Anda di halaman 1dari 12

Journal Reading

Corticosteroid-Induced Ocular Hypertension and


Glaucoma: A Brief Review and Update of The
Literature
Relief Jones III and Douglas J. Rhee
Curr Opin Ophthalmol 17:163167.2006 Lippincott Williams & Wilkins

Ida Ayu Arie Krisnayanti


H1A 010 038

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2014
DATA JURNAL
NAMA PENULIS

: Relief Jones III and Douglas J. Rhee

JUDUL TULISAN : Corticosteroid-induced ocular hypertension and glaucoma:


a brief review and update of the literature
JURNAL ASAL

: Curr Opin Ophthalmol 17:163167.2006 Lippincott


Williams & Wilkins. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16552251

ISI JURNAL
Tujuan
Tujuan artikel ini adalah untuk meninjau secara singkat literatur hipertensi
okuli diinduksi kortikosteroid dan glaukoma, serta faktor risiko, patofisiologi, dan
pilihan pengobatan. Akan ditinjau secara khusus mengenai literatur yang berkaitan
mengenai respon triamsinolon acetonide intravitreal (IVTA) terhadap glaukoma.

Temuan Baru
Glaukoma sudut terbuka primer, suspek glaukoma, dan riwayat glaukoma
pada keluarga merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi okuli sebagai respon
penggunaan terapi kortikosteroid. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada
pasien dengan usia yang lebih muda memiliki faktor risiko terjadinya hipertensi
okuli apabila diterapi dengan kortikosteroid intravitreal. Mekanisme peningkatan
tekanan intraokular (TIO) meningkatkan resistensi aliran arus keluar aqueous
humor akibat akumulasi bahan matriks ekstraseluler di trabekular meshwork.

Ringkasan
Hipertensi okuli diinduksi kortikosteroid dan glaukoma telah dipelajari
selama lebih dari 50 tahun. Dengan mengetahui faktor risiko, prevalensi, dan

patofisiologi, dapat membantu dokter mencegah, memantau, dan mengobati


hipertensi okuli diinduksi kortikosteroid dan glaukoma.

Kata Kunci
Triamcinolone intravitreal, hipertensi okular, review, glaukoma diinduksi
steroid

Pendahuluan
Peningkatan tekanan intraokular (TIO) dapat terjadi sebagai akibat dari
pemberian terapi kortikosteroid dalam bentuk oral, intravena, inhalasi, topikal,
periokuli serta intravitreal. Jika hipertensi okuli yang merupakan penanda yang
signifikan, tidak terdekteksi dengan baik, dan tidak ditangani dengan baik maka
selanjutnya akan terjadi neuropati optik glaukoma (steroid-induced glaukoma).
Kasus hipertensi okuli akibat penggunaan steroid pertama kali dilaporkan tahun
1950, pada studi yang dilakukan oleh McLean tentang peningkatan TIO terkait
dengan pemberian hormon adrenokortikotropik (ACTH) sistemik. Empat tahun
kemudian, dilaporkan penelitian pertama kali mengenai hubungan peningkatan
TIO dengan pemberian kortison lokal. Selanjutnya setelah penemuan pertama
tersebut, dilakukan studi lebih intensif mengenai glaukoma diinduksi oleh
kortikosteroid. Telah diidentifikasi beberapa faktor predisposisi serta potensi
intraokular dan cara pemberian steroid dianggap penting sebagai faktor pemicu
terjadinya hipertensi okuli. Baru-baru ini, penggunaan intravitreal triamsinolon
asetonid (IVTA) untuk cairan subretinal, edema makula dan terapi tambahan
dalam terapi neovaskularisasi koroid menyebabkan peningkatan insiden terjadinya
glaukoma yang diinduksi oleh steroid (steroid-induced glaukoma). Faktor biologis
molekuler yang berkontribusi dalam peningkatan TIO, kini telah banyak dipahami
dengan baik dan penemuan-penemuan ini dapat menjadi bahan pertimbangan
terapi dikemudian hari. Maka dari itu, penulis menyususn review dari berbagai

penelitian yang dipilih dengan menekanan pada topik hubungan glaukoma dengan
peggunaan IVTA.

