Anda di halaman 1dari 40

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

MAKALAH

oleh
Kelompok 2

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

MAKALAH

Diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Klinik VI A


Fasilitator : Ns. Siswoyo, M.Kep

oleh :
Siti Zumrotul Mina

(122310101005)

Jamilatus Sholihah

(122310101007)

Eka Yuliana

(122310101013)

Listya Pratiwi

(122310101017)

Aris Kurniawan

(122310101033)

Made Enstini SP

(122310101035)

Dwi Nida Dzusturia

(122310101045)

Alfun Hidayatulloh

(122310101047)

M Tutus Prasetyo

(122310101071)

Indra Sarosa

(122310101073)

Nikmatul Khoiriyah

(122310101075)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014

BAB 1.PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan
istilah Lupus adalah penyakit kronis atau menahun. Penyakit Lupus ini
merupakan penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang
disebabkan oleh tissue-binding auto antibody dan kompleks imun, yang
menimbulkan peradangan dan bias menyerang berbagai sistem organ. Etiologi
dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi system
imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente,
2002).Systemic Lupus Erythematosus (SLE)termasuk dalam penyakit collagenvascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem musculoskeletal,
kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga
diperlukan pengobatan atau terapi yang kompleks.
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan salah satu
penyakit yang masih jarang terdengar ditelinga masyarakat Indonesia. Hal ini
bukan berarti yang terkena penyakit ini tidak banyak. Kementrian Kesehatan
menyatakan lebih dari 5 juta orang diseluruh dunia terdiagnosis penyakit Lupus.
Sebagian besar penderitanya ialah perempuan di usia produktif yang ditemukan
lebih dari 100.000 setiap tahun. Di Indonesia jumlah orang yang terkena Lupus
secara tepat masih belum diketahui tetapi di perkirakan mencapai jumlah 1,5juta
orang (Kementerian Kesehatan, 2012). Systemic Lupus Erythematosus (SLE)dapat
menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien ditemukan pada perempuan
usia produktif. Sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus) adalah
wanita dan sebagian besar wanita yang mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun.
Namun, masih belum diketahui secara pasti penyebab lebih banyaknya penyakit
SLE yang menyerang wanita.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)dikenal juga dengan penyakit 1000
wajah karena gejala awal penyakit ini tidak spesifik, sehingga pada awalnya
penyakit ini sangat sulit didiagnosa. Hal tersebut menyebabkan penanganan

terhadap penyakit lupus terlambat sehingga penyakit tersebut banyak menelan


korban.
1.2 Rumusan Masalah
1.1.1.
Bagaimana definisi dan klasifikasi Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?
1.1.2.
Bagaimana epidemiologi Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
1.1.3.
Apa saja etiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
1.1.4.
Bagaimana tanda dan gejala Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?
1.1.5.
Bagaimana patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
1.1.6.
Bagaimana komplikasi dan prognosis Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?
1.1.7.
Bagaimana pengobatan dan pencegahan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)?
1.1.8.
Bagaiamana asuhan keperawatan pada klien dengan
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
1.3 Tujuan
Ada pun beberapa tujuan kami dalam menyusun makalah ini antara lain:
1.3.1

Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi Systemic Lupus

1.3.2

Erythematosus (SLE);
Untuk mengetahui epidemiologi Systemic Lupus Erythematosus

1.3.3
1.3.4

(SLE);
Untuk mengetahui etiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE);
Untuk mengetahui tanda dan gejala Systemic Lupus

1.3.5

Erythematosus (SLE);
Untuk mengetahui patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus

1.3.6

(SLE);
Untuk mengetahui komplikasi dan prognosis Systemic Lupus

1.3.7

Erythematosus (SLE);
Untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan Systemic Lupus

1.3.8

Erythematosus (SLE);
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
Systemic Lupus Erythematosus (SLE);

BAB 2. TINJAUAN TEORI

1. Definisi

Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus. Kata


lupus dalam bahasa Latin berarti serigala, erythro berasal dari bahasa yunani
yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar
hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash. Tetapi
pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin,
melainkan dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan wanita memakainya
untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng ini dinamakan Loup,yang dalam
bahasa perancis berarti serigala atau wolf dalam bahasa Inggris
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Utomo,

2012).

