PENDAHULUAN
Hipertensi atau darah tinggi merupakan suatu masalah kesehatan yang cukup sering kita
temui dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam keseharian kita sebagai praktisi medis, bagi
masyarakat awam pun hipertensi telah menjadi suatu istilah yang lumrah dan telah dimengerti.
Permasalahan seputar hipertensi tidak hanya seputar kualitas hidup dari orang itu sendiri namun
juga berkaitan dengan tindakan-tindakan medis yang terkadang perlu untuk dilakukan pada
orang tersebut, hipertensi tersebut dapat saja mempengaruhi hasil, cara, perlengkapan, obatobatan maupun komplikasi dari tindakan tersebut. Tindakan seperti pembedahan misalnya akan
terpengaruh oleh keadaan hipertensi tersebut terutama dalam permasalahan di bidang
anestesiologi.
Bagi anestesiologi, hipertensi berarti memiliki risiko berupa1 :
-
Walaupun prevalensi hipertensi di kalangan penduduk tinggi, belum ada pedoman yang jelas
untuk manajemen hipertensi perioperatif, khususnya apakah pasien dengan hipertensi yang tidak
terkontrol harus dianestesi atau harus ditunda operasinya. Berapa lama pengobatan harus
diberikan sebelum pasien dapat dijadwal ulang untuk operasi juga masih belum jelas.
Oleh karena itu penulis mengambil judul Anestesi dan Hipertensi sebagai judul refrat ini
karena penulis melihat pentingnya peranan keadaan hipertensi dalam pelaksanaan anestesi,
penulis juga berharap dengan refrat ini maka kita dapat mengerti hal-hal apa sajakah yang perlu
diperhatikan dalam perencanaan, pelaksanaan maupun pemulihan anestesi dengan penyulit
hipertensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hipertensi
2.1.2
Definisi
Hipertensi adalah kelainan dimana tingkat basal dari tekanan arteri lebih
tinggi dari yang diharapkan untuk umur dan jenis kelamin individu. Ini
merupakan salah satu komorbiditas yang paling sering dialami oleh anestesiologis
untuk pasien yang akan menjalani operasi dan anestesi.
Rumus dasar yang digunakan, tekanan darah sistolik normal kira-kira
adalah [Umur (tahun) + 100]. Diagnosis dari hipertensi harus dibuat berdasarkan
dua kali pengukuran atau lebih pada waktu yang berbeda.
2.1.3
Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi dari hipertensi itu sendiri di bagi menurut beberapa kriteria
tertentu yaitu berdasarkan etiologi hipertensi dan tingkat keparahannya :
2.1.3.1 Berdasarkan etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertensi di bagi menjadi :
a. Hipertensi primer atau esensial
Hipertensi jenis ini merupakan hipertensi yang paling sering
terjadi, angka prevalensinya terjadi pada lebih dari
90% kasus.
arteri renalis
Renal
Diantaranya
seperti
kelainan
pada
pielonefritis
kronik,
memproduksi renin
Sistem Endokrin
Diantaranya seperti kelainan pada phaechromocytoma, Conns
syndrome, Cushings syndrome, akromegali, hiperplasia adrenal
(mmHg)
Normal
<120
Prehipertensi
120-139
Hipertensi stage I 140-159
Hipertensi stage II 160
2.1.4
(mmHg)
<80
80-89
90-99
100
dan blocker
enalapril, isinopril
Angiotensin II receptor antagonists
Contoh obat antihipertensi angiotensin II receptor antagonists
hidralazine, minoxidil
Calcium channel blockers
Contoh obat antihipertensi calcium channel blockers yaitu seperti
Manajemen Anastesia
Sejauh ini tidak ada teknik anestesi maupun obat-obatan yang di temukan lebih
baik pada kasus dengan hipertensi; pemilihan dilakukan atas dasar kebutuhan dari
pelaksanaan pembedahan dan juga kemampuan, pengalaman dan kecenderungan dari
dokter anestesi itu sendiri.
2.2.1
Premedikasi
Observasi
Observasi yang harus dilakukan ialah EKG, Tekanan darah, Saturasi
oksigen, dan capnography. Pada pasien dengan fungsi ventrikel kanan yang
menurun yang akan dilakukan pembedahan besar harus di lakukan monitoring
dari vena sentral dengan pemasangan CVP monitor atau/dan kateterisasi arteri
pulmonal. Hal yang lain ialah observasi persyarafan perifer, urine output, dan
suhu jika diperlukan.
2.2.3
Anestesi Regional
Anestesi regional, dalam bentuk blok sentral neuroaksial dan blok syaraf
perifer, tidak menyebabkan permasalahan pada hemodinamik yang biasanya
muncul pada anestesi umum. Oleh karena itu teknik yang menggunakan
keteterisasi dapat memberikan analgesia yang efektif dan memperkecil gangguan
hemodinamik yang muncul.
