Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
MenurutPrice & Wilson, 1995 HIV (Human immunodeficiency virus)
adalah virus penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV
yang dulu disebut sebagai HTLV-III (Human T cell lympothropic virus Tipe III)
atau LAV (Lymphadenopathy Virus), adalah virus sitopatik dari famili
retrovirus. Hal ini menunjukkan bahwa virus ini membawa materi genetiknya
dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat
(DNA).
Menurut Muma et al (1997) Virus ini memiliki kemampuan unik untuk
mentransfer

informasi

genetik

mereka

dari

RNA ke

DNA dengan

menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase, yang merupakan


kebalikan dari proses transkripsi (dari DNA ke RNA) dan translasi (dari RNA
ke protein) pada umumnya.
Menurut Samsuridjal Djauzi (2004). AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) adalah sekumpulan gejala penyakit karena menurunnya sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV Centers for Disease
Control (CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS ditujukan pada
orang yang mengalami infeksi opportunistik, dimana orang tersebut
mengalami penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau
kurang) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. Kondisi lain yang sering
digambarkan meliputi kondisi demensia progresif, wasting syndrome, atau
sarkoma kaposi (pada pasien berusia lebih dari 60 tahun), kanker-kanker
khusus lainnya (yaitu kanker serviks invasif) atau diseminasi dari penyakit
yang umumnya mengalami lokalisasi (misalnya, TB) (Doengoes, 2000).
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian HIV/AIDS serta memahami bahayanya.
2. Mengetahui dan memahami patofisiologi virus HIV.

3. Mengetahui dan mendeskripsikan manifestasi klinik dan pemeriksaan


penunjang dalam menangani penularan virus HIV/AIDS
4. Meningkatakan kemampuan tentang konsep dasar asuhan
keperawatan pada pasien HIV/AIDS.
5. Memberi gambaran pelakasanan asuhan keperawatan pada pasien
dengan HIV/AIDS.
6. Agar makalah ini dapat dipergunakan dalam proses keperawatan.

C. Ruang Lingkup Penulisan


Dalam penulisan makalah ini kelompok hanya membahas tentang Konsep
dasar penyakit dan Asuhan Keperawatan dengan pasien HIV/AIDS.
D. Metode penulisan
Metode penulisan yang di gunakan dalam makalah ini yaitu dengan
menggunakan metode studi kepustakaan dan bahan dari internet yaitu
degnan mempelajari dan membaca literature yang berhubungan dengan
makalah ini.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dari penulisan makalah ini adalah

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Defenisi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala
dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
manusia akibat infeksi virus HIV. Pengertian AIDS menurut beberapa ahli antara
lain:

1. AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyerang seseorang dimana


mengalami penurunan sistem imun yang mendasar ( sel T berjumlah 200
atau kurang )dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. (Doenges, 1999)
2. AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil
akhir dari infeksi oleh HIV. (Sylvia, 2005)
3. AIDS singkatan dari Acquired Immuno Defeciency Syndrome.Acquired
berarti diperoleh karena orang hanya menderita bila terinfeksi HIV dari orang
lain yang sudah terinfeksi. Immuno berarti sistem kekebalan tubuh,
Defeciency berarti kekurangan yang menyebabkan rusaknya sistem
kekebalan tubuh dan Syndrome berarti kumpulan gejala atau tanda yang
sering muncul bersama tetapi mungkin disebabkan oleh satu penyakit atau
mungkin juga tidak yang sebelum penyebabnya infeksi HIV ditemukan. Jadi
AIDS adalah kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan system
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV (Gallant. J
2010).

B. Etiologi
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III)
atau virus limfadenapati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari
famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi
asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV -1
dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama
AIDS diseluruh dunia.

Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek
siklus hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan
yaitu bahwa protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya
diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas (daya tular)
dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan
meningkatkan transkripsi virus. HIV-2, yang pertama kali diketahui dalam
serum dari para perempuan Afrika barat (warga senegal) pada tahun 1985,
menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan
dengan HIV-1 (Sylvia, 2005)
C. Cara Penularan
AIDS dikelompokkan dalam Penyakit Menular Seksual (PMS) karena
paling banyak ditularkan melalui hubungan seksual (90%).
Cairan tubuh yang paling banyak mengandung HIV adalam semen (air
mani) dan cairan vagina/serviks serta darah, cairan mani yang keluar melalui
penis pada laki-laki dan vagina pada perempuan sebagai perantara yang
paling tinggi menularkan penyakit HIV karena bagian penis dan vagina
memiliki struktur lapisan epitel skuamukosa tipis yang mudah ditembusi oleh
kuman HIV sampai ke dalam jaringan ikat yang kaya pembuluh darah dan
darah sehingga penularan utama HIV adalah melalui 3 jalur yang melibatkan
cairan tubuh tersebut yaitu :
a. Transseksual atau jalur hubungan seksual (Homoseksual/ heteroseksual).
b. Transhorisontal atau jalur pemindahan darah atau produk darah seperti :
transfusi darah, melalui alat suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dokter
gigi, alat cukur dan melukai luka halus di kulit, jalur transplantasi alat tubuh.
c. Transvertikal atau jalur transplasental : janin dalam kandungan ibu hamil
denga HIV positif akan tertular (Infeksi transplasental) dan infeksi perinatal

melalui ASI atau virus HIV dapat ditemukan dalam air liur, air mata tetapi
penularan melalui bahan ini belum terbukti kebenarannya karena jumlah
HIV-nya sangat sedikit. HIV juga tidak menular lewat jabat tangan, bercium
pipi, bersin/batuk dekat penderita AIDS, berenag bersama dalam satu
kolam renang, hidup serumah dengan pengidap HIV tanpa hubungan
seksual, hewan seperti nyamuk, kutuk busuk dan serangga lainnya belum
terbukti dapat menularkan HIV.
D. Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50%
orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun
pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS.
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat,
virus HIVmenyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi
infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang
disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi.

Di

dalam

sel,

virus

berkembangbiak

dan

pada

akhirnya

menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus
yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang
disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker
atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia,
terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut
sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan

dan
makrofag

mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B,


dan

limfosit

sitotoksik),

yang

kesemuanya

membantu

menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan


hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh
dalam melindungi dirinya
terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T
penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang
sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa
bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%.
Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain
karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh
berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar
yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan
penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang
tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam
menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun
sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika
kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan
terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B
(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi
antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV
dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu

dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang
bersamaan,
berkurangnya

penghancuran
kemampuan

limfosit
sistem

CD4+
kekebalan

oleh

virus

tubuh

menyebabkan

dalam

mengenali

organisme dan sasaran baru yang harus diserang.


Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6
bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut periode
jendela (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang
selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya
terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun
kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan
sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi
AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10
tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri : 2012)
E. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit AIDS sangat bervariasi. Berikut ini gejala yang ditemui
pada penderita AIDS, panas lebih dari 1 bulan,Batuk-batuk, Sariawan dan nyeri
menelan,Badan menjadikurus sekali,Diare ,Sesak napas, Pembesaran kelenjar
getah bening,Kesadaran menurun, Penurunan ketajaman penglihatan, Bercak
ungu kehitaman di kulit.
Gejala penyakit AIDS tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena
dapat merupakan gejala penyakit lain yang banyak terdapat di Indonesia,
misalnya gejala panas dapat disebabkan penyakit tipus atau tuberkulosis paru.
Bila terdapat beberapa gejala bersama-sama pada seseorang dan ia
mempunyai perilaku atau riwayat perilaku yang mudah tertular AIDS, maka
dianjurkan ia tes darah HIV.

Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 2
minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun
simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari,
penurunan

berat

badan,

diare,

neuropati,

keletihan

ruam

kulit,

limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.Dan disaat fase infeksi


Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari
pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang
paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang
disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis,
cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal.
F. Pathway
Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus dan gejala klinis
melalui 3 fase.
1. Fase infeksi akut (Acute Retroviral Syndrome)
Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang
menghasilkan virus-virus baru (virion) jumlah berjuta-juta virion. Begitu
banyaknya virion tersebut memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan
gejala yang mirip sindrom semacam flu. Diperkirakan bahwa sekitar 50
sampai 70% orang yang terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi akut
(ARS) selama 3 sampai 8 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala
umum yaitu demam, faringitis, limfadenopati, mialgia, malaise, nyeri kepala
diare dengan penurunan berat badan. HIV juga sering menimbulkan kelainan
pada sistem saraf. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T (CD4) yang
dramatis yang kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi

respon imun. Jumlah limfosit T-CD4 pada fase ini di atas 500 sel/mm 3 dan
kemudian akan mengalami penurunan setelah 8 minggu terinfeksi HIV.
2. Fase infeksi laten
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus
dalam Sel Dendritik Folikuler (SDF) dipusat perminativum kelenjar limfe
menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki
fase laten (tersembunyi). Pada fase ini jarang ditemukan virion di plasma
sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus
terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe sehingga
penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya
sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500
sampai 200 sel/mm3. Meskipun telah terjadi sero positif individu umumnya
belum menunjukan gejala klinis (asintomatis) fase ini berlangsung sekitar
rata-rata 8-10 tahun (dapat juga 5-10 tahun).
3. Fase infeksi kronis
Selama berlangsungnya fase ini, didalam kelenjar limfe terus terjadi
replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya
virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun atau bahkan
hilang dan virus dicurahkan kedalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan
jumlah virion secara berlebihan didalam sirkulasi sitemik respon imun tidak
mampu meredam jumlah virion yang berkebihan tersebut. Limfosit semakin
tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan
limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin
rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder. Perjalanan
penyakit semakin progesif yang mendorong ke arah AIDS, infeksi sekunder

yang sering menyertai adalah penomonia, TBC, sepsi, diare, infeksi virus
herpes, infeksi jamur kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker
yaitu kanker kelenjar getah bening. (Nasruddin, 2007)
G. Komplikasi
Adapun komplikasi kien dengan HIV/AIDS (Arif Mansjoer, 2000 ) antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Pneumonia pneumocystis (PCP)


Tuberculosis (TBC)
Esofagitis
Diare
Toksoplasmositis
Leukoensefalopati multifocal prigesif
Sarcoma Kaposi
Kanker getah bening
Kanker leher rahim (pada wanita yang terkena HIV)

H. Pencegahan
Dengan mengetahui cara penularan HIV/AIDS dan sampai saat ini belum
ada obat yang mampu memusnahkan HIV/AIDS maka lebih mudah melakukan
pencegahannya.
1. Prinsip ABCDE yaitu :
A = Abstinence (Puasa Sesk, terutama bagi yang belum menikah)
B = Befaithful (Setia hanya pada satu pasangan atau menghindari
berganti- ganti pasangan)
C = use Condom (Gunakan kondom selalu bila sudah tidak mampu
menahan seks)
D = Drugs No (Jangan gunakan narkoba)
E = sterilization of Equipment (Selalu gunakan alat suntik steri)
2. Voluntary Conseling Testing (VCT)
VCT merupakan satu pembinaan dua arah atau dialog yang
berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk
mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi serta
dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga dan lingkungannya.

VTC mempunyai tujuan sebagai :


a. Upaya pencegahan HIV/AIDS
b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi atau
pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang
terinfeksi HIV.
c. Upaya mengembangkan perubahan perilaku, sehingga secara dini
mangarahakan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan
termasuk akses terapi antiretroviral (ARV), serta membantu mengurangi
stigma dalam masyarakat.
3. Universal Precautions (UPI)
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan
oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi
serta mencegah penularan HIV/AIDS bagi petugas kesehatan dan pasien.
UPI perlu diterapkan dengan tujuan untuk :
a. Mengendalikan infeksi secara konsisten.
b. Mamastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak di diagnosis
atau terlihat seperti beresiko.
c. Mengurangi resiko bagi petugas kesehatan dan pasien.
d. Asumsi bahwa resiko atau infeksi berbahaya.
Upaya perlindungan dapat dilakukan melalui :
a. Cuci tangan
b. Alat pelindung
c. Pemakaian antiseptik
d. Dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi atau disterilisasi atau
desinfektan tingkat tinggi untuk peralatan bedah, sarung tangan dan
benda lain.
I. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic untuk penderita AIDS (Arif Mansjoer, 2000) adalah

1. Lakukan anamnesi gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait


dengan AIDS.
2. Telusuri perilaku berisiko yang memungkinkan penularan.
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker
terkait. Jangan lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut, kulit, dan
funduskopi.
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosot total, antibodi HIV,
dan pemeriksaan Rontgen.
Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan
jumlah CD4, protein purufied derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi
sitomegalovirus, serologi PMS, hepatitis, dan pap smear.Sedangkan pada
pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila >500 maka pemeriksaan
diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500 maka diulang tiap 3-6
bulan, dan bila <200 diberikan profilaksi pneumonia pneumocystis carinii.
Pemberian profilaksi INH tidak tergantung pada jumlah CD 4.Perlu juga
dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat
antiretroviral dan memantau hasil pengobatan.
Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan CD 4 (mikroskop
fluoresensi atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD 4
= (1/3 x jumlah limfosit total)-8.

J. Penatalaksanaan Medis
1. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu
(Endah Istiqomah : 2009) :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan

menghilangkan,mengendalikan,

dan

pemulihan

infeksi

opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang


aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis
harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap

AIDS,

obat

ini

menghambat

replikasi

antiviral

Human

Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik


traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan

aktivitas

system

imundengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksivirus


pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
1) Didanosine
2) Ribavirin
3) Diedoxycytidine
4) Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan
keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang
pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
e Diet
Penatalaksanaan
adalahTujuan

Umum

diet

Diet

untuk

Penyakit

penderita
HIV/AIDS

AIDS

(UGI:2012)

adalah

memberikan

intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh aspek


dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV, mencapai dan

mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang diharapkan,


terutama jaringan otot (Lean Body Mass), Memenuhi kebutuhan energy
dan semua zat gizi, mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet,
olahraga dan relaksasi.
Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah Mengatasi gejala
diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah, meningkatkan kemampuan untuk
memusatkan perhatian, yang terlihat pada: pasien dapat membedakan
antara gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra pengecap
dan kesulitan menelan, mencapai dan mempertahankan berat badan
normal, mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama
jaringan otot), memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan
yang adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang
diberikan.
Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:
1) Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor
stres, aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi
sebanyak 13% untuk setiap kenaikan Suhu 1C. Protein tinggi, yaitu
1,1 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan sel tubuh
yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal
dan hati.
2) Lemak cukup, yaitu 10 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis
lemak disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi
lemak, digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain

Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan


bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
3) Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 kali (150%) Angka Kecukupan
Gizi yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat,
Kalsium,

Magnesium,

Seng

dan

Selenium.

Bila

perlu

dapat

ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus dihindari


karena dapat menekan kekebalan tubuh.
4) Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
5) Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan
gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan
diberikan bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan
dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental (semi thick fluid)
dan cair (thin fluid).
6) Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti
(natrium, kalium dan klorida).
Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu
kepada pasien dengan:
a) Infeksi HIV positif tanpa gejala.
b) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare,
kesulitan menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
c) Infeksi HIV dengan gangguan saraf.
d) Infeksi HIV dengan TBC.
e) Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu
secara oral, enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara
oral sebaiknya dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan

pemberian makanan enteral atau parental sebagai tambahan atau sebagai


makanan utama. Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.
a) Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala
panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare
akut, kesadaran menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi
makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu, diberikan selama
beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil setiap
3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam bentuk
sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan makanan sonde.
Makanan sonde dapat dibuat sendiri

atau menggunakan makanan

enteral komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi,
zat besi, tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy
dapat ditambahkan glukosa polimer (misalnya polyjoule).
b) Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap
akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang
setiap 3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan.
Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zatgizinya, diberikan makanan
enteral atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
c) Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau
kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak
atau biasadiberikandalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy,
protein, vitamin dan mineral. Apabila kemampuan makan melalui mulut
terbatas dan masih terjadi penurunan berat badan, maka dianjurkan

pemberian makanan sondesebagai makanan tambahan atau makanan


utama.