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan suatu penyakit autoimun kronis yan


ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang
berlainan. Antibodi-antibodi tersebut biasanya adalah IgG atau IgM dan dapat
bekerja bertahap asam nukleat pada DNA atau RNA, protein jenjang koagulasi,
kulit, sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Kompleks antigen antibodi
dapat mengendapdi jaringan kapiler dehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe
III, kemudian terjadi peradangan kronik.
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan
penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta
manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Penyakit ini terutama menyerang
wanita (dengan ratio wanita dan pria 5:1). Wanita yang sering mengalami LES
adalah wanita dengan rentang usia reproduksi (15-40 tahun) dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik, hormonal, ras (sering
ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina) serta lingkungan diduga
berperan dalam patofisiologi SLE. Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi
salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi LES di berbagai
negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000.
2. Etiologi

Menurut Utomo (2012), etiologi penyakit LES masih belum terungkap


dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang
didapat dan faktor lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi
genetik yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human
Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama
pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor
limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan
autoantibodi. Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada
kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Selain itu, kebiasaan merokok
yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,
berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik
aromatik. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis
keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus
dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat
mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
Faktor selanjutnya yang juga mempengaruhi yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormonestrogen
dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES.
3. Patofisiologi
Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya terjadi akibat
terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto antibodi
yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara

faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang


biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralasin (Apresoline, prokainamid
Pronestyl), isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan
disamping makanan kecambah alfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia atau obat-obatan. Pada lupus eritematosus sistemik, peningkatan
produksi auto antibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang anti bodi
tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya
muncul lah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B,
baik yang memproduksi auto antibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud
pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya
ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut
partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas auto antigen ini ialah bahwa mereka
tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody).
Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar
dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab
timbulnya reaksi radang.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada

individu yang resisten. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor
presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat
misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap
serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise,
kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang
paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil. Gejala yang
paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau
artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah
kaput femoris
4. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat, yaitu:
a. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi, namun yang paling sering
adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati
dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus.
b.

Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa
athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling
sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki.
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi
pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap
terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis
pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi
yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan
setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri
ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan

radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang


sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat
menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.

c. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
1). Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit
edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam
kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah
pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches.
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua
daerah terkena sinar matahari.

Lesi-lesi tersebut penyebarannya

bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang


tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat
sembuh tanpa bekas.

2). Lesi Kulit Sub Akut


Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3). Lesi Diskoid


Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah
15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5
tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan
laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga,
dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas,
dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya
melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya
tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh
sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah

berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di


masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai
manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis
(DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.

4). Livido Retikularis


Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema
periungual.
5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis.
d.

Kelainan pada Ginjal


Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun
pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus
nefritis adalah:
(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
(3) Kelas III: focal lupus nephritis
(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis
(5) Kelas V: membranous lupus nephritis

(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis


Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering
ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis
pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.
Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai
dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
e. Serositis (pleuritis dan perikarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik
dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi
pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan
pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
f. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan
sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai
tahap lanjut.
g. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri
akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis
intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan yang adekuat.
h. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi
jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang
atau kembali normal.
i.

Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis

Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus.


Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak.
Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE.
j. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan
motorik. Biasanya bersifat sementara.
k. Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan
kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan
kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk
mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.
Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid.
Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya.
Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas
kelainan organik otak.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal.
Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena
mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri,
aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis,
neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan
saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara
lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus.
l. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif

anemia

hemolitik,

trombositopenia, dan lekopenia.

anemia

penyakit

kronis

m. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh
darah dan aktivasi komplemen lokal.
5. Penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan
organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari
pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter
laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit. SLE yang tidak diobati
dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat menjadi penyakit menahun, atau
kematian yang cepat.
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan
relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan
anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi
dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani
penyakit multisistem pada anak dan remaja. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal
penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Perpindahan
terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.
1. Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya
kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu
dihindari makanan junk food atau makanan mengandung tinggi sodium
untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih.
2. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan
pada anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar
UVB.
3. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko
infeksi meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai
profilaksis dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur.
Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita
lupus, yaitu;

1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama


infeksi bakterial
2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis
(leukosit >10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi,
3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu
sebagai infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan
4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis. 1
Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim
luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi
dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif
terhadap 50% pasien.
Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap
gangguan ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis
rendah.
Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan
pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan
untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake
inhibitor antidepresan (amitriptilin).
Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan
prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen
meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 23 tahun sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang
digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan
cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari,
tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine.

Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin;
alfa 1 adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid
mononitrat.
Lupus nefritis
Kelas I

: Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO

Kelas II

: (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan


terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena
menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.

Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama


agresifnya dengan

DPGN, khususnya bila ada

lesi focal

necrotizing.
Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena
ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison.
Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk
DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah
terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN.
Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan,
bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di
tapering off secara hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid
intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian,
diperiksa kadar lekositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan
dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah lekositnya
(normalnya 3.000-4.000/ml).
Kelas V

: regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan


kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan
siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil.
Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada
Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah
dialisis dan transplantasi renal.

Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini
adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena,
vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik,
terapi yang dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena,
danazol dan splenektomi.
Pneumonitis interstitialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan
siklfosfamid intravena.
Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan
siklfosfamid intravena.

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES


1. Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat
(maksimal 400 mg/hari)
2. Kortiko-steroid : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis
alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg);
prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama
methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum
mg) per minggu.
3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari
selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus
terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap
dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine 1-3
mg/kg/hari PO 4 kali sehari.
4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari
Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari
Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
5. Suplemen Kalsium dan vitamin D

Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari
Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
6. Anti-hipertensi
Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg,
diulang tiap 4-8 jam.
Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa
ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari
Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan
bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah
1) Hb, leukosit, trombosit: dapat ditemukan anemia dan leukopenia dan
trombositopenia
2) LED dan CRP (indikator reaksi inflamasi nonspesifik)
3) Retikulosit: meningkat
4) PT dan aPTT: biasanya memanjang karena adanya circulating
anticoagulant yang menghambat aktivitas prothrombin activator
complex.
5) Komplemen C3, C4 dan CH50: selama masa aktif, fraksi komplemen
terpakai sehingga kadar menurun terutama bila disertai gangguan ginjal.
Kadar C3, C4 dan anti-ds-DNA dapat dipakai untuk menilai respons
terapi dan aktivitas penyakit terutama pada lupus nefritis.
6) Uji Coomb: positif (10%-30% pasien)
7) Uji ANA (antibodi antinuklear): skrining LES, positif pada penyakit
aktif
8) Anti ds-DNA: positif pada 50-70% anak LES. Lebih spesifik
dibandingkan dengan uji ANA, sangat bermanfaat untuk menilai
respons terapi.

9) Sel LE: kurang sensitif dibandingkan uji ANA.


10) Anti Smith: positif (30% penderita), hasil positif bersifat diagnostik.
11) Antibodi antiplatelet: positif (75% penderita tanpa trombositopenia)
12) Antibodi antineutrofil
13) Antibodi antifosfolipid: meningkatkan risiko trombosis dan
tromboemboli vena dalam.
14) Antibodi antihiston: peningkatan titer berhubungan dengan druginduced lupus.
15) Uji ATA (antibodi antitiroid): positif pada 40% penderita LES
16) VDRL: positif palsu disebabkan reaksi silang antara antibodi
antifosfolipid dengan antikardiolipin.
17) SGOT dan SGPT: peningkatan ringan sesaat (25% penderita), biasanya
dihubungan dengan pengobatan aspirin.
18) Kadar T3 dan T4: hipotiroid pada 10-15% penderita
19) Urea N dan Kreatinin: menilai kelainan ginjal.
20) Protein dan albumin darah: harus diperiksa teratu
21) Urin: menilai kelainan ginjal
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1) Foto toraks: evaluasi pleuritis, efusi pleura, pneumonitis akut dan
infiltrasi interstitial.
2) Foto persendian: menentukan ada/tidaknya artritis.
3) Elektrokardiografi: evaluasi gangguan jantung
4) Elektroensefalografi: evaluasi gangguan sistem

saraf

pusat

(ensefalopati).
5) Biopsi kulit: penderita suspek LES dengan ANA (-). Pada lupus band
test dapat dideteksi adanya deposit kompleks imunoglobulin dan
komplemen pada dermal-epidermal junction.
6) Biopsi ginjal: menilai derajat berat ringannya nefritis
7) Pemeriksaan mata: melihat cotton wool exudates, episkleritis dan
skleritis.
7. Diagnosis SLE
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini
diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (de initif) atau banyak kriteria
terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of
Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997.
No.
Kriteria
Definisi
1 Bercak malar (butterfly
Eritema datar atau menimbul yang menetap di
rash)
daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan

2 Bercak diskoid

3 Fotosensitif

4 Ulkus mulut
5 Artritis

6 Serositif

7 Gangguan ginjal

8 Gangguan saraf

9 Gangguan darah

10 Gangguan imunologi

nasolabial
Bercak eritema yang menimbul dengan
adherent keratotic scaling dan follicular plugging,
pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi
Bercak di kulit yang timbul akibat paparan
sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan
fisik
Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri
Artritis non-erosif pada dua atau lebih
persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan,
bengkak atau efusi
a. Pleuritis: Riwayat pleuritic pain atau terdengar
pleural friction rub atau terdapat efusi pleura
pada pemeriksaan fisik, atau
b. Perikarditis: Dibuktikan dengan EKG atau
terdengar pericardial friction rub atau terdapat
efusi perikardial pada pemeriksaan fisik
a. Proteinuria persisten >0,5 g/hari atau
pemeriksaan >+3 jika pemeriksaan kuantitatif
tidak dapat dilakukan, atau
b. Cellular cast: eritrosit, Hb, granular, tubular atau
campuran
1. Kejang: Tidak disebabkan oleh obat atau
kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit), atau
2. Psikosis: Tidak disebabkan oleh obat atau
kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
Terdapat salah satu kelainan darah:
- Anemia hemolitik dengan retikulositosis, atau
- Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1
pemeriksaan, atau
- Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2
pemeriksaan, atau
- Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya
intervensi obat, atau
a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA
dengan titer yang abnormal, atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm, atau

11 Antibodi antinuklear

c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid


yang didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM,
2) Tes lupus antioagulan positf menggunakan
metoda standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap
sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan
dan dikonfi rmasi dengan test imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorpsi antibodi treponema.
Tes ANA (+)
Titer abnormal dari antibosi anti-nuklear
berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau
pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang
diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.

Keterangan:
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4
dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang
waktu.
b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki
sensitiitas 85% dan spesiisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
8. Komplikasi dan Prognosis
a.
Komplikasi LES pada anak meliputi:
Hipertensi (41%)
Gangguan pertumbuhan (38%)
Gangguan paru-paru kronik (31%)
Abnormalitas mata (31%)
Kerusakan ginjal permanen (25%)

Gejala neuropsikiatri (22%)


Kerusakan muskuloskeleta (9%)
Gangguan fungsi gonad (3%).
b. Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien
dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat
kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada LES kurang dari 50%. Saat ini,
tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi
90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah
sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia
dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka
kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang
terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan
dalam perawatan medis umum.

BAB 3. PATHWAY

Genetik

Faktor lingkungan

HLA-DR2 & HLA-DR3

Sinar UV
Perubahan Struktur DNA

Mengkode sel T
Penurunan Sistem imun
Induksi Aportusis

Obat-Obatan
Asetilaksi lambat HLA-DRA

Asetilaksi obat menurun

Obat terakumulasi ditubuh

Obat berikatan dengan protein

Peningkatan antibodi antinuklear (ANA)

Gangguan nimunoregulasi

Stimulasi Antigen spesifik

Aktivasi sel T & B

Sistem regulasi kekebalan terganggu

Produksi Antibody meningkat

Sel T supresor abnormal

Antibody menyerang organ-organ tubuh

Penumpukan kompleks Imun

SLE

Kulit

Sendi

Bercak-bercak merah Degradasi


pada kulit jaringan

Darah

Paru-Paru

HB

Efusi Pleura

Terebntuk endapan pada sendi


O2
Kerusakan integritas kulit

Atralgia atritis

Ginjal

Hati

Otak

Suplai zat
O2 selama 3 men
mengendap pd
Kerusakan
arteri sintesa
Antibodi Darah

degradasi jaringan
Pola Nafas tak efektif
Imflamasi arteriol terminaslis
prb. nutrisitubhKematian
Mengendap di membran basal glomerulus

ATP
Filtrasi terganggu

Intoleransi aktivitas

Jantung

Keletihan

Proteinuria
Hematuria

Perikarditis

Resti kematian

BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN


4.1 Pengkajian
1. Riwayat Kesehatan
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan
pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah
lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut
terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
3. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
4. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Kulit ruam eritematous, plak eritematous
pada kulit kepala, muka atau leher. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi
atau palatum durum.
5. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
6. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
7. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
8. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang.