Faktor Predisposisi pada Kasus Glaukoma diinduksi Kortikosteroid


Hasil kenaikan TIO pada populasi ketika diobati dengan steroid topikal
selama 4-6 minggu didapatkan 5% dari populasi menunjukkan kenaikan TIO lebih
besar dari 16 mmHg dan 30% menunjukkan kenaikan 6-15 mmHg. Beberapa
variabel telah diidentifikasi sebagai faktor predisposisi hipertensi okuli yang
diinduksi steroid. Pasien dengan faktor predisposisi ini harus diikuti
perkembangannya lebih sering saat mendapatkan terapi kortikosteroid.
Pasien glaukoma sudut terbuka primer (POAG) dan pasien suspek glaukoma
memiliki faktor risiko lebih tinggi terjadinya peningkatan IOP setelah
mendapatkan terapi kortikosteroid.
Studi yang dilakukan oleh Armaly mengungkapkan bahwa sekitar sepertiga
dari pasien dengan suspek glaukoma dan lebih dari 90% pasien POAG mengalami
peningkatan TIO lebih besar dari 6 mmHg setelah mendapatkan terapi
deksametason topikal 0,1% selama 4 minggu. Efek peningkatan TIO lebih terlihat
pada mata pasien dewasa yang lebih tua dibandingkan dengan mata pasien dewasa
yang lebih muda. Sebuah studi oleh Becker dan Mills juga menunjukkan bahwa
pasien yang pernah mengalami glaukoma dan pasien suspek glaukoma
menunjukkan terjadi peningkatan TIO yang sangat signifikan dalam penggunaan
betametason topikal 0,1% selama 2-4 minggu dan menunjukkan penurunan aliran
keluar akueous humor selama masa pemberian obat tersebut. TIO didapatkan
kembali normal sekitar 1 minggu setelah dilakukan penghentian pengobatan
dengan steroid.
Meskipun terjadi peningkatan faktor risiko pasien yang lebih tua, frekuensi
responsivitas steroid berdasarkan usia dapat mengalami distribusi bimodal.
Kelompok anak-anak terbukti menjadi responden steroid yang lebih besar

dibandingkan dengan orang dewasa. Sebuah penelitian terbaru oleh Lamet al.
menunjukkan bahwa 71,2 dan 59,2% anak yang mendapatkan terapi
deksametason topikal 0,1% (masing-masing empat kali per hari dan dua kali per
hari) mengalami peningkatan TIO lebih besar dari 21 mmHg. Selain itu, 36,4 dan
21,1% dari dua kelompok yang sama mengalami peningkatan TIO lebih besar dari
30 mmHg. Di antara anak-anak berusia di bawah 6 tahun yang menerima
deksametason 0,1% empat kali per hari, mengalami puncak peningkatan TIO
lebih besar, peningkatan bersih TIO lebih besar, dan waktu yang diperlukan untuk
pencapai puncak peningkatan TIO, lebih pendek. Anak-anak berusia diatas 6
tahun (anak-anak usia 10 tahun dilibatkan dalam penelitian) memiliki kenaikan
bersih yang serupa pada TIO, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
dalam puncak peningkatan TIO maupun waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
puncak peningkatan TIO.
Gatsonet al. mendapatkan bahwa pasien dengan penyakit jaringan ikat
cenderung menjadi responden pengguna steroid. Responden pria dengan penyakit
jaringan ikat cenderung lebih besar, meskipun gender dianggap bukan merupakan
faktor risiko penyakit jaringan ikat. Selain itu, pasien dengan diabetes mellitus
tipe 1 dan myopia tinggi juga terbukti meningkatkan risiko responden pengguna
steroid.
Secara ringkas, pasien dengan POAG, pasien dengan suspek glaukoma, atau
yang berhubungan relatif dengan POAG merupakan faktor risiko penting
terjadinya hipertensi okuli yang diinduksi oleh kortikosteroid dan glaukoma.
Umur dapat menjadi faktor risiko; peningkatan risiko tampaknya terjadi dalam
distribusi bimodal, peningkatan faktor risiko berdasarkan umur terjadi pada usia 6
tahun. Pasien-pasien dengan penyakit jaringan ikat, diabetes melitus tipe-1, dan
miopia tinggi semua harus dianggap berisiko tinggi, dan diperlukan pengawasan
yang baik selama periode penggunaan kortikosteroid.
Tipe Sediaan dan Model Pemberian Terapi