BAB III
PROSES KEPERAWATAN
ASUHAN

KEPERAWATAN

PADA

PASEIN

DENGAN

ACQUARED

IMMUNODEFISIENCY SYNDROM (AIDS)


A. PENGKAJIAN
1.Aktifitas /istirahat :
Mudah lelah, berkurangnya tolerangsi terhdp aktifitas, kelelahan yang
progresif
Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi terhdp aktifitas
2.Sirkulasi
Proses penyembuhan luka yang lambat, perdarahan lama bila cedera
takikardia, perubahan tekanan darah postural, volume nadi periver
menurun, pengisian kapiler memanjang
3.Integritas ego

Faktor stress yang berhubungan dgn kehilangan: dukungan keluarga,


hubungan dgn org lain, pengahsilan dan gaya hidup tertentu
Menguatirkan penampilan: alopesia, lesi , cacat, menurunnya berat
badan
Merasa tdk berdaya, putus asa, rsa bersalah, kehilangan control diri, dan
depresi
Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah, menangis,
kontak mata kurang
4.Eliminasi.
Diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih
Faeces encer disertai mucus atau darah
Nyerio tekan abdominal, lesi pada rectal, perubahan dlm jumlah warna
urin.
5.Makanan/cairan :

Tidak ada nafsu makan, mual, muntah


Penurunan BB yang cepat
Bising usus yang hiperaktif
Turgor kulit jelek, lesi pada rongga

mulut,

adanya

selaput

putih/perubahan warna mucosa mulut


Adanya gigi yang tanggal. Edema
6.Hygiene
Tidak dapat menyelesaikan ADL, memeperlihatkan penampilan yang tidak
rapi.
7.Neurosensorik

Pusing,sakit kepala.
Perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan sensasi
Kelemahanotot, tremor, penurunan visus.
Bebal,kesemutan pada ekstrimitas.
Gayaberjalan ataksia.

8.Nyeri/kenyamanan
Nyeri umum/local, sakit, rasaterbakar pada kaki.
Sakit kepala, nyeri dada pleuritis.
Pembengkakan pada sendi, nyeri kelenjar, nyeri tekan, penurunan ROM,
pincang.

9.Pernapasan
Terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk produktif/non,sesak pada
dada, takipnou, bunyi napas tambahan, sputum kuning.
10.Keamanan
Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, lauka lambat proses penyembuhan
Demam berulang
11.Seksualitas
Riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan
kondom yang tidak konsisten, lesi pd genitalia, keputihan.
12.Interaksi social
Isolasi, kesepian,, perubahan interaksi keluarga, aktifitas yang tdk
terorganisir

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru, melemahnya otot
pernafasan
2. Defisit volume cairan tubuh b/d diare berat, status hipermetabolik.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d hambatan asupan makanan
(muntah/mual), gangguan intestinal, hipermetabolik.

4. perubahan membran

mukosa oral

berhubungan

dengan defisit

imunologis dan timbulnya lesi penyebab patogen


5. Resiko terjadinya infeksi b/d depresi system imun, aktifitas yang tdk
terorganisir
6. Berduka disfungsional berhubungan dengan kematian atau perubahan
gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh perubahan
penampilan, dan ditinggal mati oleh orang yang berarti.
A. INTERVENSI
Dx. 1.Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru, melemahnya
otot pernafasan.
Tujuan: klien akan mmempertahankan pola nafas yang efektif
Tindakan:
1. auskultasi bunyi nafas tambahan
R/ bunyi nafas tambahan menunjukkan adanya infeksi jalan
nafas/peningkatan sekresi.
2. catat kemungkinan adanya sianosis, perubahan frekwensi nafas dan
penggunaan otot asesoris.
3. berikan posisi semi fowler
4. lakukan section bila terjadi retensi sekresi jalan nafas
5. Kaji frekwensi nafas, bunyi nafas, batuk dan karakterostik sputum.

Dx 2 : Defisit volume cairan tubuh b/d diare berat, status hipermetabolik.


Tujuan : Klien akan mempertahankan tingkat hidrasi yang adekuat
Tindakan :
1. Pantau tanda-tanda vital termasuk CVP bila terpasang.
R/ denyut nadi/HR meningkat, suhu tubuh menurun, TD menurun
menunjukkan adanya dehidrasi.
2. Catat peningkatan suhu dan lamanya, berikan kmpres hangat,
pertahankan pakaian tetap kering, kenyamanan suhu lingkungan.

R/ Suhu badan meningkat menunjukkan adanya hipermetabolisme.


