Anda di halaman 1dari 17

1.2.

TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
a) Untuk menambah pengetahuan dalam memahami Teori Administrasi Negara.
b) Untuk mengetahui semua hal tentang Teori Teori Administrasi Negara.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Administrasi sebagai seni pada hakekatnya timbul bersama-sama dengan timbulnya
peradaban manusia. Jelasnya semenjak manusia telah berbudaya, yaitu dengan mengembangkan
ciptanya/ akal pikirannya, rasanya/ seninya, karsanya/kehendaknya, dan adanya kerja sama
antara 2 orang atau lebih telah merupakan unsur-unsur administrasi dalam kehidupan
bersama/bermasyarakat. Oleh arena itu administrasi ebagai uatu seni

sesungguhnya bukan

merupakan hal yang baru, karena dengan adanya 2 manusia yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan tertentu, di sana sudah terdapat administrasi, yaitu administrasi dalam praktek.
Herbert A. Simon, misalnya, pernah mengatakan bahwa apabila ada 2 orang yang
ekerja-sama untuk menggulingkan sebuah batu yang tidak dapat digulingkan hanya oleh satu
orang di antara mereka, di sana telah terdapat administrasi. Sejarah telah menunjukkan kepada
kita bahwa sejak periode prasejarah dan periode sejarah, manusia telah menjalankan sebagian
prinsip-prinsip administrasi yang sekarang kita kenal, dan telah menerapkan dalam bidang
pemerintahan, perdagangan, perhubungan, pengangkutan dan sebagainya, misalnya terlihat pada
zaman Pemerintshan Kerajaan Mataram I, Majapahit dan Sriwijaya (di

Indonesia), zaman

31Pemerintahan Kera~jaan Mesir kuno, zaman Pemerintahan Kerajaan Tiongkok kuno, dan
sebagainya. Bukti-bukti peninggalan pada zaman

tersebut berupa hasil kebudayaan yang

sekarang masih dikagumi orang, yaitu candi Borobudur, candi Kalasan (Indonesia). Piramid dari
Mesir dan Pagar Tembok Raksasa dari Tiongkok, dan lain-lain.

Berakhirnya perkembangan administresi sebagai seni ditandai oleh lahirnya "Gerakan


Managemen IImiah" yang dipelopori oleh Frederick W. Taylor dari Amerika Serikat dan Henry
Fayol dari Perancis, pada akhir abad XIX, dan di sini terdapat dua hal yang pertu dicatat, yaitu:
1. Berakhirnya status administrasi sebagai seni semata-mata dan lahirnya administrasi dan
managemen sebagai suatu ilmu pengetahuan (disiplin baru).
2. Berakhirnya periode prasejarah dan periode sejarah manusia dalam perken bangan
administrasi dan managemer. dan tibanya periode "zaman modern' yang di.mulai sejak
berakhirnya abad yang lalu dan terus berkembang samp~sekarang daIam abad XX ini.
Perkembangan terakhir yang perlu mendapat perhatian kita bersama ialah bahwa Ilmu
Administrasi pada saat ini terdapat suatu cabang ilmu baru yang di sebut dengan

Ilmu

Administrasi Pembangunan. Perlu dijelaskan di sini bahwa ilmu pengetahuan timbul dan
berkembang oleh karena adanya kebutuhan yang nyata yang dirasakan oleh masyarakat terhadap
sesuatu ilmu tertentu. Bagi Negara Negara yang pada waktu sekarang ini digolongkan kepada
"Negara yang sedang berkembang" (developing countries) dirasakan bahwa teori-teori dan
prinsip-prinsip daripada Ilmu Administrasi yang tradisional yang terutama dikembangka di dunia
Barat, khususnya Amerika Serikat, sudah tidak memadai terhadap kebutuhan bagi NegaraNegara yang sedang giat melakukan pembangunan. Oleh karen itu para ahli mulai mengalihkan
pikiran, perhatiannya serta waktunya terhadap suatu cabang Ilmu Administrasi yang relevan
dengan Negara-Negara yang sedang berkembang, yaitu Ilmu Administrasi Pembangunan.
B. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah mendapatkan teori administrasi, kekuatan politik dan
reformasi pemerintahan. Sesuai dengan kondisi pendidikan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dalam
upaya meningkatkan produktivitas pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat. Sasaran yang
hendak dicapai pada makalah ini adalah diperolehnya : (a). pengertian administrasi, (b). kekuatan
politik, serta (c). reformasi pemerintahan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TEORI ADMINISTRASI
a) Pengertian Teori Administrasi
Yang dimaksudkan dengan teori administrasi adalah serangkaian usaha untuk melakukan
konseptualisasi mengenai apakah yang dimaksudkan dengan administrasi, bagaimana caranya
mempe

rbaiki hal-hal yang dikerjakan oleh administrasi, bagaimana menentukan apa yang

harus dikerjakan oleh administrator publik, mengapa orang berperilaku tertentu dalam suatu
situasi administrasi, dan dengan cara apakah aparatur pemerintah disusun dan dikoordinasi untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Salah satu alasan utama mengapa orang mempersoalkan status keilmuan administrasi,
adalah karena administrasi tidak mempunyai inti-teoritis. Banyak teori dalam administrasi, tetapi
tidak ada teori dari administrasi.
Para praktisi menggunakan teori administrasi dalam kerangka untuk memberikan rasionale
(alasan) dari kegiatan praktis mereka dan untuk membenarkan praktek administrasinya.
Administrasi baru saja, secara sistematik, mengembangkan teori-teorinya. Arti pentingnya
teori administrasi terlihat dari kegunaannya untuk meramalkan dan menerangkan gejala
administras i.
b).

