Anda di halaman 1dari 6

Apakah penyebab pasien mengalami kencing berulang pada malam hari?

Inkontinensia urin meningkat seiring proses menua. Akan


tetapi, proses menua bukanlah penyebabnya melainkan hanya faktor
predisposisi penyakit ini. Proses penuaan pada manusia (pria maupun
wanita) menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis urogenital
bawah. Hal ini terkait dengan kadar hormon yaitu terjadi penurunan
produksi androgen pada pria maupun estrogen pada wanita (Sudoyo,
2006).
Hal ini akan berdampak pada perubahan morfologis kandung
kemih (vesika urinaria) manusia berupa timbulnya fibrosis dan
penurunan kandungan kolagen pada dinding vesika urinaria. Selain
itu, fungsi kontraktil vesika urinaria juga tidak efektif lagi. Hal ini
akan mengakibatkan terbentuknya trabekulasi pada otot detrusor dan
divertikel pada dinding dalam vesika urinaria. Sedangkan, pada
mukosa vesika urinaria terjadi atrofi, perubahan vaskularisasi
submukosa, dan penipisan otot uretra sehingga terjadi penurunan
penutupan uretra oleh otot tersebut (Sudoyo, 2006).
Terdapat 4 tipe Inkontinensia Urin yaitu sebagai berikut:
1.

Inkontinensia

urin

tipe

urgensi,

yaitu

ditandai

dengan

ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih


2.

muncul. Manifestasinya berupa urgensi , frekuensi , dan nokturia


Inkontinensia urin tipe stres, yang terjadi akibat tekanan
intraabdominal yang meningkat seperti batuk, bersin, atau
mengejan, terutama terjadi pada perempuan usia lanjut yang
mengalami hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul

3.

akibat seringnya melahirkan, operasi dan penurunan estrogen.


Inkontinensia urin tipe overflow, yaitu meningkatnya tegangan
kandung kemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pada laki-Iaki
atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma
medula spinalis, obat-obatan dapat menimbulkan. Manifestasi

klinisnya berupa berkemih sedikit, pengosongan kandung kemih


4.

tidak sempurna, dan nokturia.


Inkontinensia urin tipe fungsional, yaitu terjadi akibat penurunan
berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat
mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi biasanya pada
demensia berat, gangguan mobilitas

Apa sajakah komplikasi dari kencing berulang pada malam hari?


Kencing berulang pada malam hari menyebabkan kualitas tidur
menurun, berakibat menurunnya fungsi fisik dan kognitif. Misalnya
merasa kelelahan di waktu siang. Selain itu juga meningkatkan
insidensi jatuh pada usia lanjut. Jatuh dapat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas (Osman, 2013). Selain itu, berbagai komplikasi dapat
menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, kelainan
kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah
marah, dan rasa terisolasi (Sudoyo, 2006).
Bagaimana fisiologi tidur pada LANSIA? Bagaimana siklus tidur pada
LANSIA?
Fisiologi tidur dapat diterapkan melalui gambaran aktivitas sel-sel
otak selama tidur, dan dapat direkam dengan elektroensefalograf (EEG).
Untuk merekam otak orang yang sedang tidur, digunakan poligrafi EEG.
Dengan cara ini kita dapat erekam stadium tidur adalah sebagai berikut:
1. Stadium jaga (wake)
EEG : Pada keadaan rileks dan mata tertutup, gambaran didominasi
oleh gelombang alfa. Tidak ditemukan adanya kumparan tidur dan
kompleks K.
Elektrookuloagraf (EOG) : Gerakan mata berkurang, kadang-kadang
terdapat artefak yang disebabkan oleh gerakan kelopak mata
Elektromiograf (EMG) : Kadang-kadang tonus otot meninggi
2. Stadium I
EEG : Terdiri dari gelombang campuran alfa, beta dan kadang-kadang
teta. Tidak terdapat kumparan tidur, kompleks K atau gelombang delta
EOG : Tidak terlihat aktivitas bola mata yang cepat
EMG : Tonus otot menurun dibandingkan dengan stadium W.
3. Stadium II

4. EEG : Terdiri atas gelombang campuran alfa, teta dan delta. Terlihat
adanya kumparan tidur dan kompleks K.
EOG : Tidak terdapat aktivitas bola mata yang cepat.
EMG : Kadang-kadang terlihat peningkatan tonus otot secara tibatiba, menunjukkan bahwa otot-otot tonik belum seluruhnya dalam
keadaan rileks.
5. Stadium III
EEG : Persentase gelombang delta antara 20- 50 %. Tampak
kumparan tidur.
EOG : Tidak tampak aktivitas bola mata yang cepat.
EMG : Gambaran tonus otot yang jelas dari Stadium II.
6. Stadium IV
EEG : Persentase gelombang delta mencapai lebih dari 50%. Tampak
kumparan tidur.
EOG : Tidak tampak aktivitas bola mata yang cepat
EMG : Tonus otot menurun dari pada stadium sebelumnya.
7. Stadium REM (Rapid Eye Movement)
EEG : Terlihat gelombang campuran alfa, beta dan teta. Tidak tampak
gelombang delta, kumparan tidur dan kompleks K.
EOG : Terlihat gambaran REM yang lebar
EMG : Tonus otot sangat rendah. Frekuensi di tinggi dan ereksi.
Stadium I dan II disebut sebagai tidur ringan, sedangkan Stadium III
dan IV sebagai tidur dalam. Stadium I, II, III dan IV disebut Stadium non
REM (NREM).
Stadium REM dikatakan sebagai tidur ringan, sehingga stadium ini
juga disebut sebagai paradoxical leep. Pada stadium REM, individu
mengalami peristiwa mimpi dengan intensitas tinggi sehingga panca indera
ikut terangsang.
Terdapat perubahan tidur secara subjektif dan objektif pada usia
lanjut. Survei epidemiologic menunjukkan bahwa pada usia lanjut yang
tinggal di rumah atau panti werda menunjukkan bahwa 15- 75 persen dari
mereka tidak puas dalam lamanya dan kualitas tidur malam. Pada usia lanjut
wanita sehat secara subjektif lebih merasakan kesulitan tidur dari pada pria.
Yang paling mencolok pada karakteristik tidur pada usia lanjut ialah
konfirmasi poligrafik pada upaya setelah dimulai tidur. Struktur tidur pada
usia lanjut berubah dengan meningkatnya stadium I sehingga terjadi
fragmentasi atau disrupsi dari struktur tidur. Berkurangnya tidur mempunyai
dampak pada pemulihan fungsi tidur.