3. Kaji turgor kulit, membrane mukosa dan rasa haus.
R/ Indikator tanda-tanda dehidrasi.
4. Timbang BB setiap hari
R/ penurunan BB menunjukkan pengurangan volume cairan tubuh.
5. Catat pemasukan cairan mll oral sedikitnya 2500 ml/hr.
R/ Mempertahankan keseimbangan, mengurangi rasa hausdan
melembabkan membrane mucosa.
Dx 3 : Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d hambatan asupan makanan
(muntah/mual), gangguan intestinal, hipermetabolik.
Tujuan: klien akan menunjukkan peningkatan BB ideal.
Tindakan:
1. auskultasi bising usus karena Hipermetabolisme saluran gastrointestinal
akan menurunkan tingkat penyerapan usus.
2. timbang BB setiap hari BB sebagai indicator kebutuhan nutrisi yang adekuat
3. hindari adanya stimulus leingkungan yang berlebihan.
4. berikan perawatan mulut, awasi tindakan pencegahan sekresi. Hindari
obat kumur yang mengandung alcohol.
R/ Pengeringan mucosa, lesi pada mulut dan bau mulut akan
menurunkan nafsu makan.
5. Berikan
makanan
yang

mudah

dicerna

dan

tdk

merangsangPeningkatan peristaltic menyebabkan penyerapan cairanpd


dinding usus akan kurang.
6. rencanakan makan bersama keluarga/org terdekat. Barikan makan
sesuai keinginannya (bila tdk ada kontraindidkasi)
7. sajikan makanan yang hangat dan berikan dalam volume sedikit
8. dorong klien untuk duduk saat makan.
9. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang pemberian makanan
R/ menyediakan diet erdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang
tepat
10. Kolaborasi berikan NPT (hiperalimentasi/intralipid) sesuai petujuk
R/ kadang-kadang nutrisi parenteral diperlukan apabila pemberian
makanan melalui oral tidak mungkin dilakukan
11. Berikan obat-obatan sesuai petujuk misalnya suplemen vitamin

R/ kekurangan vitamin terjadi akibat penurunan pemasukan makanan


dan

atau

kegagalan

mengunyah

dan

absorpsi

dalam

sistem

gastrointestinal.
Dx 4 : perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan defisit
imunologis dan

timbulnya lesi penyebab patogen.

Tujuan: untuk memperbaiki atau mempertahankan keutuhan mukosa oral


Tindakan:
1. Kaji membran mukosa/ catat seluruh lesi oral. Perthatikan keluhan
myeri, bengkak dan sulit mengunyah atau menelan.
2. Berikan peawatan oral setiap hari dan setelah makan, gunakan sikat
gigi halus, pasta gigi non abrasif, obat pencuci mulut non alkohol dan
pelembab bibir.
3. Cuci lesi mukosa oral dengan menggunakan hidrogen peroksida
4. Dorong pemasukan oral sedikitnya 2500 ml/hari
R/ mempertahankan dehidrasi, mencegah pengeringan rongga mulut.
5. Dorong pasien untuk tidak merokok
R/ rokok akan mengeringkan dan mengiritasi membran mukosa

Dx 5: Resiko terjadinya infeksi b/d depresi system imun, aktifitas yang tdk
terorganisir
Tujuan :
Klien akan menunjukkan tanpa adanya tanda-tanda infeksi (tdk ada demam,
sekresi tdk purulent)
Tindakan :
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dgn pasien
R/. Resiko cros infeksi dpt melalui prosedur yang dilakukan

2. Ciptakan lingkungan yang bersih dan ventilasi yang cukup


R/. Lingkungan yang kotor akan mneingkatkan pertumbuhan kuman
pathogen
3. Informasikan perlunya tindakan isolasi
R/. Penurunan daya tahan tubuh memudahkan berkembangbiaknya
kuman pathogen. Tindakan isolasi sebagai upaya menjauhkan dari
kontak langsung dgn kuman pathogen
4. Kaji tanda-tanda vital termasuk suhu badan.
R/. Peningkatan suhu badan menunjukkan adanya infeksi sekunder.
5. Observasi kulit/membrane mucosa kemungkinan adanya lesi/perubahan
warna
6. bersihkan kuku setiap hari
R/ Luka akibat garukan memudahkan timbul infeksi luka
7. Perhatikan adanya tanda-tanda adanya inflamasi
R/ Panas kemerahan pembengkakan merupakan tanda adanya infeksi
8. Awasi penggunaan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan
menggunakan wadah tersendiri.
R/ Tindakan prosuder dapat menyebabkan perlukaan pada permukaan
kulit.

