Anda di halaman 1dari 18

STUDI FENOMENOLOGI PELAKSANAAN HIV VOLUNTARY COUNSELING AND

TESTING (VCT) DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG

Diana Dayaningsih

Kata Kunci :
HIV AIDS
Voluntary Counseling and Testing
Konselor VCT

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG, DESEMBER 2009

ABSTRAK

Diana Dayaningsih
Studi Fenomenologi Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV di RSUP Dr.
Kariadi Semarang
xv + 89 halaman + 5 gambar + 2 tabel + 10 lampiran
Perkembangan jumlah klien dengan penyakit HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat
khususnya di Provinsi Jawa Tengah, hal ini memerlukan kewaspadaan dan perawatan yang serius
untuk mencegah epidemi semakin meluas. Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan
entry point untuk memberikan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA. Fokus penelitian
ini adalah pelaksanaan VCT HIV. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan indept
interview dan pendekatan fenomenologi. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan
purposive sampling dengan jumlah sampel 4 konselor VCT HIV di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan VCT adalah
pengetahuan konselor, kualitas konselor, faktor pendukung, pelaksanaan tahapan VCT, hambatan
pelaksanaan VCT. Hambatan dalam pelaksanaan VCT HIV di RSUP Dr. Kariadi Semarang ada 5
yaitu faktor dari konselor, faktor dari klien, faktor dari keluarga, faktor dari masyarakat, dan faktor
dari fasilitas pelayanan. Faktor dari konselor antara lain: ketenagaan konselor kurang, konsulan
tidak tepat waktu, subjektivitas konselor. Faktor dari klien : tingkat pengetahuan klien
mempengaruhi, pemahaman klien tentang HIV AIDS sebelumnya, kondisi klinis klien. Faktor dari
keluarga : keluarga tidak bisa menerima keadaan klien, keluarga tidak care sebagai pendamping
minum obat klien. Faktor dari masyarakat : stigma dan diskriminasi masyarakat masih kental,
pemahaman masyarakat yang kurang mengenai HIV AIDS. Faktor fasilitas pelayanan VCT :
sifatnya pasive finding, promosi VCT masih kurang, diruang rawat inap tidak ada tempat khusus
untuk konseling, di poliklinik setting ruangan VCT belum ideal. Pelaksanaan VCT di RSUP Dr.
Kariadi Semarang sudah baik dan pelayanan VCT perlu ditingkatkan supaya lebih berkualitas
terutama untuk penambahan jumlah konselor VCT.
Kata kunci : HIV AIDS, Voluntary Counseling and Testing, Konselor VCT
Kepustakaan : 22 (1996-2009)

ABSTRACT

Diana Dayaningsih
A Phenomenological Study of The Implementation of Voluntary Counseling and Testing
(VCT) HIV in RSUP Dr. Kariadi Semarang
xv + 89 pages + 2 tables + 5 pictures + 10 appendixes
The growth of clients with HIV/AIDS in Indonesia has rapidly increased especially in Central Java
Province. This case needs serious concern and care to prevent the epidemic progressively extend.
Voluntary Counseling and Testing (VCT) represent an entry point to give treatment, support and
medication for ODHA. The study focuses on implementation of VCT HIV. The study used a
qualitative method with in-depth interview and phenomenological approach. The samples were
taken by purposive sampling technique with 4 counselors of VCT HIV in RSUP Dr. Kariadi
Semarang. The research indicated that factors influencing VCT implementation were counselors
knowledge, counselor quality, supporting factors of VCT implementation and obstacles of VCT
implementation. The obstacles of VCT implementation covered 5 factors coming from the
counselors, clients, families, societies and service facilities. Factors from the counselors were the
lack of counselor number, inappropriate time of counseling, and the counselor subjectivity. Factors
from clients were knowledge of clients, clients understanding about HIV AIDS, and clients clinical
condition. Factors from families were the strong stigma and discrimination of societies and less
understanding about HIV AIDS. Factors of service facility were the passive finding of VCT, lack of
VCT promotion, no special place for counseling in inpatient wards, and not ideal setting of VCT
room in polyclinic. The implementation of VCT in RSUP Dr. Kariadi Semarang remains good and
the service of VCT needs to be improved for more quality service especially to increase of
counselor number.
Keywords: HIV AIDS, Voluntary Counseling and Testing, Counsellor VCT
References: 22 (1996 2009)

Latar Belakang
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) memang telah menjadi epidemi yang sangat
serius

mengancam

kesehatan

masyarakat

dunia.

(Kompas,

2002)

Angka

Internasional

menunjukkan lebih dari 14.000 infeksi baru terjadi setiap hari dan diperkirakan 40,3 juta orang
hidup dengan status HIV/AIDS di dunia pada tahun 2005. (Kompas, 2002) Menurut perhitungan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seorang penderita HIV/AIDS berpotensi menulari sekitar 200
orang lainnya. (Kompas, 2008) Pada tahun 1987, di Indonesia hanya ada sembilan kasus
HIV/AIDS sedangkan berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia sampai
dengan bulan Juni tahun 2008, ada 18.936 kasus HIV/AIDS di Indonesia, yang berarti dalam kurun
waktu 21 tahun, kasus HIV/AIDS meningkat 2.000 %. (Kompas, 2005) Data Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah menunjukkan, secara kumulatif hingga Maret 2005 jumlah penderita
HIV/AIDS di Jawa Tengah sudah mencapai 407 orang dan

