Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Penelitian


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji

sebagaimana telah diubah denga Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009


mengamanatkan bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
Ibadah Haji sebagai tugas nasional. Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian
Agama, ditunjuk sebagai Institusi yanag mewakili Pemerintah dalam hal
pengorganisasian Ibadah Haji di Indonesia (meliputi pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan) kepada jemaah haji dengan tujuan agar pelaksanaan ibadah haji
dapat berjalan dengan aman, tertib dan lancer dengan menjungjung tinggi
semangat keadilan, transparansi, partisipasi dan akuntabilitas, sesuai dengan
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan bersih (clean
government).
Dalam pelaksanaannya secara teknis dikoordinasikan oleh Menteri Agama
dan bekerjasama dengan kementerian/lembaga terkait, masyarakat, dan hubungan
Bilateral dengan Pemerintah Arab Saudi. Koordinasi dalam penyelenggaraan
ibadah haji diperlukan dalam rangka kelancaran tugas sesuai dengan siklus
penyelenggaraan ibadah haji sejak perencanaan, pengorganisasian, operasional
sampai dengan pengendalian dan evaluasi.
Ibadah haji merupakan rukun islam kelima, sekaku menjadi niat dan
keinginan lifetime bagi setiap muslim. Ibadah ini bukan saja kegiatan manasik,
tetapi juga memiliki berbagai implikasi dan dampak dalam kehidupan individu
dan masyarakat muslim. Ibadah haji hampir selalu memiliki dampak
transformative dalam kehidupan individu, social jemaah dan umat islam. Oeleh
1

karena itu, tidak mengherankan jika ibadah haji yang meruoakan life time
physical and spiritual journey itu selalu menjadi concern pemerintah pada
masyarakat muslim di manapun.
Indonesia telah mencoba berbagai kemungkinan penyelenggaraan ibadah
haji diantaranya dengan membentuk kementerian haji, swastanisasi haji, dan
yayasan di bawah kementerian agama. Dalam sejarah perjalanannya menunjukkan
bahwa penyelenggaraan haji tidak bisa di lepas dari manajemen pemerintah
sebagai fungsi pelayanan public dan perlindungan kepada masyarakat.
Dalam perkembangan dari waktu ke waktu, penyelenggaraan ibadah haji
selalu saja ada masalah. Memang tidak mudah mengimplementasikan manajemen
dalam penyelenggaraan ibadah haji, karena banyak pihak yang ingin terlibat
dalam perhetan ini. Di samping itu, dari sisi pekerjaan juga sarat risiko.
Bayangkan, pemerintah dalam waktu singkat harus mampu memobilisasi lebih
dari 220.000 jemaah dari Negara Indonesia ke arab Saudi. Sedangkan kegiatan ini
memiliki karakteristik tersendiri, yaitu: 1) Suatu perjalanan spiritual dan puncak
ibadah seorang muslim; 2) Profil jemaah yang beragam, baik tingkat pendidikan,
usia, maupun social budaya; 3) Jemaah dan petugas haji selalu berganti setiap
tahun; 4) Jemaah sebagai subjek ikut dalam proses dan sekaligus menjadi output;
5) Melibatkan banyak lembaga/kementrian dan mitra kerja lainnya; 6)
Menyangkut peredaran uang yang luar biasa; 7) Puncak kegiatan dilakukan di
negara orang dengan sistem, budaya, dan aturan yang berbeda; 8) Fasilitas
terbatas, tidak sebanding dengan jemaah yang dating dari berbagai Negara
tempat kegiatan terpusat dan dilaksanakan pada waktu bersamaan.
Dalam manajemen modern, karakteristik penyelenggaraan haji termasuk
dalam kelompok risk management. Pengelolaannya termasuk dalam beresiko
tinggi, sedangkan prinsip yang harus dipegang teguh adalah tidak boleh

mengambil keuntungan (nirlaba). Ini tentu saja selaras dengan konsep manajemen
umumnya: high risk high income. Kondisi tersebut dapat dijelaskan karena
menunaikan ibadah haji merupakan perintah agama yang pengelolaannya tidak
lepas dari nila-nilai ajaran agama.
Penyelenggaraan ibadah haji secara teknis dikelola dan dilaksanakan oleh
Ditjen PHU, Kementerian Agama. Berdasarkan PMA No. 10 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama dinyatakan Ditjen (PHU)
mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi
teknis di bidang penyelenggaraan haji dan umrah. Untuk melaksanakan tuags
dimaksud, Ditjen PHU menyelenggarakan fungsiL: 1) Perumusan kebijakan di
bidang penyelenggaraan haji dan umrah; 2) Pelaksanaan kebijakan di bidang
penyelenggaraan haji dan umrah; 3) Penyusunan norma, standar, prosedur, criteria
di bidang penyelenggaraan haji dan umrah; 4) Pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi, penyelenggaraan haji dan umrah; dan 5) Pelaksanaan administrasi.
Sesuai Keputusan Dirjen PHU No. D/54 Tahun 2010 dirumuskan
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah yaitu: Terwujudnya
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah hai dan umrah
berdasarkan asas keadilan, professional, akuntabel dengan prinsip nirlaba.
Sedangkan Misi Ditjen PHU yaitu: 1) Meningkatkan kualitas penyuluha,
bimbingan, dan pemahaman manasik haji; 2) Meningkatkan profesionalisme dan
dedikasi petugas haji; 3) Memnerdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan
ibadah haji melalui pembinaan haji khusu, umrah, dan kelompok bimbingan
ibadah; 4) Meningkatkan pelayanan pendaftaran, dokumen, akomodasi,
transportasi dan katering sesuai standar pelayanan minimal penyelenggaraan haji;
5) Memberikan perlindungan kepada jemaah sehingga diperoleh rasa aman,

