35
Klasifikasi barang dan jasa yang dinilai esensial ini disampaikan oleh Dieter Bos dari University of Bonn, Bonn pada
buku yang berjudul Handbook of Public Economics, vol 1, dengan editor pada buku tersebut A.J. Auerbach dan M.
Feldstein.
36
Douglass North, Economic Performance Throgh Time, Prize Lecture, hal. 1, diakses dari http:/www.nobleprize.org.
Wolfgang Kasper dan Manfred E. Streit, Institutional Economics: Social Order and Public Policy, hal 2-3.
37
contoh di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa baik nasabah maupun pasien tersebut
merasa aman dalam melakukan aktivitas (transaksi) mereka karena adanya institusi yang
melindungi mereka. Institusi di sini berperan penting dalam membatasi perilaku oportunis
yang amat mungkin terjadi dalam hubungan antar manusia. Namun institusi saja ternyata
belum cukup untuk mencegah prilaku oportunis tersebut, sehingga pemberian sanksi yang
tegas bagi setiap pelanggaran yang terjadi dianggap perlu. Institusi semata tanpa penerapan
sanksi yang tegas, hanya menjadi suatu usaha yang tampak sia-sia.
Jika diteliti lebih jauh, pada awalnya hubungan penting antara biaya transaksi,
institusi dan teori neo-klasikal diperkenalkan oleh Ronald Coase dalam bukunya The
Nature of Firm. Ia juga mencoba menjelaskan hubungan antara kehadiran institusi dengan
tercapainya kesehjateraan suatu bangsa.
Gambar 2-1
Peran Institusi dalam Perekonomian Bangsa
biaya transaksi
turun
Institusi
- sistem hukum
- sistem politik
- sistem sosial
- sist. pendidikan
spesialisasi
meningkat
Produktivitas
ekonomi naik
kesehjateraan
38
Formal
Constraint
Informal
Constraint
- aturan
- konstitusi
- hukum
- konvensi
- norma
39
40
8
Herwidayatmo, Implementasi Good Corporate Governance Untuk Perusahaan Publik Indonesia, Usahawan No. 10
Tahun XXIX Oktober 2000, hal 25. Beliau juga menambahkan bahwa ketiga pelaku utama dalam perusahaan di
Indonesia yang menganut civil law adalah pemegang saham, direksi dan dewan komisaris. Hanya saja perlu diperhatikan
bahwa dalam terminologi corporate governance, fungsi manajemen berada di tangan dewan direksi dan yang dipahami
sebagai board of directors tidak lain adalah dewan komisaris.
9
Oliver Hart, Corporate governance: Some theory and Implications, The Economic Journal Vol. 105, No. 430, hal. 678.
41
42
Berdasarkan uraian tadi maka pada dasarnya managers effort choice hanya bisa
tampak atau diketahui oleh manajer itu sendiri. Dengan demikian kompensasi manajer
harus disesuaikan dengan keuntungan yang ingin dicapai : I = I ( )
10
terhadap
menjadi sangat penting. Di lain sisi pemberian insentif berupa kewenangan yang rendah
sebagai batasan untuk membuat I tidak sensitif terhadap ditujukan untuk melindungi
manajer dari resiko. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sebagian besar literatur
yang menulis principal-agent theory menggangap keseimbangan yang optimal antara
masalah penanggungan resiko (risk-bearing) dan efisiensi adalah sesuatu yang sangat perlu
diperhatikan.
Jika contoh di atas adalah kasus yang menggambarkan principal agent berkaitan
dengan alasan mengapa manajer diberi kompensasi gaji / penghasilan yang sesuai dengan
kinerjanya (performance-related pay) maka kasus lain yang menggambarkan principal
agent problem juga tampak ketika manajer bersikap mempertahankan posisinya, walaupun
ia tidak memiliki kompetensi di bidangnya. Sikap manajer yang hanya memanfaatkan
posisi yang dimilikinya untuk dapat menikmati posisi prestisius, aneka fasilitas dan
pelayanan mewah juga dapat digolongkan sebagai masalah principal agent. Di lain sisi
perlu diwaspadai sikap managerial opportunism yang berupa kesalahan mereka dalam
mengalokasikan dana perusahaan atau bahkan pengambilan alih dari investor. Berdasarkan
seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa corporate governance penting sebab
10
43
11
Andrei Shleifer dan Robert W. Vishny, A Survey of Corporate Governance, The Journal of Finance, Vol. 52, No. 2
diakses dari (http://www.jstor.org).