Pengkajian pola fungsional Gordon

1. Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan


Klien baru pergi ke RS setelah demam yang dirasakannya tidak hilang sudah
semenjak 1 bulan yang lalu. hal ini bisa terjadi karena klien tdak mengetahui
tentang penyakitnya sehingga klien merasa kalau dia hanya demam biasa dan
tidak perlu berobat ke RS.
2. Pola nutrisi metabolic
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya samapi beberapa kg,
penyakit ini diseratai adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan
penderita nafsu makannya menurun. Pada kasus pasien mengeluh sariawan
yang hilang timbul, tidak nafsu makan, dan dalam 1 bulan terakhir berat
badan turun mencapai 5 kg
3. Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial,
namun secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
4. Pola aktivas latihan
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan sering
mengalami nyeri pada persendiannya. Pada kasus, klien datang ke RS dengan
keluhan nyeri pada sendi, sering merasa lelah dan lemah sehingga aktivitas
klien mengalami gangguan.
5. Pola istirahat tidur
Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri yang
dirasakannya.
6. Pola kognitif persepsi
Pada penderita SLE, Daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari
jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik. Pada sistem
neurologis, penderita bisa mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
7. Pola persepsi diri dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas
seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat
penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada. Pada kasus,
penderita bisa merasa malu karena timbulnya kemerahan pada pipi dan
kulitnya.
8. Pola peran hubugan
Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan atau kegiatan yang biasa
dilakukan selama sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama sakit
pasien tidak dapat melakukan perannya sehari-hari dengan baik.

9. Pola reproduksi dan seksualitas


Biasanya penderita LES tidak mengalami gangguan dalam pola seksual
reproduksi.
10. Pola koping dan toleransi stress
Biasanya klien merasa depresi dengan penyakitnya dan juga stress karena
nyeri yang dihadapi. Untuk menghadapi semua ini klien perlu selalu diberi
dukungan oleh keluarga dan tetangganya sehingga klien semangat untuk
sembuh. Klien juga diberi obat-obatan seperti Dexametazon yang berfungsi
untuk mengobati pegal linu, peradangan sendi dan juga memperbaiki
imunitas. Klien juga diberi obat Piroksikam untuk obat anti inflamasi yang
dapat mengatasi nyeri karena peradangan.
11. Pola nilai dan kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat
kelemahan dan nyeri sendi.

4.2 ANALISA DATA


No

Data

Etiologi

Masalah

.
1

Keperawatan
SLE

Kerusakan integritas
kulit

Kulit

bercak merah pada hidung

dan kedua pipi

kerusakan integritas kulit

SLE

Keletihan

Darah

Hb

O2

ATP

Keletihan

sendi

degradasi jaringan

Intoleransi aktivitas

terbentuk endapan pada


sendi

atralgia artritis

intoleransi aktivitas

hematuriaSLE

Pola nafas tidak


efektif

Paru-paru

Efusi pleura

Pola nafas tidak efektif

Antibodi menurun

Degradasi jaringan

Mengendap di membran
basal

Filtrasi terganggu

Hematuria

Proteinuria

Hematuria
6

SLE

Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh

hati

kerusakan sintesa zat

perubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh

Suplai O2 menurun selama 3 Resti kematian


menit

Kematian

Risti kematian

4.3 Diagnosa
1.
2.
3.
4.

Kerusakan intergritas kulit


Keletihan
Intoleransi aktivitas
Pola nafas tidak efektif

5. Hematuria
6. Perubahan pola nutrisi
7. Risti kematian

4.4 Perencanaan
Diagnosa Keperawatan

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Hasil

Kerusakan integritas kulit

Tujuan:
Setelah

1. Kaji kulit setiap hari. Catat warna,


dilakukan

tindakan

turgor,sirkulasi dan sensasi.


2. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih

keperawatan selama 3. Gunting kuku secara teratur.