Dx 6.: Berduka disfungsional berhubungan dengan kematian atau


perubahan gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi
tubuh perubahan penampilan, dan ditinggal mati oleh orang yang
berarti.

Tujuan: memahami maasalah HIV AIDS pada keluarganya.


Tindakan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.


Menegaskan tentang pentingnya pasien bagi orang lain.
Mendorong agar pasien mengungkapkan perasaan negatif.
Memberikan unpan balik terhadap perilakunya.
Memberikan rasa percaya dan keyakinan
Memberikan informasi yang diperlukan
Memberi dukungan moral, material (khusunya keluarga) dan spritual
Menghargai penilaian individu yang cocok terhadap kejadian

B. EVALUASI
1. Klien akan menunjukkan tanpa adanya tanda-tanda infeksi (tdk ada
demam, sekresi tdk purulent)
2. Klien akan mempertahankan tingkat hidrasi yang adekuat
3. Klien akan menunjukkan peningkatan BB ideal.
4. Klien akan mmempertahankan pola nafas yang efektif

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
HIV MenurutPrice & Wilson, 1995 HIV (Human immunodeficiency
virus) adalah virus penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
HIV yang dulu disebut sebagai HTLV-III (Human T cell lympothropic virus
Tipe III) atau LAV (Lymphadenopathy Virus), adalah virus sitopatik dari
famili retrovirus. Hal ini menunjukkan bahwa virus ini membawa materi
genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam
deoksiribonukleat (DNA). AIDS

Menurut

Samsuridjal

Djauzi

(2004).

AIDS

(Acquired

Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala penyakit karena


menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV
Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa
AIDS ditujukan pada orang yang mengalami infeksi opportunistik, dimana
orang tersebut mengalami penurunan sistem imun yang mendasar (sel T
berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV.
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu
HTL II, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency
Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang
ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T
B. SARAN
Buat Para remaja jangan mudah terpengaruh dengan zaman
sekarang karena kita harus jaga-jaga terhadap lingkungan ini. Jangan
pernah mencoba nikmatnya dunia terutama pergaulan bebas.
DAFTAR PUSTAKA

Heri.AsuhanKeperawatan

HIV/AIDS,(Online),(http://mydocumentku.blogspot.

com/2012/03/asuhan-keperawatan-hivaids.html, diakses 23 Mei 2015)


Istiqomah, Endah.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan HIV/AIDS,(Online) ,
(http://ndandahndutz.blogspot.com/2009/07/asuhan-keperawatan-pada-kliendengan.html, diakses 23 mei 2015)
Mansjoer, Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Sculapius
Marilyn , Doenges , dkk . 1999 . Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien . Jakarta : EGC

Price , Sylvia A dan Lorraine M.Wilson . 2005 . Patofissiologis Konsep Klinis


Proses Proses Penyakit . Jakarta : EGC

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB 1 PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG

B.

TUJUAN PENULISAN

C.

RUANG LINGKUP PENULISAN

D.

METODE PENULISAN

SISTEMATIKA PENULISAN.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
B.

Pengertian HIV/AIDS..6

C.

Patofisiologi........................................................6

D.

Manifestasi klinik...............................................8

E.

Etiologi.9

F.

Komplikasi10

G.

Penatalaksanaan................................................11

H.

Pencegahan AIDS..13

BAB III PROSES KEPERAWATAN


A.

Pengkajian..15

B.

Diagnose keperawatan16

C.

Intervensi..18

D.

Evaluasi.21

BAB IV PENUTUP
C.

KESIMPULAN

D.

SARAN

Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr, wb
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberi kekuatan dan
kesempatan kepada kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan
waktu yang di harapkan walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana, dimana
makalah ini membahas tentang salah satu penyakit Imunologi yaitu HIV/AIDS
dan kiranya makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan kita khususnya tentang
bagaimana dan apa bahaya dari penyakit HIV/AIDS.
Dengan adanya makalah ini,mudah-mudahan

dapat

membantu

meningkatkan minat baca dan belajar teman-teman.selain itu kami juga berharap
semua dapat mengetahui dan memahami tentang materi ini, karena akan
meningkatkan mutu individu kita

Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih sangat
minim,sehing saran dari dosen pengajar serta kritikan dari semua pihak masih
kami harapkan demi perbaikan laporan ini.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Palu, 23 Mei 2015


Kelompok VI

Anda mungkin juga menyukai