tidak kurang dari 11 persen di

antaranya penderita AIDS. (Kompas, 2006). Sebagian besar 71,43% ditularkan melalui hubungan
seksual dan sekitar 25,71 % menyebar di antara para pengguna narkoba dengan alat suntik,
sementara sisanya ditularkan dari ibu pengidap HIV/AIDS kepada bayinya. (Kompas, 2006)
Salah satu program yang dilaksanakan Pemerintah untuk mencegah penularan HIV/AIDS
adalah Voluntary Counseling and Testing (VCT). Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV
merupakan entry point untuk memberikan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). (Kompas, 2005) Di Jawa Tengah sendiri pelaksanaan VCT telah
dilaksanakan di 6 Rumah Sakit yaitu RSUP Dr. Kariadi Semarang, RSU Kota Semarang, RS Tugu
Semarang, RS Pantiwilasa Citarum, RS. Bhayangkara, RST Bhakti Wiramtamtama dan BP4 Jawa
Tengah serta 3 LSM yaitu Griya Asa PKBI Kota Semarang, Asa PKBI Jateng dan Yayasan Wahana
Bhakti Sejahtera. Peneliti tertarik mengambil area penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Dr. Kariadi Semarang karena ada beberapa pertimbangan yaitu 1). RSUP Dr. Kariadi membuka
pelayanan VCT HIV; 2). RSUP Dr. Kariadi merupakan salah satu pusat rujukan Antiretroviral (ARV);
3). Memiliki konselor yang terlatih.
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan fenomenologi pelaksanaan HIV Voluntary Counseling
and Testing (VCT) di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Area penelitian ini dilaksanakan di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 4 informan yang menjabat sebagai
konselor VCT HIV di RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Cara Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam. Alat yang digunakan dalam
wawancara ini adalah tape recorder, kaset kosong, pedoman wawancara, buku dan alat tulis.
Sebelum dilakukan wawancara, informan diminta menandatangani lembar permohonan menjadi
informan terlebih dahulu. Analisa data penelitian ini dimulai dengan mencatat hasil rekaman
wawancara kemudian dan diolah sesuai keperluan peneliti. Data mentah yang sudah terkumpul
ditulis selengkap-lengkapnya sesuai hasil rekaman. Data yang sudah ditulis kemudian dicermati
dengan membaca berkali-kali, kemudian disajikan dalam bentuk kategori kategori dan kata-kata
kunci dalam kolom. Dalam mempermudah pengumpulan data maka ditentukan kata kunci yang
digolongkan dalam kategori kategori data, kemudian kata kunci tersebut diberi nomor dengan
tujuan untuk mempermudah dalam penggolongan kategori. Data yang sudah dianalisa divalidasi
dengan teknik triangulasi dan selanjutnya menarik sebuah kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan

A. Faktor - faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing


(VCT) HIV
1. Pengetahuan konselor
Hasil wawancara dengan tiga informan ditemukan bahwa pengertian VCT HIV adalah
Voluntary Counseling and Testing, tes sukarela untuk mengetahui status HIVnya artinya
HIVnya negatif atau positif, bagaimana supaya orang atau klien datang secara sukarela
mau melakukan tes untuk HIV terutama untuk mereka yang ada faktor resikonya, sehingga
VCT menjadi tempat pintu utama orang-orang HIV positif untuk mendapatkan pengobatan
seterusnya.
Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV merupakan entry point untuk memberikan
perawatan, dukungan dan pengobatan bagi orang dengan HIV AIDS (ODHA). VCT dalam
bahasa Indonesia disebut konseling dan tes sukarela. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes
Sukarela HIV, Depkes RI, 2004) VCT yang berkualitas tinggi tidak saja membuat orang
mempunyai akses terhadap berbagai layanan, tetapi juga efektif bagi pencegahan terhadap
HIV. Layanan VCT dapat digunakan untuk mengubah perilaku berisiko dan memberikan
informasi tentang pencegahan HIV. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV,
Depkes RI, 2004)
Hasil wawancara dengan tiga informan juga diperoleh pengertian prinsip pelayanan
VCT HIV adalah intinya tidak boleh dipaksa, pembicaraan ini rahasia, privasi konselor dan
klien sehingga konselor tidak boleh cerita pada orang lain, dan sukarela. Prinsip dasar

pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah 1). Klien datang secara
sukarela, diberikan layanan pre tes konseling, dan secara sukarela bersedia di tes HIV (atas
kehendak sendiri tanpa paksaan atau manipulasi) ditandai dengan informed concent yang
ditanda tangani oleh pasien. 2). Percakapan antara klien dan konselor VCT serta hasil test
HIV bersifat rahasia, tidak boleh dibocorkan dalam bentuk dan cara apapun kepada pihak
ketiga. 3). Berorientasi pada klien serta menerapkan prinsip Greater Involment of People
with AIDS (GIPA). (Komisi Penanggulangan AIDS, 2008)
Hasil wawancara dengan salah satu informan juga diperoleh tentang kewaspadaan
universal adalah usaha preventif untuk diri sendiri dan juga orang lain supaya tidak tertular,
usaha preventif yang dapat dilakukan antara lain : memakai masker, memakaii jas dan
penyendirian alat-alat. Universal precaution atau kewaspadaan umum adalah pedoman
yang ditetapkan pertama kali oleh Center for Disease Control (CDC) Amerika Serikat,
bertujuan untuk mencegah berbagai penyebaran penyakit yang ditularkan melalui darah dan
cairan tubuh lainnya dilingkungan rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya. (Media
Sehat, 2008) Penerapan kewaspadaan universal ini harus dianut suatu asumsi bahwa
semua prosedur dan atau semua pasien berpotensi untuk menularkan suatu penyakit.
(Media Sehat, 2008)
2. Kualitas konselor
Hasil wawancara dengan tiga informan ditemukan bahwa untuk meningkatkan kualitas
pelayanan, kualitas konselor pun harus mendukung diantaranya ada pelatihan khusus untuk
konselor HIV : dalam pelatihan konselor ini dilakukan oleh organisasi internasional, ada
pelatihan khusus di Jakarta selama 3 hari full, pelatihan diselenggarakan oleh WHO.
Konseling harus dilakukan oleh konselor terlatih yang memiliki keterampilan konseling dan
pemahaman akan seluk beluk HIV/AIDS. Ada 4 jenis konselor yang kompeten memberikan
layanan konseling berdasarkan model implementasi dan strategi untuk meningkatkan
layanan VCT (Pertemuan Harare-Zimbabwe, 2001) yaitu : 1). Konselor sebaya (Peer
Counsellor), konselor yang mempunyai latar belakang sama dengan klien (termasuk
ODHA); 2). Konselor awam (Lay Counsellor), konselor yang melakukan konseling pre dan
pos tes pada kasus yang biasa tanpa komplikasi; 3). Konselor profesional (Professional
Counsellor), konselor dengan latar belakang tertentu dokter, psikolog, pekerja sosial,
perawat; 4). Konselor senior (Senior Counsellor), konselor berpengalaman dan memiliki
pendidikan konseling dan psikoterapi, tugasnya memberikan dukungan dan supervisi bagi
konselor lainnya. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)

Hasil penelitian diperoleh bahwa klinik VCT HIV di RSUP Dr. Kariadi Semarang
mempunyai 4 konselor profesional dan telah memiliki sertifikat sebagai konselor. Konselor
yang dijumpai berprofesi sebagai perawat, psikolog dan dokter.
Hasil wawancara dengan dua informan ditemukan pendapat tentang konselor yang baik
antara lain adalah punya kemauan, kemampuan, problem solving yang bagus, cerdas,
punya waktu, keikhlasan, niat tulus berbagi, cinta kasih menolong sesama.
Kualitas utama seorang konselor yang baik adalah jujur, mendengar aktif, memberi
respon positif sepenuhnya, mempercayai klien, peka akan budaya, membantu klien dengan
berbagai alternatif, mengenal keterbatasn diri dan merujuk, sabar, tak menghakimi, selalu
mengendalikan diri, empati dan berpengetahuan. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes
Sukarela HIV, Depkes RI, 2004). Selain memiliki keterampilan profesional yang di dukung
dari pelatihan konselor, seorang konselor juga harus mampu menilai dirinya sesuai kode
etik konselor untuk dapat dikatakan konselor yang berkualitas. Beberapa prinsip etik yang
perlu dianut para konselor adalah 1). Konselor mampu memastikan bahwa klien tidak
mengalami tekanan fisik dan psikologis selama konseling; 2). Konselor bertanggung jawab
atas keamanan dirinya, efektivitas dan kompetensi dan tidak berkompromi dengan profesi
konselingnya; 3). Konselor perlu memastikan bahwa dirinya telah menerima pelatihan
keterampilan dan teknik konseling yang cukup; 4). Konselor secara teratur memonitor
keterampilan konseling dan memelihara kompetensinya; 5). Konselor mendorong klien
untuk mengendalikan hidupnya, dan menghargai kemampuan klien mengambil keputusan
serta perubahan sesuai keyakinan dan tata nilainya. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes
Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)
3. Pelaksanaan Konseling Pre Tes
Hasil wawancara dengan informan ditemukan bahwa dalam konseling pre tes hal-hal
yang perlu dilakukan adalah memperkenalkan diri dan menanamkan rasa nyaman, akrab,
familiar kepada klien sehingga tercipta kepercayaan dari klien bahwa apa yang dibicarakan
merupakan rahasia dan hanya konselor dan klien yang mengetahuinya. Hasil wawancara
juga ditemukan dalam konseling pre tes perlu ditekankan mengenai pemahaman klien
tentang VCT, HIV, detail penularan, pencegahan sampai bersedia untuk tes HIV, maka
tugas konselor adalah memberikan informasi, edukasi dan support yang benar kepada klien
tentang HIV AIDS.
Penelitian ini terlihat bahwa proses konseling pre tes dimulai dengan membina
hubungan saling percaya antara konselor dan klien. Langkah-langkah dalam konseling pre
tes adalah 1). Membina hubungan yang baik dan saling percaya dengan klien. Pada tahap

ini konselor mengidentifikasi dan mengklarifikasi perannya serta menekankan pada klien
bahwa konfidensialitas dan kerahasiaan klien akan tetap terjaga; 2). Identifikasi latar
belakang dan alasan untuk melakukan tes termasuk perilaku berisiko klien dan riwayat
medis klien yang dulu dan sekarang; 3). Mengidentifikasi pemahaman klien tentang HIV
AIDS dan tes HIV; 4). Menyediakan informasi tentang safer sex practices dan healthy
lifesyle practices; 5). Memastikan apakah klien bersedia untuk melakukan tes antibodi HIV.
(Haruddin, Mubasysyir, 2007)
Tahap konseling pre tes konselor dituntut mampu menyiapkan diri klien untuk pemeriksaan
HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan
memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Dalam konseling
didiskusikan juga soal seksualitas, hubungan relasi, perilaku seksual dan suntikan berisiko
dan membantu klien melindungi diri dari infeksi. Hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa
konseling pre tes dilakukan sebelum klien melakukan tes antibodi HIV. Konseling Pre tes
mempunyai 5 prinsip : 1). Motif pelaksanaan hasil tes; 2). Interpretasi hasil tes yaitu
mengenai penapisan, adanya gejala atau tidak, pemahaman klien bahwa infeksi HIV dan
dampak nya tidak dapat sembuh namun ODHA dapat tetap produktif, infeksi oportunistik
dapat diobati; 3). Estimasi hasil meliputi : kesiapan mental emosional penerimaan hasil
pemeriksaan, kajilah resiko bukan harapan akan hasil, periode jendela (window period); 4).
Membuat rencana jika didapatkan hasil; 5). Membuat keputusan : melaksanakan tes atau
tidak. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)
4). Pelaksanaan Tes HIV
Hasil wawancara ditemukan bahwa tes HIV dilakukan setelah klien mendapat
konseling pre tes dan menandatangani informed consent. Klien yang menolak untuk tes HIV
maka konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Tes HIV hanya boleh
dilakukan setelah klien menandatangai informed consent sebagai bukti bahwa klien
bersedia dan secara sukarela melakukan tes HIV. Aspek penting didalam informed consent
adalah 1). Klien telah diberi penjelasan cukup tentang risiko dan dampak sebagai akibat dari
tindakannya dan klien menyetujuinya; 2).Klien mempunyai kemampuan menagkap
pengertian dan mampu menyatakan persetujuannya (secara intelektual dan psikiatris);
3).Klien tidak dalam paksaan untuk memberikan persetujuan meski konselor memahami
bahwa mereka memang sangat memerlukan pemeriksaan HIV; 4). Untuk klien yang tidak
mampu mengambil keputusan bagi dirinya karena keterbatasan dalam memahami informasi
maka tugas konselor untuk berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan informasi

