Anda di halaman 1dari 26

Bagian Forensik dan medikolegal

Tugas Translate

Fakultas Kedokteran

Januari 2015

Universitas Hasanuddin

TRAUMA FISIK KHUSUS


(special physical trauma)

Di Susun Oleh

Oleh :

Disusun Oleh:
Nurnyita Nabiu

C111 08231

Agustina Diana Fernandez

Supervisor
Dr. Jerny Dase, SH, SpF, M.Kes

BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2015

12.1 Trauma Termal (panas)


Agar metabolism dan enzim berjalan sesuai fungsinya, tubuh manusia harus
mempertahankan keadaan homeotherm, yang mana ini di kontrol oleh sepasang
bagian anterior (heat dissipation) dan posterior (penghambat panas) pusat regulasi
otonom di hipotalamus. Pada kondisi fisiologis, suhu tubuh jarang bervariasi lebih
dari 1C dari nilai dasar. Termoregulasi sangat efisien mempengaruhi komponen dari
beberapa sistem regulasi (Boulant,1991). Suhu yang ekstrem dari 25C atau 42C
masih memungkinkan untuk kehidupan, tetapi dapat menyebabkan kehilangan fungsi
yang besar dan berpotensi kematian. Suhu dibawah atau di atas dari suhu ini biasanya
berujung kematian.
Uniformitas suhu inti tubuh dipertahankan, misalnya dengan perubahan laju
aliran darah melalui vascular bed pada organ dalam tergantung tingkat panas yang
dihasilkan dari jaringan itu sendiri. Bahkan jika sebuah organ menerima jumlah aliran
darah minimal yang hanya cukup untuk menutupi kebutuhan oksigennya, panas
diproduksi sendiri melalui metabolisme aerobik yang dapat dipindahkan melalui
pembuluh darah vena dengan suhu kurang dari 1C di atas suhu pembuluh darah
arteri yang mengalir memasuki organ.
Target

dasar

dari

mekanisme

pusat

termoregulasi

adalah

system

kardiovaskuler, kandungan air dalam tubuh dan osmolaritas darah, sistem respirasi,
kecepatan metabolism memproduksi panas dan sirkulasi ke kulit. Pelepasan dari
panas melalui konduksi, konveksi, radiasi dan evaporasi diatur secara khusus melalui
sirkulasi kutaneus. Aktivitas metabolism tubuh, selanjutnya oksigen dan konsumsi
glukosa tergantung temperatur tubuh. Otak, contohnya hipotalamus, sistem limbik,
batang otak bagian bawah dan susunan retikular, ini bukan hanya organ utama
regulasi ini juga salah satu organ yang paling bertanggungjawab terhadap disfungsi
regulasi thermal. (Oehmichen 2000a,b)

12.1.1. Hipotermia
Hipotermia didefinisikan sebagai penurunan suhu tubuh inti dari tingkat
normal 36,5 C hingga <35 C (Petersdorf 1991). Sebuah suhu tubuh inti 33-35 C
biasanya diklasifikasikan sebagai hipotermia ringan, dari 30- 33 C sebagai
hipotermia moderat, dan <30 C hipotermia berat (Lnning et al. 1986).
12.1.1.1. Insidensi
Hipotermia umum adalah yang paling sering ditemui selama musim dingin
dan daerah sangat dingin seperti Siberia Timur (Donaldson et al. 1998). Di kota-kota
industri Barat, hal ini yang paling sering menyerang para tunawisma. Pada periode
1979-1998, sebanyak 13.970 orang meninggal karena hipotermia di Amerika Serikat,
rata-rata 699 kematian per tahun; dari semua kematian- terkait hipotermia, 6857 (=
49%) terjadi antara orang-orang berusia > 65 tahun (Compressed Mortality File of the
CDCs National Center for Health Statistics). Menariknya, tidak ada hubungan yang
jelas yang telah ditetapkan antara stres dingin di musim dingin dan angka kematian
akibat influenza (Donaldson dan Keatinge 2002). Hipotermia terjadi di pegunungan,
terutama pada korban longsor, korban kapal karam ditarik dari perairan dingin, dan
perenang rekreasi malang dan pelaut rekreasi malang.
Tindakan operasi yang melibatkan hipoksia otak berkepanjangan (misalnya,
neuro protection

transplantasi jantung) yang sering dilakukan setelah induksi

hipotermia buatan (menurunkan suhu tubuh 33 C atau 30 C) untuk mengurangi


metabolisme otak, sehingga memperpanjang tenggang periode iskemik. Pendinginan
tubuh telah terbukti melindungi otak dari cedera iskemik. Tambahan Pula, dua
kelompok penelitian independen menemukan bahwa menurunkan dari suhu tubuh 33
C selama 12 atau 24 jam pada korban koma serangan jantung peningkatan hasil
neurologis. (Bernard et al 2002;.. Holzer et al, 2002, lihat juga Curfman 2002).
Sebaliknya, berdasarkan hasil multi- pusat uji klinis baru-baru ini, hipotermia telah
terbukti tidak efektif sebagai pengobatan tertentu pada kasus- kasus cedera otak
mekanis non penetrasi (Narayan 2001; Clifton et al. 2001 - berbeda dengan Clifton et
al. 1993; Dixon et al. 1998; Soukup et al. 2002).

Mekanisme pelindung saraf hipotermia selama iskemia serebral baru-baru ini


direview oleh Colbourne et al. (1997). Manfaat penting dari keadaan hipotermia
ringan adalah karena kombinasi variabel neuroprotective cocktail (Corbett dan
Thornhill 2000). Hasil percobaan terisolasi memberikan bukti efek neuroprotektif
hipotermia termasuk, misalnya, penurunan jumlah akson mengambil label untuk
prekursor protein, yang merupakan penanda gangguan transportasi akson cepat.
Hipotermia juga telah terbukti menyebabkan penurunan hilangnya mikrotubulus dan
kekompakan neurofilaments yang terjadi pada hewan yang kembali ke normothermia
setelah eksperimen induksi hipotermia (Maxwell et al. 1999). Sebaliknya, secara
patofisiologi menurunkan metabolisme dan angiospasm sekunder diketahui
menginduksi nekrosis jaringan, terutama kulit pada ekstremitas distal, dengan
pelepasan kalium secara simultan (Schaller et al. 1990) dan peningkatan kadar aseton
darah. Artifisial yang diinduksi oleh hipotermia lokal otak- trauma dingin- telah
diaplikasikan pada neurotraumatologi eksperimental untuk menghasilkan nekrosis
steril untuk observasi proses penyembuhan luka otak.
12.1.1.2. Patofisiologi
Berikut ini informasi dasar penting dalam pemahaman hipotermia, penyebab
dan gejala sisa (Helm et al 1995):
Umur yang sangat muda dan sangat tua paling rentan terkena hipotermia.
Lemak tubuh bertindak sebagai isolasi; dengan demikian, pada orang kurus,
panas tubuh lebih cepat hilang.
Konsumsi alkohol (Weyman et al. 1974) dan konsumsi obat (Reuler 1978)
meningkatkan resiko hipotermia.
Aktivitas otot sukarela dapat meningkatkan produksi energi sebanyak 25 kali
tingkat metabolisme basal (Astrand dan Rodahl 1977).
Paparan kepala, termasuk wajah dan leher, mempercepat proses pendinginan

(Reuler 1978).
Cedera, terutama cedera kepala, tampaknya meningkatkan resiko hipotermia

(Luna et al. 1987).