Hipotensi yang disebabkan dari anesthesia spinal dapat menyebabkan efek
yang buruk pada pasien hipertensi dengan gangguan berat dari target organ
tertentu. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian cairan preloading, pengukuran
tekanan darah yang sering dan penggunaan vasopressor
Hipotensi yang disebabkan karena blokade dari syaraf sentral haruslah di
perbaiki dengan cairan intravena dan/atau vasopressor seperti efedrin atau
fenilefedrin. Pasien semacam ini dapat mungkin resisten terhadap vasopressor
umum, dan pada kasus yang berat diperlukan vasopressin untuk mengembalikan
keadaan hipotensi tersebut
Penting untuk memastikan bahwa blokade anstesi regional telah efektif
sebelum pembedahan dapat dimulai: rasa nyeri dari blokade yang tidak adekuat
dapat menyebabkan stimulus yang poten dari hipertensi dan juga takikardi
Anestesi Umum
Tahap dalam anestesi umum di bagi menjadi induksi, maintenance, dan
pemulihan, dimana perlu diperhatikan beberapa hal yang berkenaan dengan
permasalahan hipertensi
2.2.4.1 Induksi
Dokter bedah haruslah siap untuk memulai operasi segera setelah
induksi dari anesthesia. Hal ini mempersingkat jarak waktu antara induksi dan
insisi dari bedah dimana tekanan darah cenderung untuk menurun.
Pergunakan kombinasi dari opioid (contoh: fentanyl) dengan thiopentone atau
propofol untuk induksi; hindari penggunaan ketamine karena dapat
meyebabkan hipertensi dan takikardi. Anesthesia yang menggunakan bahan
berbasis
opioid
dibandingkan
dapat
dengan
lebih
menjaga
thiopentine
stabilitas
maupun
dari
propofol,
kardiovaskular
namun
dapat
selama instrumentisasi dari jalan nafas diantaranya seperti ligocain IV 11.5mg/kg dan esmolol IV 0.5-1 mg/kg. obat-obatan tersebut haruslah
diberikan kurang lebih 90 detik sebelum intubasi dilakukan.
2.2.4.2 Maintenance
Dalam maintenance anestesi umum perlu diperhatikan untuk menjaga
CO2 dalam batas normal dan oksigenasi yang adekuat. Menjaga kedalaman
anestesi menggunakan obat anastesi opioid dan yang mudah menguap;
isoflurane dan sevoflurane lebih di anjurkan dibandingkan halotane karena
efek depresi miokardial yang lebih rendah.
Untuk penggunaan zat blokade neuromuskuar di sarankan untuk
digunakan zat yang secara kardiovaskular lebih stabil (contoh vecuronium dan
rocuronium) l
Karena batas bawah dari autoregulasi aliran darah ke otak lebih tinggi
dari pada pasien normal. Hal ini harus diperhatikan jika selama pembedahan
diperlukan anesthesia yang bersifat hipotensif
2.2.4.3 Pemulihan
Tahap pemulihan ini terkadang tidak begitu diperhatikan walaupun
sebenarnya sama pentingnya dengan induksi dan maintenance.
Pemberian tambahan dosis dari lignocain IV atau esmolol dapat
membantu menurunkan respon simpatis saat dilakukan ekstubasi
Pasien dengan hipertensi harus segera di ekstubasi, segera setelah
reflex proteksi jalan nafas telah kembali hal ini dimaksudkan untuk mencegah
batuk dan hambatan pada ETT
Tekanan darah dan laju jantung harus di observasi secara ketat di
PACU, dan pengobatan dari hipertensi dapat dilanjutkan jika diperlukan,
pengamatan harus tetap dilanjutkan selama periode post operasi sampai jelas
bahwa pasien secara kardiovaskular telah stabil. Pemberian pengobatan
antihipertensi dapat dimulai kembali sesegera mungkin; pasien yang
BAB III
KESIMPULAN
hari sebelum
DAFTAR PUSTAKA
Siregar FA. Pengaruh Nilai dan Jumlah Anak pada Keluarga terhadap Norma Keluarga
5.
Sadler TW. Langmans Medical Embryology, 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
Benacerraf BR, Mulliken JB. Fetal Cleft Lip and Palate: Sonographic Diagnosis and
10
April
2010]
Available
from:
URL:
http://kesehatan.kompas.com/read/2009/07/13/10043881/6.000.Penderita.Bibir.Sumbing.
8
9
Tidak.Tertangani
Sari LA, Manalu SF. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC; 2002.
Rennie JM, editor. Robertons Textbook of Neonatology, 4th ed. USA: Churchill
10
Livingstone; 2005.
Honkala H. The Molecular Basis of Hydrolethalus Syndrome. Helsinki: National Institute
for Health and Welfare; 2009.