44
Menurut Alastair Shaw dari The Foundation For Performance Measurement, ada 4
tujuan yang ingin dicapai dari suatu proses pengukuran kinerja.12 Keempat tujuan itu
adalah sebagai berikut ;
Mengetahui apa yang terjadi dengan perusahaan.
Mengetahui penyebab terjadinya suatu kondisi tertentu pada perusahaan.
Mengetahui kemungkinan dari berlanjutnya suatu kondisi tertentu pada perusahaan.
Mengetahui kebijakan seperti apa yang tepat untuk dilakukan dalam menangani
suatu kondisi tertentu yang terjadi di perusahaan itu.
Secara spesifik, para pakar manjemen membagi pengukuran kinerja dalam beberapa
indikator/ dimensi yaitu:
1. keunggulan komparatif, yaitu bagaimana kemampuan perusahaan dalam
bersaing di pasar.
2. kinerja keuangan, yaitu kemampuan perusahaan dalam mengelola sisi
keuangannya.
3. kualitas pelayanan, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan upaya
perusahaan dalam memelihara hubungan baik dengan konsumen maupun
pihak-pihak di sekelilingnya. Jika dihubungkan dengan salah satu fungsi
BUMN maka hal ini mencakup Public Service Obligation (PSO) atau
pelayanan yang lebih berorientasi pada fungsi sosial daripada sisi komersial.
4. fleksibilitas, yaitu kemudahan dan ketepatan waktu dalam melaksanakan
kegiatan operasional perusahaan.
5. alokasi sumber daya, berhubungan erat dengan kemampuan perusahaan
dalam mengelola sumber daya yang tersedia untuk mencapai target/tujuan
perusahaan.
12
Alastair Shaw, A Guide to Performance Measurement and Non Financial Performance, diakses dari
(http://www.fpm.com), pada tanggal 5 Febuari 2007.
45
Bentuk Pengukuran
Competitiveness
Kinerja Keuangan
Pertumbuhan
penjualan,
likuiditas,
struktur modal dan rasio pasar.
Kualitas Pelayanan
Fleksibilitas
Penggunaan Sumber Daya
Inovasi
Sumber: A Guide to Performance Measurement and Non Financial Performance, Alastair Shaw.
Penjelasan mengenai good governance serta beberapa prinsip-prinsipnya dari berbagai pandangan lembaga/ organisasi
diperoleh dari tulisan Loina Lalolo Krina P, yang berjudul Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi
dan Partisipasi, dan ditebitkan oleh Sekretariat Good Public Governance, Bappenas tahun 2003 dan diakses dari
(http://www.goodgovernance>bappenas.go.id/frame_index_2.htm) pada tanggal 15 Maret 2007, hal 5-7.
46
yang baik (Good Governance) sebagai contoh World Bank berpendapat bahwa
karakteristik Good Governance adalah terbuka, masyarakat sipil yang kuat dan
partisipatoris, birokrasi yang profesional dan aturan hukum, pembuatan kebijakan yang
dapat diprediksi. Sedangkan UNDP menyatakan bahwa karakteristik Good Governance
yaitu kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, kerja sama dengan institusi dan masyarakat
sipil, manajemen sektor publik yang efisien, akuntabilitas, birokratis dan keuangan, sistem
yudisial yang adil dan dapat dipercaya, serta legitimasi politik.
Adapun Indonesia mulai memperhatikan konsep Good Governance terutama ketika
krisis ekonomi mulai menggerogoti Indonesia pada tahun 1997. Tata kelola pemerintahan
yang buruk diyakini menjadi sumber dari kemerosotan bangsa ini khususnya di bidang
politik, sosial, ekonomi dan keamanan. Berdasarkan wacana yang digulirkan oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) maka ada 14 karakteristik konsep Good
Governance yang perlu diperjuangkan di Indonesia, yaitu :14
1. Wawasan ke depan ( Visionary);
2. Keterbukaan dan Transparansi (oppeness and transparency);
3. Partisipasi Masyarakat (participation);
4. Tanggung Gugat (accountability);
5. Supremasi hukum (rule of law);
6. demokrasi (democracy);
7. Profesionalisme dan Kompetensi (professionalism and competency);
8. Daya tanggap (responsiveness);
9. Keefisienan dan keefektifan (efficiency and effectiveness);
10. Desentralisasi (decentralization);
14
47
11. Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat (private sector and civil
society partnership);
12. Komitmen pada pengurangan kesenjangan (commitment to reduce inequality);
13. Komitmen pada lingkungan hidup (commitment to environmental protection);
14. Komitmen pasar yang fair (commitment to fair market)
Setelah mengetahui berbagai prinsip yang dinyatakan oleh berbagai lembaga
sehubungan dengan prinsip-prinsip good governance maka dapat diperhatikan bahwa salah
satu isu yang hingga saat ini begitu gencarnya diupayakan di Indonesia terlebih setelah era
Orde Baru tumbang karena berbagai kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta
pelanggaran HAM adalah masalah transparansi, demokrasi, dan akuntabilitas. Sejak krisis
ekonomi mencapai puncaknya pada tahun 1998 tersebut, pemerintah dan masyarakat luas
mulai menyadari bahwa ada hal yang harus segera dibenahi dalam sistem pengelolaan
negara ini.