sehingga klien memahami dengan benar dan dapat menyatakan persetujuannya. (Modul
Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)
Hasil wawancara dengan konselor ditemukan bahwa strategi yang digunakan untuk
pemeriksaan HIV di RSUP Dr. Kariadi adalah strategi II. Tes yang digunakan untuk
pemeriksaan HIV adalah rapid test dan ELISA. Pelaporan hasil digunakan istilah reaktif dan
non

reaktif.

Untuk

menjaga

kerahasiaan,

hasil

pemeriksaan

diserahkan

kepada

dokter/konselor, pengiriman dalam amplop tertutup melalui klinik VCT.


Pada penelitian ditemukan bahwa strategi testing yang digunakan di RSUP Dr. Kariadi
adalah strategi II. Hal ini sesuai dengan strategi testing HIV yang direkomendasikan oleh
WHO. Strategi II adalah semua darah yang diperiksa pertama kali harus menggunakan satu
tes ELISA atau rapid test. Semua darah yang diperiksa pertama kali harus menggunakan
satu tes ELISA atau rapid test. Semua serum yang ditemukan reaktif dengan tes yang
pertama harus diperiksa kedua kalinya dengan assay yang berbeda dari pemeriksaan
pertama. Serum yang reaktif pada kedua assay dinyatakan terinfeksi HIV sementara serum
yang non-reaktif pada kedua assay dinyatakan negatif. Adanya hasil discordant harus
diulang dengan assay yang sama. Jika hasil tetap berbeda setelah pengulangan, serumnya
dinyatakan indeterminate. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI,
2004)
Menurut UNAIDS, WHO dan Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) bahwa
seluruh hasil tes yang positif harus dikonfirmasi untuk tes ulang dengan menggunakan
metode tes yang berbeda. Standar minimum yang direkomendasikan oleh WHO untuk
sensitifitas 99 % dan untuk spesifisitas 95 %. Pemeriksaan hitung sel T CD4 juga sangat
penting untuk menegakkan diagnosa HIV klien. Cepatnya perkembangan AIDS dipengaruhi
oleh muatan virus dalam plasma (viral load) dan hitung sel T CD4. Makin tinggi viral load
(jumlah virus dalam badan) makin rendah hitung sel CD4 maka makin tinggi perubahan
progresi ke AIDS dan kematian. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes
RI, 2004)
5. Pelaksanaan Konseling Post Tes
Dari hasil wawancara dengan konselor ditemukan bahwa pelaksanaan konseling post tes
dilakukan setelah klien mendapatkan hasil pemeriksaan tes HIV. Sebelum melakukan
konseling post tes, konselor terlebih dahulu menanyakan kesiapan klien, ekspresi wajah,
dan keadaan psikologis klien. Penelitian ini terlihat bahwa sebelum melakukan konseling
post tes konselor terlebih dahulu menanyakan kesiapan klien untuk menerima hasil tes.
Tujuan dari konseling post tes adalah membuat klien mampu menerima hasil pemeriksaan

status HIV nya dan menyesuaikan diri dengan konsekuensinya dan risikonya, membuat
perubahan perilaku menjadi perilaku sehat, dilakukan oleh konselor yang memahami
masalah psikologis / psikiatrik dan pemeriksaan serta penilaian hasil pemeriksaan
laboratorium HIV, penyakit dan terapi. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV,
Depkes RI, 2004)
Hasil tes yang reaktif, maka konselor menjelaskan makna hasil tes reaktif dan konselor
menanyakan siapa yang boleh tahu tentang hasil tes. Konseling yang diberikan kepada
klien yang reaktif antara lain memberikan dukungan, perubahan perilaku berisiko, kewajiban
moral untuk tidak menularkan, dan kesiapan klien dalam membuka statusnya serta
kesiapan untuk ARV. Konselor juga memberikan informasi tentang lembaga yang bisa
diakses oleh klien sebagai support group. Di RSUP Dr. Kariadi untuk klinik VCT melibatkan
kerjasama dengan lembaga-lembaga lain diluar RS seperti LSM Rumah Damai dan
Semarang Plus. Selain itu juga klien langsung dikonsultasikan kepada dokter untuk
penanganan medis termasuk pemeriksaan CD4.
Tindakan yang dilakukan konselor untuk hasil tes negatif adalah 1). Mendiskusikan
tantangan yang dihadapi untuk hasil tes negatif; 2). Reinforcement tindakan ABC; 3).
Mendorong klien untuk bernegosiasi dengan pasangannya untuk melakukan VCT; 4).
Mendiskusikan keterampilan

safer sex; 5).

