Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

MANAJEMEN NYERI

DISUSUN OLEH:

Anisa Putri : 1102010024


Milka Anisya N :1102010199

PEMBIMBING:
Dr. Hayati Usman, Sp.An
Dr. Dhadi G, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN SMF/ BAGIAN ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD DR. SLAMET GARUT
PERIODE 23 MARET 2015 4 APRIL 2015

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan kemampuan
kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul MANAJEMEN NYERI ini
dapat diselesaikan.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Anestesi di RSUD Dr.Slamet Garut. Dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.

Dr. Hayati Usman, Sp.An dan Dr Dhadi G, Sp.An, selaku dokter pembimbing.

2.

Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Anestesi RSUD Dr.Slamet Garut.

3.

Teman-teman sejawat dokter muda yang telah banyak memberikan semangat dan
kerjasamanya.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan

bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada
akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih
baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca,
khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Garut, April 2015

Penulis

PENDAHULUAN
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan. Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya
kerusakan jaringan atau penyakit di dalam tubuh. Pengalaman sensoris pada nyeri akut
disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ
tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri
yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Manajemen nyeri pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan
kemanusiaan. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan
yang lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam
menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid, OAINS, dan
anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih sempurna.
Karena kebutuhan masing-masing individu adalah berbeda-beda, maka penggunaan Patient
Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif dan menguntungkan
dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor
ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien.

TINJAUAN PUSTAKA
FISIOLOGI NYERI
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP,
1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan
dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui
bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai.
Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur
dan jenis kelamin.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri
yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan
sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
A. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri
dihilangkan
B. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
4

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya

bergantung pada

pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman
dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko
tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska
pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu
sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua
sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat
timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti:

Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa

Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka

Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga


meningkatkan kepekaan nyeri

Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi


Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme

Gambar 2.1-1. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut
akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan atau trauma

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan


itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses
pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan
zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh
jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang
berperan pada proses transduksi dari nyeri.

MEKANISME NYERI
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai
oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla
spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan,
maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan
kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius
ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan
menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.

1. Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan
kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya
seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,
chemokine

dan growth factor. Beberapa komponen diatas

akan langsung merangsang

nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor


menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi
nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor
spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara
bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan
menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan
berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

Gambar 2.2-1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral.

2. Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses
ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam
beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif
kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis
menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri.

3.

NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)


Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian,

viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap

kehadiran

stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal.
Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi
yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah
perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan
saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang
otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa
beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut
bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan.
Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena
iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada
saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit
bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C
tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang
lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta
mempunyai aktivitas nociceptor-like. Seratserat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan
untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi
inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena
sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai
reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak.
Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan
nyeri bila dilakukan pada

struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan

mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini
biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk
mempertahankan fungsi.

4. PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)


Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang
disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang
nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat
diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).

a) Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu
stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas
listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena
trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin,
dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor
nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

b) Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi
melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut
mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan
sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan
dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih
difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps
interneuron

dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls

disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi
nyeri.

c) Proses Modulasi
10

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis
dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh
tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan
proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin,
serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat
subjektif pada setiap orang.

d) Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan
modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi
dari sensorik.
Gambar 2.4-1. Pain Pathway

11

5.

MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK


Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan

obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas
enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik
opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis
sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi.
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami
metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan
gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan
(eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf
terhadap suatu rangsangan nyeri (nosiseptif).
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang
menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni
baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan
perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu
ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan
inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan
platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan
mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan
diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi,
demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam
merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral.

6.

KLASIFIKASI NYERI
Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika cedera

fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan, depresi dan
kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat
12

sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri

itu sendiri. Salah satu

pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi
(akut, kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,
kanker).

Nyeri Akut dan Kronik


Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah

nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat. Nyeri akut ini dialami segera
setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai
malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 6 bulan. Nyeri kronik
malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting
disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik
kemungkinan mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan
(nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis
yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada
spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem
saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat
nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia.
Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada
atau tidaknya nyeri.
Nyeri akut

Nyeri kronik

Lamanya dalam hitungan menit

Sensasi tajam menusuk

Dibawa oleh serat A-delta

Sensasi terbakar, tumpul, pegal

Ditandai peningkatan BP, nadi,

Dibawa oleh serat C

dan respirasi

Fungsi fisiologi bersifat normal

Kausanya

Kausanya

spesifik,

menangis

sampai

hitungan

dapat

Respon pasien : Fokus pada


nyeri,

Lamannya
bulan

diidentifikasi secara biologis


-

dan

mungkin

jelas

mungkin tidak
-

Tidak

ada

keluhan

nyeri,
13

mengerang, cemas
-

Tingkah

laku

depresi dan kelelahan


menggosok

bagian yang nyeri

Respon terhadap analgesik

respon terhadap nyeri


:

meredakan nyeri secara efektif

Tidak ada aktifitas fisik sebagai

Respon terhadap analgesik :


sering kurang meredakan nyeri

Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik


Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif

adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang
menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung
jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap
analgesik opioid atau non opioid.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada
saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan
perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami
nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid.

Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari

tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri
viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering
bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi,
dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot
lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada
peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering
digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri
tajam bila organ padat terkena.