3x24 jam, kerusakan 4. Tutupi luka tekan yang terbuka
integritas kulit dapat

dengan pembalut yang steril atau

teratasi.
Kriteria Hasil:

barrier protektif, misalny, duoderm,


sesuai petunjuk.

a.

Perfu 5. Monitor aktivitas dan mobilisasi


si jaringan normal

b.

Tida
k ada tanda-tanda

pasien
6. Monitor status nutrisi pasien
7. Ajarkan pada keluarga tentang luka

infeksi

dan perawatan luka

c.

Kete

8. Kolaborasikan dalam pemberian obat-

balan dan tekstur

obatan topical sesuai indikasi

jaringan normal
d.

Men
unjukkan
pemahaman dalam
proses

perbaikan

kulit

dan

mencegah
terjadinya

cidera

berulang
e.

Men
unjukkan
terjadinya proses

Keletihan

penyembuhan luka
Tujuan

1.

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 2x24 jam

2.

kardiorespirasi terhadap aktivitas


Kaji dan catat pola dan
lokasi

ketidaknyamanan atau nyeri selama

teratasi.
Kriteria hasil:
Kem

bergerak dan aktivitas


4.
Kaji intake nutrisi
5.
Ajarkan tehnik

dan

manajemen aktivitas untuk mencegah

ampuan aktivitas

kelelahan

adekuat
b.

respon

jumlah tidur pasien


3.
Kaji

keletihan pasien

a.

Kaji

6.
Mem

Batasi
lingkungan

untuk

stimulasi
memfasilitasi

pertahankan nutrisi
adekuat
c.

relaksasi
7.

dan istirahat
d.

pada

pasien

hubungan kelelahan dengan proses

Kese
imbangan aktivitas

Jelaskan
penyakit

8.

Kolaborasi dengan ahli


gizi tentang cara meningkatkan intake

Mem

makanan tinggi energi

pertahankan
interaksi sosial
e.

Men
gidentifikasi
faktor-faktor fisik
dan psikologis
yang menyebabkan
kelelahan

f.

Mem
pertahankan
kemampuan untuk

Intoleransi aktivitas

konsentrasi
Tujuan

1. Observasi adanya pembatasan klien

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3x24 jam
pasien bertoleransi
terhadap aktivitas.
Kriteria Hasil :
a.

Berp
artisipasi dalam
aktivitas fisik
tanpa disertai
peningkatan
tekanan darah,

dalam melakukan aktivitas


2. Kaji adanya faktor yang
menyebabkan kelelahan
3. Kaji nutrisi dan sumber energi yang
adekuat
4. Kaji pasien akan adanya kelelahan
fisik dan emosi secara berlebihan
5. Kaji respon kardivaskuler terhadap
aktivitas
6. Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai

nadi dan RR
b.

Mam
pu melakukan
aktivitas sehari
hari (ADLs) secara
mandiri

c.

Kese
imbangan aktivitas

Pola napas tidak efektif

dan istirahat
Tujuan

1. Kaji tanda-taanda vital klien


2. Auskultasi suara nafas, catat adanya

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 2x 24 jam
pasien menunjukkan
keefektifan pola nafas
Kriteria hasil:
a. Mendemonstrasika

suara tambahan
3. Kaji atau pantau frekuensi pernapasan
4. Catat adanya sesak
5. Posisikan
pasien
untuk
memaksimalkan ventilasi
6. Pertahankan jalan nafas yang paten
7. Ajarkan
batuk
efektif,
jika
diindakasikan

n batuk efektif dan


suara nafas yang
bersih, tidak ada
sianosis

dan

dyspneu
b. Menunjukkan jalan
nafas yang paten
c. Tanda Tanda vital
dalam

rentang

normal

(tekanan

darah,

nadi,

Nutrisi kurag dari kebutuhan

pernafasan)
Tujuan:

tubuh

Setelah

1. Kaji pola makan klien sebelum sakit


2. Kaji turgor kulit
dilakukan
3. Kaji perubahan nafsu makan klien

tindakan

4. Beri motivasi klien untuk makan


5. Beri klien makanan yang tinggi kalori
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk

keperawatan
kebutuhan

nutrisi

perencanaan diet klien

klien terpenuhi
Kriteria Hasil:
a. Antropometri :
berat badan klien
ideal
b. albumin normal :
3,5-5 g/dl
c. Hb wanita : 12,016,0 g/dl
d. Hb pria: 13,518,0 g/dl
e. pasien tidak
lemah
f. bising usus
normal (5-35
x/menit)
g. Diet : porsi
makan habis