Mempromosikan female condom

jika

memungkinkan; 6). Menyarankan melakukan tes secara periodik. (Modul Pelatihan


Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)
Tindakan konselor dalam menyampaikan hasil tes positif : 1). Harus memberitahu klien
sejelas dan sehati-hati mungkin dan dapat mengatasi reaksi awal yang muncul; 2). Memberi
cukup waktu untuk memahami dan mendiskusikan hasil tes tersebut; 3). Memberikan
informasi dengan cara yang mudah dimengerti dan memberikan dukungan emosional; 4).
Merujuk klien ke lembaga dukungan masyarakat; 5). Mendiskusikan siapa yang mungkin
ingin diberi tahu tentang hasil tes itu; 6). Menjelaskan pada klien bagaimana menjaga
kesehatannya; 7). Memberitahu klien kemana mencari perawatan dan pengobatan jika
dibutuhkan; 8). Mendiskusikan pencegahan penularan HIV termasuk memberikan informasi
tentang kondom dan hubungan seks yang lebih aman. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes
Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)
6. Hambatan Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Hasil wawancara dengan keempat informan ditemukan lima hambatan yang muncul
dalam pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV yaitu hambatan dari
konselor, klien, keluarga, masyarakat dan hambatan fasilitas pelayanan. Hasil wawancara

10

dengan informan ditemukan hambatan dari konselor disebabkan karena subjektivitas yang
muncul pada diri konselor saat melakukan konseling, keterbatasan kesabaran dan
kurangnya tenaga konselor yang tidak seimbang dengan volume pekerjaan yang
ditanggung konselor serta konsulan yang tidak tepat waktu.
Hasil wawancara mendalam dengan informan juga ditemukan bagaimana mereka
sebagai konselor menyikapi persoalan yang menghambat dirinya diantaranya dengan
membeli buku pengembangan diri, dengan menceritakan kejenuhan saat melakukan
konseling dengan teman sekerja/konselor yang lain, melakukan konseling dengan
supervisor, adanya pertemuan para konselor dimana ada ahli yang diundang untuk
meningkatkan inner kemampuan mereka sebagai konselor.
Ada dua tipe pelepasan stres yaitu 1). Aktif : pelepasan fisik dengan aktifitas fisik, terutama
digunakan untuk menurunkan kemarahan dan frustasi.; 2). Pasif: meditasi dan teknik
relaksasi lain yang dapat membantu melepas kegugupan, kelelahan dan kesulitan tidur. (12)
Dalam upaya membawa perasaan keseimbangan dan memapankan kesinambungan dalam
kerja, maka konselor perlu : 1). Tahu keterbatasan diri dan mampu asertif; 2). Pisahkan
antara pribadi dan profesi; 3). Gunakan supervisi atau dukungan sebaya untuk
mendiskusikan keprihatinan mereka tentang pekerjaan; 4). Waspadai perasaan bias diri
sendiri dan sterotipenya; 5). Belajar asertif dan membatasi diri pada klien dan petugas lain;
6). Lanjutkan belajar keterampilan baru dan meminta umpan balik tentang pekerjaannya.
(Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)
Tujuan dari konseling supervisi adalah meningkatkan kompetensi etikal, rasa percaya
diri, dan kreativitas dengan demikian dapat memberikan layanan yang terbaik untuk klien.
Dasar relasi supervisor-supervisee adalah kepercayaan, kejujuran, kehangatan penerimaan,
empati/pengertian/komunikasi. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes
RI, 2004)
Keterbatasan waktu konseling untuk setiap klien sering menjadi kendala bagi konselor
dalam melakukan konseling. Setiap individu yang datang pada konselor membawa banyak
isu yang harus dibicarakan, sehingga waktu diskusi tidak cukup. Diperlukan perjanjian ulang
untuk datang konseling lagi dilain waktu. Ditambah lagi dengan faktor ketenagaan yang
kurang akan meningkatkan kejenuhan konselor saat bekerja, selain itu pelayanan konseling
ke klien menjadi tidak berkualitas.
Hambatan kedua dalam pelaksanaan VCT yaitu hambatan dari klien sendiri antara lain :
karena faktor tingkat pendidikan klien, pemahaman/pengetahuan klien terhadap HIV
sebelumnya, dan kondisi klinis klien. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan klien

11

tentang HIV AIDS, kondisi klien saat mengalami depresi dapat menghambat proses
konseling terutama dalam pemecahan masalah klien. Peran konselor sangat penting disini
dalam menumbuhkan motivasi klien dan pemecahan masalahnya. Pemecahan masalah
dapat digunakan untuk membantu klien mencari jalan keluar dari masalah dalam
mengurangi perilaku berisiko atau penularan HIV, merencanakan pengungkapan diri kepada
pasangan, menatalaksanakan isu keluarga dan relasi, dan menghadapi isu yang berkaitan
dengan perawatan dan terapi. Kondisi klinis klien mempengaruhi kemampuan klien dalam
pemecahan masalah. Kondisi klinis klien yang mengarah ke perkembangan kondisi
progresif AIDS, biasanya saat klien sakit cara pengorganisasian, perencanaan, dan pikiran
kritis klien menjadi buruk, mood yang buruk dapat mempengaruhi kemampuan berpikir
motivatif dan kemampuan fisik menurun (drop). Dampak rawat rumah sakit memperbesar
stresor psikososial klien, sebagai akibat penurunan kesehatan. (Modul Pelatihan Konseling
dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004). Isu psikososial yang umum dialami pada
perjalanan lanjut penyakit HIV antara lain : kerahasiaan, kesulitan menerima diagnosis,
diskriminasi dan stigma, reaksi emosional, progresi penyakit, perubahan tampilan fisik,
penurunan kesehatan, kehilangan kendali, kehilangan pekerjaan, kesulitan hubungan
seksual, isu terapis (akses, kepatuhan berobat, efek samping) . (Modul Pelatihan Konseling
dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)
Hambatan ketiga adalah dari faktor keluarga, dari hasil wawancara ditemukan bahwa
tidak semua keluarga bisa menerima keadaan klien, keluarga tidak care dengan kondisi
klinis klien saat ini padahal peran keluarga disini sangat penting dalam membantu klien
mengatasi permasalahan psikososial yang ada terutama peran keluarga dalam pengobatan
klien sebagai pendamping minum obat.
Hambatan Keempat adalah hambatan dari faktor masyarakat hasil penelitian ditemukan
antara lain tetangga tidak mau menerima tetangganya yang HIV positif, stigma dan
diskriminasi masyarakat bahwa HIV itu harus dikucilkan. Orang dengan HIV dimasyarakat di
pandang orang yang martabatnya paling rendah, kemungkinan susah bekerja.
Hambatan yang terakhir adalah hambatan dari fasilitas pelayanan dari hasil wawancara
dengan informan muncul masalah untuk pelayanan di rumah sakit itu pelayanan VCTnya
bersifat pasive finding , usaha promosi yang sudah dilaksanakan masih kurang, untuk
pelayanan VCT diruang rawat inap belum memiliki ruangan khusus untuk VCT,