Jenis-jenis Teori Administrasi


Ada berbagai macam teori administrasi yang dikemukakan oleh para ahli. Misalnya yang

diajukan oleh:
Morrow memunculkan satu golongan teori di luar empat golongan tersebut di atas, yaitu :
1. Deskriptif
Peran teori deskriptif lebih menekankan pada penggambaran dan penguraian tentang apa itu
administrasi publik, objek studinya, hubungan komponen-komponen di dalam administrasi
publik dan h ubungan administrasi publik dengan lingkungannya.
2. Normatif.

Teori normatif menekankan pada pembahasan atas jawaban pertanyaan peran apakah yang
seharusnya dimainkan oleh administrasi publik dalam menjalankan kegiatannya, dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
3. Asumtif.
Peran teori asumtif, menurut Bailey teori asumtif berhubungan dengan pertanyaan untuk apa
peran-peran birokrasi publik yang akan dimainkan dalam perubahan kebijakan dan untuk
menemukan jawaban bagaimana para administrator telah menyumbang terhadap peran
pemerintah modern yang bertindak cepat. Setiap administrator publik mempunyai asumsi-asumsi
operasional tentang kebiasaan/kelaziman manusia dan tentang apa yang dikerjakan oleh
lembaga, tetapi diselidiki ahli teori administrasi publik yang telah memperhalus proposisiproposisi yang mereka asumsikan.
Penyempurnaan akhir praktik administrasi akan tergantung pada kemampuan ahli-ahli
teori dalam memformulasikan secara konsisten dan memfokuskan atas citra kepribadian orang
dan kapasitas lembaga.
4. Instrumental.
Peran teori instrumental terutama menyediakan teknik-teknik administrasi manajemen
untuk merumuskan tujuan-tujuan kebijakan lebih banyak lagi, hal ini untuk menyalurkan impianimpian mereka. Bailey menyebutnya teori instrumental karena teori ini memfokuskan diri pada
usaha-usaha harmonisasi dan koordinasi aparatur administrasi untuk mencapai tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Bailey menggarisbawahi pentingnya teori instrumental dalam
administrasi publik.
Taylorisme, ajaran Taylor atau sering juga disebut sebagai aliran manajemen ilmiah,
menekank an pada peleburan atau penyatuan sumber daya dan tenaga kerja untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dengan cara yang lebih efisien. Ajaran Taylor
menekankan pada manajemen mekanik, ukuran alat-alat kerja, gerakan para pekerja dan training
pekerja untuk keahlian-keahlian mekanik dan supervisor dengan tujuan untuk memperoleh "satu
cara yang terbaik" guna mengimplementasikan suatu kebijakan yang ditetapkan sebelumnya.
Gulick

memperkenalkan

idenya/gagasannya

mengenai

POSDCORB,

yang

direpresentasikan dalam perkataannya "suatu rumusan yang dimaksudkan untuk memperhatikan


bahwa pekerjaan pimpinan eksekutif itu merupakan unsur-unsur fungsional yang beragam".