Kapasitas pendinginan termal dari media bergerak (udara, air) lebih besar
dibandingkan dengan media yang tidak bergerak.

Konduktivitas termal air 32 kali lebih besar dari udara; Oleh karena itu, air
mempercepat proses pendinginan.
Seperti yang disebutkan di atas, hipotermia meningkatkan toleransi iskemia
otak, karena memperlambat proses metabolisme dan mengurangi konsumsi oksigen.
Pada suhu inti 20 C, serangan jantung dapat ditoleransi hingga 30 menit dan pada
kasus yang sangat jarang terjadi hingga 4 jam (Walpoth 2004) tanpa defisit
neurologis atau neuropsikologis yang signifikan secara klinis (Barratt- Boyes et al.
1976; Messmer et al. 1976; Walpoth et al. 1997). Hipotermia muncul untuk
menghambat ischemiamenginduksi penghabisan asam amino dan dengan demikian
mengurangi kerusakan saraf (Ooboshi et al. 2000). Mekanisme pelindung saraf
hipotermia telah menemukan peningkatan regulasi pada shunt pentosa, yang biasanya
mengalihkan 2- 6% glukosa dari glikolisis Embden- Meyerh (Kaibara et al. 1999).
Hal ini biasa bagi hipotermia untuk peningkatan regulasi sistem, tetapi peningkatan
regulasi relatif pentosa dimana jalur fosfat dapat menghasilkan sejumlah produk
metabolik yang bermanfaat: UDP-glukosa untuk perbaikan DNA, NADPH untuk
pemeliharaan molekul lipid yang rusak, dll.
Selama hipotermia tingkat energi akan dipertahankan sedikit lebih baik
daripada kondisi normothermik, yaitu, kerusakan ATP berkurang daripada sintesisnya
(Erecinska et al. 2003). Alkalinisasi intraseluler merangsang glikolisis dan secara
independen meningkatkan pembangkit energi. Penurunan suhu selama hipoksiaiskemia memperlambat tingkat pemecahan glukosa, phosphocreatine, dan ATP serta
pembentukan laktat dan pembentukan fosfat anorganik, dan meningkatkan pemulihan
parameter energik selama reperfusi.
Manfaat secara artifisial menginduksi hipotermia 26 C pada operasi bypass
arteri koroner diperkirakan hasilnya berkurang dari konsumsi O2 sebesar 60% serta
pengurangan konsumsi glukosa sebesar 45%

(Stephan 1991). Namun, karena

hipotermia ringan, tidak menurunkan penyerapan O2, juga dapat bermanfaat,


nampaknya hipotermia memberikan perlindungan terhadap berbagai mekanisme
biokimia yang merugikan termasuk perpindahan kalsium, eksitoksisitas, peroksidasi
lipid dan reaksi radikal bebas lainnya, kerusakan DNA, dan peradangan (Safar 1997;
Safar dan Kochanek 2002). Pada saat yang sama, terdapat peningkatan aliran darah
5

otak (sekitar 200% dari normal) sekunder terhadap perubahan keseimbangan asambasa, yang berkaitan dengan suhu. Keseimbangan ini diperlukan untuk menjaga
homeostasis suhu- disesuaikan pCO2 40 mmHg yang diperlukan untuk fungsi otak
yang tepat.
12.1.1.3. Gambaran Klinis
Pasien hipotermia sadar akan menunjukkan bicara cadel, reaksi mental yang
lambat, dan gerakan otot tidak terkoordinasi dan kaku (Paton 1983). Menggigil dapat
ada ataupun tidak. Tergantung pada tingkat vasokonstriksi perifer, pasien sepertimayat, pucat, merah muda atau sianotik. Jika suhu tubuh inti turun menjadi antara 32
C dan 30 C, korban semakin mengantuk dan mungkin tenggelam tak sadarkan diri;
vasodilatasi terjadi dan kulit berubah menjadi pink cerah. Reaksi pupil terhadap
cahaya lamban. Di bawah 26 C, korban datang seperti- mayat, dengan kulit sianotik,
nyaris bernapas, kekakuan otot- otot dan pupil dilatasi yang mungkin tidak bereaksi
terhadap cahaya. Pada kondisi tersebut, korban mungkindikira mati.
Terdapat edema generalisata, kulit sering bengkak dan dingin, tidak hanya
pada ekstremitas, tetapi pada semua trunkus yang dilindungi baju. Terlihat myxedema
berat pada wajah. Jaringan subkutan pucat, Denyut nadi mungkin tidak teraba, denyut
jantung melambat secara proporsional dengan penurunan suhu. Aritmia umum terjai,
terutama fibrilasi atrium. Tekanan darah, jika didapat, lebih rendah dari normal.
Viskositas darah meningkat yang menyebabkan penurunan sirkulasi perifer, tetapi
ekstraksi hasil oksigen berkurang pada desaturasi hemoglobin dan pinggiran pink
cerah yang berkurang. Fungsi gastrointestinal berhenti. Refleks neuromuskular
berkurang atau hilang pada suhu yang lebih rendah.
Hematokrit meningkat sebagian karena hemokonsentrasi sekunder diuresis
dingin dan sebagian karenachilangnya cairan edema subkutan. Sebuah defek intrinsik
pembekuan dapat terjadi, kaskade koagulasi menjadi terbelakang dan waktu
perdarahan meningkat (Fisher et al. 1958). Perdarahan petekie telah dilaporkan (comp
p. 548).
Pada suhu inti di bawah 35 C faktor lain selain penurunan metabolisme dapat
berperan dalam perubahan yang disebabkan oleh hipotermia (Tipton et al. 1999).