untuk

pelayanan di poliklinik setting ruangan belum ideal, form untuk konseling pre tes ada 4
lembar dirasa tidak efektif.

12

Pemasaran sosial merupakan kunci utama untuk memasarkan suatu produk atau jasa,
tingginya minat masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan VCT sangat dipengaruhi oleh
bagaimana pelayanan tersebut dipahami dan dimengerti oleh masyarakat. Pemasaran
sosial pada masyarakat luas dilakukan secara bersama-sama dengan pusat-pusat
pelayanan VCT lainnya yang ada di Semarang melalui media cetak, penyebaran leaflet,
kerjasama dengan LSM-LSM sedangkan untuk pemasaran sosial dilingkungan RSUP Dr.
Kariadi melalui sosialisai dan mengintegrasikan VCT ke dalam pelayanan lain. Penting
untuk mempromosikan pelayanan VCT, seorang konselor harus mampu memasarkan diri.
Di RSUP Dr. Kariadi sendiri dalam pelaksanaan pelayanan VCT ada kegiatan rutin yang
dilakukan yaitu pertemuan rutin dengan penderita HIV setiap bulan, tanggal 15. Pertemuan
rutin ini merupakan media untuk melakukan komunikasi, konsultasi, koordinasi dan evaluasi
sejauh mana program itu berjalan. Pertemuan rutin juga akan meningkatkan support ODHA
dan meningkatkan hubungan baik antara konselor dan klien.
Keterbatasan sarana prasarana akan sangat berpengaruh dalam proses VCT. VCT
adalah pelayanan yang mengutamakan kenyamanan dan kerahasiaan orang yang
melakukan VCT oleh karena itu sarana yang tersedia harus betul-betul dapat menjamin
kerahasiaan dan kenyamanan. Pelayanan VCT dipoliklinik belum sesuai dengan standart
karena masih banyak kendala yang ada seperti pintu masuk dan keluar klien seharusnya
dibuat beda tapi kenyataannya sama, ruangan konseling hanya dibatasi sekat sehingga
kemungkinan konseling dapat di dengar oleh orang lain, fasilitas pendukung seperti alat
peraga untuk KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) kepada klien sangat terbatas.
Pelayanan VCT HIV di RSUP Dr. Kariadi meliputi pelayanan di poliklinik VCT rata-rata
menangani pasien dari luar, rawat jalan. Perbedaan yang cukup mendasar saat menangani
pasien di poliklinik yaitu konselor jauh lebih enak dan mudah karena pasien datang ke
poliklinik VCT itu tujuannya sudah tahu mau tes HIV. Diruangan ada konsulan maka
konselor harus mobile kemanapun yang ada konsultasi. Konselor di ruang rawat inap harus
lebih sabar, berusaha sebelum kontak dengan klien harus tahu informasi sejauh mungkin
terutama dari catatan medik. Di ruang rawat inap klien masuk karena sakit yang lain tapi
dicurigai kemungkinan HIV baru dikonsulkan ke konselor. Hasil penelitian dengan informan
juga ditemukan saat klien datang untuk tes HIV di poliklinik maka klien tinggal datang di
bagian administrasi VCT untuk daftar jadi tidak perlu antri, klien hanya membayar Rp.
17.500,- untuk membayar karcis, jadi fasilitas yang lain seperti konseling VCT, pengobatan
dan tes laboratorium semua gratis. Catatan rekam medis klien disimpan tersendiri di bagian

13

administrasi poliklinik VCT tidak direkam medik umum dan dilakukan pelaporan setiap
bulannya ke rekam medik umum.

B. Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV merupakan entry point untuk pengobatan
antiretroviral (ARV)
Hasil wawancara dengan informan ditemukan bahwa klien yang sudah positif HIV lalu
dilakukan tes CD4 untuk mengetahui apakah klien perlu mendapat pengobatan atau tidak.
Cepatnya perkembangan klien HIV progresif ke AIDS dipengaruhi oleh muatan virus dalam
plasma (viral load) dan hitung sel T CD4. Makin tinggi viral load (jumlah virus dalam badan)
makin rendah hitung CD4 dan makin tinggi perubahan progresif ke AIDS dan kematian.
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active
antiretroviral therapy), atau disingkat HAART. Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orangorang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang
menggunakan protease inhibitor. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes
RI, 2004)
Hasil wawancara dengan informan juga ditemukan bagaimana aturan minum obat, klien
minum obat tiap hari pagi sore dan seumur hidup, waktunya harus tepat. Ketika dokter menulis
resep, penting diingat bahwa pasien harus memahami jenis medikasi yang diberikan, manfaat
medikasi, lamanya, efek samping yang mungkin timbul (banyak pasien yang berhenti minum
obat karena menderita efek samping yang sebelumnya tidak diantisipasi), bagaimana cara
minum yang benar. Peran konselor dalam menyampaikan masalah pengobatan klien ini sangat
penting, penting dalam arti menekankan pentingnya klien memahami aturan dan pentingnya
patuh dalam minum obat. Menurut informasi yang konselor peroleh dari klien bahwa klien sering
mengeluhkan bahwa efek samping obat itu mual-mual, pusing, halusinasi, dan pernah terjadi
stephen johnson.
Hasil wawancara dengan informan ditemukan juga manfaat dari klien yang patuh minum
obat