keadilan, dan kepastian melaksanakan ibadah haji; 6) Meningkatkan transparansi


dan akuntabilitas pengelolaan dana haji serta pengembangan sistem informasi
haji; dan 7) Meningkatkan kualitas dukungan manajemen dan dukungan teknis
lainnya dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Ketetapan visi dan misi seharusnya mempunyai daya laku (validity) dan
daya guna (efficacy) serta merupakan pedoman dalam menysun kebijakan
penyelenggaraan haji, dan menjadi acuan keberhasilan tugas Ditjen PHU
Kemenag. Dalam hal ini, visi dan misi tersebut kurang dihayati oleh aparatur
penyelenggara haji baik di pusat, daerah maupun Arab Saudi.
Dalam kaitan permasalahan tersebut, pada sistem penyelenggaranya
terdapat peluang sekaligus tantangan dalam peningkatan kinerja layanan dalam
penyelenggaraan haji di Indonesia, dimana jumlah pendaftar haji terus bertambah
setiap tahun secara signifikan. Data jemaah pendaftar haji masa tunggu (waiting
list) sesuai Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) hingga
saat ini mencapai 1,6 juta orang, dengan total nilai setoran awal sebesar 44 triliun
rupiah. Sedangkan jumlah jemaah umrah rata-rata setiap tahunnya selama tiga
tahun terakhir sebanyak 61.000 orang.

Data jemaah haji Indonesia yang telah memperoleh pelayanan haji dari
tahun 2009 s.d. 2013, sebagaimana tabel berikut:
Tabel 1.1. Jumlah dan Persentase Profil Jemaah Haji Tahun 2009-2013
Profil Jemaah Haji (%)
Usia >
Pendidikan
Ibu Rmh
Tahun Jemaah
Wanita
Risti
60 Th
Dasar
Tangga
2009
204.941
22,60
32,75
26,73
52,33
31,01
2010
208.941
26,21
35,18
29,04
54,60
30,27
2011
208.989
21,74
35,53
28,73
54,65
33,68
2012
220.041
47,72
35,50
28,83
54,78
35,97
2013
220.885
46,83
34,12
26,43
51,32
34,62
Sumber: Siskohat Kemeterian Agama (2013)
Dari contoh tabel ini dapat dinyatakan
bahwa adanya indikasi
menunjukkan tanggung jawab dalam pengurusan jamaah haji belum terselesaikan
dengan baik. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa penyelesaian tugas
pekerjaan yang merujuk pada kinerja para pegawai belum cukup baik.
Masyarakat memang selalu menuntut pelayanan ibadah haji yang lebih
baik setaip tahunnya. Sebuah tuntutan dan harapan yang wajar diberikan oleh
Ditjen PHU, Kementerian Agama sebagai penyelenggara ibadah haji. Tentu
diperlukan model kepemimpinan, motivasi, dan komitmen bagi aparatur
penyelenggara haji dalam memenuhi tuntutan sesuai kemampuan. Oleh karena itu,
kepuasan pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara haji dapat mempengaruhi
kekhusukan bagi jemaah dalam menunaikan ibadah sesuai ketentuan syariat islam.
Kaitan dengan Ditjen PHU, terdapat tiga temuan, yaitu: 1) Pelayanan
perizinan

operasional

Kelompok

Bimbingan

Ibadah

Haji

(KBIH)

dan

perpanjangannya; 2) Pelayanan perizinan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusu


(PIHK) dan perpanjangannya; 3) Kajian KPK terkait penyelenggaraan ibadah haji
2011. Dalam suatu pertemuan konsultasi dengan jajaran Kementerian Agama,
pihak KPK menjelaskan mengenai pelayanan perizinan KBIH dan PIHK. Meski

Belum
Haji
97,87
98,34
98,03
98,07
98,22

pelayanan tersebut tidak dipungut biaya, kebanyakan penggunanya tetep


memberikan uang kepada pegawai yang bertugas.
Hasil survei tersebut perlu disikapi dengan lapang dada sebagai kritik
untuk melakukan pembenahan, baik terkait sistem pelayanan dan pengembangan
sikap maupun komitmen dan kinerja pegawai di Ditjen PHU. Oleh karena itu,
pimpinan harus dapat meningkatkan perannya untuk menguatkan kembali
komitmen organisasi dengan tetap menjaga citra lembaga melalui peningkatan
kinerja pegawai.
Tantangan hai ke depan semakin berat. Karena itu diperlukan seseorang
pemimpin yang memiliki keseimbangan memahami visi dan misis organisasi.
Tidak hanya mereka yang andal berteori tetapi rapuh dipelaksanaan. Namun orang
yang mampu memegang amanah, memiliki nurani dengan hati yang bersih untuk
melayani tamu-tamu Allah (dzuyufurrahman). Kinerja pegawai harus dilandasi
dengan hati ikhlas sehingga tingkat kepuasan layanan bagi jemaah haji terus dapat
ditingkatkan.
Uapaya terus meningkatkan kinerja pegawai harus dilakukan agar
penyelenggaraan haji tidak lagi carut marut. Kelemahan administrasi keuangan
dan prosedur kerja yang dilakukan oleh pegawai dalam hal ini dinilai sebagai
tindakan korupsi, karena melanggar ketentuan perundang-undangan dan diyakini
memperkaya pihak lain.
Peningkatan kinerja pegawai dapat terjadi jika organisasi bergerak dari
pendekatan yang berorientasi pada fungsi pengendalian (controlling) pada setiap
aktivitas pekerjaan dalam berbagai unit dan melaksanakan control dan mencapai
efesiensi dalam pengelolaan SDM, seyogyanya konsisten dan berkelanjutan,
sehingga para pegawai dapat meresponnya dengan sangat baik dan positif bukan
dengan control ketat tidak beraturan dan diberlakukan seperti suatu tekanan.