14

Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos,
distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi pada
organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi
pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan.
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar
melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana rangsang
dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari
struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls
nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical,
ganglion stellate, dan bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem
simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab
impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim
otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat
sensitif pada nyeri.

Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi

dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot
skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau
iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang
menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding
parietal menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi
pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri
sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada
daerah yang rusak.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri dari
viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri
berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke
rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus
dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri
15

berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen,
rangsangan ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri
menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan
bawah.

7.

PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska

pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk
menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat
berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.
Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:
1.

Wong-Baker Faces Pain Rating Scale


Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari

senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan
gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada
pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 2.7-1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale

16

2.

Verbal Rating Scale (VRS)


Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ;

tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Gambar 2.7-2. Verbal Rating Scale

3.

Numerical Rating Scale (NRS)


Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien

ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 5 atau 0
10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri
yang hebat.

Gambar 2.7-3. Numerical Rating Scale

4.

Visual Analogue Scale (VAS)


Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan

skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis
17

(10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan
lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS
telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga
secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah,
hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan.
Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik
kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data
dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah
dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri
sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat
analgesic penyelamat (rescue analgetic).

Gambar 2.7-4. Visual Analogue Scale

8.

PENANGANAN NYERI
Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus memahami

tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri ini terdapat
prinsip-prinsip umum yaitu :
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga

18

4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan


5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multi disiplin
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesarbesarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk
terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non farmakologik.
Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan
pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi
(multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik
dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).

Farmakologis
Modalitas analgetik

paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik oral

parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal.
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur
dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk
penanganan nyeri paska pembedahan.

Tabel 2.8-1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri

19

Tabel 2.8-2. Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenis operasi
Pedoman terapi pemberian analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan
berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan penderita yang direkomendasikan oleh WHO

20

dan WFSA. Dimana terapi analgesia yang diberikan pada intensitas nyeri yang lebih rendah,
dapat digunakan sebagai tambahan analgesia pada tingkat nyeri yang lebih tinggi.
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder.
Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat
opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat pembantu. Berbagai
obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf penaggulangan nyeri,
khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik, memberantas gejala-gejala yang
menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri
tertentu.

21

Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan. Terdapat tiga
kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid dan antagonis dan agonisantagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan
farmakologik dengan obat-obat analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan
bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan
NSAID, bila pada proses transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses modulasi
diberikan narkotik.
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen (tylenol) dan OAINS.
Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi
(kecuali asetaminofen). OAINS yang sering digunakan adalah asam asetil salisilat
(aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat
ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid

OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui


inhibisi

sintesis

prostaglandin

dari

prekursor

asam

arakidonat.

Prostaglandin

mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik lain di
22

tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan hiperalgesia.


Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan
menghambat sintesis prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau toleransi
fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi kadar tertentu tidak
menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan pemberian OAINS
adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan, pengelihatan kabur,
perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi
ginjal.
2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam
pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan dalam
pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah suatu alkaloid
yang berasal dari getah tumbuhan

opium poppy yang telah dikeringkan dan telah

digunakan sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan euforiknya.
Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat
dan masih standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG, substansia
gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin menimbulkan efek
dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfinenkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan
mengikat reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan
efek pada sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua
opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan (adiksi).
Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan dalam
jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang yang
cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete. Misalnya codein,
tramadol, morfin solutio.
23

Mekanisme kerja obat untuk nyeri


3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat
reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid
murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk
melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi nafas dan
sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin (talwin)
dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung pada narkotik,
maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid
adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan)
dibandingkan dengan antagonis opioid murni.
4. Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan untuk
tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik
atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat
ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon
terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif
untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini

24

efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf
dan menekan respon akhir di saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang
sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan
nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi
struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada
pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang
independen dari aktivitas antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin
(vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila
diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang digunakan
untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya
dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan
kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya,
agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid
atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara
sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor
sentral dan perifer. Antagonis

alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam

penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari
obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh
opioid.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of Societies


of Anaesthesiologists http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm
2. Conn D, Murdoch J. Manajemen Nyeri Akut. In : Kedokteran Perioperatif.
Oxford University Press ; 2000. p.57-69.
3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral
catheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior
cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.
4. Guyton, A C & Hall, J E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, editor Bahasa
Indonesia : Irawati Setiawan Edisi 9. Jakarta: EGC. 1997
5. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute
postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds.
Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book;
1992:253-68
6. Jensen MP, Martin SA, Cheung R. The meaning of pain relief in a clinical
trial. The Journal of Pain. 2005 ; 6 (6) : 400-6.
7. Jensen MP, Chen C, Brugger AM. Interpretation of visual analog scale ratings
and change scores : a reanalysis of two clinical trial of postoperative pain. The
Journal of Pain. 2003 ; 4(7) : 401-7.
8. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill
Livingstone. 2006
9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pain Managament. In : Morgan GE,
editor. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange Medical Books/McGraw-Hill ;
2006. p. 359-412.
10. Tanra AH. Pengelolaan Nyeri Paska Bedah. Pertemuan Ilmiah Berkala (PIB)
IX IDSAI. Medan ; 2002 : 413.

26

27

Anda mungkin juga menyukai