Implementasi
No
1

Diagnosa
Kerusakan integritas kulit

Implementasi
1. Telah dikaji keadaan kulit pasien setiap h

2. Telah dicatat warna, turgor,sirkulasi dan se

3. Telah diberikan perawatan kuku secara ter

4. Telah dilakukan perawatan luka tekan yan

atau barrier protektif, misalny, duoderm, s

5. Telah dimonitor aktivitas dan mobilisasi p


6. Telah dimonitor status nutrisi pasien

7. Telah diajarkan pada keluarga tentang luka

Keletihan

8. Telah dikolaborasikan dalam pemberian o


1. Telah dikaji respon kardiorespirasi pasien
2.
Telah dikaji dan dicatat pola
3.
Telah dikaji lokasi ketidakn
dan aktivitas
4.
5.

Telah dikaji intake nutrisi


Telah diajarkan tehnik dan
kelelahan

6.

Telah

dilakukan

pembat

memfasilitasi relaksasi
7.
Telah dijelaskan pada pasie
penyakit
8.
3

Intoleransi aktivitas

1.
2.
3.
4.

Telah dikolaborasi dengan

intake makanan tinggi energi


Telah diobservasi adanya pembatasan klie
Telah dikaji adanya faktor yang menyebab
Telah dikaji nutrisi dan sumber energi yan
Telah dilakukan pengkajian pada pasien ak

secara berlebihan
5. Telah dikaji respon kardivaskuler pasien t
6. Telah dilakukan asistensi terhadap pasien
4

Pola napas tidak efektif

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

disukai
Telah dikaji tanda-tanda vital klien
Telah dilakukan auskultasi suara nafas, da
Telah dikaji dan dipantau frekuensi perna
Telah dicatat kemungkinan adanya sesak
Telah diberikan posisi yang nyaman bagi p
Telah dipertahankan jalan nafas yang pate
Telah diajarkan batuk efektif, sesuai indak

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Telah dikaji pola makan klien sebelum saki


Telah dikaji turgor kulit pasien
Telah dikaji perubahan nafsu makan klien
Telah diberikan motivasi kepada klien un
Telah diberikan kepada klien makanan yan
Telah dikolaborasikan dengan ahli gizi unt

4.5 Evaluasi
No
1

Diagnosa
Kerusakan integritas kulit

Evaluasi
S : Pasien mengatakan bahwa luka yang did

Keletihan

Intoleransi Aktivitas

Pola nafas tidak efektif

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

O : Luka dapat tertutup dengan baik dan mu


A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
S : Pasien mengatakan bahwa dirinya sudah
O : Pasien telah mampu melakukan aktivitas
A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
S : Pasien mengatakan bahwa beliau sudah t
kecil
O : Pasien mampu melakukan aktivitas ringa
tanda vital
A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
S : Pasien mengatakan bahwa beliau sudah m
O : RR dalam keadaan normal, suara nafas k
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
S : Pasien mengatakan bahwa beliau sudah d
butuh waktu lama.
O : Porsi makan pasien habis
A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan

BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial
yang melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor
lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan
aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody
polispesifik.
Selain

itu,

pada

banyak

penderita

SLE

gambaran

klinisnya

membingungkan. Tampaknya semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas

asalnya, temuan urine yang abnormal atau penyakit sendi yang menyamar sebagai
arthritis rematoid atau demam rheumatic.

5.2 Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita
terkena penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan
dihentikan. Karena, apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan
kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita
akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih
awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.

DAFTAR PUSTAKA
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ed.2. Badan Jakarta: Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Perhimpunan

Reumatologi

Indonesia.

2011.

Rekomendasi

Perhimpunan

Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus


Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Utomo, Wicaksono N. 2012. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah: Hubungan
antara Aktivitas Penyakit dengan Status Kesehatan pada Pasien LES
(LupusEritematosus Sistemik) di RSUP dr. Kariadi. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.
Sullivan, Kean & Cryer. 2009. Panduan Pemeriksaan Antenatal. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai