baru kemudian dia tahu berisi bom. Esaknya mulai terdengar saling memburu.
Begitupun cairan bening di matanya dibiarkannya mengalir, tanpa usaha lagi
untuk menahan. Amir pun terdiam mematung. Apabila ibunya mulai tenang,
diraihnya tangan tua itu dan digenggamnya penuh perasaan sambil berucap,
"Bonda, anakanda lakukan ini kerana ananda ingin merealisasikan kan apa yang
selama ini menjadi doa bonda terhadap anakanda."
Sekilas wanita tua itu terhenyak mendengar petuturan anaknya, tapi ia tetap
diam tak menyahut. Amir melanjutkan ucapannya, "Bukankah bonda yang setiap
malam berdoa agar anakanda menjadi anak yang soleh? Inilah anakanda yang
berusaha mewujudkan harapan bunda. Bukankah bonda selalu menasihati
anakanda untuk sentiasa istiqamah memegang panji dakwah ini, dan sentiasa
memenuhi hidup dengan jihad dan pengorbanan? Menegakkan kalimah tauhid,
melindungi kaum yang lemah, membela kebenaran dan keadilan? Bukankakah
bonda selalu mengingatkan bahawa kemanisan iman hanya dapat dirasakan
oleh orang yang menegakkan dalam dirinya, bahawa kebahagiaan hanya dapat
dirasakan oleh orang yang berjuang membela kebenaran dan keadilan, bahawa
kemenangan dan kejayaan hakiki hanya akan diberikan pada pejuang yang telah
berkorban, kuat menahan penderitaan dan kepapaan, bahawa ketabahan dan
kesabaran berjuang hanya akan diberikan pada mukmin yang mendekatkan
dirinya kepada Allah? Bukankah bonda yang berulangkali mengatakan hal itu?
Inilah anakanda Amir yang berusaha menjalankan nasihat Bunda."
Amir mencuba untuk tetap tersenyum, sambil tangannya menggenggam telapak
tua ibunya. Dulu ketika masih kecil dia suka merengek dan menarik-narik tangan
itu jika menginginkan sesuatu. "Tapi aku tidak berdoa agar kamu mati," perlahan
ibunya bereaksi. Dan masih dengan senyuman Amir berucap, "Bonda...," dengan
gaya merajuk Amir menyebut ibunya dan menyambung kata-katanya, "siapa
yang mau mati?Bonda tentu masih ingat, bagaimana ketika anaaknda masih
usia 7 tahun. Jika anakanda menangis, Bonda selalu menghiburkan anakanda
dengan cerita tentang kepahlawanan ayah, tentang keberanian ayah dalam
setiap medan tempur, tentang kisah kesyahidan ayah, dan bonda selalu
benih yang dia tanam dengan senandung- senandungnya telah tumbuh subur,
dan kini saatnya berbuah. Tidak , dia tidak boleh terbawa perasaannya. Dia tidak
boleh menghalangi buah yang telah ranum untuk dipetik. Di tatapnya wajah
pemuda di hadapannya, sungguh tampan dan bercahaya, persis wajah asysyahid suaminya. Sorot matanya tajam, menyimpan semangat yang bergelora.
Sama sekali tak ditemukan keraguan di sana.
Perlahan tangan tuanya meraba wajah itu. Wanita tua itu cuba untuk tersenyum,
ya, dia harus ikhlas. Dengan suara bergetar dia berkata, "Pergilah anakku,
jangan kau risaukan bonda. Simpan kesedihan dan derita bonda juah di sudut
hatimu. Jangan kau pergi jika masih ada setitik dendam, bersihkan niatmu hanya
untu meraih redha Allah. Pacakkan tinggi-tinggi panji tauhid di bumi ini. Kalau
memang hanya dengan carikan tubuhmu ia akan tegak, bonda merelakanmu.
Pergilah anakku, dan jangan kau kembali kepada bonda selama nyawamu masih
tersisa..." Diciumnya dahi putera satu-satunya itu. Wanita itu tak lagi menangis.
Dilepaskannya pemergian puteranya dengan senyum keikhlasan. Matahari senja
menyapu lorong-lorong Tel Aviv. Tidak ada yang memperdulikan ketika seorang
pemuda tegap berjalan menghampiri sebuah pos tentara Israel. Tanpa sebarang
kata-kata, Boommm.., tubuh pemuda itupun meledak menghantarkannya
menemui Rabbnya. Berjajar para bidadari berebut kekasih yang baru tiba,
seorang pemuda tanpan dengan gaun pengantin dari syurga tampak
berbahagia.
Lepas Isya' di sebuah perkampungan di jalur Gaza, seorang lelaki berjalan
mengendap- endap, mengetuk pintu sebuah pondok dengan hati-hati sambil
mengucap salam. Wajah seorang wanita tua muncul menjawab salamnya. Tanpa
menunggu lelaki itu mendahului berbicara, "Amir Syuhada telah syahid petang
tadi. Dan hanya ini yang tersisa dari jasadnya, yang dipesankannya menjelang
berangkat." Berkata demikian lelaki itu sambil memberikan sebuah mushaf
mungil di tangannya. Wanita tua mendekap mushaf itu didadanya, seperti ia
mendakap Amir kecil sewaktu tidurnya. Dia tidak pernah merasakan
kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan yang dirasakannya hari ini. Seakan ada
tetapi sesungguhnya Allah Yan Maha Pelindung dan Maha Penolong telah
berpaling dari kamu. Demi Allah, musuh-musuhmu bukannya kuat, tetapi
umat Islam yang lemah." (Asy-Syahid Hasan al-Bana)
"Saya mengagumi seorang pemuda karena keberanian dan keploporannya
dan saya mengagumi seorang pemudi karena adab dan sifat malunya.
Sebab, keberanian adalah pelengkap akhlak dan sifat utama pemuda,
sedangkan malu adalah kecantikan pemudi yang paling utama." (Mustafa
Luthfi al-Manfaluthi)