PODSCORB adalah suatu istilah yang mencakup tanggung-jawab eksekutif atas suatu
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, penyusunan staf, koordinasi, pelaporan, dan
penganggaran.
Tulisan Weber menekankan pada deskripsi yang agak preskripsi, yang memusatkan
perhatian pada pola-pola kewenangan di dalam birokrasi, di mana Weber menguraikan tiga tipe
ideal kewenangan, yaitu tradisional, kharismatik, dan rasional. Masing-masing tipe ideal
disesuaikan dengan kegunaan dan urgensinya. Weber menemukan hal ini dalam studinya di
masyarakat yang beragam.
Model Weberian yang dilambangkan oleh praktik demokrasi Barat, ini sebagai model
rasional dengan tekanannya pada aturan-aturan dan prinsip-prinsip legal formal. Malahan
sebagai pemberian status dan kewenangan ke individu-individu. Masyarakat Barat memuja-muja
tata hukum meskipun ini abstrak dan tidak berkepribadian. Ciri-ciri lain model rasional termasuk
di dalamn ya pembagian kerja secara ilmiah, hierarki hubungan atasan-bawahan, pemilihan
pegawai berdasarkan jasa sebagai lawan patronase (perlindungan).
Simon memberi kesan bahwa faktor-faktor sosial dan psikologi sosial mempengaruhi sikasikap pekerja, termasuk analisis deskriptif organisasinya. Pemilihan "satu cara terbaik" untuk
meng-implementasikan program akan dipertimbangkan faktor-faktor kemanusiaan sebagai
formalitas dari organisasi dan pembagian kerja. Mengabaikan terhadap faktor-faktor psikologi
sosial, Simon membantah, dapat menghasilkan kurang dari pada banyak, efisiensi.
Maslow dan Chris Argyris adalah ahli teori aktualisasi diri menyatakan bahwa dalam jiwa
orang (laki-laki) terdapat suatu hierarki kebutuhan yang mana ia mencoba untuk memuaskannya
dengan sebagai pekerja. Di dasar piramida adalah kebutuhan fisik dasar, seperti kebutuhan
makanan, pakaian, dan tempat berteduh. Selanjutnya, derajat kebutuhan yang lebih tinggi, ia
mencari persahabatan dan kehormatan dari rekan sekerja.
Selanjutnya derajat kebutuhan yang lebih atas, ia memuaskan egonya melalui prestasinya
kerjanya dan pengakuan dari sesama rekan sekerjanya. Akhirnya, pada tingkat paling atas, orang
mengaktualisasikan dirinya dengan menyatukan kesuksesan dan tanggung jawab di posisinya
dengan cita-cita pribadinya.
c.

Mazhab-mazhab Teori Administrasi

Menurut C.L. Sharma ada enam mazhab teori administrasi, yakni: mazhab proses
administrasi, empirik, perilaku manusia, sistem sosial, matematika, dan teori keputusan.
Gerald Caiden mengemukakan delapan mazhab teori administrasi, yang terdiri dari:
mazhab proses administrasi, empirik, perilaku manusia, analisis birokratik, sistem sosial,
pembuatan keputusan, matematika, dan integrasi.
Kedelapan mazhab teori administrasi seperti yang dikemukakan oleh Caiden, sebenarnya
dapat dikelompokkan lagi dalam dua mazhab: mazhab reduksi proses administrasi dan mazhab
sistem holistik administrasi. Tetapi pengelompokan ini juga tidak memuaskan, yang pada
gilirannya melahirkan mazhab integrasi.
Para pendukung mazhab integrasi (integrationis) bermaksud untuk mengintegrasikan
semua teori administrasi. Ada dua strategi yang mereka tempuh. Pertama dengan melakukan
konsolidasi teori-teori administrasi, dan kedua dengan meleburkan semua administrasi menjadi
satu teori yang tertinggi.

B. KEKUATAN POLITIK
a). Kekuatan Politik
Komunisme: teori kelas sosial Karl Marx, dikembangkan oleh penggantinya menjadi
penguasaan masyarakat oleh parta komunis dan mengupayakan penyebaran komunisme ke
seluruh dunia.
Dalam doktrin komunis, pemerintah menekankan agar semua faktor produksi utama
dimiliki pemerintah. Dengan beberapa pengecualian semua produksi dilakukan oleh pabrikpabrik dan pertanian milik pemerintah. Serikat pekerja dikendalikan pemerintah.
Pengambilalihan Negara yang dulunya bukan komunis oleh pemerintahan komunis.
Berdasarkan salah satu doktrin komunis yaitu seluruh faktor produksi dimiliki pemerintah, maka
pemerintah cenderung mengambil alih perusahaan swasta.
Pengambilalihan: Penyitaan pemerintah atas kekayaan didalam batas Negaranya sendiri
yang dimiliki orang asing, diikuti dengan kompensasi yang segera, memadai dan efektif yang
dibayarkan kepada pemilik sebelumnya.
Penyitaan pemerintah atas kekayaan didalam batas Negaranya sendiri yang dimiliki orangorang asing, tanpa pembayaran kepada mereka
b). Kapitalisme
Sistem ekonomi dimana alat-alat produksi dan distribusi sebagian besar dimiliki dan
dioperasikan oleh swasta untuk keuntungan pribadi.
Kaum kapitalis beranggapan bahwa idealnya semua faktor produksi adalah milik swasta
atau perorangan. Dalam dunia kapitalis pemerintah membatasi fungsinya dan hanya menangani
fungsi yang tidak dapat dilaksanakan swasta atau perorangan, misalnya pertahanan nasional,
polisi, pemadam kebakaran dan pelayanan umum lainnya serta hubungan antar pemerintah dan
internasional.
Peraturan dan birokrasi. Para pelaku bisnis AS dan Negara kapitalis pada umumnya
keberatan dengan berbagai hukum, peraturan dan kegiatan birokrasi.
c). Sosialisme

Kepemilikan oleh masyarakat secara kolektif atas alat-alat produksi dan distribusi dasar,
dioperasikan untuk digunakan ketimbang mencri laba.
Paham sosialis menganjurkan kepemilikan atau pengawasan pemerintah produksi,
distribusi dan pertukaran yang pokok. Keuntungan bukan merupakan tujuan.
d). BUMN
Mengapa perusahaan dinasionalisasi?
Banyak alasan mungkin tumpang tindih mengapa pemerintah menguasai perusahaan?
Alasan tersebut antara lain:
1. Menarik uang karena perusahaan dimaksud diperkirakan memperoleh banyak laba.
2. Berkaitan dengan alasan pertama, pemerintah yakin mampu mengoperasikan perusahaan
dimaksud dengan lebih efesien dan lebih banyak menghasilkan uang.
3. Untuk tujuan idiologi khususnya apabila sayap kiri pemerintah memenangkan pemilihan
dan bermaksud menasionalisasi perusahaan.
4. Untuk memperoleh dukungan suara para politisi

e). Privatisasi
Pemindahan aset sektor publik kepada sektor swasta, pemindahan manajemen kegiatan
Negara melalui kontrak-kontrak dan leasing dan mengontrakkan kepada pihak keluar kegiatankegiatan yang sebelumnya dilaksanakan oleh Negara.
C. REFORMASI PEMERINTAHAN
Birokrat juga perlu didemokratiskan: melayani masyarakat sebagai pengguna jasa.
Memang, sebagai "perusahaan", birokrasi secara alamiah memonopoli produk --dan itulah
sebabnya dia dapat memperjualbelikan produknya semau-gue. Tapi sesungguhnyalah dia tidak
memegang monopoli. Dia bersaing dengan tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan yang
semakin baik. Jika pelayanan birokrasi tak memuaskan, maka legitimasi pemerintah akan
menurun, yang jika dipendam dalam waktu lama (sebutlah 30 tahun untuk kasus Indonesia) akan

mengakibatkan bangkrutnya Negara. Kejatuhan Suharto kiranya tak lepas dari sumbangan
birokrasi dan para menteri selama ini yang selalu membuat rakyat jengkel di mana-mana.
Kecuali itu, birokrasi kita bersaing dengan birokrasi Negara lain. Ini terkait dengan persoalan
keunggulan-komparatif kita di mata para penanam modal internasional. Beberapa Negara konon
membatalkan penanaman modalnya, karena biaya-sampingan untuk berbisnis di Indonesia,
terutama dalam urusannya dengan tetek-bengek birokrasi dan keamanan, terlalu tinggi. Ada pula
hal lain yang menjadikan birokrasi tak boleh beranggapan bahwa. dirinya memonopoli produk
layanan. Dia berkompetisi dengan perdangan internasional. Karena birokrasi kita rewel, maka
harga barang dagangan kita di pasar internasional lebih mahal dibanding barang serupa dari
Negara lain. Ekonomi biaya tinggi, yang antara lain diakibatkan oleh cara kerja birokrasi yang
brengsek, menjadikan daya-saing kita lemah. Akibatnya kegiatan produksi dan industri pada
umumnya menurun. Banyak tengara kerja kemudian menganggur, atau terpaksa menyelundup ke
Malaysia dan menjual harga diri di Arab Saudi untuk mencari penghidupan.
Tapi skenario perang melawan birokrasi semacam di atas di samping tidak populer bagi
gelora muda mahasiswa juga tampaknya belum pernah dicontohkan oleh Negara manapun di
dunia ini. Lagi pula tampaknya otak kaum terdidik selalu berpikiran, bahwa semua harus dimulai
dari atas, dari Jakarta. Tidak sebagaimana buruh yang mampu mendesak majikannya, rasanya
belum pernah terdengar bahwa pegawai negeri dapat menekan apalagi mendongkel
pemerintahnya sendiri. Apalagi ketika pegawai negeri tersebut berada dalam cengkeraman
mekanisme struktural (dan bahkan kultural) yang tidak memungkinkan mereka melakukan
pemberontakan.
Oleh karena itu, adalah masuk akal jika aktivis yang disebut di atas menimpali saran
penulis dengan mengatakan, bahwa bersihnya administrasi pemerintah (termasuk netralitaspolitik pegawai negeri dan tentara) memang merupakan salah satu tujuan gerakan mahasiswa
saat itu. Tapi, lanjutnya, mahasiswa harus mendongkel yang di atas, baru yang di bawah. Lagi
pula, tambahnya, bukankah para pegawai negeri itu berpenghasilan kecil? Meraka adalah kawula
alit yang disengsarakan oleh "bos"nya sendiri. Sekalipun penulis kurang menyetuji pendapat
terakhir ini, tetapi waktu itu penulis mengiyakan saja. Disamping penulis tidak mampu
membangun argumen (apalagi teori) tentang "pemberontakan dari dalam", juga karena penulis
waktu itu sedang tidak punya harapan sama sekali akan adanya perubahan di negeri kita.