Dalam air, misalnya, hiperventilasi tak terkendali dapat menghambat koordinasi


antara gaya berenang dan respirasi, sehingga meningkatkan resiko aspirasi dan
ketidakmampuan untuk berenang (Golden et al. 1986). Suhu inti di bawah 28 C
menyebabkan gangguan sirkulasi dan gangguan neurologis (Danzl dan Pozos 1994),
yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi (Locher et al 1991;. Larach
1995; Kornberger dan Mair 1996). Satu indikator prognosis yang paling penting
adalah tingkat serum kalium yang dapat berfungsi sebagai alat triage untuk inisiasi
resusitasi kardiorespirasi pada korban dengan hipotermia dalam (Schaller et al. 1990).
Kelangsungan hidup hipotermia dikendalikan tanpa kerusakan otak yang tidak
diragukan lagi tergantung pada hypothermia menginduksi peningkatan toleransi otak
iskemia, tetapi kebangkitan tergantung pada tindakan pemanasan lambat untuk
menghindari gradien aritmogenic suhu pada sub-endokardium jantung di mana sistem
konduksi terletak. Pemeriksaan follow up penting dilakukan.
Kematian yang disebabkan oleh hipotermia umumnya terkait dengan tingkat
aseton darah (dan urin) tinggi (Fujita et al. 1998) dan kalium (Muszkat et al. 2002),
yang mungkin menjadi penanda diagnostik tambahan pada otopsi.
12.1.1.4. Neuropatologi
Otopsi tidak bisa secara definitif membuktikan hipotermia sebagai penyebab
yang mendasari kematian dengan pengecualian tunggal (Morbidity and Mortality
Weekly Report 1983, 32: 46-48), yaitu, demonstrasi kadar aseton yang tinggi dalam
darah harus membangkitkan kecurigaan terjadinya hipotermia (lihat Hanson dan
Johnson 1966; Fujita et al. 1998). Perubahan morfologi sekunder angiospasm dan/
atau dilatasi pembuluh darah, seperti iskemik lokal, nekrosis hemoragik, dan/ atau
petekie perdarahan, juga dapat ditunjukkan dalam otak (Madea dan Oehmichen
1989). Tidak jelas apakah fenomena ini merupakan hasil langsung dari dingin atau
iatrogenik dari terapi. Terjadinya sering tertunda, mungkin setelah usaha pemanasan
korban yang gagal. Hiperemia, edema, dan perdarahan (petekie) (disebut purpura
diinduksi dingin) ditemukan, terutama di daerah ventrikel ketiga (Yakub 1955; Peters
1970; Schmitt 1983). Caplan et al. (1984) mengamati perdarahan intraserebral terkaitdingin jelas disebabkan oleh peningkatan dingin terkait katekolamin dan peningkatan

sekunder tekanan darah sebagai konsekuensi dari kontraksi primer dinding pembuluh
darah dan konsekuensi iskemia.
Trauma dingin lokal menghasilkan nekrosis steril, menginduksi reaksi selular
(terutama) lokal (granulosit, makrofag, astrosit, fibroblas) serta peningkatan
pelepasan sitokin. Nekrosis ini tampaknya sekunder angiospasme lokal (Donaldson et
al. 1998). Meskipun hipotermia sistemik dilaporkan memiliki efek khusus tambahan
pada permeabilitas sawar darah otak (Krantis 1983), hipotermia lokal merangsang
permeabilitas (Schindelmeiser et al. 1987). Selain temuan neuropatologis, indikasi
hipotermia dapat ditemukan pada saat otopsi pada bagian luar tubuh berwarna merah
muda untuk perubahan warna coklat- merah muda secara merata pada kulit di atas
sendi-sendi besar (chilblains) atau sejumlah erosi akut pada mukosa lambung (Bintik
Wischnewsky ini - Ehrlich 2004).
Saraf perifer lebih rentan terhadap dingin daripada jaringan lain dan dapat
terluka jika seorang individu terkena suhu lingkungan di bawah 10 C. Akson dari
serabut saraf bermielin yang pertama kali terluka (Kennett dan Gilliatt 1991). Seperti
pada trauma panas (Hoogeveen et al. 1992), penurunan dingin yang disebabkan oleh
penghalang darah- saraf dapat menimbulkan endoneurial yang ditandai dengan edema
sebagai akibat dari kenaikan tekanan intraneural. Dengan tidak adanya pembuluh
getah bening endoneurial, hal ini dapat menimbulkan kerusakan pada serabut saraf
perifer.
12.1.2. Hipertermia
Hipertermia didefinisikan sebagai peningkatan suhu inti tubuh > 37,5 C
(untuk review lihat Jelkmann 2000). Suhu inti maksimum kompatibel dengan hidup
adalah 42 C. Untuk setiap kenaikan derajat Celcius pada suhu inti, tingkat kenaikan
metabolisme sebesar 13% (Holtzclaw 1992). Penghangatan kembali awal, misalnya,
setelah serangan jantung dapat merusak pemulihan otak. Selain itu, hipertermia otak
ringan memperburuk cedera otak (Dietrich et al. 1990). Peningkatan permintaan
metabolik terutama berbahaya bagi neuron yang iskemik.
Penyakit yang berhubungan dengan panas adalah terbakar sinar matahari,
kram panas, ruam panas, heat exhaustion, dan heatstroke. Jenis yang paling serius

dari penyakit yang berhubungan dengan panas ini adalah heat exhaustion, sunstroke,
dan heatstroke.
12.1.2.1. Insidensi
Penyakit yang disebabkan hipertermia muncul sekunder dari overheating
umum tubuh selama berolahraga fisik pada suhu lingkungan yang tinggi, pada ruang
pertemuan yang penuh sesak dengan ventilasi yang buruk, selama gelombang panas
di padang gurun (lingkungan hipertermia). Di Amerika Serikat, sekitar 400 kematian
setiap tahun terkait lingkungan panas yang berlebihan (Semenza et al. 1996). Selama
tahun 1979-1999 di Amerika Serikat, 8015 kematian terkait dengan paparan panas
berlebih. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.829 kematian (48%)

adalah karena

kondisi cuaca (Pusat Nasional Kesehatan Statistik 2002). Pada bulan Juli 1995,
setidaknya 700 kematian yang berhubungan dengan panas berada di Chicago
(Semenza et al. 1996). Di Missouri, New Mexico, Oklahoma, dan Texas selama JuliAgustus 2001, terdapat 95 kematian terkait dengan panas berlebihan (Laporan
Mingguan Morbiditas and Mortalitas 2002; 51: 567-570).
Bayi, orang tua, orang-orang yang terisolasi secara sosial, mereka yang
terbaring di tempat tidur, dan orang-orang dengan penyakit mental dan kronis
beresiko tinggi (Kaiser et al. 2001). Lansia rentan terhadap penyakit terkait- panas
karena mereka kurang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis,
misalnya, vasodilatasi yang terjadi dengan paparan panas berlebih, dan lebih mungkin
untuk mengambil obat untuk penyakit kronis yang meningkatkan risiko penyakit
terkait- panas (Kilbourne 1997). Bayi peka terhadap panas. Misalnya, demam ringan
dapat berkembang dengan cepat menjadi heatstroke jika tekanan panas terjadi.
Heatstroke dapat terjadi pada orang muda yang sehat yang berolahraga (Vassallo dan
Delaney 1998).
Bayi dan kematian anak usia dini yang disebabkan oleh lingkungan
hipertermia (heatstroke fatal) jarang, tetapi biasanya terjadi pada kendaraan atau
tempat tidur. Sepuluh kasus dengan usia mulai 53 hari hingga 9 tahun baru-baru ini
dilaporkan (Krous et al 2001;. lihat juga Wadlington et al. 1976; Bacon dan Bellman
1983). Bayi dan anak- anak ditinggalkan pada kendaraan bermotor yang berisiko

tinggi heatstroke dan kematian karena suhu dalam kendaraan dapat meningkat dengan
cepat hingga tingkat yang mematikan, terutama ketika kendaraan diparkir langsung
dibawah sinar matahari.
Hipertermia sering terlihat pada pasien berikut cedera otak mekanik yang
mungkin disebabkan peradangan otak pasca trauma, kerusakan hipotalamus langsung,
atau infeksi sekunder yang menyebabkan demam (Thompson et al. 2003). Terlepas
dari penyebab, hipertermia meningkatkan pengeluaran metabolisme, pelepasan
glutamat, dan aktivitas neutrofil hingga tingkat yang lebih tinggi daripada yang
terjadi pada pasien otak- cedera normothermic. Sinergisme ini lebih lanjut dapat
membahayakan cedera otak, meningkatkan kerentanan terhadap peristiwa patogen
sekunder, sehingga memperburuk kerusakan saraf.
Selain itu, hipertermia otak juga merupakan gejala keracunan metamfetamin
(met) dan faktor yang terlibat dalam neurotoksisitas selama penggunaan kronis
METH

(Kferstein dan Sticht 2000). METH diproduksi tergantung dosis

hipertermia, dengan struktur otak menunjukkan kenaikan suhu otot lebih cepat dan
lama. Padadosis tertinggi, suhu otak dan tubuh meningkat 3,5 C hingga 4,0 C di
atas tingkat basal dan tetap meningkat selama 3-5 jam. Situasi stres dan aktivitas
tinggi lainnya seperti interaksi dengan wanita sejenis juga dikenal untuk menginduksi
respon Hiperthermic signifikan pada tikus. Administrasi METH selama interaksi
sosial menghasilkan peningkatan suhu otak dan tubuh yang lebih kuat dan tahan lama
daripada yang disebabkan oleh obat saja, pemanasan otak pada beberapa hewan
hingga mendekati batas biologisnya (41 C) (Brown et al. 2003).
12.1.2.2. Patofisiologi
Pada normothermia, darah vena yang dipanaskan dari pembuluh darah organ
dalam dan darah vena yang didinginkan dari campuran perifer untuk menghasilkan
suhu darah arteri yang stabil (Brengelmann 2002). Hipertermia terjadi ketika vena
yang mengalir dari perifer (dari kulit dipanaskan atau otot rangka aktif) meberikan
panas hingga campuran. Suhu arteri kemudian meningkat, diikuti dengan sedikit
kelambatan peningkatan suhu dari jaringan berperfusi baik dimana alirang darah
relatif tinggi terhadap massanya.

10

Karena laju aliran darah organ internal dan ginjal turun drastis pada manusia
hiperthermic (Rowell et al. 1970), peningkatan suhu vena pada darah mengalir dari
organ- organ ini akan mendekati batas 1 C konsisten dengan kondisi metabolisme
aerobik, suhu dari parenkim organ,
Oleh karena itu, peningkatan relatif suhu arteri. Sejauh yang kita tahu, aliran
darah otak tidak terpengaruh dalam penyesuaian distribusi curah jantung yang terjadi
pada hipertermia (Rowell 1986). Panas yang disampaikan ke tubuh melalui darah
yang dipanaskan.
Pada tingkat sel, diketahui bahwa sel-sel di dalam SSP menunjukkan
perubahan pola pada ekspresi gen dan sintesis tinggi protein heat shock (HSP - Tytell
et al. 1993). Protein 70-kDa HSP 70 adalah salah satu protein utama yang disebabkan
oleh stres termal. Gen HSP 70 diaktifkan dalam sel glial dalam waktu 1 jam, pada
neuron dalam waktu 5 jam.
Efek berbahaya dari hipertermia disebabkan oleh beberapa faktor tambahan
(Corbett dan Thornhill 2000):
Suhu tubuh tinggi meningkatkan tingkat pelepasan glutamat (Sternau et al.
1992).
Suhu tubuh tinggi merangsang produksi radikal oksigen serta sirkulasi
kembali setelah iskemia global (Globus et al. 1995).
Hipertermia membahayakan penghalang darah- otak, yang menyebabkan
edema (Kil et al. 1996).
Hipertermia meningkatkan degradasi protein sitoskeletal, misalnya, spectrin,
mikrotubulus terkait protein 2 (MAP2), dan aktivitas calpain (Morimoto et al.
1997).
12.1.2.3. Gambaran Klinis dan Neuropatologi
Selain faktor- faktor yang disebutkan di atas, usia korban dan kondisi
kesehatan awal, terutama dari sistem kardiovaskular, juga berperan, seperti halnya
tingkat dehidrasi (Visser dan Gallagher, 1998). Data eksperimen terbaru (monyet,
suhu serebral: 42 C) memberikan bukti bahwa SSP menunjukkan gangguan
fungsional, meskipun otak yang ditemukan secara makroskopik dan mikroskopik
normal dalam enam dari delapan monyet (Eshel dan Safar 2002). Para penulis

11

menyimpulkan bahwa penyakit serebral akut selama dan setelah hipertermia


mematikan reversibel. Penyebab kematian bukanlah kerusakan SSP struktural namun
kerusakan hemodinamik sistemik.
Selain itu, kejang demam diketahui, terutama pada bayi dan anak-anak,
namun mekanisme yang mendasari pembentukan kejang demam kurang dipahami.
Pada hewan percobaan dapat dinyatakan (Liebregts et al. 2002) yang memberikan
kontribusi kejang hipertermia di hippocampus imatur dengan menurunkan
penghambatan CA1 sementara pada orang dewasa penurunan penghambatan CA1
membutuhkan hipertermia tingkat tinggi,

dan pembentukan kejang hippocampal

ditentang oleh peningkatan penghambatan dentate gyrus. Sindrom klinis dan


morfologi berikut yang harus dibedakan.
12.1.2.4. Heat Exhaustion
Gambaran klinis yang ditandai dengan keringat banyak, kram otot, kelelahan,
kelemahan, kulit dingin atau berkeringat, pusing, sakit kepala, mual atau muntah, dan
pingsan. Heat exhaustion yang tidak ditangai dapat menjadi heatstroke (Knochel
1974). bahkan dengan perawatan medis yang segera, 15% kasus heatstroke fatal
(Kilbourne 1997).
Heat exhaustion dapat disebabkan oleh suhu lingkungan yang tinggi maupun
oleh endogen panas yang berlebihan, misalnya, demam atau tenaga fisik. Hal ini
ditandai dengan dilatasi pembuluh perifer dan penurunan volume sirkulasi darah
(hipovolemia). Kelemahan panas adalah selalu bertahan membuat temuan morfologi
akut jarang. Perubahan fungsional dapat diatribusikan terutama untuk keadaan
hemodinamik korban.
12.1.2.5. Sunstroke (insolasi)
Jadi yang disebut sunstroke adalah heatstroke yang disebabkan oleh paparan
matahari lama pada kepala yang tidak tertutup. Hal ini rupanya dipicu oleh 1,5 C
menjadi 2,5 C kenaikan suhu otak (Koslowski dan Krause 1970). Otak berada di
dalam kepala, yang terdiri dari 9% dari luas permukaan tubuh, dan dikenakan
pemanasan dan pendinginan selektif. Suhu otak dipengaruhi dengan pendinginan
lokal (misalnya, ventilasi hidung) dan faktor pemanas (misalnya, kepala helm)
12

(Cabanac 1993). Gejala pada sunstroke terjadi tiba-tiba pada paparan tanpa
prodromal dan termasuk sakit kepala, gangguan visual, mual, delirium, kebingungan,
dan koma. Seperti kelemahan panas, sunstroke biasanya selamat; gejala yang
persisten merupakan indikasi edema otak. Pada kasus yang mengakibatkan kematian,
hampir tidak bisa dibedakan secara klinis dari heatstroke, gambar morfologi
didominasi oleh edema dan kongesti.
12.1.2.6. Heatstroke
Gambaran klinis. Heatstroke ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi (suhu inti: >
41,1 C), kulit kemerahan, kulit kering, dan tidak ada berkeringat; nadi cepat, sakit
kepala, pusing, mual, kebingungan, disorientasi, delirium, dan koma. Gambaran
klinis heatstroke dianggap sangat mengancam kehidupan, berakhir pada kematian
pada sekitar 50% kasus (Shibolet et al. 1967; Sherman et al. 1989; Mendesis et al.
1994).
Patogenesis. Proses patogenetik yang benar masih belum diketahui (Brengelmann
2002) meskipun telah ada data percobaan baru- baru ini (Eshel dan Safar 2002).
Heatstroke disebabkan oleh kegagalan suhu pusat regulasi diencephalic. Heat
exhaustion juga dihasilkan dari dehidrasi dikombinasikan dengan kekurangan garam.
Hanya beberapa penelitian eksperimental yang mengetahui heatstroke. Sharma dan
Westman (2000) bisa menunjukkan bahwa efek panas dapat mengganggu penghalang
darah-otak, yang menyebabkan edema serebral yang dikombinasikan dengan
perubahan iskemik sekunder, dapat menyebabkan gangguan fungsional cerebral.
Menurut para penulis ini, terdapat peningkatan regulasi GFAP dan vimentin simultan
dalam astrosit serta peningkatan ekspresi protein heat shock, oksida nitrat sintase, dan
heme oxygenase.
Neuropatologi. Morfologi heatstroke ditandai dengan hemodinamik yang disebabkan
cedera (gangguan syok dan penghalang darah-otak dengan plasma dan ekstravasasi
sel - lihat Jacob 1955; Sohal et al. 1968). Terdapat perubahan dominan hilangnya
neuron di korteks serebelar (Shibolet et al. 1967). Perdarahan petekie (Lahl 1974) dan
purpura (Schwab 1925), kadang-kadang dalam bentuk hemoragik ensefalitis
(Buchner 1962), yang dilihat; pembengkakan saraf telah dijelaskan dalam beberapa

13

kasus (Schwab 1925). Tapi temuan sinyal neuropathologik adalah edema otak yang
dijelaskan oleh beberapa penulis (Sharma dan Westman 2000;. Krous et al, 2001) dan
dijelaskan dengan gangguan akibat panas dari penghalang darah- otak (Sharma dan
Westman 2000). Temuan postmortem lainnya bervariasi dan tergantung pada durasi
kelangsungan hidup dan paparan hiperthermic (Hiss et al. 1994) yang mencakup
petechiae, edema paru, degenerasi sel visceral dan nekrosis serta koagulasi
intravaskular (DIC) (Di Maio dan Di Maio 2001).
Heatstroke menyebabkan varietas luas komplikasi neurologis, yang sekunder
pada serebellar, ganglia basal, sel tanduk anterior, dan keterlibatan saraf perifer
(Kalita dan Misra 2001). Dalam review yang terdiri dari 29 pasien dari 13 laporan
yang dipublikasikan, , sindrom serebelar adalah yang paling umum (12 pasien).
Sindrom pancerebellar pada heatstroke dikaitkan dengan efek termal langsung pada
otak kecil mengakibatkan degenerasi sel Purkinje (Yaqub 1987). Studi Computed
tomography dan Magnetik Resonance Imaging (MRI) juga mengungkapkan atrofi
serebelum dan keterlibatan white matter (Mehta dan Baker 1970). Namun, dalam
berbagai kasus, atrofi serebelum tercatat pada MRI setelah 10 minggu, progresif
selama 1 tahun (Albukrek et al. 1997), atau muncul 1 tahun kemudian dan menjadi
lebih ditandai pada 2 tahun (Biary et al. 1995).
12.1.3. Trauma akibat Api dan Luka bakar
12.1.3.1. Insidens
Kematian akibat api yang dihasilkan secara langsung atau tidak langsung dari
efek api dan/ atau panas pada otak sangat jarang. Dalam kebanyakan kasus, kematian
akut terutama disebabkan oleh shock atau inhalasi gas beracun, terutama karbon
monoksida, sebelum otak dapat dipengaruhi oleh api atau panas. Tertundanya
kematian, di sisi lain, disebabkan oleh hilangnya protein, edema, gagal ginjal, dan/
atau infeksi sekunder. Tingkat kematian pada luka bakar tergantung pada besar bagian
yang terdiri dari tiga faktor: usia korban, tingkat keparahan dan sejauh mana luka
bakar, serta intensitas dan komposisi gas. Kematian dapat digambarkan oleh diagram
yang berpencar yang menunjukkan plot yang bertahan dan fatalitas terhadap usia dan

14

persentase luka bakar full- thickness. Korban orang tua mungkin mati akibat penyakit
kronis organik yang dikombinasi dengan luka bakar, misalnya, dari stroke.
Jika korban menderita hanya terbakar pada pembakaran kulit kepala, yang terdiri dari
9% permukaan tubuh, korelasi antara usia dan persentase luka bakar full- thickness
akan menunjukkan bahwa cedera tersebut kompatibel dengan kelangsungan hidup
hampir terlepas usia, asalkan faktor berat lainnya dikecualikan.
12.1.3.2. Gambaran Klinis
Sebagaimana yang disebutkan diatas, cedera dan kematian akut akibat primer
asfiksia atau inhalasi gas beracun daripada efek api pada otak. Hubungan antara
durasi paparan terhadap gas berbahaya atau deplesi oksigen dan efeknya diringkas
oleh Davies (1991, Tabel 14.2). Gas, terutama karbon monoksida (intoksikasi CO,
lihat pp 44 ff), memicu koma. Pada kebanyakan kasus, intoksikasi sendiri
memnunjukkan kondisi fatal atau koma- menyebabkan imobilitas sehingga dapat
menyebabkan kematian akibat api dan panas. Jika lebih dari 40% hemoglobin
(tingkat karboksihemoglobin) berikatan dengan CO, korban jatuh pada kondisi koma
dan jika lebih dari 60% terikat, korban akan mati.
Pada orang yang selamat, panas serta inhalasi racun dapat menyebabkan
cedera inhalasi pada saluran pernapasan atas dan paru- paru, dengan hilangnya
surfaktan terkait- protein dan cedera pneumosit tipe II. Fase syok berkembang jika
korban selamat dari cedera primer panas, api, asap, dan cedera inhalasi. Beratnya
gejala syok tergantung pada sejauh mana kulit terbakar, bukan kedalaman luka bakar.
Faktor yang mendasari gangguan metabolisme dan sirkulasi diidentifikasi. Efek Jauh
dari cedera termal pada kulit antara lain hemolisis intravaskular, permeabilitas
pembuluh darah, cedera akut paru, gagal ginjal, dan gangguan fungsi hati. Primer
asap yang menyebabkan intoksikasi SSP dan gejala sisa tidak langsung seperti
hipoksia karena cedera inhalasi atau sengatan dapat menyebabkan perubahan di otak.