antara lain :

meningkatkan daya tahan

tubuh,

mengurangi

penderitaan

dan

memperpanjang usia. Kepatuhan berobat adalah kemampuan klien untuk melakukan


pengobatan sesuai petunjuk medik artinya dosis, waktu dan cara pemberian tepat. Peningkatan
kepatuhan berobat akan memberi dampak besar bagi kesehatan dalam masyarakat daripada
terapi medik spesifik lainnya. Laporan WHO, mengatakan akan mudah dan murah melakukan
intervensi kepatuhan berobat secara konsisten dan hasilnya sangat efektif. Terapi antiretroviral
(ARV), kepatuhan berobat merupakan kunci sukses terapi. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes
Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)

14

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat dipandang dari sisi biopsikososial


adalah : 1). Karakteristik penyakit ( lamanya infeksi diterapi dan keparahan dan stadium
penyakit); 2). Karakteristik terapi (lamanya terapi, kesulitan fisik untuk minum obat, keparahan
dan lamanya efek samping, rutinitas sehari-hari dan pembatasan diet, kompleksitas jadwal
dosis); 3). Karakteristik klien ( sikap, sistem keyakinan, kepribadian/perilaku, motivasi,
psikologis); 4). Kehamilan dan pasca melahirkan ( adanya ketakutan bahwa ARV akan
menimbulkan gangguan bagi janin, perubahan fisik pasca melahirkan, membuat tekanan pada
pasangan, mual masa kehamilan); 5). Bayi dan anak ( kepatuhan berobat untuk anak dan bayi
merupakan hal yang sulit karena membutuhkan bantuan orang dewasa dan keinginan kuat
untuk minum obat, yang menimbulkan perasaan tak nyaman dan pengungkapan status); 6).
Gaya hidup tak stabil (waktu bekerja, suasana sekitar dan kesehatan mental klien).
Saran untuk membantu individu mengatur pengobatannya antara lain; 1). Buat jadwal
medikasi; 2). Bagi obat dalam jumlah harian atau mingguan; 3). Minumlah obat pada jam yang
sama setiap hari; 4). Minum obat dimasukkan dalam jadwal rutin harian klien; 5). Rencanakan
kapan kontrol dan mengambil obat lagi; 6). Minum obat dijadikan prioritas harian.

C. Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan scrining TB merupakan salah satu strategi
untuk mencegah infeksi oportunistik HIV.
Hasil wawancara dengan informan ditemukan penanganan HIV itu kolaborasi dengan
penanganan TB dalam satu tim. HIV mempercepat epidemi TB. HIV mengatifkan progresi TB
baik mereka yang mempunyai TB yang didapat maupun laten infeksi Mycobacterium
Tuberculosis. HIV adalah faktor terkuat untuk mereaktivasi infeksi TB laten. Risiko tahunan
berkembangnya TB pada ODHA dengan komorbiditas M. Tuberculosis bervariasi antara 5-15
%. Sekitar 60 % ODHA teraktivasi TB nya selama hidup dibandingkan dengan mereka yang
HIV negatif hanya 10 %. Meningkatnya kasus TB pada ODHA akan meningkatkan penularan
TB pada populasi umum, baik terinfeksi HIV atau tidak.

(12)

Layanan HIV dapat turut serta

mendeteksi kasus TB lebih banyak. Termasuk didalamnya intensified case-finding dalam


setting layanan yang banyak dikunjungi ODHA. Orang yang datang pada layanan kesehatan
termasuk layanan untuk voluntary counseling and testing (VCT) perlu mendapat penilaian
resiko TB, klien mempunyai gejala gangguan saluran respirasi (misal batuk lebih dari 3
minggu). (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)

15

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan konselor
mengenai Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV dan bagaimana cara untuk meningkatkan
kualitas konselor sudah baik. RSUP Dr. Kariadi memiliki 4 konselor profesional dan bersertifikat,
mereka telah mengikuti pelatihan sebagai konselor yang diselenggarakan oleh WHO. Konselor di
RSUP Dr. Kariadi berasal dari profesi yang berbeda yaitu 2 perawat, 1 psikolog dan 1 dokter untuk
saat ini. Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV merupakan entry point untuk memberikan
perawatan, dukungan dan pengobatan bagi orang dengan HIV AIDS (ODHA). Pentingnya
menekankan kewaspadaan universal dalam menjalankan tugas, apalagi mereka sangat dekat
dengan klien yang terinfeksi HIV. Masing-masing konselor sudah memahami arti pentingnya
kewaspadaan universal. Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV di RSUP Dr.
Kariadi Semarang baik pada pelaksanaan pre tes sampai post tes sudah baik dan mengikuti
prosedur VCT yang ada. Pelaksanaan testing HIV dilakukan setelah klien mendapatkan informasi
yang adekuat dan menandatangani informed consent. Untuk tes HIV yang digunakan adalah rapid
test dan ELISA. Strategi tes HIV yang digunakan adalah stategi II. Pelayanan VCT HIV di RSUP Dr.
Kariadi Semarang ada dua jenis pelayanan yaitu a). pelayanan VCT di rawat jalan yaitu di poliklinik,
biasanya klien memeriksakan status HIVnya karena kemauan sendiri, konsulan dari dokter atau
dibawa dari pihak LSM; b). Pelayanan VCT Rawat Inap, biasanya klien dikonsulkan karena
dicurigai ada faktor resiko terinfeksi HIV karena penyakit utamanya sudah diobati tidak sembuh dan
ada kecurigaan ke infeksi HIV. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan VCT di RSUP Dr.
Kariadi Semarang antara lain: 1). Faktor dari konselor antara lain: a). ketenagaan konselor kurang,
b). konsulan tidak tepat waktu karena volume pekerjaan banyak, c). subjektivitas konselor kadang
muncul sehingga kesabaran dalam menghadapi klien saat konseling berkurang, d). kejenuhan dan
kelelahan; 2). Faktor dari klien : a). tingkat pengetahuan klien mempengaruhi, b). pemahaman klien
tentang HIV AIDS sebelumnya, c). Kondisi klinis klien; 3). Faktor dari keluarga : a). keluarga tidak
bisa menerima keadaan klien, b). keluarga tidak care kepada klien terutama perannya sebagai
pendamping minum obat.; 4). Faktor dari masyarakat : a). stigma dan diskriminasi masyarakat
masih kental, b). pemahaman masyarakat yang kurang mengenai HIV AIDS; 5). Faktor fasilitas
pelayanan VCT : a). sifatnya pasive finding, b). promosi soal VCT masih kurang, c). diruang rawat
inap tidak ada tempat khusus untuk konseling, d). di poliklinik setting ruangan VCT belum ideal.
Saran dari penelitian ini antara lain: Untuk RSUP Dr. Kariadi Semarang : Untuk jumlah konselor
untuk VCT HIV harus ditambah, baik itu melalui penunjukkan karyawan yang berkompeten dan
diikutkan untuk mendapatkan pelatihan khusus sebagai konselor atau recruitmen karyawan baru,