Bertolak dari peristiwa tersebut, maka pada tahun 1999, pemerintah melalui
persetujuan DPR megeluarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 Tentang
Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Hal
ini juga mulai memicu diperkenalkannya sistem Good Corporate Governance pada
perusahaanperusahaan milik negara (BUMN) sebagai upaya untuk mendorong kinerja
perusahaan yang sebagian besar modalnya disokong oleh pemerintah.
Fakta lain yang dapat dilihat sebagai upaya pemerintah dalam mengembangkan
prinsip transparansi, juga terlihat dari diterbitkannya UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara yang mengacu pada Code of Good Practices on Fiscal Transparency
yang diperkenalkan International Monetary Fund (IMF). Menurut lembaga ini, salah satu
aspek penting dari good fiscal management adalah masalah fiscal transpareny. Tak hanya
itu, upaya membangun keuangan yang sehat dan meningkatkan efisiensi dari aktivitas
48
pemerintahan juga perlu ditanggapi dengan serius. Tercapainya good governance bahkan
sangat ditentukan oleh fiscal transpareny. IMF sendiri menjelaskan bahwa transparansi
fiskal ini bertujuan untuk:
1. meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam melaksanakan kebijakan
fiskal.
2. membangun pemahaman publik terhadap kebijakan ekonomi dan sekaligus
memperkuat kredibilitas pemerintah.
Adapun empat pilar utama yang dinilai penting oleh IMF dalam upaya mewujudkan
transparansi fiskal adalah :
1. Kejelasan peran dan tanggung jawab dalam pemerintahan.
2. Aktivitas dalam pemerintahan harus diinformasikan kepada publik.
3. Keterbukaan dalam perencanaan, penentuan, dan pelaporan anggaran.
4. Informasi fiskal harus mencapai standar yang berlaku secara umum dari
kualitas data adanya jaminan kebebasan dari integritas harus dijalankan.
Berdasarkan uraian di atas, maka tampak bahwa Good Governance atau yang juga
sering disebut dengan istilah lain sebagai Good Public Governance pada dasarnya
merupakan bentuk dari New Public Management yaitu terminologi yang pernah digunakan
di Inggris pada masa pemerintahan Margareth Thatcher ketika beliau ingin melakukan
reformasi terhadap birokrasi di negeri tersebut.
II.4 KEBIJAKAN PENTING DI LINGKUNGAN BUMN
Setelah pemerintahan orde baru berakhir sebagai imbas dari krisis multidimensi yang
menimpa Indonesia pada pertengahan tahun 1998, wacana tentang tata kelola (corporate
governance) yang baik dan benar pun mulai bergema dalam khasanah pemerintahan
maupun bisnis. Hal ini sejalan dengan pendapat yang berkembang saat itu bahwa
pemerintahan orde baru dan sistem yang berlangsung ketika itu sarat dengan korupsi,
49
kolusi, dan, nepotisme yang jelas-jelas menjerumuskan Indonesia ke dalam krisis yang
berkepanjangan. BUMN sebagai perusahaan negara juga tidak terlepas dari praktek tata
kelola yang tidak tepat pada era orde baru tersebut. Sebagai contoh, kasus penyediaan
pasokan listrik yang sering tidak direalisasikan dengan baik oleh PLN, walaupun anggaran
untuk hal itu telah digulirkan. Begitu juga upaya melakukan mark up harga oleh Pertamina
yang mengakibatkan biaya investasi Pertamina tinggi. Di lain sisi, penguasa pada saat itu
juga mengeluarkan Keppres yang mengharuskan BUMN untuk menyisihkan sebagian dari
keuntungannya untuk disetorkan kepada yayasan yang tidak lain dimiliki secara pribadi
oleh penguasa saat itu. Sebagian contoh kecil di atas dapat memberikan gambaran betapa
buruknya pengelolaan BUMN saat itu. Padahal , keberlangsungan BUMN selama itu tidak
lain disokong oleh sejumlah besar penyertaan modal pemerintah yang jelas-jelas
bersumber dari keuangan negara.