Kortikosteroid terbukti memicu respon hipertensi okuli berkaitan dengan


potensi intraokular terhadap steroid. Selain kemampuan relatif untuk menghambat
peradangan, penentu utama lain dari potensi intraokular adalah struktur kimia.
Asetat memiliki karakteristik lebih lipofilik dan daya penetrasi ke kornea lebih
baik daripada fosfat, yang relatif lebih hidrofilik. Medrysone 1,0% dapat
menyebabkan kenaikan TIO sebesar 1,0 mmHg, sementara steroid kuat seperti
prednisolon asetat 1,0% dan deksametason asetat 0,1% menyebabkan kenaikan
TIO masing-masing sebesar 10 dan 22 mmHg.
Kortikosteroid telah terbukti menyebabkan peningkatan di TIO melalui
semua model pemberian. Kenaikan TIO biasanya terjadi dalam periode minggu
jika digunakan secara topikal dan periode tahun jika digunakan secara sistemik.
Terdapat beberapa kasus peningkatan TIO yang terjadi dalam periode waktu,
melalui pemberian steroid topikal secara intensif
Model pemberian terapi menjadi penting ketika mempertimbangkan
penggunaan terapi kortikosteroid pada individu dengan faktor risiko hipertensi
okuli yang sudah ada sebelumnya. Beberapa model terapi dapat dihentikan dengan
mudah, sehingga dapat mengurangi efek yang tidak diinginkan pada TIO. Model
lain dari terapi, seperti subtenon periokuli, atau injeksi intravitreal, tidak dapat
dengan mudah dihentikan pemberiannya apabila penyakitnya belum teratasi.

Hipertensi Okuli diinduksi Kortikosteroid Terkait dengan Pemberian


Triamcinolone Acetonide (IVTA)
Triamcinolone Acetonide (IVTA) telah digunakan untuk terapi berbagai
kondisi termasuk uveitis, penyakit oklusi vena, diabetes, dan neovaskularisasi
koroid. Pemberian secara intravena triamcinolone acetonide, memiliki efek 35 kali
lebih kuat sebagai agen antiinflamasi dibandingkan efek sebagai kortisol. Akibat
meningkatnya indikasi serta penggunaan IVTA, akan lebih banyak terjadi kasus
glaukoma diinduksi kortikosteroid terkait dengan IVTA dan kasus terkait hal ini
akan lebih sering ditemui oleh dokter mata. Dalam metaanalisis yang dilakukan

