskipun ia telah berusaha mengirimkan
aparatnya ke luar negeri mengikuti berbagai short training hasil peningkatan SDM
ini tidak segera dinikmati setelah mereka pulang ke tanah air. Hal ini disebabkan
oleh kepangkatan mereka yang masih rendah simana mereka tidak dapat secara
leluasa bertindak sesuai dengan profesinya. Menurutnya, banyak staf telah
mengikuti training tetapi tidak dapat berbuat banyak karena belum diberi
keleluasaan untuk bertindak atau melakukan perbaikan sesuai dengan ilmu atau
keterampilan yang diperoleh pada waktu kursus atau pelatihan.
Dari beberapa kasus diatas, dapat kita pelajari bahwa peningkatan SDM pada
instansi pemerintah belum tentu memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Peningkatan SDM seharusnya dibarengi dengan perubahan orientasi yaitu dari
birokratisasi ke profesionalisasi dimana lebih banyak ruang diberikan kepada
profesional discreation (keleluasaan untuk melakukan tindakan sesuai dengan
profesiyang dimiliki). Bila tidak, peningkatan SDM pada organisasi publik hanya
merupakan kegiatan yang sia sia, bahkan orang akan melihat usaha peningkatan
SDM sebagai suatu jenis bisnis rutin dari pihak tertentu saja.
4. Intervensi Kebijaksanaan
Diatas telah dijelaskan bahwa untuk meningkatkan SDM diperlukan berbagai
kebijakkan peningkatan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendidikan dan latihan
sehingga tingkat produktivitas tau income menjadi lebih tinggi. Kebijakkan seperti ini
sebenarnya tidak cukup, dan harus dibarengi dengan kebijakkan lain. Kebijakkan
yang lain tersebut merupakan pernbenahan birokrasi pemerintah dan orientasi nilai
seperti pernah dilontarkan oleh David Osborn dan Ted Gaebler (1992). Pembenahan
dan orientasi tersebut tidak hanya menyangkut, antara lain, sifat katalistik,
berorientasi pada hasil, mengutamakan kepentingan yang dilayani, tetapi juga yang
bersifat professional, harus "desentralized" dan berorientasi pada "market" (Osborn
& Gaebler, 1993).
Dari diskusi diatas dapat dilihat bahwa peningkatan SDM pada publik akan
kurang bermanfaat bila tidak dibarengi dengan perhatian terhadap jangka panjang
atau keberlanjutan dan peningkatan tersebut. Oleh karena itu disarankan agar
program peningkatan SDM seperti pendidikan dan pelatihan harus dijalankan setelah
diteliti bagaimana prospek jangka panjangnya, dan pemerintah sendiri harus
berusaha melalui kebijakan tertentu melakukan regulasi atau deregulasi serta dan

2004 Digitized by USU digital library

melindungi harga dari komoditi yang dihasilkan masyarakat sehingga keuntungan


dapat dinikmati oleh masyarakat.
Dalam konteks organisasi publik diperlukan bentuk-bentuk reformasi tertentu.
Bentuk yang paling penting adalah profesionalisasi birokrasi dimana setiap aparat
diharapkan lebih melakukan pekerjaanya seuai dengan skills dan knowledge yang
dimiliki, dan evaluasi secara reguler mengenai kesesuainya dengan kebutuhan
organisasi dan lingkungan. Dan bentuk yang kedua yang sama pentingnya adalah
kebijakan desentralisasi yang lebih memberikan ruangan kepada bawahan untuk
melakukan tugas-tugasnya secara lebih leluasa sesuai dengan prinsip profesi yang
dimilikinya. Beberapa organisasi publik nampaknya telah melakukan semacam
terobosan tertentu, yang berarti organisasi publik sebenarnya dapat merubah atau
menyesuaikan diri.
6. Penutup
Pembahasan singkat diatas menunjukkan bahwa hubungan antara variable
pengembangan SDM dengan pencapaian tujuan dapat dianggap sebagai hubungan
antara "means" dan "ends" (cara dan tujuan). Meskipun demikian, masih ada
variabel lain yang diperlukan agar hubungan itu dapat berjalan. Dalam tingkat
makro, program peningkatan SUM melalui training harus dibarengi dengan kebijakan
penciptaan lapangan pekerjaan, pemasaran dan perlindungan harga. Dan dalam
tingkat mikro, meningkatan SDM melalui training atau "short courses" perlu
dibarengi dengan eorientasi organisasi publik dari profesionalisasi sehingga
keleluasan untuk melakukan perbaikan sesuai profesi dapat membawa hasil seperti
diinginkan. Dengan kata lain, kebijakan pengembangan SDM tidak berdiri sendiri
tetapi harus diintegrasikan dengan kebijakan-kebijakan di bidang lain. Dan syarat
utama untuk merealisir hal ini adalah kemampuan pemerintah untuk tetap responsif
baik terhadap pembahan dari dalam maupun dari dalam maupun dari luar negeri.
DAFTAR BACAAN
Chandler, RC & J.CPlano. 1988. The public administration dictionary. Santa Barbara,
CA: ABC-CLIO.
Kartasasmita, G. Berbagai pokok strategi pembangunan nasional dalam rangka
mengatasi pengangguran. Dalam : Seminar Nasional Strategi Dasar
Mengatasi Pengangguran Dalam Rangka Pembangunan Nasional,
Jakarta, 3-5 Mei.
Kristiadi,

J,B. 1992. Administrative Reform in Indonesia: Streamlining and


professionalizing the Bureaucracy. Dalam : Administrative refom
towards promoting productivity in bureaucratic performance. V0l.1.
Edited by Zhang Zhijian, R.P. DeGuzman, dan M.A.Reforma.
Manila:Bookman Printing House.

Lovrich,

N.P. 1989. Managing Poor Perfarmers. Dalam Handbook of Public


Administration, edited by J. L. Perry. San Fransisco, CA: Jossey-Bass
Inc. Publishers.

Osborn, D&T.Gaebler.1992. Reinventing goverment; How the enterpreneurial spirit is


transforming the public sector. Reading, MASS: AddisonWesley.

2004 Digitized by USU digital library

Sayuti, H. Pendekatan Integral, Pengangguran dan pengembangan Sumberdaya


Manusia". Dalam Seminar Nasional Strategi Dasar Mengatasi
Pengangguran Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Jakarta, 3-5 Mei.
Semiawan, CR .Peranan dunia pendidikan & pelatihan dalam menyiapkan tenaga
kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Dalam : Seminar Nasional
Strategi Dasar Mengatasi Pengangguran Dalam Rangka Pembangunan
Nasonal, Jakarta, 3-5 Mei.
Simanjuntak, P. Strategi Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam PJP II": Dalam
Seminar Nasional Strategi Dasar Mengatasi Pengangguran Dalam
Rangka Pembangunan Nasional, Jakarta, 3-5 Mei.
Usman, M. "Sumbangan pelatihan dan pendidikan bagi peningkatan nilai kapital
insani (human capital value)", Dalam : Seminar Nasional Strategi Dasar
Mengatasi Pengangguran Dalam rangka Pembangunan Nasional,
Jakarta, 3-5 Mei.
Varela, A.P 1992. Personnel Management Reform in the Philippines: The Strategy of
professionalism". Dalam Administrative Reform towards promoting
productivity in bureaucratic performance. Vol.1. Edited by Zhang
Zhijian, RP.De Guzman, dan M.A.REforma. Manila: Bookman printing
House.

2004 Digitized by USU digital library

Anda mungkin juga menyukai