Orang lanjut usia membutuhkan waktu lebih lama untuk msuk tidur
(berbaring lama di temnpat tidur sebelum tertidur) dan mempunyai lebih
sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya. Pada usia lanjut juga terjadi
perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif
dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang normal
terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan
selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari
dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi
kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang
menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur (Sudoyo, 2006).
Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat,
juga tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari
sibuk dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam
tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak
aktif, malamnya akan sulit tidur (Sudoyo, 2006).

Apa sajakah efek samping dari penggunaan obat tidur dalam jangka
panjang?
Obat tidur memiliki berbagai efek samping seperti rasa kantuk
berkepanjangan keesokan paginya, mulut kering, kebingungan, lupa,
pusing, sakit kepala, sembelit, nyeri otot, dan insomnia lanjutan. Bila
pasien memiliki alergi, obat tidur juga dapat membuat wajah
membengkak, memori yang tidak stabil, dan halusinasi.
Apa Drug of Choice obat tidur pada LANSIA? Keadaan seperti apa yang
harus diberi obat tidur?
Pada lansia yang mengalami gangguan tidur pada dasarnya lebih
baik memberi tata laksana terlebih dahulu untuk penyakit yang
menyebabkan gangguan tidur pada lansia. Hal ini dikarenakan adanya
penurunan fungsi organ tubuh pada lansia sehingga sebisa mungkin
meminimalisir obat yang masuk. Selain itu, menjaga pola hidup sehat
lebih disarankan bagi lansia yang mengalami gangguan tidur
dibandingkan mengkonsumsi obat tidur dalam jangka waktu lama.

Namun, beberapa keadaan gangguan tidur memang bisa diberikan


obat tidur misalnya obat transkuiliser minor (contoh : golongan
benzodiazepin) dapat diberikan kepada penderita insomnia akut,
diberikan dosis kecil dan dalam waktu yang tidak lama. Selain itu,
akhir-akhir ini obat yang sedang marak dipakai sebagai obat tidur
adalah melatonin, namun sampai saat ini belum menunjukkan hasil
yang memuaskan dalam mengatasi gangguan tidur pada usia lanjut.
Benzodiazepine (BZDs) adalah obat yang paling sering digunakan
untuk mengobati insomnia pada usia lanjut. BZDs menimbulkan efek
sedasi karena bekerja secara langsung pada reseptor benzodiazepine.
Efek yang ditimbulkan oleh BZDs adalah menurunkan frekuensi tidur
pada fase REM, menurunkan sleep latency, dan mencegah pasien
terjaga di malam hari. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pemberian BZDs pada usia lanjut mengingat terjadinya perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik terkait pertambahan umur.
Absorpsi dari BZDs tidak dipengaruhi oleh penuaan akan tetapi
peningkatan masa lemak pada lanjut usia akan meningkatkan drugelimination half life, disamping itu pada usia lanjut lebih sensitif
terhadap BZDs meskipun memiliki konsentrasi yang sama jika
dibandingkan dengan pasien usia muda. Pilihan pertama adalah shortacting BZDs serta dihindari pemakaian long acting BZDs. BZDs
digunakan untuk transient insomnia karena tidak dianjurkan untuk
penggunaan jangka panjang. Penggunaan lebih dari 4 minggu akan
menyebabkan tolerance dan ketergantungan. Golongan BZDs yang
paling sering dipakai adalah temazepam, termasuk intermediate acting
BZDs karena memiliki waktu paruh 8-20 jam. Dosis temazepam
adalah 15-30 mg setiap malam. Efek samping BZDs meliputi:
gangguan psikomotor dan memori pada pasien yang diterapi shortacting BZDs sedangkan residual sedation muncul pada pasien yang
mendapat terapi long acting BZDs. Pada pasien yang menggunakan

BZDs jangka panjang akan menimbulkan resiko ketergantungan,


daytime sedation, jatuh, kecelakaan dan fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, Boedhi. 2011. Buku ajar Geriatri Edisi ke-4. Jakarta: Balai penerbit FK
UI.
Osman, Nadir I. and Christopher R. Chapple. 2013. Focus On Nocturia In The
Elderly. Diakses dari : http://www.medscape.com/viewarticle/809746_6diakses Maret 2014
Sudoyo, Aru W et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.
Penerbit Buku Kedokteran IPD FK UI.

Anda mungkin juga menyukai