oleh Jonas, ditemukan bahwa dosis intravitreal sekitar 20 mg (dosis umum


digunakan di Eropa) berhubungan dengan peningkatan TIO lebih besar dari 21
mmHg dengan prevalensi sebesar 41%. Semua pasien, kecuali satu pasien
diberikan terapi dengan obat glaukoma topikal dan obat yang tidak lagi
dibutuhkan sekitar 6 bulan setelah injeksi IVTA. Satu pasien tersebut memerlukan
operasi trabeculectomy 9 bulan setelah dilakukan injeksi IVTA serta dilakukan
aspirasi cairan mata selama operasi berlangung dan didapatkan kandungan
triamsinolon terlarut. Disimpulkan bahwa efek pemberian IVTA dapat
berlangsung selama 9 bulan atau lebih dan fakta ini harus dipertimbangkan
sebelum mengulangi terapi IVTA.
Studi lain oleh Smithen dan rekan-rekan menganalisis tentang prevalensi
peningkatan TIO setelah dilakukan injeksi IVTA, menggunakan 89 pasien dengan
TIO dasar rata-rata 14,9 mmHg kemudian dilakukan analisis prevalensi kejadian
peningkatan TIO setelah dilakukan injeksi IVTA. Semua pasien telah diberikan
IVTA dengan dosis 4 mg (dosis umum yang digunakan di Amerika Serikat)
kemudian pasien diobservasi selama 6 bulan. Peningkatan TIO rata-rata adalah
8,0 mmHg dan 40,4% mengalami peningkatan tekanan sebesar 24 mmHg atau
lebih tinggi; peningkatan TIO terjadi rata-rata selama 100.6 hari. Pasien juga
dibagi ke dalam kategori tidak ada riwayat glaukoma dan pasien dengan
glaukoma. Pasien-pasien dalam dua kategori tersebut kemudian dibagi menjadi
dua kategori tambahan berdasarkan TIO dasar mereka. Pasien tanpa riwayat
glaukoma dan TIO awal minimal 15 mmHg memiliki risiko 60% mengalami
peningkatan TIO, minimal sebesar 24 mmHg atau lebih, sedangkan pasien dengan
TIO awal kurang dari 15 mmHg memiliki risiko 22,7% mengalami peningkatan
TIO tidak lebih besar dari 24 mmHg. Pasien dengan riwayat glaukoma memiliki
risiko 50% mengalami peningkatan TIO, peningkatan minimal sebesar 24 mmHg.
Di antara pasien tersebut, 50% memiliki TIO awal sebesar 15 mmHg. Dalam studi
ini, pasien yang diberikan beberapa kali injeksi IVTA, tidak mengalami
peningkatan TIO, dan tidak terdapat hubungan antara peningkatan TIO dengan
proses perjalanan penyakit yang diobati dengan injeksi IVTA tersebut. Semua

pasien yang mengalami peningkatan TIO tekanannya terkontrol dengan rata-rata


satu obat glaukoma. Individu yang sudah pernah menggunakan obat glaukoma
sebelumnya memerlukan rata-rata satu obat tambahan. Tidak ada pasien dalam
studi ini yang memerlukan tindakan pembedahan untuk mengontrol tekanan TIO
mereka.
Singh dan rekan-rekan melaporkan serangkaian kasus peningkatan cepat TIO
yang terjadi pada tiga individu yang diinjeksikan IVTA. Pada tiga kasus tersebut,
peningkatan TIO yang signifikan terjadi dalam waktu 1 minggu dari pemberian
IVTA sebagai terapi edema makula. Selanjutnya ketiga individu tersebut
dilakukan intervensi pembedahan untuk mengontrol TIO mereka yang tinggi.
Terdapat temuan aneh pada hasil gonioskopi ketiga pasien ini, yaitu adanya bahan
putih di sudut bilik mata depan dari setiap pasien ini, yang kemungkinan berasal
dari hasil injeksi IVTA. Ditemukan kesamaan dari ketiga pasien ini, yaitu ketiga
pasien ini pseudofakia, kemungkinan hal ini memungkinkan obat untuk pindah ke
segmen anterior menyebabkan obstruksi fisik pada trabekular meshwork. Untuk
mencegah komplikasi ini, Vedantham menyarankan agar pasien pseudofakia dan
pasien yang pernah menjalani vitreoktomi sebelumnya, memerlukan pengawasan
yang lebih ketat dalam pemberian IVTA. Selain itu, ia menyarankan agar
memfilter triamsinolon dan menginstruksikan pasien untuk tidur telentang untuk
mencegah terjadinya komplikasi.
Kebanyakan pasien dengan peningkatan TIO setelah pemberian IVTA,
berhasil dikelola dengan obat glaukoma topikal. Dengan teknik pembedahan
glaukoma tradisional, berhasil mengontrol peningkatan TIO pada kurang dari 2%
kasus. Operasi dengan teknik filtrasi bukanlah satu-satunya pilihan. Satu
kelompok melaporkan, dapat dilakukan vitreoktomi dengan pengangkatan
triamsinolon acetonide intraokular dari rongga vitreous untuk mengobati
peningkatan TIO. Prosedur ini sudah mampu mengendalikan hipertensi okuli dan
juga dapat dianggap sebagai alternatif jika pengobatan glaukoma tradisional
bukan pilihan atau gagal untuk mengontrol TIO.

