Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kapitis atau cedera kepala adalah serangkaian kejadian


patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan
setiap komponen yang ada, mulai dari kulit kepala ,tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian
besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena
mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran
untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan
pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.1
Trauma kapitis merupakan salah satu masalah kesehatan yang
dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan
yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit
kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal
ini disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai
komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk
tengkorak dan otak.2 Secara global insiden cedera kepala meningkat
dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan
bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu
lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di
dunia.3
Kejadian cedera kepala di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal
sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80%
dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang,
dan 10 % termasuk cedera kepala berat.

Trauma kapitis dikategorikan menjadi 3 berdasarkan nilai


Glaslow Coma Scale (GCS), yaitu cedera kepala ringan (CKR) apabila
skor GCS 13-15, cedera kepala sedang (CKS) dengan GCS 9-12, dan
cedera kepala berat (CKB) dengan GCS 8.4
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya
3% -5% yang memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara
konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila
penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Trauma Kapitis


Trauma kapitis adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.5 Trauma secara langsung dan tidak langsung mengakibatkan
luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan
kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologis.6

2.2.

Anatomi
1. Kulit Kepala (SCALP)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapis jaringan yang disingkat
sebagai SCALP, yaitu :
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika jaringan ikat berhubungan
langsung dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar Merupakan
tempat terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
5. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea
aponeurotika dari perikarnium dan merupakan tempat tertimbunnya
darah hematoma subgaleal.7 Galea aponeurotika suatu jaringan
fibrosa padat dapat digerakkan dengan bebas yang membantu
menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antara kulit dan galea
3

terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang


mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluhpembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan
laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang
subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika.
Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala
sampai jauh ke dalam tengkorak.8
2. Tulang Tengkorak

Gambar 1. Tulang Tengkorak


Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis
kranii. Khusus di regio temporal, kalvaria tipis tetapi dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
4

bagian dasar otak sat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa, yaitu fosa anterior, fosa
media dan fosa posterior. Fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa
media tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruan untuk
bagian bawah batang otak dan otak kecil (serebelum).7
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras
yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang terdiri
dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga.
Dinding luar disebut tabula interna. Tabula interna mengandung aluralur yang berisikan arteria meningea anterior, media dan posterior.
Apabila terjadi fraktur tulang tengkorak menyebabkan terobeknya
salah satu dari arteria-arteria ini, perdarahan arterial.8
3. Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3
lapisan :
1. Durameter
Dura adalah membran luar yang semitranslusen, dan tidak
elastis yang berfungsi untuk melindungi otak, menutupi sinussinus vena yang terdiri atas dura mater, lapisan endotelial tanpa
jaringan vaskular, dan membentuk poriestum tabula interna. Dura
melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak. Dura
mempunyai suplai darah yang kaya. Bagian tengah dan posterior
disuplai oleh arteria meningea media yang bercabang dari arteria
vertebralis dan karotis interna dan menyuplai fosa anterior. Arteria
meningea posterior yaitu cabang dari arteria oksipitalis,
menyuplai darah ke fosa posterior.8
Durameter merupakan selaput keras atas jaringan ikat
fibrosa melekat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium
namun tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya,
5

sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang subdural yang


terletak antara durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior digaris tengah disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan serta menyebabkan perdarahan subdural.
Durameter membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah
vena ke otak, yaitu : sinus sagitalis superior mengalirkan darah
vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan
akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior
berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan
tekanan intracranial.
Arteri-arteri meningea terletak pada ruang epidural, dimana
yang sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang
terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan perdarahan
epidural.7
2. Arachnoid
Di dekat dura tetapi tidak menempel langsung adalah
membran halus, fibrosa, dan elastis yang dikenal sebagai
araknoid. Membran ini tidak melekat pada dura meter, tetapi
ruangan antara dura dan araknoid (ruang subdural) merupakan
ruang yang potensial.8
3. Piameter
Pia mater adalah suatu membran halus yang sangat kaya
dengan pembuluh darah halus. Pia mater merupakan satu-satunya
lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan
membungkus semua girus. Pada beberapa fisura dan sulkus disisi
medial hemisfer otak, pia mater membentuk sawar antar ventrikel
dan sulkus atau fisura. Sawar ini merupakan struktur penyokonh
dari pleksus koroideus pada setiap ventrikel.8 Lapisan ini melekat
6

pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal bersirkulasi


diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid.
Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial.7
4. Otak
1. Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri
yaitu lipatan durameter yang berada di inferior sinus sagitalis
superior. Hemisfer kiri terdapat pusat bicara yang bekerja dengan
tangan kanan. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara disebut
dengan hemisfer dominan.
2. Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa
posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua
hemisfer

serebri.Serebelum

bertanggungjawab

dalam

fungsi

koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior,


membentuk hubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan
akhirnya dengan kedua hemisfer serebri.
3. Batang otak
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam
kesadaran

dan

kewaspadaan,

serta

medulla

oblongata

yang

memanjang sampai medulla spinalis.


Mesensefalon (midbrain) dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pusat
kardiorespiratorik berada di medulla oblongata. Lesi kecil yang
terjadi pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis
yang berat. 7

Gambar 2. Anatomi Otak

5.

Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL
per menit atau sekitar 500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi
oleh oleh pleksus koroideus yang terdapat pada ventrikel lateralis dan
ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan ventrikel III pada
orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal pada
orang dewasa sekitar 120 mL. Cairan serebrospinal setelah diproduksi
oleh pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian
melalui foramen interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III ,
kemudian masuk ke dalam ventrikel IV melalui akuaduktus Sylvii,
setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral dan 1
foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan
subaraknoid, melalui granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus
duramater kemudian masuk ke aliran vena.
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan
serebrospinal melebihi jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila
terdapat produksi cairan serebrospinal yang berlebihan, peningkatan

hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus.


Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular
absorption, dural absorption, nerve root sleeves absorption dan
unrepaired meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya
terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali asimetris, keadaan
ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau
perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan
pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga fossa pituitary
(menyebabkan pituitary disfunction). 8
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi
ruang :
1. Supratentorial terdiri fosa kranii anterior dan media
2. Infratentorial berisi fosa kranii posterior
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri
dan batang otak (pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah
tentorium serebeli disebut insisura tentorial. Nervus okulomotorius
(NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh masa atau
edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut2 parasimpatik untuk
kontraksi pupil mata berada pada permukaan n. okulomotorius.
Paralisis serabut ini disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi
pupil. Bila penekanan berlanjut menimbulkan deviasi bola mata
kelateral dan bawah. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi
kontralateral dikenal sindrom klasik herniasi tentorium. Umumnya
perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil
yang berdilatasi meskipun tidak selalu.7
2.3.
Fisiologi
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak,
darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu
9

volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial


normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg.
Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai
tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.Ruang intra kranial adalah
suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan
unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan
volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan
desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan
tekanan intra kranial.
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat
meluas sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar,
dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi
volumenya (bila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intra
kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi
parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis
dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan
TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan
kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak
ke arah bawah (herniasi) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme
terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila
peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak
efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian
neuronal.7
2.4.

Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua
tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer
merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda

10

paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda


keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam
mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat
berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edemaotak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.8
2.5.

Etiologi
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam

2.6.

Klasifikasi Trauma Kapitis

11

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara


praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus.
Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus
disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum
dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang
mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi
perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,
sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya
flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai
GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang
dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai
GCS 9- 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Tabel 2.1. Glasglow Coma Scale


Jenis pemeriksaan
Respon membuka mata (E)

Nilai

Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

2
12

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun


Respon verbal (V)

Komunikasi verbal baik

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tidak ada reaksi


Respon motorik (M)

Mengikuti perintah

Melokalisir nyeri

Fleksi normal

Fleksi abnormal

Ekstensi abnormal

Tidak ada reaksi

Tabel 2.2. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury


Kehilangan kesadaran < 20 menit atau sadar
Ringan

Orientasi baik/transient

(commotio cerebri)

Defisit neurologis (-)/refleks patologis (-)


Gejala subjektif : cepalgia, nausea, vomitus (+)
Amnesia post traumatik < 24 jam
GCS = 13 15