12.1.3.3. Neuropatologi

15

Dalam kasus kematian akut akibat keracunan CO, tanda-tanda keracunan CO


mendominasi, dengan makroskopik warna merah terang pada bagian otak yang
difiksasi dengan formalin (Gambar 17.3). Perubahan kematian, seperti koagulasi
permukaan otak atau seluruh otak, juga terlihat (Gambar. 12.1c, d), terutama jika
tengkorak telah kehilangan semua jaringan lunak atau telah meledak akibat panas
(Gambar 12.1a, b). Otak mungkin menyusut, meskipun struktur gray dan white
matter masih bisa dibedakan. Sebagian otak atau seluruhnya dehidrasi (Dotzauer dan
Jacob 1952; Klein 1975) dan menggumpal. Perubahan ini, seperti akumulasi darah di
ruang epidural (hematoma luka bakar- Gambar 12.1e, f), terjadi pada postmortem
(lihat di bawah). Hampir selalu dibuktikan dengan tingkat carboxyhemoglobin tinggi
> 50% mengindikasikan bahwa korban sudah meninggal karena keracunan CO
sebelum terkena panas otak (Gerling et al. 2000; Oehmichen 2000a).

16

Gambar 12. 1a-f. gambaran post mortem yang dihasilkan dari luka bakar pada kulit
kepala, tengkorak dan otak. a,b hilangnya rambut, kulit dan jaringan lunak dalam hal
ini hilangnya kulit kepala secara total seperti terjadi fraktur dan hilangnya sebagian
tabula eksterna dari tengkorak. c,d koagulasi pada lapisan luar otak (tanda panah). e,f
pengumpulan darah di dalam ruang epidural = burn hematoma

Perbedaan morfologi antara luka intravital dan luka postmortem mungkin sulit
sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 12.2. Demikian pula, bukti epidural dan
akumulasi darah subdural serta adanya herniasi, perdarahan kortikal di dasar frontal
otak dan pons memberikan bukti mekanisme vital, sementara hematoma luka bakar
dan koagulasi permukaan otak adalah perubahan postmortem.
Jika korban selamat, fenomena sekunder dari api- menyebabkan luka bakar
dan/ atau proses penyembuhan luka. Kelangsungan hidup tergantung pada tingkat
keparahan luka bakar, yaitu, pada tingkat permukaan kulit dan kerusakan jaringan
lunak, dan pada tingkat keparahan CO- menyebabkan kerusakan otak.

17

Gambar 12. 2a-e : perbedaan antara gambaran intravital dan postmortem; a.


postmortem (extradural) burn hematoma; b. intravital perdarahan subdural; c.
intravital white matter dan perdarahan kortikal (lingkaran); d. herniasi intravital
(tanda panah); e. intravital pontine hemorrhage (lingkaran)

Secara klinis, korban terbakar yang bertahan hidup sebentar (kematian dini)
mengembangkan penurunan kesadaran, sering masuk pada keadaan koma. Gambaran
morfologi ditandai dengan hiperemia dan edema sekunder dengan perubahan
hemodinamik dan kerusakan pembuluh darah toksik (Hagedorn et al. 1975).
Peningkatan simultan permeabilitas protein plasma penghalang darah- otak

18

menyebabkan peradangan dengan trombosis intravascular dan kadang-kadang juga


menimbulkan badan fibrin intravaskular sekunder hingga syok (Hagedorn et al.
1975). Spongiform perivaskular disintegrasi myelin, agregasi perivaskular yang
mengandung lipid dan hemosiderin yang mengandung makrofag, pendarahan otak,
penyusutan sel saraf, astroglial pucat dan bengkat dan proliferasi semuanya telah
dijelaskan (Jacob 1955).
Tertundanya kematian pada luka bakar yang disebabkan terutama oleh infeksi
dari daerah kulit yang terbakar dan saluran pernapasan. Retensi air ekstravaskuler
meningkat di seluruh tubuh (termasuk otak) sekunder terhadap peningkatan patologis
permeabilitas dinding pembuluh darah

dan hilangnya protein plasma. Hasilnya

adalah edema umum dan edema otak, yang dapat menjadi hipoksia sistemik.
Komplikasi luka bakar umum yang tertunda termasuk infeksi SSP dengan sepsis
(15% kasus), perubahan sekunder (oklusi arteri septik atau DIC), yang menyebabkan
infark (18% kasus), dan perdarahan intraserebral (Winkelmann dan Galloway 1992).
Pada kasus dengan waktu bertahan hidup yang panjang, gambaran klinis didominasi
oleh cedera iskemik. Hidrosefalus internal memiliki gambaran klinis seperti
ensefalopati, yang dilihat terutama pada anak-anak.
Masalah Vitalitas. Pada kasus kematian akut, harus selalu ditentukan apakah korban
sudah mati atau masih hidup. Pertanyaan ini biasanya dijawab pada otopsi dengan
adanya jelaga pada saluran pernapasan dan peningkatan kadar CO-Hb dalam darah.
Dalam beberapa kasus, tanda-tanda proses vital mungkin kurang, indikasi bahwa
kematian bukan karena terbakar. Neuropathologist kemudian harus membantu
menentukan penyebab pasti kematian dan menemukan tanda- tanda lain, misalnya,
api itu sengaja diatur untuk menyembunyikan pembunuhan sebelumnya (misalnya,
dengan mencekik, asfiksia, MBI, dll). Dua temuan morfologi penting yang sering
dalam hal ini adalah:
1) Fraktur tengkorak dan/ atau destruksi tengkorak (Gambar 12.1a, b.): Analisis
biomekanik dari fraktur ini dapat membantu untuk menentukan apakah kubah
tengkorak meledak akibat panas yang menyebabkan peningkatan tekanan

19

intrakranial (fraktur burst) atau telah rusak sebagai akibat dari angin (fraktur
bending).
2) Hematoma epidural (Gambar 12.1e, f.): burn hematoma harus dibedakan dari
mekanis primer yang menyebabkan perdarahan. Jika ada ada tanda-tanda
kekerasan mekanik eksternal pada kepala, dan tidak ada (penting) efek
sekunder seperti pergeseran otak, edema otak, atau reaktivitas sel, maka
primernya disebabkan hematoma mekanis dapat dikesampingkan. Namun,
temuan ini dulit ditafsirkan pada kasus di mana pukulan dan api melukai
kepala pada waktu yang sama atau pada interval berturut- turut tetapi sangat
singkat. Pada kasus luka bakar hematoma kepala biasanya sudah mengalami
skeletonization, dengan pembakaran jaringan lunak di atasnya serta deformasi
akibat panas dari tengkorak bagian dalam.
Perubahan termal lokal pada otak disebabkan oleh luka bakar yang
disebabkan elektrik. Efek panas dapat menyebabkan kerusakan kulit kepala dan
tengkorak pada titik kontak, khas luka bakar listrik. Jaringan lokal nekrosis akibat
panas juga terlihat dalam dura mater yang mendasari dan jaringan otak, terutama pada
kecelakaan industri tegangan tinggi atau disebabkan oleh petir.
12.2. Trauma listrik
12.2.1. Insidensi
Kematian akibat kekerasan listrik biasanya disengaja, meskipun kadang
terkait dengan bunuh diri atau pembunuhan. Di Amerika Serikat, sekitar 1.000
kematian akibat sengatan listrik dilaporkan setiap tahunnya (Lee 1997), 100.000 lukaluka akibat sengatan listrik (Mellen et al. 1992). Pada tahun 1967, tingkat global
kecelakaan listrik fatal per 100.000 penduduk berkisar dari 0,13 di Irlandia Utara
menjadi 0,76 di Italia (Wyzga dan Lindroos 1999).

12.2.2. Gambaran Klinis

20

Gejala tersebut ditentukan oleh jenis dan kuantitas arus listrik, jalan serta
densitas yang melalui tubuh, frekuensi, dan durasi. Intensitas lemah dapat
menyebabkan gejala akut seperti parestesia, kejang otot, dan nyeri otot, mati rasa
pada tungkai, mengantuk, kejang, dan kehilangan kesadaran (Panse 1955; Posner
1973; IEC 1987, 1994). Gejala terakhir adalah sakit kepala terus menerus, mual, dan
muntah, mungkin berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan
intrakranial. Jika arus yang melalui jantung cukup kuat, detak jantung yang
disebabkan fibrilasi ventrikel akan terjadi, yang dapat menyebabkan henti nafas. Efek
sengatan listrik yang tertunda antara lain sensasi phantom pada kaki yang diamputasi
karena cedera listrik, atrofi tulang belakang dan kelumpuhan spastik tulang belakang,
serta kejang, yang kadang-kadang terjadi pada interval dan biasanya menghilang lagi
(Levine et al. 1975; Petty dan Parkin 1986). Deficit kognitif jangka panjang dan
defisit emosional merupakan akibat dari post traumatic stress disorder (Kelley et al.
1999), dijelaskan juga, serta kerugian total atau sebagian memori, kadang dalam
bentuk amnesia retrograde.
12.2.3. Patogenesis
Kekerasan listrik dapat menyebabkan cedera termal (lihat "Hipertermia")
yang harus dibedakan dari syok listrik menyebabkan cedera fungsional. Cedera
termal akibat sengatan listrik dapat berkisar dari keparahan nekrosis lokal untuk
menyelesaikan karbonisasi. Tingkat cedera fungsional tergantung pada tingkat
pergeseran elektrolit pada tingkat molekul (IEC 1987, 1994; Chen et al 1999;. Tsong
dan Su 1999). Paparan sel dalam suspensi terhadap pulsa listrik intens langsung telah
terbukti merusak membran sel dan organisasi supramolekul sel dan menyebabkan
denaturasi makromolekul, memproduksi luka dan air mata seperti yang terlihat pada
korban kekerasan listrik (Tsong dan Su 1999).
Tingkat keparahan cedera tergantung pada sumber tegangan dan jenis arus
listrik [direct current (DC), alternating current (AC), impulse current (IC)], pada
jenis dan medium konduksi (luas permukaan kontak, titik kontak, celah di udara, air,
dll), lokasi anatomi dari tempat kontak, dan jalur arus yang melalui tubuh (tangantangan, tangan kanan- kaki kiri, dll). Keparahan juga tergantung pada faktor-faktor

21

kuantitatif seperti sentuhan tegangan, impedansi kulit, impedansi internal tubuh, dan
intensitas efektif yang mengakibatkan arus (nilai akar kuadrat rata-rata), durasi arus,
kerapatan arus, frekuensi (IEC 1994, 1987) dan - tentu saja - pada kondisi korban
(lihat Barnes et al. 1996). Tegangan serendah 25 V dapat berbahaya (Jaffe 1928), dan
tegangan dari 46 V dapat mematikan (Stevenson 1942) jika total impedansi tubuh dan
resistensi kontak sangat kecil dan jika jantung terletak di jalur arus.
Otak tampaknya relatif tahan terhadap gangguan fungsional jangka panjang
dan perubahan morfologi sekunder sengatan listrik, seperti yang dibuktikan misalnya
kurangnya cedera sekunder setelah terapi electroconvulsive untuk gangguan depresi
(beban stimulus: 25-50 mC, frekuensi stimulus: 30-70 Hz, durasi impuls: 0,5-2,0 ms,
durasi stimulus: 0,5-8 s) (lihat Abrams 1992; Devanand et al. 1994; Folkerts 1995,
2000). Efek pada sistem pemancar serta pergeseran ion di sistem saraf mengganggu
konduksi, pembentukan impuls, dan transportasi stimulus dan dapat menyebabkan
perubahan permeabilitas dalam pembuluh karena angiospasme (Asosiasi Psikiater
Amerika 2001). Cedera mekanik dan toksik sekunder juga dapat terjadi, tetapi tidak
dibahas secara rinci di sini.
2.2.4. Neuropatologi
Hiperemia vena diamati, terkadang disertai dengan perdarahan di ventrikel
ketiga, lantai ventrikel keempat, dan pada korteks serebral di perbatasan antara gray
dan white matter; perdarahan kadang-kadang besar (Somogyi dan Tedeschi 1977;
Stanley dan Suss 1985). Perdarahan disebabkan oleh angiospasme dan dengan syok
listrik yang disebabkan oleh syok listrik- meningkat tekanan darah (Koeppen 1953).
Demielinasi, fragmentasi akson, degenerasi neuron, dan nekrosis perivaskular
disebabkan oleh hipoksia (Stevenson 1942) dan telah dijelaskan pada orang yang
hidup setelah eksekusi di kursi listrik (Hassin 1933; Silversides 1964). Trombus vena
serebral telah dijelaskan dalam beberapa kasus (Patel dan Lo 1993; Sure dan Kleihues
1997).
Tertundanya

penyakit

tertunda

akibat

sengatan

listrik

merupakan

electrotraumatic atrofi tulang belakang (Farrell dan Starr 1968; Levine et al. 1975;
Panse 1975; Petty dan Parkin 1986), yang dapat terjadi beberapa minggu atau bulan

22

setelah kejadian traumatik. Hal ini umum setelah kontak tangan ke tangan, yang
menyebabkan lesi diantara segmen servikal kelima dan ketujuh (terutama pelunakan
dengan degenerasi mielin, sedikit perdarahan, dan kavitasi lesi) (Alexander 1938).
Paralisis spinal spastic dengan atrofi kolumna putih posterior dan kolumna putih
lateral juga telah dijelaskan (Koeppen dan Panse 1955; Panse 1955; Osypka 1963),
pada setiap kasus demielinasi. Beberapa kasus hidrosefalus internal telah dilaporkan
(Bach 1950). Penelitian baru-baru ini gagal menjelaskan kasus reaksi psikopatologis
yang sama dengan post-traumatic stress syndrome tanpa morfologi yang sama
(Pliskin et al. 1998, 1999; Kelley et al. 1999).
Cedera saraf perifer berhubungan dengan beratnya jaringan berdekatan yang
terbakar, overekstensi anggota badan, otot ruptur, dan fraktur- dislokasi tulang dan
sendi, yang semuanya dapat disebabkan oleh terapi kejut listrik pada pasien psikotik.
Degenerasi myelin dan cedera akson silinder dapat menyebabkan gangguan aliran
darah (Alexander 1938).
Eickhorn et al. (1988) mempelajari efek pada saraf katak yang terisolasi
dengan kondensor pembuangan bertegangan tinggi dengan medan kekuatan hingga
1.000 V/ cm yang diberikan pada 0,24-8 ms. Mereka mencatat propagasi gangguan
aksi potensial, termasuk blok konduksi total sementara. Gangguan konduksi tersebut
biasanya hilang dalam beberapa menit. Syok listrik menginduksi cedera saraf perifer
sering bermanifestasi morfologi- dalam bentuk cedera aksonal dan demielinisasihanya setelah masa laten yang panjang.
12.2. Alat Kejut Listrik
Penggunaan alat kejut listrik telah meningkat dalam dekade ini. Efeknya
sangat tergantung pada jenis dan besarnya arus listrik yang mereka berikan untuk
tubuh (Osypka 1963). Aliran individu yang dengan arus impuls berosilasi tinggi
sering dapat mencapai nilai puncak dari beberapa ampere dengan jangka waktu
kurang dari sepersepuluh atau bahkan seperseratus dari 1 ms. Alat lemah dapat
memberikan energi impuls beberapa mJ, alat kuat hingga sekitar 1 J. Kekuatan arus
efektif (root-mean-square current) berkisar dari 10 hingga 100 mA dengan tingkat
pengulangan impuls dari 10-30 Hz. Pada alat yang lebih kuat dengan pengulangan