Kini, setelah reformasi bergaung di Indonesia, isu tata kelola yang baik dan benar pun
berkembang menjadi wacana krusial yang dituntut untuk diimplementasikan di semua lini
termasuk di lingkungan BUMN. Oleh karena itu tidak berlebihan jika pada tahun 2002
yang lalu pemerintah melalui Kementerian BUMN merumuskan paket kebijakan yang
dinilai penting untuk diterapkan di lingkungan BUMN.
Adapun paket kebijakan yang diterbitkan oleh Kementerian BUMN tersebut
merupakan bagian dari ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang berupaya
untuk memacu daya saing dan kinerja BUMN disamping mencegah berbagai tindakan
oportunis terhadap operasionalisasi BUMN yang pada akhirnya dapat merugikan negara
sebagai salah satu stakeholder. Pembahasan akan hal ini akan dibagi ke dalam dua
kelompok besar kebijakan yang selanjutnya akan dijabarkan satu demi satu. Uraian berikut
ini adalah penjelasan atas dua kebijakan yang telah disosialisasikan di lingkungan BUMN
selama ini.
50
15
Sebagai contoh, pernah diterbitkan SK Menteri Keuangan No.826/KMK.013/1992 tentang penilaian kinerja untuk
menentukan tingkat kesehatan BUMN.
16
Lampiran Keputusan Menteri BUMN No. 100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat kesehatan BUMN yang diakses
dari (http://www.bumn.go.id).
51
menetapkan bobot penilaian sebesar 70% untuk aspek keuangan dan masing-masing 15%
untuk aspek operasional dan administasi.
Adapun indikator yang digunakan oleh Kementerian BUMN dalam menilai tingkat
kesehatan keuangan BUMN adalah:
1. Imbalan kepada pemegang saham (ROE)
2. Imbalan Investasi
3. Rasio Kas
4. Rasio Lancar
5. Collection Periods
6. Perputaran Persediaan
7. Perputaran Total Aset
8. Rasio Modal sendiri terhadap Total Aktiva
Untuk setiap indikator yang dinilai diberikan skor. Pada akhirnya skor dari kedelapan
indikator inilah yang dijumlahkan untuk mendapatkan total skor keuangan suatu BUMN.
II.4.2 Kebijakan Penerapan Good Corporate Governance Di Lingkungan BUMN
Setelah kementerian BUMN secara mandiri mengadakan penilaian terhadap BUMN
yang dibinanya, maka pada tahun yang sama, kementerian ini juga memperkenalkan
konsep Good Corporate Governance (GCG) di lingkungan BUMN melalui Keputusan
Menteri Negara BUMN Nomor 117 Tahun 2002 (KEP-117/M-MBU/2002) Tentang
Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).17 Adapun yang dimaksud dengan corporate governance dalam Keputusan
tersebut seperti yang tertuang pada pasal 1 butir a adalah suatu proses dan struktur yang
digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas
suatu perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan
17
Sebenarnya, isu Corporate Governance sendiri secara umum telah diperkenalkan pemerintah membentuk Komite
Nasional Mengenai Kebijakan Corporate Governance pada tahun 1999 silam.
52
tetap
memperhatikan
kepentingan
stakeholder
lainnya,
berlandaskan
peraturan
perundangan dan nilai-nilai etika. Stakehoder yang dimaksud adalah pihak-pihak yang
memiliki kepentingan dengan BUMN, baik langsung maupun tidak langsung yaitu
pemegang saham/ pemilik modal, komisaris/ dewan pengawas, direksi dan karyawan serta
pemerintah, kreditur, dan pihak berkepentingan lainnya. (pasal 1 butir d). Seperti yang
dikemukakan sebelumnya, banyak lembaga memiliki berbagai pendapat tentang apa saja
yang seharusnya menjadi karakteristik good governance. Hal ini juga tampak dalam
penjabaran prinsip-prinsip GCG yang ditetapkan oleh kementerian BUMN (pasal 3).
Adapun prinsip-prinsip GCG tersebut adalah sebagai berikut:
a. transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan
keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
b. kemandirian, yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/ tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan perturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
c. akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Organ18
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
d. pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
e. kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak
stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pada akhirnya, dengan penerapan good corporate governance ini diharapkan
tercapainya tujuan-tujuan sebagai berikut (pasal 4):
18
Organ adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris dan Direksi untuk Perusahaan Perseroan
(PERSERO) dan Pemilik Modal, Dewan Pengawas dan Direksi untuk Perusahaan Umum (PERUM), dan Perusahaan
Jawatan (PERJAN).
53
Profitabilitas
Standar
Operasional
1. Rasio Aktivitas
2. Rasio Struktur Biaya
Kebijaksanaan
Manajemen
3. Rasio Likuiditas
4. Rasio Solvabilitas
Sumber : Buku Strategi Pembiayaan dan Regrouping BUMN, Moh. Arsyad Anwar,dkk.
54
19
Seperti diuraikan pada tulisan berjudul State Versus Private Ownership oleh Andrei Shleifer (The Journal of Economic
Perspectives, Vol. 12, No.4 Autumn 1998), pp 133-150. Literatur ini diperoleh dari (http:/www.jstor.org/), diakses pada
tanggal 8 Maret 2006.
55
20
Pandu Patriadi, Studi Banding Kebijakan Privatisasi BUMN di Beberapa Negara, Kajian Ekonomi Keuangan Vol.7
Hal ini seperti dipaparkan pada SME Technical Working Paper Series berjudul Reforming State Owned Enterprises
yang diperoleh dari United Nations Industrial Development Organization, hal. 10.
21
56
Pembangunan infrastruktur
efisiensi. Namun sebenarnya ketika konsep SOEs berkembang di negara maju pada tahun
1950an-1980an terlihat bahwa sejumlah SOEs memiliki prestasi yang baik. Hanya saja
perlu dipahami bahwa tidak semua negara sanggup mengembangkan SOEs yang
dimilikinya termasuk sejumlah negara berkembang yang mencoba konsep ini.
Berikut ini adalah gambaran umum kinerja SOE di sejumlah kawasan/negara :
Tabel 2-2
Kinerja BUMN (SOEs) secara Umum di Berbagai Negara dan Kawasan
Kawasan / Negara
1. Afrika Utara dan Subsahara
Hasil Penelitian
Berdasarkan survey di kawasan tersebut pada tahun 1934
terhadap 48 perusahaan negara memperlihatkan bahwa hanya
12 perusahaan saja yang memiliki net profit margin di atas
4%.
2. Afrika Barat
Survei yang melibatkan 12 negara di Afrika Barat tersebut
menunjukkan 62 % merugi dan 36 % mengalami ekuitas
negatif.
3. Philipina
Secara umum, tampak bahwa rata-rata ROE dan ROA dari
sejumlah SOE sebesar 2,9 % dan 3,71 %. Angka persentase
tersebut berada 10 % di bawah rata-rata ROE dari 1000
perusahaan teratas selama kurun waktu 1984-1987.
4. Ghana
Sekitar 43 % dari jumlah SOE dalam perekonomian negara
tersebut menderita kerugian tiap tahunnya selama kurun
waktu 1979-1983.
5. Trinidad dan Tobago
SOEs yang bergerak di luar bidang usaha pertambangan
minyak, mengalami kerugian mencapai $ 700 juta selama
tahun 1985.
6. Thailand
Pada tahun 1989, sektor usaha yang dikelola swasta mencapai
keuntungan sebelum pajak sebesar 45,9 juta bant($ 1,8
milyar). Hanya lima perusahaan negara mengalami kerugian.
7. Republik Korea
Kinerja SOE. Di Korea terbilang lebih baik dari negaranegara lain. Namun demikian persentase kontribusinya masih
kecil dibanding kontribusi keseluruhan dunia industri.
8. Indonesia
Secara keseluruhan ROA dari sejumlah SOE berada di bawah
2,5 % selama kurun waktu 1983-1987 dan 3,5 % pada tahun
1989. Selain itu sekitar 70 % SOE tergolong tidak sehat
secara finansial.
Sumber : SME Technical Working Paper Series, UNIDO
57
Canadian Wheat Board di Kanada yang sukses menjadi produsen gandum terbesar di
dunia.
BUMN (SOEs) selalu digambarkan dalam posisi yang aman selama suatu negara masih
berdiri. Adapun pendirian BUMN (SOEs) di sejumlah negara dapat ditelaah dari
dimensi/aspek internasional.
22
berdimensi internasional :
a.
22
Raymond Vernon, The International Aspect of State Owned Enterprises, Journal of International Business Studies,
Vol. 10, No.3 (Winter 1979), pp. 7-15. Literatur ini diperoleh dari (http:/www.jstor.org/), diakses pada tanggal 11
September 2006, hal 8-9.
58
Hal ini menempatkan BUMN (SOEs) sebagai satu lembaga ekonomi yang dapat
digunakan sebagai alat untuk menarik pajak. Realita ini tampak dalam kegiatan monopoli
dan monopsoni yang dilakukan BUMN (SOEs), Kasus yang sangat khas untuk
mengilustrasikan motif ini adalah penjualan pada tingkat harga yang tinggi (monopoly
prices) pada kasus tembakau asal Perancis dan Italia. Begitu juga alkohol serta pembelian
pada harga terendah (monopsony prices) pada produk Coklat di Ghana.
Fungsi BUMN (SOEs) sebagai fiscal agent juga tampak ketika BUMN (SOEs) berada
dalam situasi untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi pada kasus produk pertanian
(yang cenderung memiliki harga yang tidak stabil). Pada kondisi tersebut, BUMN (SOEs)
menerapkan tingkat pajak yang tinggi di masa-masa yang menguntungkan dan membayar
subsidi tahun-tahun yang buruk. Hal lain yang perlu dipahami adalah seperti halnya
perusahaan-perusahaan swasta lainnya, BUMN (SOEs) juga berkewajiban menyusun
laporan keuangan. Adapun laporan keuangan BUMN (SOEs) perlu disimak lebih cermat
karena perolehan laba yang besar tidak selamanya menunjukkan kinerja yang baik. Fakta
bahwa BUMN (SOEs) meraih laba yang tinggi terkadang hanya menggambarkan
kemampuan pemerintah menarik pajak yang diwajibkan dari perolehan uang dalam
kegiatan monopoli BUMN (SOEs)
b.
secara mandiri tanpa dominasi investor asing. Selain itu pendirian BUMN (SOEs) juga
merupakan suatu langkah yang harus diambil pemerintah ketika pihak swasta tidak mampu
mendirikan industri tersebut.
c.
59
Seperti telah diuraikan sebelumnya, BUMN (SOEs) juga dikontrol dalam melakukan
aktivitasnya, terutama ketika BUMN (SOEs) terlibat dalam masalah perdagangan
internasional baik itu ekspor maupun impor. Hal inilah yang terjadi ketika The Export
Marketing Board pada beberapa negara seperti Ghana membatasi ekspor produk Coklat
dan Kolombia untuk produk kopi.
d.
BUMN (SOEs) dapat menolong suatu negara untuk memastikan bahwa transaksi-transaksi
atau perjanjian yang disepakati bersama dengan negara lain dapat terlaksana dengan baik.
e.
BUMN (SOEs) sebagai agen dari kebijakan industri (agen of industial policy)
BUMN (SOEs) yang dimiliki suatu negara dituntut untuk mampu memberikan solusi
60
Adapun BUMN di Malaysia memiliki posisi yang independen dan diaudit oleh auditor
independen tetapi tetap dianggap sebagai wajib pajak. Beberapa contoh BUMN Malaysia
yang tetap eksis hingga kini adalah MISC, HICOM, Tenaga, Telekom, PLUS, Kelang
PORT, dan TV3.
Salah satu BUMN Malaysia yang tergolong sukses adalah Petronas. Jika merujuk
pada tujuan utama, pembentukan BUMN ini adalah untuk mendayagunakan sumber daya
alam minyak dan gas bumi yang ada di Malaysia dalam rangka menolong pemerintah.
Selain itu pendirian BUMN ini juga ingin menerapkan apa yang disebut sebagai New
Economic Policy, yaitu program sosial ekonomi dirancang untuk menekan kesenjangan
antaretnis khususnya dalam bidang sosial ekonomi.
Adapun isu yang menarik dari pengelolaan Petronas adalah sikap pemerintah yang
tidak membebani Petronas dengan kewajibannya dalam pelayanan sosial (civil service
rules and regulation). Petronas juga independen dari intervensi pemerintah dan diberikan
kesempatan untuk memanfaatkan laba yang diperolehnya untuk meningkatkan
investasinya. Kini, perusahaan yang berdiri sejak 17 Agustus 1974 ini telah menjadi salah
satu perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia yang memiliki wilayah operasi di 32
negara dan mempekerjakan sekitar 23.000 orang.
Kunci keberhasilan Petronas yang utama terletak pada independensi Petronas dan
sistem pengelolaan perusahaan yang mengacu pada Tata Kelola yang Baik (Good
Corporate Governance). Selain itu sikap pemerintah yang memperlakukan Petronas
sebagai entitas bisnis membuat BUMN ini kompetitif di bidangnya.
II.8.2 BUMN di Singapura
Perkembangan BUMN di Singapura terbilang cukup baik. Beberapa BUMN yang
dimiliki negara ini bahkan telah mampu bersaing di pasar internasional seperti: Singapore
61
24
Uraian ini diperoleh dari tulisan dari Mr. Lim Toon, Chief Operating Officer Singtel Group, Singapura yang berjudul
Privatisasi dan Regionalisasi: Perjalanan Singapore Telecom dan disajikan kembali dalam buku BUMN Indonesia : Isu,
Kebijakan, dan Strategi, 2005, hal 145-148 dengan Riant Nugroho D. dan Ricky Siahaan sebagai penyunting.
62
Penjelasan mengenai BUMN di Kanada dan beberapa contohnya diperoleh dari Wikipedia.
Informasi ini diperoleh dari (http://id.wikipedia.org/wiki/A%C3%A9rospatiale) dan diakses pada 7 November 2006.
63
balistiques (SEREB). Adapun jenis produk yang diciptakan oleh Aerospatiale diantaranya:
Airbus transport, Aloette (helikopter), Arabsat (satelit), Ariane (roket), dan Exocet (misil).
II 8.5 BUMN di Selandia Baru
BUMN di Selandia Baru pada dahulunya adalah sejumlah besar departemen
pemerintah yang dikorporatisasi dan terdaftar dalam daftar 1 dan 2 dari State Owned
Enterprise Act 1986.27 New Zealand Post Limited, Meteorological Service of New Zealand
Limited ( MetService ), Airways New Zealand ( instansi penyedia jasa navigasi dan
pengawasan udara ), Transpower New Zealand Limited adalah beberapa SOE terkemuka di
New Zealand.
II.8.6 BUMN di Amerika Serikat
BUMN di Amerika Serikat yang hingga kini masih dipertahankan hingga kini adalah
Amtrak, Tennese Valey Authority, United States Postal Service, dan Corporation for
Public Broadcasting. Adapun Amtrak adalah perusahaan yang bergerak dalam jasa
pelayanan kereta api. Sedangkan Tennese Valley Authority adalah BUMN yang bergerak
di bidang penyediaan listrik bagi masyarakat Amerika Serikat terutama yang tinggal di
pedesaan/ pemukiman menengah ke bawah.
II.9 PENELITIAN MENGENAI KINERJA BUMN (SOEs)
Fenomena SOEs ternyata cukup menarik perhatian kalangan akademisi. Hal ini
terbukti dari sejumlah riset yang pernah diadakan di berbagai negara dan kawasan. Berikut
ini adalah beberapa penelitian yang pernah dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah:
1. Penelitian atas kinerja keuangan dan operasional dari perusahaan pemerintah yang
menerapkan privatisasi. Penelitian ini dilakukan oleh William L. Megginson,
Robert C. Nash, dan Matthias Van Randenborgh pada tahun 1994. Adapun
penelitian tersebut menggunakan metodologi statistik yaitu Wilcoxon signed-rank
27
Penjelasan tentang BUMN dan contohnya di Selandia Baru diperoleh dari (http://www.ccmau.govt.nz/soes.html) dan
diakses pada tanggal 7 November 2006.
64
test yang berupaya membandingkan kinerja SOE sebelum dan setelah diprivatisasi.
Perbandingan ini dilakukan setelah beberapa proxy atas variabel ditentukan.
Adapun beberapa variabel itu adalah: profitabilitas, efisiensi, investasi, output,
jumlah tenaga kerja, tingkat utang dan dividen. Hasil penelitian tersebut
menjelaskan bahwa terdapat kemajuan kinerja yang signifikan pada sejumlah SOE
di negara-negara berkembang dan maju yang melaksanakan privatisasi.
2. Penelitian serupa yang mengacu pada metodologi yang dikembangkan oleh
Megginson, Nash, Randenborgh (MNR) juga dilakukan oleh Narjess Boubakri dan
Jean-Claude Cosset pada tahun 1998. Satu hal yang membedakan penelitian ini
adalah bahwa data yang digunakan bersumber dari negara-negara berkembang saja.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sejumlah SOE yang diprivatisasi
mengalami peningkatan kinerja.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Ravi Ramamurti secara khusus ingin menelaah
evaluasi kinerja SOE di India terutama SOE di sektor manufaktur selama periode
1982-1986. Pada penelitian ini sejumlah kuisioner diberikan kepada sejumlah
responden yaitu yang mewakili kalangan: birokrat senior di bidang keuangan dan
perencanaan, birokrat senior di kementerian yang menangani pengawasan SOE,
wartawan yang secara reguler menulis tentang SOEs di India, dan anggota
parlemen India. Kuisioner tersebut berisi 8 kriteria penting yang berhubungan
dengan kinerja SOE. Adapun 8 kriteria tersebut meliputi: penyerapan tenaga kerja,
ekspor, pertumbuhan tingkat penjualan, subtitusi impor, commercial profitability,
quality of industrial relation, kemampuan/ penguasaan teknologi, dan tren
keuntungan. Setiap responden diminta memberikan penilaian terhadap SOE yang
diketahuinya dengan baik. Berdasarkan pendekatan statistik dan scorring, data
65
66
8. Penelitian atas kinerja PT PLN dan anak perusahaannya sebelum dan setelah
terjadinya kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) pernah diangkat oleh Ribut Nurul
Tri W. dalam skripsinya berjudul Pengaruh kenaikan harga BBM dan TDL Tahun
2003 Terhadap Kinerja Keuangan PT PLN Tahun 2004 Dibandingkan dengan
Kinerja Keuangan PT PLN Tahun 2002, untuk meraih gelar sarjana dari Sekolah
Tinggi Ilmu Statistik Jakarta pada tahun 2006 lalu.
9. Penelitian berjudul Analisa Penerapan GCG pada BUMN: Studi Kasus pada PT
Kawasan Berikat Nusantara juga pernah dilakukan oleh mahasiswi FEUI Nurlufti
Tanjung Sari melalui skripsinya pada tahun 2007.
II.10 INEFISIENSI SEKTOR PUBLIK
Berdasarkan beberapa argumen di atas, tampak bahwa masalah inefisiensi adalah
salah satu faktor yang turut menurunkan kinerja BUMN (SOEs). Jika ditelaah lebih jauh,
ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya inefisiensi di sektor publik. Secara garis
besar, inefisiensi (dalam hal ini BUMN/ SOEs) bersumber dari dua alasan pokok yaitu:
organizational differences dan individual differences28.
Berikut adalah penjelasan yang dapat diberikan mengenai sumber inefisiensi tersebut:
1. Organizational Differences (perbedaan organisasional) yang mencakup :
-
dimiliki
negara
menyebabkan
BUMN
(SOEs)
tidak
dapat
dibangkrutkan. Masalah soft budget constraint ini terjadi karena sejak awal
BUMN (SOEs) tidak sepenuhnya dituntut untuk mencari keuntungan,
sehingga usaha memaksimalkan produktivitas terbilang rendah.
28
67
Absence of incentives pay, yaitu kondisi dalam perusahaan publik yang sulit
untuk menerapakan sistem insentif baik itu yang bersifat memberikan
reward (bonus pada pegawai yang berprestasi) maupun punishment
(hukuman bagi yang tidak produktif). Masalah ini muncul karena sebagai
perusahaan negara, BUMN (SOEs) tidak dimungkinkan untuk bangkrut
sehingga karyawan selalu merasa aman dan terbebas dari ancaman PHK
dan tekanan untuk mencapai target perusahaan. Keseluruhan pengelolaan
yang bersifat demikian menyebakan munculnya istilah bureaucratic
behavior yang artinya pengelolaan BUMN (SOEs) lebih didasari oleh
tujuan-tujuan politik. Sikap ini pula yang menyebabkan manajemen BUMN
(SOEs) menjadi besar dan cenderung tidak efisien.
68