Bahwa kemudian perubahan itu ada dan terbuka, tentu kita semua gembira (dan terkejut).
Untuk mengungkapkan kegembiraan itu, pikiran tentang reformasi administrasi pemerintah ini
dirumuskan.
a). Definisi
Istilah "administrasi pemerintah" memiliki pengertian teramat luas, sebagaimana luasnya
campur-tangan pemerintah dalam kehidupan kita. Istilah-istilah yang memiliki arti yang mirip
dengannya adalah administrasi, administrasi publik, manajemen publik atau bahkan birokrasi.
Dalam tulisan ini "administrasi pemerintah" dibatasi dalam pengertian: struktur dan prosedur
yang dilakukan pemerintah untuk melakukan perlindungan dan pengaturan terhadap warga
Negaranya.
Sebagaimana diketahui, tujuan hakiki dari setiap Negara adalah menciptakan kesejahteraan
dan keamanan bagi para warganya. Untuk mencapai tujuan ini, adalah pemerintah yang harus
melakukan perlindungan dan pengaturan terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat. Aktivitas
pengaturan dan perlindungan inilah yang dalam tulisan ini disebut sebagai administrasi
pemerintah. Produk dari administrasi pemerintah bisa berupa barang (jalan, pelabuhan, telepon,
dll), tapi bisa pula berupa dokumen. Tulisan ini membatasi diri pada produk yang terakhir ini.
Dan yang dimaksud dengan "dokumen" dapat berupa surat bukti (misalnya KTP, paspor,
sertifikat tanah, STNK), dapat berupa surat keterangan (seperti SKKB), surat ijin (misalnya ijin
usaha, IMB, pengesahan Amdal) atau dokumen sejenis lainnya.
b). Masalah
"Barang" yang merupakan produk administrasi pemerintah di atas terkesan sederhana,
akan tetapi sesungguhnya dia sangat penting. Bahkan semua kegiatan suap-menyuap, dalam
jumlah ribuan hingga puluhan juta rupiah, boleh dikata berlangsung hanya untuk memperebutkan
produk pemerintah seperti di atas. Dan itu diakui berlangsung sangat kental di Negara kita.
Sehingga, kalau Negara kita dinilai sebagai salah satu Negara yang paling korup di dunia,
sesungguhnya kebusukan ini tidak hanya terjadi di tingkat pelaku-pelaku politik nasional
(presiden, menteri dan lembaga-lembaga setara dengannya), melainkan juga dan bahkan
mungkin paling banyak terjadi di tingkat birokrasinya (mulai dari sekjen dan dirjen hingga
kelurahan). Karena itu, pendongkelan sebuah kekuatan politik dari kursi kedudukannya
sebenarnyalah tidak akan terlalu banyak bermakna jika birokrasinya juga tidak "didongkel",

terutama karena selama ini birokrasi tersebut adalah birokrasi yang sangat loyal (dan hanya
loyal) kepada kekuatan politik yang memerintahnya.
Apa yang dimainkan dan ditampilkan setiap hari oleh birokrasi kita sesungguhnya sangat
jelas dan sederhana: mempersulit proses administrasi yang sebenarnya dapat dipermudah.
Mengapa para pegawai negeri kita melakukan itu? Karena mereka mengharapkan disogok,
disemir, disuap dan diberi uang rokok. Mengapa para pegawai negeri dimungkinkan untuk
berbuat yang demikian? Jawabnya aneka macam, merentang dari penjelasan politik, sosiologis,
pendidikan dan hukum; dari faktor intern dan ekstern: tidak ada kontrol yang kuat dari
masyarakat, mereka kebal dari kritik DPR maupun Bepeka, adanya budaya paternalistik, budaya
hadiah, patronage, nepotisme, sistem politik yang monolitik dan sentralistik, sistem anggaran
yang kurang baik, tidak ada teladan yang baik dari atas, penghasilan relatif rendah, tidak ada
jaminan sosial yang memadai, dan sebagainya dan sebagainya.
Ringkasnya, prosedur administrasi pemerintah selama ini terkesan di mata masyarakat
terlalu sulit dan rumit. Ada proses yang terkesan diada-adakan, tak perlu dan tak jelas
kegunaannya. Kalau prosedur sudah tertata rapi, dan konsumen sudah memenuhi semua syarat
kelengkapan pengurusan suatu dokumen, pegawai memperlambat kerjanya. Akibatnya, dokumen
yang menjadi produk pemerintah baru dapat diberikan kepada masyarakat sebagai konsumen
setelah melewati jangka waktu yang lama. Anda ingin cepat? Gunakanlah calo, biro jasa atau
"orang dalam", atau langsung terus-terang menyogok pegawai yang duduk di depan kita.
Dokumen yang seharusnya diberikan secara gratis kepada masyarakat konsumen (karena
birokrasi telah menerima anggaran dari pemerintah --yang notabene berasal dari pajak rakyat
atau kekayaan Negara) akhirnya diperjual-belikan. Apa yang mestinya merupakan barang publik,
yang dapat diakses oleh setiap warga Negara, berubah menjadi barang privat, yang baru dapat
dimiliki setelah dibeli bahkan dengan tawar-menawar dan persaingan seperti layaknya membeli
sapi di pasar tradisional. Jual-beli dokumen ini (yang kontra-prestasinya tidak selalu uang,
melainkan bisa berupa benda atau karir) ujung-ujungnya menimbulkan ketidakadilan. Ini artinya
peran Negara untuk melindungi warganya direbut oleh para pegawai negeri. Warga Negara yang
satu memiliki kesempatan berusaha yang lebih kecil dibanding warga Negara yang lain.
Akibatnya yang besar adalah: kesejahteraan antar-warga-Negara tidak merata. Jadi pegawai
negeri telah melukai prinsip-prinsip demokrasi dan bahkan mungkin hak asasi manusia untuk