23

tingkat impuls 10 Hz atau lebih, durasi syok hanya beberapa detik sudah cukup untuk
memblokir seluruh sistem saraf motorik.
Arus listrik menyebar ke seluruh tubuh, mengikuti rute paling perlawanan
seperti pembuluh darah, saluran getah bening, cairan jaringan, otot, dan jalur saraf
(Robinson et al. 1990). Blokk yang dihasilkan sistem saraf motorik ini disebabkan
oleh interval antara impuls yang diterapkan lebih pendek dari periode refraktori dari
serat otot pada saat kontraksi (~ 100 ms), tapi lebih panjang dari interval untuk
pemulihan relatif dari sel-sel saraf setelah stimulasi (~ 5 ms).
12.2.6. Radiasi Elektromagnetik
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah penulis telah berhipotesis bahwa
radiasi elektromagnetik dari ponsel (telepon seluler) dapat menyebabkan tumor otak
(Rothman et al 1996;. Maier et al 2000.). Telepon seluler mengirim dan menerima
radiasi elektromagnetik pada frekuensi sekitar 1.000 MHz, tepat di atas frekuensi
transmisi televisi ultrahigh dan tepat di bawah bagian gelombang mikro dari
spektrum elektromagnetik. Studi terbaru mampu menghilangkan sebagian besar
ketakutan ini (Inskip et al 2001;. Utteridge et al. 2002).

12.3. Trauma Petir


12.3.1. Insidens
Petir bisa menyambar manusia dalam berbagai situasi dan tentu mengancam
kehidupan, tetapi tidak selalu fatal (hanya 20-30% korban meninggal) (Knig dan
Pedal 1983; Blount 1990; Mackerras 1992). Di Amerika Serikat, National Oceanic
and Atmospheric Administration mengevaluasi pada tahun 1959-1994 (Curran et al.
1997): petir bertanggung jawab pada lebih dari 3.000 orang tewas dan hampir 10.000
korban. Cedera dan kematian disebabkan oleh efek dari listrik, termal, dan kekerasan
mekanik. Serangan jantung adalah penyebab utama kematian akibat sambaran petir,
namun pada korban komplikasi yang paling besar adalah neurologis. Cedera petir

24

berbeda secara signifikan dari cedera listrik tegangan tinggi lain karena aliran arus
yang tinggi, namun durasinya sangat pendeks. Juga, cedera mekanik dari efek
ledakan petir tidak seperti luka yang disebabkan oleh manusia. Hal ini termasuk
fraktur kerangka dan tengkorak (Skan 1949).
12.3.2. Gambaran Klinis
Gejala klinis adalah kesadaran utuh dan defisit neurologis reversibel dengan
pola distribusi yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan struktur anatomi. Koma bisa
bertahan hingga beberapa hari dan "perubahan sekunder," terutama hipoksia,
mendominasi gambaran klinis dan dapat menyebabkan kematian. Jika korban
selamat, ada potensi terjadinya gangguan fungsi jantung dan komplikasi
neurovaskular perifer. Resusitasi berhasil dilakukan, bahkan di antara korban dengan
tanda- tanda konvensional kematian otak (Lifschultz et al. 1993).
Berdasarkan review Cherington (2003; lihat juga Cherington et al. 1992;
Muehlberger et al. 2001) kita harus membedakan empat kelompok komplikasi
neurologis, yang bervariasi dari gejala transient jinak hingga cacat permanen:
1) Gejala segera dan sementara, yaitu, kehilangan kesadaran singkat, amnesia,
kebingungan, sakit kepala, paresthesia, dan lemah.
2) Gejala segera dan lama atau permanen, yaitu, pasien akan memiliki lesi
struktural, sebagai contoh pasca- hipoksia/ ensefalopati iskemik, perdarahan
intrakranial, infark serebral atau sindrom serebelar.
3) Kemungkinan tertundanya sindrom neurologis, yaitu penyakit motor neuron
dan gangguan gerakan setelah sambaran petir dengan hari, bulan atau tahun.
4) Cedera sekunder terkait petir seperti jatuh atau meledak.
Terbakar- menyebabkan nekrosis (punctate burns) biasanya terlihat di lokasi
masuk dan keluar; hanya beberapa kasus cedera petir tanpa luka bakar dilaporkan
(Wetli 1996). Kematian disebabkan oleh medan magnet yang sangat kuat dan
meningkat pesat di disekitar petir, yang menghasilkan arus tegangan tinggi singkat
pada tubuh manusia. Jika hal ini terjadi pada periode rentan konduksi atrium, dapat
memicu asistol dan menyebabkan fibrilasi ventrikel (Cherington et al. 1998).
12.3.3. Neuropatologi

25

Sebuah sambaran petir ke kepala menyebabkan luka bakar lokal pada


epidermis dan jaringan ikat subkutan; hal itu juga dapat menghasilkan perdarahan
subarachnoid atau bahkan parenkim otak (Andrews et al 1992.; Lifschultz et al. 1993;
Wetli 1996). Hipoksia terkait perubahan juga diamati. Beberapa kasus yang
dilaporkan menemukan fokus hemoragik di bawah titik serrangan petir, dengan
robeknyawhite matter otak yang dianggap sebagai akibat langsung dari kekerasan
listrik itu sendiri. Selain itu, beberapa penulis menghubungkan perdarahan ganglionic
basal (Andrews et al 1992;. Wetli 1996) serta fraktur tengkorak (Morgan et al. 1958)
langsung ke sambaran petir dengan kesulitan membedakan fraktur akibat jatuh. Petir
telah menyebabkan fraktur pada individu dengan posisi berbaring, tidur (Skan 1949)
dan perdarahan epidural yang terlihat satu kasus (Morgan et al. 1958). Bahkan pada
cedera petir fatal dengan cedera ledakan mekanik berat dan fraktur tengkorak, otak
tetap utuh (Skan 1949).

26

Anda mungkin juga menyukai