IVTA tampaknya menjadi semakin populer untuk mengobati pasien dengan


penurunan penglihatan akibat edema makula; sehingga prevalensi hipertensi okuli
diinduksi kortikosteroid akan terus meningkat. Dokter harus mewaspadai bahwa
dapat terjadi peningkatan TIO setelah dilakukannya injeksi tunggal, hal ini terjadi
pada hampir setengah dari semua kasus pemberian IVTA. Setelah penyuntikan,
harus dilakukan pengawasanyang lebih ketat, pada pasien-pasien tersebut.
Pemeriksaan pasca penyuntikan harus dilakukan 1 hari kemudian dan sekitar 1
minggu kemudian untuk pasien berisiko tinggi. Kemudian pemeriksaan lanjutan
dapat dilakukan setelah lebih dari 6 bulan. Weinreb et al. Mendapatkan ada
beberapa kasus namun jarang, beberapa pasien dengan riwayat glaukoma dapat
terjadi peningkatan TIO dalam hitungan jam setelah pemberian kortikosteroid
topikal. Pada pasien dengan pseudofakia dan pasien dengan vitreoktomi perlu
dilakukan pemeriksaan TIO dan gonioskopi untuk mendeteksi adanya obstruksi
mekanik trabekular meshwork akibat obat kortikosteroid. Jika TIO tidak dapat
dikelola dengan pemberian obat glaukoma, perawatan subspesialisasi dari
spesialis glaukoma harus dilakukan karena beberapa pasien mungkin memerlukan
intervensi bedah.

Patofisiologi Hipertensi Okuli diinduksi Kortikosteroid dan Glaukoma


Mekanisme dari hipertensi okuli diinduksi kortikosteroid yaitu meningkatkan
resistensi aliran keluar aqueous humor. Ada sejumlah patofisiologi yang dapat
disederhanakan menjadi tiga kategori besar yaitu: kortikosteroid dapat
menyebabkan perubahan fisik dan mekanis pada mikrostruktur trabecular
meshwork; menyebabkan peningkatan pengendapan zat dalam trabecular
meshwork, sehingga menyebabkan aliran keluar menurun; serta menghambat
protease dan sel endotel trabecular meshwork fagositosis, hal ini menyebabkan
penurunan dalam pemecahan zat dalam trabecular meshwork.
Perubahan