Kinerja merupakan suatu konstruk multidimensional yang mencakup


banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain: 1) Faktor personal/individu,
meliputi: pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri,
motivasi, dan komitmen yang dimiliki setiap individu; 2) Faktor kepemimpinan,
meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan
yang diberikan manajer dan team leader; 3) Faktor lain, meliputi: kualitas
dukungan terhadap sesame anggota tim, kekompakan dan keeratan tim; 4) Faktor
sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau insfrastruktur yang diberikan
oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi; 5) Faktor
kontekstual (situasional), meliputi: tekanan dan peruabahan lingkungan eksternal
dan internal.
Kinerja diartikan sebagai perilaku seseorang dalam proses pekerjaan
yang didukung dengan kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu, dalam
mencapai harapan keberhasilan kinerjanya. Kinerja pegawai negeri sipil (PNS)
dikenal dengan sebutan penilaian pelaksanaan pekerjaan sesuai PP Nomor 10
Tahun 1979. Penilaian kinerja tersebut dilaksanakan menggunakan Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3), dengan unsur-unsur yang terdapat di
dalamnya , meliputi: kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan,
kejujuran, kerja sama, prakarsa dan kepemimpinan.
Dalam pelaksanaan DP3 tersebut belum konsisten digunakan untuk
menilai kinerja pegawai secara keseluruhan. Sesuai hasil pengamatan 18 tahun
menjadi PNS di dua kementerian, hasil penilaian DP3 belum dievaluasi sebagai
dasar

penetapan

reward

dan

punishment,

karena

memang

dalam

pengisian/penilaian terkadang pegawai itu sendiri mengisi blangko yang sudah


disiapkan bagian ke pegawai di setiap akhir tahun.

Berdasarkan Strategis Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan


Umrah Tahun 2010-2014, sasaran kinerja yang ingin dicapai Ditjen PHU yaitu
terwujudnya jemaah haji mandiri, petugas haji yang professional dan dedikatif,
penerapan standar pelayanan minimal pada seluruh jenis pelayanan haji, sistem
informasi yang andal, dukungan manajemen dalam penyelenggaraan haji,
ketersediaan peraturan perundang-undangan, pemberdayaan penyelenggara ibadah
haji khusus, umrah, dan kelompok bimbingan haji, serta perlindungan kepada
jemaah.
Untuk mencapai sasaran kinerja tersebut disusun indicator kinerja utama
(key performance indicator). Dalam Peraturan Ditjen PHU No. D/55/2010
dinyatakan sebagai berikut: 1) Ketaatan pada peraturan perundang-undangan
dalam penyelenggaraan ibadah haji; 2) Pembinaan kepada petugas, jemaah dan
masyarakat secara professional; 3) Pelayanan umum tentang pelaksanaan ibadah
yang prima kepada jemaah haji; 4) Perlindungan, keamanan, dan kesehatan
kepada jemaah haji; 5) Penyediaan sumber daya yang sesuai dan dapat
dipertanggungjawabkan; 6) Peningkatan sistem manajemen penyelenggaraan
ibadah haji secara berkelanjutan. Namun dalam implementasinya masih belum
optimal.
Setiap

organisasi

yang

baik,

tumbuh,

dan

berkembang

akan

memperhatikan pengemmbangan SDM sebagai aset yang mampu menjalankan


tugas dan fungsi organisasi dengan optimal. Peningkatan kemampuan teknis,
teoretis, konseptual, moral bagi aparat penyelenggara haji dari para pelaku
organisasi/perusahaan di semua tingkat pekerjaan sangat dibutuhkan. Peran
pimpinan harus mampu mendorong organisasi menampilkam norma perilaku,
nilai, dan keyakinan sebagai sarana penting dalam peningkatan kinerjanya.

Disadari perilaku dan nilai kedisiplinan merupakan salah satu faktor


penting yang harus menjadi perhatian pimpinan dalam mendongkrak kinerja
pegawai. Sedangkan tingkat kedisiplinan pegawai Ditjen PHU dapat dilihat dari
kehadiran masuk kantor selama tahun 2011-2013 sebagai berikut:
Table 1.2
Prosentase Tingkat Kehadiran Pegawai Ditjen PHU Tahun 2011-2013
No

Unit Kerja

.
1.
2.
3.

4.

Sekretariat
Direktorat Pembina
Haji dan Umrah
Direktorat Pelayanan
Haji
Direktorat
Pengeloloan Dana

Tingkat Kehadiran (%)

Standa
r (%)

2011
71

2012
72

2013
71

100

74

73

72

100

75

76

74

100

72

71

70

100

Haji
Jumlah
73
73
72
100
Rata-rata (%)
Sumber: Bagian Ortala dan Kepegawaian, Sekretariat Ditjen PHU (2013)
Berdasarkan tabel tersebut yang menunjukkan tingkat kehadiran
pegawai dalam pelaksanaan tuagas memberikan gambaran dari tahun 2011-2013
belum cukup optimal.
Kehadiran pegawai dalam pelaksanaan tugas pekerjaan pada dasarnya
dapat diidentifikasikan sebagai salah satu aspek dalam perilaku kinerjanya. Oleh
karena itu, jawaban ketidakhadiran sebagaiamana di laporan tersebut memberikan
indikasi bahwa pencapaian kerja individu (pegawai pun) terganggu dan belum
optimal.
Demikian pula hasil kajian KPK terhadap sistem penyelenggaraan ibadah
haji (2010), pada komponen SDM dan kelembagaan, yaitu keterbatasan SDM
penyelenggara ibadah haji berlatar belakang akuntansi, tidak adilnya proses
seleksi petugas haji di daerah, minimnya petugas haji yang berpengalaman untuk

