Mentoring
dapat dilihat dari beberapa kasus sederhana yang diperoleh dari pengalaman,
keterlibatan dalam training SDM, dan penelitian lapangan.
Pengembangan sumberdaya manusia di perguruan tinggi sendiri sering kali
menjadi kasus yang menarik. Dalam rangka peningkatan SDM perguruan tinggi,
beberapa dosen dikirim ke luar negeri dengan menghabiskan dana (human capital)
yang cukup besar dalam rangka mengikuti 52 maupun 53. Mestinya setelah kembali,
ia langsung ditugaskan, untuk mengajar atau membimbing skripsi atau thesis, atau
disertasi dalam rangka menerapkan ilmu yang masih relatif baru" Namun karena
kepangkatannya yang belum cukup, mereka belum bisa atau tidak dapat melakukan
peningkatan SDM di univeritasnya. Mereka baru dapat melakukan tugas tersebut
setelah mereka memiliki kepangkatan tertentu yang kadang-kadang makan waktu
lama. Ketika memenuhi syarat untuk melakukan tugas tersebut, ilmunya sudah
dianggap ketinggalan. Kasus yang demikian menunjukkan bahwa orang lebih
mementingkan pengamanan peraturan dari pada mengejar tercapainya tujuan atau
misi organisasi itu sendiri.
Pada birokrasi pemerintah terjadi hal serupa. Dari beberapa peserta yang
telah mengikuti program pelatihan sumberdaya manusia, pernah mengungkapkan
(hasil wawancara langsung) bahwa meskipun ia telah berusaha mengirimkan
aparatnya ke luar negeri mengikuti berbagai short training hasil peningkatan SDM
ini tidak segera dinikmati setelah mereka pulang ke tanah air. Hal ini disebabkan
oleh kepangkatan mereka yang masih rendah simana mereka tidak dapat secara
leluasa bertindak sesuai dengan profesinya. Menurutnya, banyak staf telah
mengikuti training tetapi tidak dapat berbuat banyak karena belum diberi
keleluasaan untuk bertindak atau melakukan perbaikan sesuai dengan ilmu atau
keterampilan yang diperoleh pada waktu kursus atau pelatihan.
Dari beberapa kasus diatas, dapat kita pelajari bahwa peningkatan SDM pada
instansi pemerintah belum tentu memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Peningkatan SDM seharusnya dibarengi dengan perubahan orientasi yaitu dari
birokratisasi ke profesionalisasi dimana lebih banyak ruang diberikan kepada
profesional discreation (keleluasaan untuk melakukan tindakan sesuai dengan
profesiyang dimiliki). Bila tidak, peningkatan SDM pada organisasi publik hanya
merupakan kegiatan yang sia sia, bahkan orang akan melihat usaha peningkatan
SDM sebagai suatu jenis bisnis rutin dari pihak tertentu saja.
4. Intervensi Kebijaksanaan
Diatas telah dijelaskan bahwa untuk meningkatkan SDM diperlukan berbagai
kebijakkan peningkatan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendidikan dan latihan
sehingga tingkat produktivitas tau income menjadi lebih tinggi. Kebijakkan seperti ini
sebenarnya tidak cukup, dan harus dibarengi dengan kebijakkan lain. Kebijakkan
yang lain tersebut merupakan pernbenahan birokrasi pemerintah dan orientasi nilai
seperti pernah dilontarkan oleh David Osborn dan Ted Gaebler (1992). Pembenahan
dan orientasi tersebut tidak hanya menyangkut, antara lain, sifat katalistik,
berorientasi pada hasil, mengutamakan kepentingan yang dilayani, tetapi juga yang
bersifat professional, harus "desentralized" dan berorientasi pada "market" (Osborn
& Gaebler, 1993).
Dari diskusi diatas dapat dilihat bahwa peningkatan SDM pada publik akan
kurang bermanfaat bila tidak dibarengi dengan perhatian terhadap jangka panjang
atau keberlanjutan dan peningkatan tersebut. Oleh karena itu disarankan agar
program peningkatan SDM seperti pendidikan dan pelatihan harus dijalankan setelah
diteliti bagaimana prospek jangka panjangnya, dan pemerintah sendiri harus
berusaha melalui kebijakan tertentu melakukan regulasi atau deregulasi serta dan
Lovrich,