mikrostruktur

trabekular

meshwork

dapat

menyebabkan

penurunan aliran arus keluar dan peningkatan TIO. Clark dan rekan-rekan

mendapatkan bahwa dengan diberikannya deksametason, stress pada serat aktin


direorganisasi menjadi jaring-jaring aktin berikatan silang menyerupai kisi-kisi
poligonal berbentuk kubah geodesik dalam sel trabecular meshwork manusia yang
dikultur. Setelah penghentian pemberian deksametason, ikatan silang dari jaringan
aktin tersebut dapat kembali seperti semula. Efek ini diduga dimediasi oleh
reseptor glukokortikoid trabecular meshwork. Pada kultur perfusi mata manusia,
Clark dan rekan-rekan menemukan bahwa pengobatan steroid memiliki perubahan
mikrostruktur yang sama dan dikaitkan dengan peningkatan resistensi aliran arus
keluar. Akumulasi matriks ekstraseluler (ECM) memiliki potensi untuk
mempengaruhi baik pada level paraselluler (yaitu, aliran di antara sel-sel endotel
trabekular meshwork) maupun transeluler (yaitu, aliran melalui pori-pori yang
dibuat dalam satu dan atau antara dua dinding dalam kanal sel Schlemm).
Kortikosteroid juga meningkatkan deposisi ECM di trabekular meshwork
sehingga hal ini dapat menyebabkan penurunan aliran arus keluar. Sebuah studi
oleh Wilsonet al. menemukan peningkatan deposisi bahan ECM dapat merubah
ultrastruktur daerah jukstakanalikuler. Kortikosteroid dexametason meningkatkan
glikosaminoglikan, elastin, dan produksi fibronektin dalam kultur trabecular
meshwork; pengendapan glikosaminoglikan meningkat dengan adanya paparan
steroid berkepanjangan. Myocilin yang merupakan protein 55 kDa juga telah
terbukti terinduksi setelah terpapar deksametason selama 2-3 minggu, dalam
kultur sel trabecular meshwork manusia. Mutasi pada myocilin telah terbukti
berhubungan dengan onset POAG juvenil dan POAG dewasa. Terdapat
kontroversi mengenai myocilin yang menyebabkan peningkatan atau penurunan
aliran arus keluar. Studi mengenai perfusi pada kultur sel trabekular meshwork
manusia, mendapatkan bahwa myocilin rekombinan menurunkan aliran arus
keluar, sementara studi mengenai transfer myocilin dimediasi virus dalam sel
trabekular meshwork menyebabkan aktifitas myocilin yang berlebihan serta
peningkatan aliran arus keluar.
Pada akhirnya, penurunan aliran arus keluar dapat disebabkan oleh
menurunnya

degradasi

substansi

trabecular

meshwork.

Level

aktivator

plasminogen jaringan, stromelysin, dan metalloprotease telah terbukti menurun


jumlahnya dalam kultur sel trabecular meshwork yang diberikan deksametason.
Selanjutnya,

pemberian

deksametason

menghambat

metabolisme

asam

arachadonic pada sel trabekular meshwork dan mengurangi sifat fagositosis dari
sel. Karena sel-sel ini berfungsi untuk menghilangkan debris-debris yang terdapat
pada trabekular meshwork, penurunan aktivitas fungsional dapat menyebabkan
menurunnya aliran arus keluar.

Kesimpulan
Hipertensi okuli diinduksi kortikosteroid dan glaukoma telah dikenal selama
lebih dari 50 tahun. Sejumlah faktor risiko telah diidentifikasi untuk
pengembangan pengetahuan mengenai hipertensi okui diinduksi kortikosteroid
dan glaukoma, termasuk riwayat glaukoma pada individu maupun keluarga, anakanak, orang dewasa yang lebih tua, diabetes mellitus tipe-1, penyakit jaringan ikat,
dan myopia tinggi. Potensi intraokular dan cara pemberian obat juga merupakan
faktor risiko yang penting. Meningkatnya penggunaan IVTA kemungkinan besar
menyebabkan dokter mata akan menghadapi banyak kasus hipertensi okuli
diinduksi kortikosteroid dan glaukoma. Penelitian terhadap mekanisme yang
mendasari proses patofisiologi ini telah meningkatkan pemahaman kita mengenai
fenomena penyakit dan dapat mempertimbangkan pengobatan yang lebih tepat di
masa mendatang.

RANGKUMAN PEMBACA

10

Jurnal ini merupakan rangkuman beberapa literatur mengenai hipertensi okuli


dan glaukoma yang diinduksi oleh penggunaan steroid. Dalam jurnal ini
pembahasan literatur-literatur serta cara menjabarkannya sudah sangat baik. Serta
pada referensi literatur, ada beberapa yang literatur acuan yang diberikan
penjelasan mengenai data penelitian sebelumnya. Sehingga embaca lebih mudah
memahami maksud dari permasalahan yang dibahas. Namun, kekurangan dalam
jurnal ini, kurangnya penggunaan tabel-tabel untuk membantu mempermudah
pemahaman pembaca mengenai materi yang dibahas. Jurnal ini sangat membantu
menambah wawasan mengenai penggunaan terapi kortikosteroid pada mata, siapa
saja yang dapat menjadi faktor risiko dari efek samping penggunaan terapi, apa
saja efek samping negatifnya, serta dapat menjadi pertimbangan dalam pemberian
terapi kortikosteroid pada mata.

11

Anda mungkin juga menyukai