PLEURITIS TUBERKULOSIS
Disusun oleh :
AAN MUTHMAINNAH 1102010001
JULIA 1102010137
Kepaniteraan Klinik Radiologi RSUD Subang
Pembimbing :
dr. Dikdik Irawan Sp.Rad
dr Eva Permatasari Sp.Rad
SMF RADIOLOGI
RSUD SUBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Mei 2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
SWT serta shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW karena dengan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
Pleuritis Tuberkulosis.
Penulis menyadari sepenuhnya, dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, tetapi penulis mencoba untuk memberikan yang terbaik dengan segala
keterbatasan yang penulis miliki. Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan
dan dorongan banyak pihak. Untuk itu dalam kesempatan kali ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Dikdik Irawan Sp.Rad dan dr Eva Permatasari Sp.Rad selaku Pembimbing
Medik yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran,
nasehat, dan semangat untuk menyelesaikan makalah ini. Terima kasih penulis
sampaikan, dengan segala kerendahan hati, saya doakan semoga kebaikan dan
bimbingan selama ini diterima oleh Allah SWT dan semoga selalu dilimpahkan
berkah, rahmat, dan hidayah-Nya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini, kesalahan
dan kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun bahasa yang
disajikan. Oleh karena hal tersebut penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan
kekhilafan yang tidak disengaja. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi
penulis dan pembaca, dalam memberikan sumbangan dan perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia kedokteran. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan guna memperoleh hasil yang lebih baik di dalam penyempurnaan
makalah ini dari cara penulisan hingga isi dan pembahasannya.
Subang, Mei 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................1
DAFTAR ISI....................................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................4
1.1 Pendahuluan...............................................................................................................................4
BAB II Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru........................................................................................5
2.1. Anatomi Paru-Paru................................................................................................................5
2.2. Fungsi Paru-Paru...................................................................................................................6
2.3. Fisiologi Paru-Paru...............................................................................................................7
BAB III TUBERKULOSIS...........................................................................................................10
3.1. Definisi................................................................................................................................10
3.2. Morfologi dan Struktur Bakteri...........................................................................................10
3.3. Tuberkulosis Primer............................................................................................................11
3.4. Patologi Tuberkulosis..........................................................................................................14
3.5. Klasifikasi Tuberkulosis......................................................................................................15
3.5.1. Tuberkulosis Paru.........................................................................................................15
3.5.2. Berdasarkan Tipe Penderita..........................................................................................16
3.5.3. Tuberkulosis Ekstra Paru..............................................................................................17
3.6. Gambaran Klinik.................................................................................................................18
3.7. Pemeriksaan Fisik...............................................................................................................19
BAB IV Pleuritis Tuberkulosis......................................................................................................20
4.1 Definisi Peluritis Tuberkulosis.............................................................................................20
4.2. Etiologi...............................................................................................................................20
4.3 Epidemiologi........................................................................................................................21
4.4 Patogenesis...........................................................................................................................21
4.5 Gejala Klinis........................................................................................................................23
4.6 Pemeriksaan Fisik................................................................................................................24
4.7. Pemeriksaan Bakteriologik.................................................................................................24
4.8 Pemeriksaan Radiologis.......................................................................................................27
4.9. Pemeriksaan Laboratorium.................................................................................................32
4.9.1. Torakosentesis..............................................................................................................32
2
BAB I Pendahuluan
1.1 Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai (Global Emergency). Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta
kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan
Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB
terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.1
Pleuritis TB merupakan suatu penyakit TB dengan manifestasi menumpuknya cairan di
rongga paru, tepatnya di antara lapisan luar dan lapisan dalam paru.4Efusi pleura tuberkulosis
sering ditemukan di negara berkembang termasuk di Indonesia. Efusi pleura timbul sebagai
akibat dari suatu penyakit, sebab itu hendaknya dicari penyebabnya. Dengan sarana yang ada,
sangat sulit untuk menegakkan diagnosis efusi pleura tuberkulosis sehingga sering timbul
anggapan bahwa penderita tuberkulosis paru yang disertai dengan efusi pleura, efusi pleuranya
dianggap efusi pleura tuberkulosis, sebaliknya penderita bukan tuberkulosis paru yang
menderita efusi pleura, efusi pleuranya dianggap bukan disebabkan tuberkulosis2.
Gambaran klinik dan radiologik antara transudat dan eksudat bahkan antara efusi
pleura tuberkulosis dan non tuberkulosis hampir tidak dapat dibedakan, sebab itu pemeriksaan
laboratorium menjadi sangat penting. Setelah adanya efusi pleura dapat dibuktikan melalui
pungsi percobaan, kemudian diteruskan dengan membedakan eksudat dan transudat dan
akhirnya dicari etiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura tuberkulosis sudah ditegakkan
maka pengelolaannya tidak menjadi masalah, efusinya ditangani seperti efusi pada umumnya,
sedangkan tuberkulosisnya diterapi seperti tuberkulosis pada umumnya2.
BAB II
Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru
2.1. Anatomi Paru-Paru
Paru-paru terletak di dalam rongga dada (mediastinum), dilindungi oleh struktur tulang
selangka. Rongga dada dan perut dibatasi oleh suatu sekat disebut diafragma. Berat paru-paru
kanan sekitar 620 gram, sedangkan paru-paru kiri sekitar 560 gram. Masing-masing paru-paru
dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur-struktur lain
di dalam rongga dada. Selaput yang membungkus paru-paru disebut pleura. Paru-paru terbenam
bebas dalam rongga pleuranya sendiri. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. 1
Pleura dibagi menjadi dua yaitu2:
1. Pleura visceral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung
membungkus paru.
2. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada luar.
Antara kedua pleura ini terdapat ronggga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan
normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga
terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaan pleura, menghindari
gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernafas.2
Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan terdiri atas tiga gelambir (lobus)
yaitu gelambir atas (lobus superior), gelambir tengah (lobus medius), dan gelambir bawah (lobus
inferior). Sedangkan paru-paru kiri terdiri atas dua gelambir yaitu gelambir atas (lobus superior)
dan gelambir bawah (lobus inferior). Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil
bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada
lobus superior, dan lima buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai sepuluh
segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dua buah segmen pada lobus medial, dan
tiga buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahanbelahan yang bernama lobulus. Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan
ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah
bronkeolus. Di dalam lobulus, bronkeolus ini bercabang-cabang yang disebut duktus alveolus.
Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 0,3 mm.2.3
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung
(gelembung hawa, alveoli, atau alveolus). Pada gelembung inilah terjadi pertukaran udara di
dalam darah, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Gelembung alveoli ini
terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya 90m 2. Banyaknya
gelembung paru-paru ini kurang lebih 700juta buah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi
anatomisnya, semakin negatif tekanan intrapleura di apeks, ukuran alveolus akan semakin besar.
Ada dua tipe sel epitel alveolus. Tipe I berukuran besar, datar dan berbentuk skuamosa,
bertanggungjawab untuk pertukaran udara. Sedangkan tipe II, yaitu pneumosit granular, tidak
ikut serta dalam pertukaran udara. Sel-sel tipe II inilah yang memproduksi surfaktan, yang
melapisi alveolus dan mencegah kolapnya alveolus. 2.3
b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran napas, alveoli, dan pembuluh darah.
c. Dua lapisan pleura, yakni pleura viseralis yang membungkus erat jaringan parenkim
paru, dan pleura parietalis yang menempel erat ke dinding toraks bagian dalam. Di antara
kedua lapisan pleura terdapat rongga tipis yang normalnya tidak berisi apapun.
d. Beberapa reseptor yang berada di pembuluh darah arteri utama.
dengan tekanan udara di luar tubuh. Jika tekanan di luar rongga dada lebih besar maka udara
akan masuk. Sebaliknya, apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar maka udara akan keluar.
Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukkan udara (inspirasi) dan pengeluaran
udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas dua macam, yaitu pernapasan
dada dan pernapasan perut. Pernapasan dada dan perut terjadi secara bersamaan.2.3
Sebagian udara yang dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai pada daerah pertukaran
gas, tetapi tetap berada dalam saluran napas di mana pada tempat ini tidak terjadi pertukaran gas,
seperti pada hidung, faring dan trakea. Udara ini disebut udara ruang rugi, sebab tidak berguna
dalam proses pertukaran gas. Pada waktu ekspirasi, yang pertama kali dikeluarkan adalah udara
ruang rugi, sebelum udara di alveoli sampai ke udara luar. Oleh karena itu, ruang rugi merupakan
kerugian dari gas ekspirasi paru-paru. Ruang rugi dibedakan lagi menjadi ruang rugi anatomik
dan ruang rugi fisiologik. Ruang rugi anatomik meliputi volume seluruh ruang sistem pernapasan
selain alveoli dan daerah pertukaran gas lain yang berkaitan erat. Kadang-kadang, sebagian
alveoli sendiri tidak berungsi atau hanya sebagian berfungsi karena tidak adanya atau buruknya
aliran darah yang melewati kapiler paru-paru yang berdekatan. Oleh karena itu, dari segi
fungsional, alveoli ini harus juga dianggap sebagai ruang rugi dan disebut sebagai ruang rugi
fisiologis.2.3
paru.
Bagian paru-paru :2
1. Trachea
lalunya
udara. Udara
yang dihirup dari hidung dan mulut akan ditarik ke trachea menuju paru-paru.
2. Bronchi merupakan batang yang menghubungkan paru-paru kanan dan kiri dengan
trachea. Udara dari trachea akan di bawa keparu-paru lewat batang ini.
3. Bronchioles merupakan cabang-cabang dari bronchi berupa tabung-tabung kecil yang
jumlahnya sekitar 30.000 buah untuk satu paru-paru. Bronchioles ini akan membawa
oksigen lebih jauh ke dalam paru-paru.
4. Alveoli merupakan ujung dari bronchioles yang jumlahnya sekitar 600 juta pada paruparu manusia dewasa. Pada aveoli ini oksigen akan didifusi menjadi karbondioksida yang
diambil dari dalam darah.
BAB III
TUBERKULOSIS
3.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis compleks. 1
3.2. Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 m dan panjang 1 4
m. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi
(60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks
(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai
panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada diniding
sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur
dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan
asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan larutan asam alkohol.1
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan
spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000
, protein MTP 40 dan lain lain. 1
10
Gambar 3.
Morfologi Kuman
M.tuberculosis
2.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang
perkapuran di hilus)
11
3.
1.
2.
Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan
jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan
akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif
kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3.
Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul
dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian
dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas
b. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula
aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
c. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
13
Gambar
4.
Skema
mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas.
Jadi terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan. Sel
monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah banyak dan
tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat mirip sel epitel tanpa
jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan
sel epitel.1
14
Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini
berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia
benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma). Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel
limfosit, sel plasma, kapiler dan fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut
perkijuan, dan jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang.
Granuloma dapat mengalami beberapa perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang
akan terbentuk simpai jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi
penimbunan garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik
maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba virulen atau resistensi jaringan rendah, granuloma
membesar sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma
membesar. Sel epiteloid dan makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat
mencairkan bahan kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan
terjadi perluasan penyakit. 1
Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah terinfeksi dan
yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi sebelumnya reaksi jaringan
terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman
tretahan dan penyebaran infeksi terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan
sekaligus imuniti.1
3.5. Klasifikasi Tuberkulosis
3.5.1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru).1 Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :
3.5.1.1. Tuberkulosis Paru BTA (+) 1
1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
2. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
3. Hasil pemeriksaan satu spesimen
dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif
3.5.1.2. Tuberkulosis Paru BTA (-) 1
1. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan
pemberian antibiotik spektrum luas
15
2. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis
positif
3. Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
16
17
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tandatanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. 1
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan
di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.1
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.1
19
BAB IV
Pleuritis Tuberkulosis
4.1 Definisi Peluritis Tuberkulosis
Pleuritis TB merupakan suatu penyakit TB dengan manifestasi menumpuknya cairan di
rongga paru, tepatnya di antara lapisan luar dan lapisan dalam paru.4Efusi pleura tuberkulosis
sering ditemukan di negara berkembang termasuk di Indonesia. Efusi pleura timbul sebagai
akibat dari suatu penyakit, sebab itu hendaknya dicari penyebabnya. Dengan sarana yang ada,
sangat sulit untuk menegakkan diagnosis efusi pleura tuberkulosis sehingga sering timbul
anggapan bahwa penderita tuberkulosis paru yang disertai dengan efusi pleura, efusi pleuranya
dianggap efusi pleura tuberkulosis, sebaliknya penderita bukan tuberkulosis paru yang menderita
efusi pleura, efusi pleuranya dianggap bukan disebabkan tuberkulosis1.
4.2. Etiologi
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman berbentuk
batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran
lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 m. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari
lapisan lipid cukup tinggi (60%). Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut
adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan
larutan asam (alkohol) dan tahan terhadap trauma kimia dan fisik2.
Mycobacterium tuberculosis ini dapat hidup pada udara kering maupun dalam keadaan
dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman dalam sifat
dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis aktif
lagi2.Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma
makrofag. Magrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak
mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada
bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan
tempat predileksi penyakit Tuberculosis2.
20
4.3 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia.
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002. 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Hampir sekitar sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberkulosis. TB ekstra paru berkisar antara 9,7 sampai 46% dari semua kasus
TB. Organ yang sering terlibat yaitu limfonodi, pleura, hepar dan organ gastro intestinal lainnya,
organ genitourinarius, peritoneum, dan perikardium. Pleuritis TB merupakan TB ekstraparu
kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Angka kejadian pleuritis TB dilaporkan bervariasi
antara 4% di USA sampai 23% di Spanyol3.
4.4 Patogenesis
Pleuritis TB merupakan suatu penyakit TB dengan manifestasi menumpuknya cairan di
rongga paru, tepatnya di antara lapisan luar dan lapisan dalam paru.Dikenal dua macam pleuritis,
yaitu yang kering dan basah. Di Indonesia paling sering dijumpai radang selaput paru yang
basah. Di dunia kedokteran dinamakan Pleuritis eksudatifa atau Efusi Pleura4.
Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 1-20 ml. Cairan di dalam rongga
pleura jumlahnya tetap karena ada keseimbangan antara produksi oleh pleura viseralis dan
absorpsi oleh pleura parietalis. Keadaan ini dapat dipertahankan karena adanya keseimbangan
tekanan hidrostatik pleura parietalis sebesar 9 cmH20 dan tekanan koloid osmotik pleura
viseralis sebesar 10 cm H204.
Efusi pleura terbentuk sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB
dalam rongga pleura. Antigen ini masuk ke dalam rongga pleura akibat pecahnya fokus
subpleura. Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi sero-santokrom dan bersifat eksudat
yang kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus subpleura yang
robek atau melalui aliran getah bening. Rangsangan pembentukan cairan oleh pleura yang terkait
dengan infeksi kuman TB.6 Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer
atau tuberkulosis post primer (reaktivasi). Sebab lain juga dapat dari robeknya perkijuan ke arah
saluran getah bening yang menuju ke rongga pleura, iga atau kolumna vertebralis
(menimbulkankan Penyakit Pott). Dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Cairan efusi yang biasanya serous bisa juga jadi hemoragik4.
21
Gambar
5. Efusi
Pleura karena terinfeksi tuberkulosis4.
Pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak terjadi pada anak-anak.
Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata pasien dengan pleuritis TB primer telah meningkat.
Hipotesis terbaru mengenai pleuritis TB primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah
infeksi primer terjadi pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen
mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan sel T yang sebelumnya
telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat
yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena meningkatnya permeabilitas dan
menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan di kavitas pleura.Cairan efusi ini secara
umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit
basil TB. Beberapa kriteria yang mengarah ke pleuritis TB primer:4
1. Adanya tes PPD positif baru
2. Rontgen thorax dalam satu tahun terakhir tidak menunjukkan adanya kejadian
tuberkulosis parenkim paru
3. Adenopati hilus dengan atau tanpa penyakit parenkim.
Umumnya, efusi yang terjadi pada pleuritis TB primer berlangsung tanpa diketahui dan proses
penyembuhan spontan terjadi pada 90% kasus. Pleuritis TB dapat berasal dari reaktivasi atau TB
post primer. Reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas pasien turun. Pada kasus Pleuritis TB
22
rekativasi, dapat dideteksi TB parenkim paru secara radiografi dengan CT scan pada kebanyakan
pasien. Infiltrasi dapat terlihat pada lobus superior atau segmen superior dari lobus inferior.
Bekas lesi parenkim dapat ditemukan pada lobus superior, hal inilah yang khas pada TB
reaktivasi. Efusi yang terjadi hampir umumnya ipsilateral dari infiltrat dan merupakan tanda
adanya TB parenkim yang aktif. Efusi pada pleuritis TB dapat juga terjadi sebagai akibat
penyebaran basil TB secara langsung dari lesi kavitas paru, dari aliran darah dan sistem limfatik
pada TB post primer (reaktivasi). Penyebaran hematogen terjadi pada TB milier. Efusi pleura
terjadi 10-30% dari kasus TB miler. Pada TB miler, efusi yang terjadi dapat masif dan bilateral.
PPD test dapat negatif dan hasil pemerikasaan sputum biasanya jadi negatif4.
Umumnya, efusi yang terjadi pada Pleuritis TB primer berlangsung tanpa diketahui dan
proses penyembuhan spontan terjadi pada 90% kasus. Pleuritis TB dapat berasal dari reaktivasi
atau TB post primer. Reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas pasien turun. Pada kasus
Pleuritis TB reaktivasi, dapat dideteksi TB parenkim paru secara radiografi dengan CT scan pada
kebanyakan pasien. Infiltrasi dapat terlihat pada lobus superior atau segmen superior dari lobus
inferior. Bekas lesi parenkim dapat ditemukan pada lobus superior, hal inilah yang khas pada TB
reaktivasi. Efusi yang terjadi hampir umumnya ipsilateral dari infiltrat dan merupakan tanda
adanya TB parenkim yang aktif.
Efusi pada pleuritis TB dapat juga terjadi sebagai akibat penyebaran basil TB secara
langsung dari lesi kavitas paru, dari aliran darah dan sistem limfatik pada TB post primer
(reaktivasi). Penyebaran hematogen terjadi pada TB milier. Efusi pleura terjadi 10-30% dari
kasus TB miler. Pada TB miler, efusi yang terjadi dapat masif dan bilateral. PPD test dapat
negatif dan hasil pemerikasaan sputum biasanya juga negatif.
24
sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat
ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.1
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita
yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti
laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim
dengan kertas saring melalui jasa pos.
25
26
27
prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan
tidak dijumpai kaviti
2. Lesi luas : Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
28
sehat)
Gambaran berawan tipis atau padat, sebagian lapangan paru atas tertutup dengan
infiltrat, tetapi masih terlihat lapangan paru atas yang masih sehat
Berselubung bisa homogen atau inhomogen, karena hampir seluruh bagian atas
29
Gambar 9.
Efusi pada
Tuberkulosis
Gambaran
Peluritis
30
31
4.9.1. Torakosentesis
Hasil torakosentesis efusi pleura dari pleuritis TB primer mempunyai karakteristik cairan
eksudat dengan total kandungan protein pada cairan pleura >30g/dL, rasio LDH cairan pleura
dibanding serum > 0,5 dan LDH total cairan pleura >200U. Cairan pleura mengandung dominan
limfosit (sering lebih dari 75% dari semua materi seluler), sering dikiuti dengan kadar glukosa
yang rendah. Sayangnya, dari karakteristik diatas tidak ada yang spesifik untuk tuberkulosis,
keadaan lain juga menunjukkan karakteristik yang hampir mirip seperti efusi parapnemonia,
keganasan, dan penyakit rheumatoid yang menyerang pleura5.
Hasil pemeriksaan BTA cairan pleura jarang menunjukkan hasil positif (0- 1%). Isolasi M.
tuberkulosis dari kultur cairan pleura hanya didapatkan pada 20- 40% pasien pleuritis TB. Hasil
pemeriksaan BTA dan kultur yang negatif dari cairan pleura tidak mengekslusi kemungkinan
pleuritis TB. Hasil pemeriksaan BTA pada sputum jarang positif pada kasus primer dan kultur
menunjukkan hasil positif hanya pada 25-33% pasien. Sebaliknya, pada kasus reaktivasi
pemeriksaan BTA sputum positif pada 50% pasien dan kultur positif pada 60% pasien5.
32
kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit
bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak.
LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.1
4.9.5. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan
prevalensi tuberkulosis rendah.
pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang
dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu
bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula.1
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan
infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran
reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ
yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent
dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis)1.
Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari1 :
a.Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
b.
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg dan pirazinamid 400 mg
3.
b. Kuinolon
c. Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
d. Derivat rifampisin dan INH
4.10.2. Dosis OAT
Rifampisin .
a.
b.
c.
d.
e.
INH
a. 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X
semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa.
b. lntermiten : 600 mg / kali
c. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50 mg /kg BB 2
X semingggu
d. BB > 60 kg
e. BB 40-60 kg
f. BB < 40 kg
: 1500 mg
: 1 000 mg
: 750 mg
Etambutol
a. fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X seminggu, 45
mg/kg BB 2 X seminggu atau : BB >60kg : 1500 mg
b. 40 -60 kg
: 1000 mg
c. BB < 40 kg
: 750 mg
d. Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
Streptomisin
a.
b.
c.
d.
15mg/kgBB atau
BB >60kg
: 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg
: sesuai BB
Efek samping
Tidak nafsu makan, mual,
Penyebab
Rifampisin
Penanganan
Obat diminum
malam
sakit perut
sebelum tidur
Nyeri sendi
Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar INH
Beri vitamin
B6
di kaki
(piridoksin)
100
mg
perhari
Beri penjelasan,tidak
seni
Penyebab
Semua jenis OAT
Penanganan
Beri antihistamin & dievaluasi ketat
pada kulit
Tuli
Streptomisin
Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Streptomisin dihentikan
Ikterik
Hampir
semua
Bingung dan muntah 2
Gangguan penglihatan
Purpura dan renjatan
menghilang
OAT
Hampir semua
obat
hati
Ethambutol
Rifampisin
Hentikan ethambutol
Hentikan Rifampisin
(syok)
4.10.4. Paduan Obat Anti Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
1
TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas Paduan obat yang diberikan 2 RHZE / 4
2
3
RH
Alternatf 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB)
RHZE/ 6HE
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan
2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:
1
2
kortikosteroid)
TB kasus berat (milier, dll)
(Diabetes
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
TB Paru (kasus baru)
a. BTA negatif Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
b. Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
c. Paduan ini dianjurkan untuk :
i. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
ii. TB di luar paru kasus ringan
TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif
selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi).
Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga
paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi,
maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB).1
TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4 -5 OAT
dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan
lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan
dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi.1
a. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat :
2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)
b. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
c. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
TB Paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
1. Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu,engobatan OAT dilanjutkan sesuai
jadual
2. Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu
a. Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT STOP
37
b. Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
c. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
sama
d. Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau
radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
e. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan
kembali sesuai jadual.
TB Paru kasus kronik
1. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2
macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah
dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid
2. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
3. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
4. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Dosis (Mg/Kg
Dosis yg dianjurkan
BB/Hari)
DosisMaks
(mg)
Harian (mg/
Intermitten
kgBB / hari)
(mg/Kg/
< 40
40-60
>60
BB/kali)
R
8-12
10
10
600
300
450
600
4-6
10
300
150
300
450
20-30
25
35
750
1000
1500
15-20
15
30
750
1000
1500
15-18
15
15
750
1000
1000
Sesuai BB
Fase Intensif
2 bulan
Fase Lanjutan
4 bulan
Atau 6
bulan
38
Harian
Harian
3x/minggu
Harian
3x/minggu
Harian
RHZE
RHZ
RHZ
RH
RH
EH
150/75/400/275
150/75/400
150/150/500
150/75
150/150
400/150
30-37
1,5
38-54
55-70
>71
39
BAB V
Kesimpulan
Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post
primer. Secara tradisional, pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak
terjadi pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata pasien dengan Pleuritis TB
primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai Pleuritis TB primer menyatakan bahwa
pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas
pleura. Antigen mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan Sel T yang
sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena meningkatnya permeabilitas dan
menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan di kavitas pleura. Cairan efusi ini secara
umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit
basil TB.
Gambaran radiologis bisa dijumpai kelainan parenkim paru. Bila kelainan paru terjadi di
lobus bawah maka efusi pleura terkait dengan proses infeksi TB primer. Dan bila kelainan paru
di lobus atas, maka kemungkinan besar merupakan TB pasca primer dengan reaktivasi fokus
lama. Efusi pleura hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya4.
Gambaran radiologik : posterior anterior (PA) terdapat kesuraman pada hemithorax yang
terkena efusi, dari foto thorax lateral dapat diketahui efusi pleura di depan atau di belakang,
sedang dengan pemeriksaan lateral dekubitus dapat dilihat gambaran permukaan datar cairan
terutama untuk efusi pleura dengan cairan yang minimal
40
DAFTAR PUSTAKA
1. PDPI , 2006. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia:
1-55
2. Guyton Arthur C dan Hall John E. Textbook of medical physiology, W B
Saunders Co, Eleventh edition, 2006:478-80.
3. Ganong William F. Review of Medical Physiology, Twenty first edition, McGrawHill, 2003: 468-80
4. Sherwood, Lauralee, Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem, Edisi 6, Jakarta :
EGC,2011 : 19 :661- 7.
5. Netter Anatomy http://www.netterimages.com/
6. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2009. h.403-6
7. Lazarus, AA., Thilagar,B. 2007. Abdominal Tuberculosis. United States
Government. Dis Mon ;53:32-8.
8. Vogel.,et.al. 2008. Tuberculous Peritonitis in a German patient with Primary
Billiary Cirrhosis. Journal of Medical Case Reports, 2:32. BioMed Central Ltd.
Available at http://www.jmedicalcasereports.com/content/2/1/32.
9. Akin,Tarim.,et.al.2000. Diagnostic Tools For Tuberculous Peritonitis. The Turkish
Journal of Gastroenterology ; 11(2) p 162-65.
10. Chow,MK.,et.al 2001. Tuberculous Peritonitis-Associated Mortality is High
among Patients Waiting for the Results of Mycobacterial Cultures of Ascitic Fluid
Sampels. Oxford Journals of Clinical Infectious ; 35 (4) p 409-13. Available at
http://cid.oxfordjournals.org/content/35/4/409.full.
11. Hu Leun-Ming.,et.al. 2009. Abdominal Tuberculosis : Analysis of Clinical
Features and Outcome of Adult Patients in Southern Taiwan. Journal of Medical
Chang Gung ; 32 (5) p 509-15.
12. Akpolat,Tekin. 2009. Tuberculosis Peritonitis. Peritoneal Dyalisis International
Istanbul,Turkey ;29 (2) p 166-69.
13. Manaf,Abdul.,et.al. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia ; 2 (1) p. 13.
14. Anonym.2007. Tuberculosis : A Radiologic Review. Radiographics The Journal of
Continuing Medical Education in Radiology ; 27 (5) p.1255-73 .Available
at
http://radiographics.rsna.org/content/27/5/1255/F32.expansion.html.
15. Anonym.2007.Greater and Lesser Omenta :Normal Anatomy and Pathologic
41
Valley
42