16

mengingat kasus HIV meningkat terus jumlahnya. Jika perlu ada konselor yang ditugaskan secara
penuh di poliklinik VCT HIV agar klien yang akan melakukan VCT tidak menunggu terlalu lama.
Klien yang terlalu lama menunggu untuk mendapatkan pelayanan VCT mempunyai kecenderungan
kurang percaya akan kualitas layanan VCT. Dengan jumlah konselor yang cukup maka kualitas
pelayanan konseling diharapkan akan lebih baik lagi. Kualitas konselor harus diutamakan, untuk
menjaga keseimbangan diri konselor dari kejenuhan dan stress pekerjaan sangat perlu adanya
refreshing konselor dan rutin pelaksanaannya misal 2 tahun atau 3 tahun sekali. Untuk menjamin
kerahasiaan dan kenyamanan klien maka ruang pelayanan VCT perlu ditingkatkan termasuk
sarana dan prasarana pendukung. Pemasaran sosial VCT perlu ditingkatkan baik eksternal
maupun internal rumah sakit. Poliklinik VCT idealnya dekat dengan laboratorium dan pengambilan
obat (apotik), sebaiknya pelayanan dapat dilakukan one stop service. Bagi peneliti selanjutnya
diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian lanjut tentang VCT khususnya terhadap
mutu pelayanan VCT, efektivitas strategi pelaksanaan VCT HIV dan screning TB dalam mencegah
infeksi oportunistik HIV, pentingnya peran keluarga sebagai pendamping minum obat (PMO) klien
dengan HIV dalam pelaksanaan Care Support System (CST).
DAFTAR PUSTAKA

1. Utamadi, Guntoro. PKBI Pusat. Malam Renungan AIDS. Available from: Kompas, 17 Mei 2002.
2. Depkes R.I (2008) Perkembangan AIDS di Indonesia. Available from: Kompas, 1 Desember
2008.

3. Ruswandi. HIV AIDS Terus Mengancam. Available from : Kompas, 11 Mei 2005.
4. Dinas Kesehatan Prov. Jateng. Waspadai HIV/AIDS. Available from : Kompas, 1 Desember
2006

5.

Setiyono. Jarum Suntik Narkoba Dominasi Penularan HIV. Available from : Kompas, 11 Mei
2005

6. Anonimous. HIV/AIDS Indonesia Fase Awal Epidemi. Available from : Kompas, 29 November
2005

7. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Mengenal Dan Menanggulangi HIV AIDS. KPA Nasional.
Jakarta Pusat. 2008

8. Anonimous. Mengenal Tes HIV. Available from : Kompas, 4 Juli 2003


9. Corwin, Elizabeth.J. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. 2000

17

10. Hudak, Gallo. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume III. Edisi VI. Jakarta .EGC. 1996
11. Adisasmita, Wiku. Sistem Kesehatan. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2007
12. Depkes R. I. Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV( Voluntary Counselling and
Testing). Jakarta : Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan. 2004
13. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta. Salemba
Medika. 2003
14. Suharsimi, Arikunto. Prosedur Penelitian-Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V.
Jakarta.Rineka Cipta. 2002
15. Creswell JW. Research Design : Qualitative, Quantitaive and Mixed Methods Approaches. 2nd
Ed. California. Sage Publication. Inc.2003
16. Holloway J, Wheeler S. Qualitative Research for Nurse. Oxford. Osney Mead. 1996
17. Alimul, Aziz. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Edisi Pertama. Jakarta. Salemba
Medika. 2003
18. Burhan Bungin. Metedologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metedologi ke Arah Ragam Varian
Kontemporer. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001.
19. Lexy .J.Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi revisi Bandung .PT. Remaja Rosdakarya.
2007.
20. Jonathan A.Smith. Dasar-dasar Psikologi Kualitatif. Nusa Media. Bandung. 2009.
21. Wuryanto, Edy. Media Sehat : Awas AIDS. Pengurus Propinsi Persatuan Perawat Nasional
Indonesia (PPNI). Jawa Tengah. 2008
22. Haruddin, Mubasysyir Hasanbasri. Studi Pelaksanaan HIV Voluntary Counseling and Testing
(VCT) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. UGM. Yogyakarta.2007

18

Anda mungkin juga menyukai