diperlakukan secara sama di depan hukum. Peristiwa "kecil" suap-menyuap (baca: kolusi,
nepotisme dan korupsi pada umumnya), dengan demikian, secara ideologis adalah dosa yang
teramat besar.
Bukan hanya secara ideologis (sekuler: demokrasi) dia berdosa, pegawai negeri yang
terlibat suap-menyuap --dalam bentuk sekecil apapun-- secara etik, moral dan agama juga
berdosa. Selain itu akibat ekonomisnya sangat terasa: ketimpangan kesempatan berusaha
mengakibatkan ketimpangan kesejehteraan. Bahkan, secara nasional kesejahteraan ekonomis kita
relatif rendah, karena banyak perusahan internasional urung menanamkan modalnya di Indonesia
tersebab oleh birokrasi yang menjengkelkan ini. Itu artinya, daya tarik Indonesia untuk
penanaman modal melemah, sekalipun harga tenaga-kerjanya murah. Di sisi lain, karena kolusi
dan korupsi pada umumnya, kegiatan industri tidak efisien, sehingga harga jual di pasar antarbangsa sangat tidak kompetitif.
Masalah bangsa yang sangat menyedihkan, bukan? Dan itu semua tidak adil jika hanya
ditimpakan kepada keluarga Suharto, tanpa menyebut peran birokrasi dan para birokrat serta
pejabat di dalamnya selama ini. Jika tuan mereka harus bertanggungjawab, tidak pantaskah
anjingnya juga ditendang?
c). Situasi ideal
Kalau kondisi di atas kita pandang sebagai masalah, artinya sesuatu yang tidak kita sukai,
maka situasi ideal yang kita harapkan adalah keadaan yang sebaliknya. Jelasnya: warga Negara
sebagai pengguna jasa atau "pembeli" layanan dan produk pemerintah harus dilayani secepat
mungkin. Arti "secepat mungkin" adalah: waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh pegawai yang
normal, berpikiran waras, sehat dan terlatih di bidangnya untuk menghasilkan suatu produk
dokumen.
Situasi yang ideal semacam itu (yang dalam angan kita terasa mudah diciptakan)
sebenarnya menjadi keinginan pemerintah kita juga sejak lama. Bahkan sejak awal kekuasaannya
Pak Harto telah menunjuk seorang menteri untuk melakukan penertiban aparatur Negara, yang
kemudian menjadi MenPAN. Pada tingkat lokal telah dicobakan pula apa yang disebut Samsat
(sistem administrasi satu atap --atau mentereng dikenal sebagai gagasan one stop shop), yang
dimaksudkan untuk memberikan pelayanan cepat kepada konsumen. Tapi kenyataannya Negara
kita masih saja dinilai sebagai Negara terkorup, dan di kantor-kantor Samsat itu para pembayar

pajak kendaraan bermotor masih harus menggunakan jasa calo atau pak polisi sendiri agar
dokumennya sesegera mungkin diselesaikan.
Model "produksi" layanan pemerintah seperti Samsat sesungguhnyalah memendam
semangat yang sangat terpuji, yakni memberikan kemudahan kepada pencari jasa, dalam hal ini
pajak kendaraan bermotor. Tapi sayangnya dia menggunakan sistem "ban berjalan", dimana
konsumen membawa sendiri dokumennya dari satu meja ke meja yang lain. Prosedur seperti ini
lemah setidak-tidaknya dalam dua hal: pertama, dokumen akan tercecer dan ke-dua, terutama,
antar-pegawai mungkin memiliki --sengaja atau tidak-- persepsi yang tidak sama tentang syarat
maupun proses, sehingga konsumen seringkali merasa dipermainkan oleh pegawai-pegawai itu.
Konsumen sering di"ping-pong". Untuk mengatasi kelemahan semacam ini, misalnya, pada
paruh pertama 1980-an pemerintah pernah mengalihkan semua fungsi Bea dan Cukai di
pelabuhan kepada sebuah lembaga swasta. Tapi penulis tidak tahu pasti, apakah lembaga swasta
ini mampu mengemban fungsi Bea-Cukai dengan lebih baik dan jika demikian kenapa kemudian
mekanisme ini malah dihapus.
Melihat kenyataan tersebut, maka penulis, meminjam semangat reformasi mahasiswa di
jalanan yang menggelora, mengidealkan keadaan yang jauh lebih dari itu: konsumen (warga
Negara) harus dilayani oleh hanya satu orang pelayan (pegawai Negara) untuk semua produk
(dokumen --surat keterangan, surat bukti atau surat ijin) yang diinginkannya. Setiap kabupaten
atau kotamadya (konon otonomi mereka akan diperluas seluas-luasnya) harus memiliki sebuah
gedung yang nyaman, dimana warga Negara sebagai konsumen dapat "membeli" dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya semua produk pemerintah sebagai produsen, mulai dari KTP, paspor,
sertifikat tanah, pajak kendaraan sampai ijin membuka toko dan mendirikan masjid.

d). Bagaimana mewujudkannya?