10

petugas di Arab Saudi, dan tidak adanya kode etik yang spesifik bagi aparat
penyelenggara haji.
Dengan berbagai permasalahan di atas, perlu upaya peningkatan kinerja
pegawai pada Ditjen PHU Kementrian Agama. Bila kinerja pegawai dapat
ditingkatkan secara optimal, maka pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi
niscaya akan lebih mudah dicapai. Dengan demikian, peneliti akan mengkaji
pengaruh kepemimpinan transformasional, pengembangan karier, dan komitmen
organisasi terhadap kinerja pegawai pada Ditjen PHU, Kemenetrian Agama.
Untuk mengukur keberhasilan tugas dan fungsi Ditjen penyelenggaraan
Haji dan Umrah dalam memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
kepada jemaah maka ditetapkan sasaran mutu sebagai berikut; (a) Seluruh Jamaah
haji yang terdaftar dan memenuhi syarat dapat diberangkatkan ke Arab Saudi; (b)
Seluruh Jamaah haji yang telah berada di Arab Saudi memperoleh pelayanan
akomodasi, katering dan transportasi; (c) Seluruh Jamaah haji dapat melaksanakan
Wukuf di Arafah; dan (d) Seluruh Jamaah haji yang telah menunaikan ibadah haji
dapat dipulangkan kembali ke Tanah Air (Buku Rencana Strategis Ditjen
penyelenggaraan Haji dan Umrah Tahun 2010-2014).
Berbagai upaya peningkatan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan
seperti pengembangan struktur organisasi, merekontruksi komponen Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), penyempurnaan system pendaftaran,
rekuitmen lebih ketat, selektif, dan rasionalisasi petugas, meningkatkan kualitas
pemondokan, katering, transfortasi, serta meningkatka kuantitas dan kualitas
bimbingan ibadah, meningkatkan pengamanan serta menerapkan sistem
manajemen mutu ISO 9000:2008.
Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kinerja
penyelenggaraan Ibadah Haji masih belum optimal. Seperti, hasil evaluasi yang

11

dilaksanakan secara bertahap dimulai dari Arab Saudi, embarkasi, bidang-bidang


tugas,

dan

diakhiri

dengan

evaluasi

nasional

yang

dihadiri

oleh

kementerian/lembaga terkait, DPR.RI, DPD, BPK serta unsur masyarakat lain


merekomendasikan beberapa kelemahan penyelenggaraan ibadah haji yaitu:
Kualitas

pemondokan

dan

transfortasi

di

Mekkah,

struktru

organisasi

penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi, Akuntabilitas keuangan dana haji, dan
prosedur kerja yang belum sistematis.
Kinerja pegawai di lingkungan Direktorat Jendral Perjalanan Haji dan
Umroh Kementrian Agama Republik Indonesia sungguh dipertaruhkan untuk
memberikan kepercayaan terhadap ketentraman masyarakat muslim Indonesia.
Berdasarkan survey awal

terhadap tingkat kinerja p egawai

di lingkungan

Direktorat Jendral Perjalanan Haji dan Umroh Kementrian Agama Republik


Indonesia di sajikan sebagai berikut:
Tabel 1.3 Rekapitulasi Data Tugas Pegawai Direktorat Jemdral
Perjalanan Haji dan Umroh
No

Jenis Tugas

Kehadiran
kerja

Penyelesaian
pekerjaan

Ketepatan
waktu kerja

Akurasi
pekerjaan

Kecepatan &
Pemahaman
atas
pekerjaan
Kreativitas

Inisiatif

Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Target
Capaian Target
Capaian Target
Capaian
Sangat
Baik
(100%)
Sangat
Baik
(100%)
Sangat
Baik
(100%)
Sangat
Baik
(100)
Sangat
Baik
(100%)

Baik
(81%)

Sangat Baik
(100%)

Baik
(76%)

Baik
(82%)

Sangat Baik
(100%)

Baik
(80%)

Baik
(83%)

Sangat Baik
(100%)

Baik
(83%)

Cukup
(70%)

Cukup
(72)

Cukup
(72%)

Sangat
Baik(100%
)
Sangat Baik
(100%)

Sangat
Baik
(100%
Sangat
Baik
(100%)

Cukup
(72%)

Sangat Baik
(100%)

Cukup
(72%)

Cukup
(70%)

Sangat Baik
(100%)

Cukup
(72%)

Cukup
(72%)

Sangat
Baik
(100%)
Sangat
Baik
(100%)
Sangat
Baik
(100%)
Sangat
Baik
(100%)
Sangat
Baik
(100%)

Baik
(75%)

Sangat
Baik
(100%)
Sangat
Baik
(100%)

Cukup
(70%)

Baik
(80%)
Cukup
(70%)
Cukup
(72%)
Cukup
(70%)

Cukup
(70%)

12

Kerja sama

Kehandalan
kerja

Sangat
Baik
(100%)
Sangat
Baik
(100)

Baik
(82%)

Sangat Baik
(100%)

Baik
(80%)

Cukup
(70)

Sangat
Baik(100)

Cukup
(72)

Sangat
Baik
(100%)
Sangat
Baik
(100)

Baik (80

Cukup
(70)

Sumber: Sekretariat Ditjen PHU Kementrian Agama , 2013


Berdasarkan data di atas bahwa kinerja pegawai di lingkungan
Direktorat Jendral Perjalanan Haji dan Umroh Kementrian Agama Republik
Indonesia rata-rata pada level cukupdan pada tiga tahun terakhir tidak
menunjukkan peningkatan. Dengan demikian hal tersebut mengindikasikan bahwa
kinerja pegawai belum dilaksanakan dengan optimal.
Selain itu, masih ditemukan berbagai permasalahan seputar pelaksanaan
seperti miss-manajemen ONH yang relatif mahal, keterlambatan pemberangkatan,
pemondokan, katering, hingga indikasi adanya korupsi di dalam instansi-instansi
yang terkait dengan penyelenggaraan haji.
Di sisi lain beberapa aspek yang menyebabkan munculnya permasalahan
dalam penyelenggaraan Haji selama ini, diantaranya; pertama, Aspek substantive
dari pelayanan, bimbingan, dan perlindungan terhadap jamaah haji yang belum
berjalan optimal; kedua, biaya atau ongkos naik haji (ONH) yang mahal dan tidak
efesien; ketiga, tidak professional dan transfaran dalam pengelolaan dana haji,
dikarenakan masih ditemukan selisih kemahalan harga apabila dihitung secara riil
berdasarkan cost di lapangan; keempat, adanya indikasi terjadinya praktek
korupsi; dan kelima, Daya serap anggaran belum optimal, seperti yang
disampaikan oleh Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, dari anggaran
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah tahun 2009 sebesar Rp
160.403.129.000,00 hanya dapat direalisasikan sebesar Rp 142.324.502.154,00
(88,73%). Realisasi anggaran tersebut terdiri atas:
Tabel 1.4