13

Kehilangan kesadaran 20 menit dan 36 jam


Samnolen, dapat mengikuti perintah sederhana
Sedang

Defisit neurologis (+): refleks patologis babynski (+)

(conusio cerebri)

Amnesia post traumatik 24 jam dan 7 hari


GCS = 9 - 12
Kehilangan kesadaran > 36 jam

Berat

Tidak bisa mengikuti perintah sederhana

(contusio cerebri)

Bicara kacau
Dapat melokalisir rangsang, kadang tidak
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 3 8

3. Morfologi
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar
tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan
dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone
window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda
klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan
permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa
benturan yang terjadi cukup berat.
2. Lesi Intra Kranial
a. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan
normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi,
penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami
amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya
diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang
berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan
14

gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih


dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera
Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat
dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis
menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada
manifestasi klinisnya.
b. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam
rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau
temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang
tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat robeknya
salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus
durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering
terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat
dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar setelah
pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin
bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang
semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori
pupil.
c. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada
perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya venavena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya
kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.
Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea.
Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging
veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus
venosus di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid.

15

Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang


sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis,
kesadaran penderita semakin menurun, terdapat kelainan
neurologis seperti hemiparesis, epilepsy, dan edema papil.
Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala
klinis.
1. Hematoma Subdural Akut
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma.
Perdarahan dapat kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar
luas.

2. Hematoma Subdural Sub-Akut


Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah
trauma. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsul disekitarnya.
3. Hematoma Subdural Kronik
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah
trauma. Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma.
Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis
dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam
kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat
mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri.
d. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar
terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga
terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan
intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi.
Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
a. Hemiplegi

16

b. Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium


yang meningkat.
c. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan
dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran
cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.7

2.7.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
trauma kapitis adalah:
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka
pendek.
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan
sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak

2.8.
1.

Diagnosa
Diagnosa trauma kapitis dapat dilihat berdasarkan ada atau tidaknya

2.

riwayat trauma kapitis


Gejala-gejala klinis : Interval lucid, peningkatan TIK, gejala

3.

laterlisasi
Pemeriksaan penunjang.

2.9.

Komplikasi
Jangka pendek :
1. Hematom Epidural

Letak : antara tulang tengkorak dan duramater

17

Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya

Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya


nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya
tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang
memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran
menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada
sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan
akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah
tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.

Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)


o Interval lucid
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi hemiparese

Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala


didapati hematoma subkutan

Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil


melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai
tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis,
refleks tendon meninggi dan refleks patologik positif.

CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks

LCS : jernih

Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi)


dan pengikatan pembuluh darah.

2. Hematom subdural

Letak : di bawah duramater

Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging


veins dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri

Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari


pertama

18

o Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma

CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian


o Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
o Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna
dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak
dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak)
o Isodens terlihat dari midline yang bergeser

Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan


dalam otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom.
Penanganan subdural hematom akut terdiri dari trepanasidekompresi.

3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri
kortikal, terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral
akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa
perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan
intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi
dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa
menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian
otak yang terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama
pingsannya, mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa
commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi
mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga
tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat
meninggi.

TIK meningkat

Cephalgia memberat

Kesadaran menurun

Jangka Panjang :
19

1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII
dan gangguan N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese.
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi
berkurang, libido menurun, mudah tersinggung, sakit kepala,
kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya:
menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan
depresi.
2.10. Penatalaksanaan
1. Cedera Kepala Ringan

Perawatan selama 3-5 hari

Mobilisasi bertahap

Terapi simptomatik

Observasi tanda vital

2. Cedera Kepala Sedang

Perawatan selama 7-10 hari

Anti cerebral edem

Anti perdarahan

Simptomatik

Neurotropik

Operasi jika ada komplikasi

3. Cedera Kepala Berat

Seperti pada CKS

Primary Survey dan resusitasi

Antibiotik dosis tinggi

Konsultasi bedah saraf

20

Terapi Medikamentosa
1. Cairan Intravena
Diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan mempertahankan
normovolemia. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah cairan
ringer laktat atau garam fisiologis.

2. Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas
waktu tertentu. Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmHg
atau lebioh. Hiperventilasi dalam waktu singkat antara 25-30 mmHg.
3. Manitol
Digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK) yang
meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan konsentrasi
20%. Dosis diberikan 0,25-1 g/KgBB. Manitol dalam dosis tinggi
jangan diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol
merupaka diuretik osmotik yang potensial. Adanya perburukan yang
akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis maupun
kehilangan kesadaran merupakan indikasi kuat pemberian manitol
dengan dosis pemberian bolus manitol 1 g/KgBB yang diberikan
secara cepat dalam waktu 5 menit.
4. Furosemid
5. Steroid
Steroid diberikan untuk mengendalikan kenaikan TIK maupun
memperbaiki cedera otak berat. Penggunaan steroid pada cedera otak
akut tidak dianjurkan.
6. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang sulit diturunkan oleh obatobat lain. Tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan keadaan
hipotensi atau hipovolemia.
7. Antikejang. 7
2.11. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu
tindakan

21

pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat


trauma. Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa
terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor
yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai
sabuk pengaman, dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa
terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya
cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama,
yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan
tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari
masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway
disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang
tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan
mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi
untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda
asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya
terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.
Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam
airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam
mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat
menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).

22

Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada


tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat
dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan
pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian
transfusi darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan
banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya
komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera
kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan
memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta
memberikan dukungan psikologis bagi penderita. Upaya rehabilitasi
terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu
ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan
sosial.
2.12. Prognosis
Semua pasien harus mendapat terapi agresif sambil menunggu konsultasi
dengan ahli bedah saraf. Terutama sekali pada pasien anak-anak yang
memilikidaya pemulihan sangat baik walaupun cederanya terlihat sangat
berat.

BAB III
KESIMPULAN

23

Trauma kapitis adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat


kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Trauma secara
langsung dan tidak langsung mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis.
.Trauma kapitis dikategorikan menjadi 3 berdasarkan nilai Glaslow
Coma Scale (GCS), yaitu cedera kepala ringan (CKR) apabila skor GCS 13-15,
cedera kepala sedang (CKS) dengan GCS 9-12, dan cedera kepala berat (CKB)
dengan GCS 8.

DAFTAR PUSTAKA

24

1. Price Sylvia A. Lorraine M. Wilson.2005. Patofiisologi Konsep Klinis


Proses Penyakit. EGC. Jakarta, Indonesia, Jakarta.
2. Hendry Irawan, Felicia Setiawan, Dewi, dan Georgius Dewanto. 2010.
Perbandingan Glasgow Coma Scale dan Revised Trauma Score dalam
Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma
Jaya. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya,
Jakarta.
3. Nurfaise, M. Zainuddin, dan Arif Wicaksono 2012. Hubungan Derajat
Cidera Kepala dan Gambaran Ct-Scan pada Penderita Cedera Kepala di
RSU Dr. Soedarso Periode Mei-Juli 2012. Medical School, Faculty of
Medicine, Universitas Tanjungpura, Pontianak, West Kalimantan.
4. Andi Ebiet Krisandi, Wasisto Utomo, dan Ganis Indriati. 2013. Gambaran
Status Kognitif Pada Pasien Cedera Kepala Yang Telah Diizinkan Pulang
Di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
(http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4764/JUR
NAL%20ANDI%20EBIET%20KRISANDI.pdf?sequence=1, Diakses 1
April 2015).
5. Langlois, Rutland-Brown, Thomas. 2003. Incidence of traumatic
brain injury in the United States. US National Library of Medicine
National

Institutes

of

Health.

(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17122685, Diakses tanggal 4


April 2015).
6. Utama, Herry SY. 2012. Diagnosis and Treatment of Head Injury.
(www.herryyudha.com/2012/07/cidera-kepala-diagnosis-dan.html,
Diakses 4 April 2015).
7. American Collage of Surgeons. 2008. Advance Trauma Life Suport For
Doctors. United States of America.
8. Hickey JV. 2003. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice
of Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia :
lippincot William & Wilkin.
9. Nasution Syahrul Hamidi. 2014. Mild Head Injury. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Medula, vol 2 (4).
25

26

Anda mungkin juga menyukai