Kondisi ideal di atas sebenarnyalah sangat mudah dibayangkan, dan mungkin pula --jika
ada kemauan politik yang kuat-- sangat mudah diwujudkan. Sama mudahnya dengan mendirikan
sebuah supermarket mewah dalam beberapa bulan saja di atas reruntuhan gedung Kodim atau
Polres atau kantor pos. Sama mudahnya dengan membikin pesawat terbang, dengan uang yang
dipinjam sebentar dari dana reboisasi. Tapi, bila dan kapan?
Jika pemerintah merasa masih terlalu bodoh untuk menciptakannya, maka dalam masa
transisi yang tak jelas batas waktunya, pemerintah harus melakukan upaya-upaya sebagai
berikut.
Pemerintah harus meningkatkan keterampilan dan penguasaan pengetahuan pegawai di
bidangnya. Mereka harus digaji tinggi, agar memiliki motivasi kerja yang tinggi pula. Untuk itu,
jumlah pegawai harus dikurangi, agar dana tidak dipakai untuk menggaji pegawai yang bodoh
dan tak diperlukan. Pemerintah harus melakukan tindakan radikal dengan melakukan kebijakan
penurunan jumlah pegawai negeri, bukan hanya zero growth sebagaimana selama ini dinyatakan
oleh MenPAN.
Selain itu pegawai yang terampil hanya akan dipenuhi, jika rekruitmen mereka dilakukan
secara jujur. Tidak ada jeleknya jika DPR dan DPRD terlibat dalam rekruitmen pegawai ini. Jika
pengurangan pegawai ini belum mencukupi untuk memberikan gaji yang tinggi kepada pegawai
yang memang punya keterampilan dan dedikasi, maka layanan pemerintah memang harus dijual
dengan harga yang tinggi. Apakah ini tidak berarti menjadikan layanan pemerintah sebagai hal
yang hanya dapat diakses oleh orang kaya? Jawabnya "tidak", jika orang miskin diberi bantuan
oleh kas kota untuk membayar produk-produk pemerintah. Dari mana kas kota memperoleh
uang? Dari pajak para orang kaya, yang dikelola secara bersih, adil dan efektif.
Selain keterampilan, iklim kerja harus diciptakan senyaman mungkin. Ini juga berfungsi
untuk menjaga motivasi kerja yang selalu tinggi. Kecemburuan antar-pegawai dalam golongan
gaji yang sama harus dihilangkan, yakni dengan meniadakan posisi-posisi yang terlalu "basah".
Hadiah yang diterima oleh seorang pegawai karena seseorang telah menerima rejeki dari
pemerintah harus dikembalikan kepada kas Negara atau kas kota atau minimal kas kantor.
Hadiah yang terkumpul ini kemudian dibagi bersama, untuk seluruh pegawai atau untuk
kepentingan dan kemaslahatan umum yang lebih luas.

Hierarkhi organisasi sebisa mungkin diminimalkan. Setiap unit pelayanan sebaiknya tidak
perlu ada kepalanya, melainkan semua pegawai adalah anggota unit itu. Jadi ada kerja kelompok
(tapi bukan pembagian kerja), dimana semua pegawai dapat memproduksi semua layanan.
Iklim kerja yang ramah kepada konsumen juga dapat diciptakan, jika pegawai tidak perlu
harus memakai baju seragam Hansip atau Korpri (simbol kekuasaan) dan juga tidak perlu
melakukan upacara setiap pagi dan siang (simbol kesetiaan kepada penguasa). Apa yang
diharapkan dari kedua hal ini, yakni disiplin kerja, telah terbukti selama ini tidak terwujud
karenanyan. Bahkan pegawai negeri menjadi bersikap pongah di hadapan rakyat.
Prosedur produksi dokumen juga harus dikaji-ulang secara saintifik. (Kata "saintifik" atau
"ilmiah" hendaklah jangan dipahami sebagai hal yang rumit dan sulit. Dia adalah mekanisme
sederhana saja, yang masuk di nalar orang sehat.) Hal-hal yang tak perlu dan tak jelas
kegunaannya harus dilenyapkan, misalnya pemilik dan kendaraannya harus unjuk-muka ketika
membayar pajak kendaraan (bahkan ada kota yang mengharuskan orang menggosok nomor
mesin kendaraannya, dengan kertas pak polisi, di tempat dan saat itu juga...luar biasa!). Kajian
sederhana ini dapat dilakukan oleh universitas melalui para mahasiswanya. Agar orang bisa
"membayar pajak motor secepat membeli barang di toko", kata seorang senior saya di UGM.
Kalau pegawai sudah terampil, motivasi kerja tinggi karena berada dalam iklim yang
nyaman dan menyenangkan, dan prosedurnya sederhana serta mudah, tidak berarti usaha kita
selesai. Lembaga semacam peradilan tata-usaha Negara (PTUN) harus berfungsi dengan efektif.
Warga Negara tetap harus diberi kesempatan, dan gratis, untuk mengadu kepadanya, jika dia
memperoleh perlakuan yang lamban dari pegawai. Bahkan, mahasiswa masih harus berdiri
garang membela konsumen. Mahasiswa harus mengawal setiap konsumen produk pemerintah.
Dia mengambil-alih fungsi "biro jasa" dan calo, tanpa memungut bayaran dari konsumen itu.
Mahasiswa harus membentak-bentak pegawai yang melakukan pelayanan secara lambat. Ini
semua butuh dana, setidaknya untuk biaya transport dan makan siang. Dari mana mahasiswa
memperoleh dana bagi kegiatannya? Mereka dapat memintanya dari pihak-pihak yang selama ini
menyumbang gerakan mereka di jalanan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas peulis dapat menyimpulkan teori administrasi yang diajukan oleh
Morrow memunculkan satu golongan teori, yaitu : Deskriptif Normatif, Asumtif dan
Instrumental. Gerald Caiden mengemukakan delapan mazhab teori administrasi, yang terdiri
dari: mazhab proses administrasi, empirik, perilaku manusia, analisis birokratik, sistem sosial,
pembuatan keputusan, matematika, dan integrasi. Sementara itu, kedelapan mazhab teori
administrasi seperti yang dikemukakan oleh Caiden, sebenarnya dapat dikelompokkan lagi
dalam dua mazhab: mazhab reduksi proses administrasi dan mazhab sistem holistik administrasi.
Tetapi pengelompokan ini juga tidak memuaskan, yang pada gilirannya melahirkan mazhab
integrasi.
Pengambilalihan: Penyitaan pemerintah atas kekayaan didalam batas Negaranya sendiri
yang dimiliki orang asing, diikuti dengan kompensasi yang segera, memadai dan efektif yang
dibayarkan kepada pemilik sebelumnya. Penyitaan pemerintah atas kekayaan didalam batas
Negaranya sendiri yang dimiliki orang-orang asing, tanpa pembayaran kepada mereka.
Selain itu reformasi birokrasi, bahkan kalau perlu "perang total" melawan birokrasi,
menurut penulis sangat diperlukan oleh bangsa kita, karena kehendak-kehendak baik para pelaku
politik dan penentu kebijakan kita ternyata tidak maujud di dalam realitas kehidupan karena
"nyangkut" di birokrasi. Kehendak dan impian tinggal menjadi dokumen indah dalam buku
GBHN dan Repelita, dan tak pernah terasakan oleh rakyat banyak. Betapa bisa dibayangkan,
seberapa kesalnyakah Muladi ketika memiliki ide untuk memberantas mafia peradilan, tetapi
ternyata hal itu justru telah berurat-berakar di dalam tubuh birokrasi. Korupsi di dalam tubuh
birokrasi dapat dikatakan merupakan jantung dari kejahatan yang terorganisir. Bisakah anda
merasakan keberhasilan program IDT atau pencegahan pencemaran lingkungan melalui Amdal?
Oleh karena itu reformasi di tingkat supra-struktur politik tak akan bermakna jika birokrasi tidak
melakukan hal yang sama, atau dengan lebih tegas: jika mahasiswa tidak melancarkan gerakan
yang serupa kepada birokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Mufiz. (2004). Pengantar Administrasi. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Frederickson, H. George. (1984). Administrasi Baru (diterjemahkan oleh Al Ghozei Usman). Jakarta:
LP3ES.
Pamudji. (1985). Ekologi Administrasi. Jakarta: PT Bina Aksara.
Shafritz, Jay M. and Russell, EW. (1997) Introducing Public Administration. New York: AddisonWesley Educational Publishers Inc.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa dalam suatu negara sangatlah perlu
mempelajari mengenai Teori Administrasi Negara. Dalam kegiatan-kegiatan di bidang
Teori Administrasi Negara dibutuhkan aturan-aturan yang membatasi para pelakunya,
sehingga Teori Administrasi Negara Lahir untuk mengatasinya.

DAFTAR PUSTAKA
Atmosudirdjo, Prof. Mr. S. Prayudi, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Administrasi, Jakarta,
Ghalia Indonesia.
Blan, Peter M., 1969, Bureacracy In Modern Sociaty, New York, Random House
http://www.immunk.com/post/teori+administrasi+keuangan+negara+menurut+para+ahli.
html
http://supriyadiaktivis.blogspot.com/2009/05/teori-administrasi-negara.html

Anda mungkin juga menyukai