13

Realisasi Anggaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan


Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia Tahun 2010-2013
No.
Jenis Belanja
Pagu
Realisasi
Persentase
1
Pegawai
10.663.129.000
9.797.263.433
91,88%
2
Barang
121.413.233.000
106.296.387.828
87,55%
3
Modal
28.326.767.000
26.230.850.893
92,60%
TOTAL
160.403.129.000
142.324.502.154
88,73%
Sumber: Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah tahun 2010
Dilihat dari penyerapan anggaran antara tahun 2010 s.d. 2013, terjadi
pengemdapat dana sebesar 11,27%. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya
dana yang tersedia cukup memadai, akan tetapi pada kenyataannya permasalahan
penyelenggaraan haji setiap tahun sering terjadi, ini menunjukan bahwa ada
indikasi kurangnya kemampuan SDM dalam pengelolaan haji ( Kompetensi
pegawai yang lemah)
Jika mekanisme dan alur penyelenggaraan ibadah haji sudah tertata dan
terstruktur secara kenegaraan sebagaimana dalam perundang-undangan, maka
yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah sikap dan perilaku individu serta
kebijakan teknis yang ditetapkan, bentuk operasional yang dilakukan oleh
penyelenggara haji. Pengalaman menunjukkan bahwa perilaku individu sering
mewarnai dan mendominasi jalannya roda organisasi di lingkungan birokrasi
pemerintahan di negara kita. Jadi sebaik apapun undang-undang yang telah
disusun tanpa di dukung oleh pelaksana yang berkualitas dan sistem teknik
operasional yang sesuai dengan tuntutan realitas di lapangan, maka undangundang tersebut tidak akan berjalan secara optimal. Oleh karena itu, yang lebih
penting adala peningkatan professional dan kualitas sumber daya manusia dan
penataan sistem pelaksanaan teknis operasional haji secara komprehensif.
Dalam upaya perbaikan penguatan dan meningkatkan kinerja pelayanan
bagi jemaah haji, pemanfaatan terhadap nilai-nilai organisasi perlu sosialisasi dan
dedikasi serta tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan. Untuk

14

meningkatkan profesionalisme SDM tersebut, kepemimpinan transformative


dibutuhkan. Ini berguna untuk member motivasi kepada petugas haji sekaligus
menyatukan pencapaian tujuan serta keyakinan dengan cara-cara yang dapat
meningkatkan kinerja organisasi.
Dalam pelayanan haji baik di Tanah Air maupun di Arab Saudi
pengembangan sistem dan manajemen harus terus ditingkatkan. Demikian pula
penguatan kelembagaan dan organisasinya serta peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan sumber daya lainnya termasuk pemenuhan sarana prasarana yang
dapat mendukung keberhasilan tujuan organisasi secara efektif dan efesien.
Organisasi sebagai kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara
sadar, dengan sebuah batasan yang relative dapat diidentifikasi, (Robbin &
Judges, 2013) yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai
tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Akibat terjadinya interaksi dengan
karakteristik masing-masing serta banyak kepentingan yang membentuk gaya
hidup, pola perilaku dan etika kerja, semuanya akan mencirikan kondisi suatu
organisasi.
Setiap individu dalam organisasi tidak lepas dari hakikat nilai-nilai
budaya yang dianutnya. Ini pada akhirnya akan bersinergi dengan perangkat
organisasi, teknologi, siste, strategi, dan peran kepemimpinan. Pola interaksi
sumber daya manusia dalam organisasi haru diseimbangkan dan diselaraskan
sehingga organisasi dapat dipertahankan kedudukannya.
Setiap organisasi membutuhkan pemimpin yang andal, memiliki
kemampuan mempengaruhi perilaku anggota atau bawahannya. Jadi, seorang
pemimpin dalam mempengaruhi dan mampu mengarahkan bawahannya tetap
berkomitmen meningkatkan kinerja untuk mencapai tujuan bersama. Tidak setiap

15

pemimpin mampu menjalankan kepemimpinan, akan tetap menjadi pemimpin


karena posisinya dan tugasnya.
Kualitas seorang pemimpin seringkali dianggap sebagai faktor terpenting
dari keberhasilan atau kegagalan organisasi. Demikian pula keberhasilan atau
kegagalan suatu organisasi baik yang berorientasi bisnis maupun public
biasanya dipersepsikan sebagai keberhasilan atau kegagalan pemimpinnya Stone
(2010). Begitu pentingnya peran pemimpin sehingga isu mengenai kepemimpinan
menjadi faktor yang menarik perhatian para peneliti bidang perilaku organisasi.
Hal tersebut dapat membawa konsistensi bahwa setiap pemimpin berkewajiban
memberikan perhatian yang sungguh-sunggu untuk membina, memotivasi dan
mengarahkan berbagai potensi sumber daya termasuk SDM, transformasi inilah
yang menjadi penting bagi seluruh anggota organisasi.
Setiap pegawai dalam organisasi harus memiliki motivasi kerja yang
tinggi terhadap pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi. Dalam organisasi
sektor publik, ikatan batin antara pegawai dengan organisasi dapat dibangun dari
kesamaan visi, misi, dan tujuan organisasi, bukan sekedar ikatan kerja.
Bagi mereka yang bekerja di instansi pemerintah, ikatan kerja bukan
hanya gaji. Namun juga ikatan batin, misalnya ingin menjadi abdi negara dan abdi
masyarakat, status sosial, dan sebagainya. Di Ditjen PHU, Kementerian Agama,
ikatan batin itu diwujudkan dengan moto Ikhlas Beramal sebagai nilai dasar
budaya kerja yang dapat diformulasikan sebagai bekerja secara total tanpa pamrih
dan aspek-aspek tersebut menjadi budaya organisasinya. Rumusan tersebut
mengandung dua unsur utama. Pertama, bekerja total. Yakni mengerahkan
segenap kemampuan, kemauan, dan kesemptana untuk mewujudkan kinerja sesuai
tugas dan fungsinya sebagai aparatur Kementerian Agama. Kedua, tanpa pamrih.

16

Yaitu bekerja dengan ketulusan hati dalam rangka beribadah kepada Tuhan, demi
mewujudkan kemaslahatan serta kemampuan bnagsa dan negara.
Namun, keinginan dan harapan di atas, belum sesuai dengan kondisi di
Kementerian Agama. Berdasarkan hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) tentang Indeks Integritas Pusat (IIP), cukup mengejutkan. Dari 22 instansi
yang disurvei, Kementerian Agama menjadi instansi yang memperoleh nilai
paling rendah, yaitu 5,37 (Senin, 18/11/2011). Survei bertujuan memberi masukan
kepada instansi layanan public untuk meningkatkan kinerja dan upaya pencegahan
korupsi bagi aparatur pemerintah dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Kepemimpinan diperlukan agar terwujud volume dan beban kerja yang
terarah pada tujuan organisasi. Pimpinan perlu melakukan pembinaan yang
sungguh-sungguh terhadap karier pegawai agar dapat meningkatkan kinerja yang
tinggi. Ketika pemimpin menunjukkan kepemimpinan yang baik, para pegawai
akan berkesempatan untuk mempelajari perilaku yang tepat untuk berhadapan
dengan pekerjaan mereka. Demikian pula dengan birokrasi publik pemimpin
memegang peran yang sangat strategis sehingga berhasil atau tidaknya birokrasi
publik menjalankan tugas dan fungsinya, sangat ditentukan oleh kualitas
pimpinannya.
Dalam organisasi pemerintahan, bawahan bekerja sangat tergantung pada
pimpinan. Bila pimpinan tidak memiliki kompetensi sebagai seorang pemimpin
dan tidak professional, tugas yang sangat kompleks tidak dapat dikerjakan dengan
baik. Bahkan kegiatan yang dilakukan cenderung tidak efektif, efisien, dan
ekonomis.
Pemimpin yang menginspirasikan motivasi pada bawahan menyebabkan
kerja bawahan bergairah, namun sebaliknya bila kepemimpinannya hanya
menguntungkan diri sendiri motivasi yang diberikan justru menurunkan semangat

17

dan harapan pegawai. Pemimpin yang menjadi idola, menstimulasi bawahan dan
menjadi teladan, menyebabkan tingginya tingkat kepercayaan bawahan terhadap
pemimpin dan menimbulkan motivasi yang kuat untuk meniru pemimpin, serta
kepuasan kerja bagi bawahan. Tetapi akibat lain adalah bisa terjadi teladan yang
buruk

pun

akan

diikuti

ketika

pemimpin

membuat

kebijakan

yang

menguntungkan kelompok atau golongan tertentu demi mendapatkan keuntungan


pribadi, hal tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai (value) organisasi yang
diharapkan.
Motivasi merupakan suatu unsur penting dalam meningkatkan kinerja
pegawai dimana motivasi dapat memberikan suatu dorongan yang mampu
menggerakkan segala potensi yang ada, menciptakan keinginan yang tinggi serta
dapat meningkatkan kebersamaan, masing-masing pegawai bekerja menurut
aturan atau ukuran yang telah ditetapkan, dengan jalan saling menghormati, saling
pengertian dan saling menghargai hak dan kewajiban masing-masing.
Berdasarkan pandangan Kaplan dan Norton (2000) menyatakan, bahwa motivasi
dan kepuasan pekerja akan berdampak pada peningkatan kinerja pegawai,
produktivitas kerja, daya tanggap, dan ,mutu layanan pegawai.
Motivasi muncul karena adanya kebutuhan baik materi maupun non-materi
dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Kebutuhan materi dapat berupa
kebutuhan fisiologis, atau kebutuhan fisik berupa pakaian, rumah, fasilitas
transportasi, uang dan lainnya. Sedangkan kebutuhan bukan materi dapat berupa
keamanan/keselamatan, sosial, penghargaan/harga diri, aktualisasi diri. Sebaliknya
bila budaya organisasi terbentuk baik, efektivitas atau keberhasilan kepemimpinan
dalam menjalankan peran, tugas dan tanggung jawabnya untuk mencapai kinerja
yang memuaskan (superior / high performer) mempengaruhi gairah kerja

18

pegawai. Jadi, budaya organisasi menjadi kekuatan yang dapat mendukung


motivasi kerja.
Sementara itu dalam pemikiran lain, pemimpin transformasional memiliki
kemampuan untuk memotivasi bawahan, meneladani bawahan, meningkatkan
kohesi, menstimulasi intelektual. Pemimpin yang dapat menjadi teladan dan
mampu memotivasi bawahan akan dapat membuat bawahan berperilaku jujur dan
memberikan pelayanan yang tulus tanpa pandang bulu, loyal dan menaati
peraturan yang ada.
Pemimpin yang dipersepsikan dapat meningkatkan kohesi kelompok dan
menstimulasi intelektual bawahan akan membuat anak buah saling mendukung.
Hal tersebut dapat diketahui dalam pekerjaan selalu ada upaya saling membantu
satu sama lain. Dalam menyelesaikan suatu pekerjaan akan lebih mudah untuk
mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) yang mampu
memberikan pelayanan kepada publik secara baik. Di samping itu, kualitas
seorang pemimpin dapat diketahui dari kemampuan menjalin komunikasi dan
pendelegasian kewenangan terhadap bawahannya, mewujudkan akuntibilitas
kinerja unit organisasinya dengan baik, melakukan evaluasi dan mampu
memberikan masukan yang konstruktif dalam peningkatan kualitas program.
Dengan dukungan berbagai unsur kepemimpinan, kelembagaan, system
dan kinerja SDM yang memadai, ke depan pelayanan haji

Indonesia tidak

mustahil akan mencapai pelayanan kelas dunia (world class services). Hal ini
wajar, sebab jemaah haji Indonesia termasuk yang terbanyak dari sekitar 178
negara pengirim jemaah haji. Di samping itu, jemaah haji Indonesia dikenal
jemaah Negara lain sebagai pribadi yang taat beragama, ramah, dan mudah diatur.
Memang selama ini, ada beberapa Negara - seperti Rusia, Turki, Iran,
Syria, Aljazair, Nigeria, dan Norwegia - yang sudah berbagi pengalaman tentang

19

manajemen haji dengan pemerintah Indonesia. Seperti Rusia pernah meminta


pemerintah Indonesia untuk mengadakan pelatihan pengelolaan ibadah haji di
Negara mereka. Materi pelatihan meliputi aspek manajemen yang dibagi dalam
tiga kelompok utama yaitu manajemen pembinaan jemaah dan petugas,
manajemen pelayanan haji, dan manajemen pengelolaan dana haji.
Kepemimpinan transformasional oleh Bass dan Avolio dalam Yulk
(2010) cenderung ke fungsi (function), karena fungsi utama dari seorang
pemimpin transformasional adalah memberikan pelayanan sebagai katalisator dari
perubahan (catalyst of change ), namun saat bersamaan sebagai seorang pengawas
dari perubahan ( a controller of change )
Kualitas kepemimpinan Ditjen PHU Kementrian Agama dapat diketahui
dari kemampuan mereka telah menyelesaikan diklat dalam jabatan sebagai syarat
untuk menduduki jabatan tertentu. Kondisi diklat jabatan tersebut dapat diketahui
pada tabel berikut:
Tabel 1.5. Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Bagi Pejabat
Ditjen PHU Kmenetrian Agama s.d. Tahun 2013
Persyaratan
Belum
Pejabat
No.
Jumlah
Diklat
Sudah
Jml
%
Eselon
Jabatan
Diklat
1.
I
1
Pimpinan
0
1
100
Tingkat I
Diklat
2.
II
4
Pimpinan
0
4
100
Tingkat II
Diklat
3.
III
16
Pimpinan
11
5
31,25
Tingkat III
Diklat
4.
IV
55
Pimpinan
30
21
38,18
Tingkat IV
Sumber: Bagian Ortala dan Kepegawaian, Sekertariat Ditjen PHU
Kementrian Agama (2013)

20

Berdasarkan tabel di atas memberikan gambaran, bahwa pembekalan


terhadap pendidikan dan pelatihan begi paran pejabat di lingkungan Direktorat
Jendral Perjalanan Haji dan Umroh Kementrian Agama Republik Indonesia masih
terbatas.
Dalam mewujudkan SDM yang berkualitas untuk penyelenggaraan haji,
selain

faktor

kepemimpinan

transformasional

(kemampuan

memimpin),

pengembangan karir, kepuasan kerja, dan kinerja bagi pegawai juga menjadi
perhatian utama dalam organisasi. Bila pengembangan karir tidak jelas, apalagi
kesejahteraam tidak memperoleh perhatian, motivasi dan komitmen organisasi
juga rendah, tentu akan terjadi turnover, satu per satu pegawai akan keluar dari
organisasi. Mereka akan mencari organisasi yang mampu memenuhi kebutuhan
pengembangan karier atau meningkatkan kesejahteraanya.
Pengembangan karir menurut Rivai (2005) adalah proses peningkatan
kemampuan kerja individu yang dicapai dalam rangka mencapai karier yang
diinginkan. Selanjutnya, Chen (2003) mengatakan bahwa ketika individu
memasuki organisasi, dia mempunyai rencana karier yang berbeda dengan
individu lain. Perencanaan karier didasarkan pada organisasi di mana individu
tersebut bekerja. Semuanya memiliki implikasi bagi organisasi untuk
mengusahakan diri dalam memuaskan kebutuhan karier individu yang
kemudian dapat mempengaruhi sikapnya untuk berkomitmen pada organisasi
dan kinerja yang bersangkutan.

21

1.2.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi permasalahan

sebagai berikut:
1) Budaya kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan
Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia masih lemah;
2) Motivasi kerja pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan
Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia belum optimal
3) Pengembangan Karir Pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia
belum optimal;
4) Kinerja Pegawai di lingkungan Direktorat JEnderal Penyelenggaraan Haji dan
Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia belum optimal;
5) Disiplin kerja pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan
Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia belum optimal;
6) Masih sering terjadinya keterlambatan dalam penyelsaian pekerjaan di
lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian
Agama Republik Indonesia.
7) Sarana dan prasarana yang belum memadai di lingkungan Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia.
8) Upaya-upaya dalam menumbuh kembangkan Inovasi Kreasi dan Motivasi
Pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Kementrian Agama Republik Indonesia belum optimal.
9) Masih terbatasnya usaha-usaha melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam
rangka peningkatan kualitas SDM di lingkungan Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia.
10) Belum optimalnya pimpinan dalam mendorong pegawai untuk menerima
respon atau pengaduan dari masyarakat di lingkungan Direktorat Jenderal
Penyelenggaaraan Haji dan Umrah Kemenetrian Agama Republik Indonesia.

22

11) Implementasi pemimpin yang menyebarkan visi, misi, dan berorientasi pada
perubahan (transformasional) belum optimal sehingga berdampak pada
rendahnya kinerja pegawai.
12) Ketidaksiapan pegawai dalam menghadapi tantangan perubahan baik yang
berasal dari lingkungan internal maupun eksternal organisasi diduga
berdampak pada rendahnya pencapaian kinerja.
13) Kurangnya perencanaan dan sosialisasi mengenai pegembangan karier
pegawai, sehingga berdampak pada rendahnya komitmen dan kinerja
pegawai.
14) Pegembangan karir pegawai belum berjalan efektif, sehingga berdampak
pada rendahnya kepuasan kerja dan komitmen organisasi.
15) Tingkat kehadiran dan disiplin pegawai yang masih rendah dalam
pelaksanaan pekerjaan sehari-hari diduga berdampak pada kinerja pegawai
secara keseluruhan.
16) Komitmen organisasi yang kurang kuat diduga karena belum konsistennya
pengembangan karier pegawai yang dilakukan oleh pimpinan.

1.3.

Pembatasan Masalah
Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bahwa

kinerja pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan


Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia belum optimal. Hal ini diduga
antara lain dipengaruhi oleh kepemimpinan, pengembangan karir, budaya
organisasi dan motivasi kerja pegawai belum optimal.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti sangat tertarik untuk melakukan
penelitian di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Kementrian Agama Republik Indonesia. Masalah yang dibahas adalah sejauh

23

mana pengaruh kepemimpinan transformasional , pengembangan karir, budaya


organisasi, terhadap motivasi kerja dan kinerja pegawai.
1.4.
Perumusan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1) Apakah terdapat pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap motivasi
kerja pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan
Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia?
2) Apakah terdapat pengaruh pengembangan karir terhadap motivasi kerja
pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Kementrian Agama Republik Indonesia?
3) Apakah terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi kerja pegawai
di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Kementrian Agama Republik Indonesia?
4) Apakah terdapat pengaruh kepemimpinan transformasional, pengembangan
karir, dan budaya organisasi secara bersama-sama (simultan) terhadap
motivasi kerja pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan
Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia?
5) Apakah terdapat pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kinerja
pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Kementrian Agama Republik Indonesia?
6) Apakah terdapat pengaruh pengembangan karir terhadap kinerja pegawai di
lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian
Agama Republik Indonesia?
7) Apakah terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai di
lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian
Agama Republik Indonesia?

24

8) Apakah terdapat pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja pegawai di


lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian
Agama Republik Indonesia?
9) Apakah terdapat pengaruh kepemimpinan transformasional, pengembangan
karir, budaya organisasi dan motivasi kerja secara bersama-sama ( simultan)
terhadap kinerja pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan
Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia?

1.5.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan

menganalisis besarnya kontribusi ;


1) Pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap motivasi kerja pegawai di
lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian
Agama Republik Indonesia?
2) Pengaruh pengembangan karir terhadap motivasi kerja pegawai di lingkungan
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama
Republik Indonesia?
3) Pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi kerja pegawai di lingkungan
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama
Republik Indonesia?
4) Pengaruh kepemimpinan transformasional, pengembangan karir, dan budaya
organisasi secara bersama-sama (simultan) terhadap motivasi kerja pegawai di
lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian
Agama Republik Indonesia?

25

5) Pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai di


lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian
Agama Republik Indonesia?
6) Pengaruh pengembangan karir

terhadap kinerja pegawai di lingkungan

Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama


Republik Indonesia?
7) Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai di lingkungan
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama
Republik Indonesia?
8) Pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja pegawai di lingkungan Direktorat
Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama Republik
Indonesia?
9) Pengaruh kepemimpinan transformasional, pengembangan karir, budaya
organisasi dan motivasi kerja secara bersama-sama ( simultan) terhadap
kinerja pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan
Umrah Kementrian Agama Republik Indonesia?
1.6 Kegunaan Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian, maka hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kegunaan dan kontribusi sebagai berikut:
1.6.1 Kegunaan Operasional
Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan operaasional sebagai
berikut:
1) Bagi Pimpinan, hasil penelitian ini dapat menjadi tolak ukur dalam
pengambilan keputusan strategis Lembaga untuk meningkatkan Kinerja

26

Pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah


Kementrian Agama Republik Indonesia.
2) Bagi pegawai, hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dalam melaksanakan
tugasnya terutama yang berkaitan dengan motivasi kerja.
3) Bagi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian
Agama Republik Indonesia, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dalam
menguatkan atau meningkatkan efektivitas kepemimpinan, pengembangan
karir pegawai, budaya organisasi, dan motivasi kerja dalam melaksanakan
tugasnya sehari-hari sebagai upaya mengoptimalkan Kinerja pegawai.
1.6.2 Kegunaan Bagi Pengembangan Ilmu
Selain kegunaan operasional yang telah diuraikan sebelumnya, dari
penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan hal-hal sebagai berikut:
1) Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk mempertajam dan memperkaya
hasil penelitian-penelitian terdahulu tentang Kepemimpinan, pengembangan
karir pegawai, budaya organisasi, Motivasi kerja dan Kinerja pegawai di
lingkungan lembaga pemerintahan.
2) Hasil penelitian ini dapat memberikan konfirmasi atau tanggapan terhadap
teori-teori yang menjelaskan penelitian terdahulu tentang Kepemimpinan,
pengembangan karir pegawai, budaya organisasi, motivasi kerja dan kinerja
pegawai.

Anda mungkin juga menyukai