Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Tuberkulosis masih merupakan masalah besar di Indonesia, maupun di
negara-negara yang berkembang. Di rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya pada
tahun 1977, tuberkulosis termasuk dalam sepuluh penyebab utama dari
morbiditas, dan merupakan 1,7% dari semua penderita yang dirawat.1
Tuberkulosis primer cenderung sembuh sendiri, tetapi sebagian akan menyebar
lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi. Tuberkulosis dapat meluas dalam
jaringan paru sendiri, namun dapat pula masuk ke dalam aliran darah secara
langsung atau melalui kelenjar getah bening.
Basil tuberkulosa yang melalui aliran darah dapat mencapai alat tubuh
lain, seperti bagian paru lain, selaput otak, otak, tulang, hati, ginjal, dan lain-lain.2
Tuberkulosis pada sistem syaraf sentral merupakan komplikasi yang paling serius
pada anak dan mematikan tanpa pengobatan yang efektif. 3 Meningitis tuberkulosa
merupakan komplikasi serius dari tuberkulosis, terutama pada anak-anak. 4
Menginitis serosa yang disebabkan oleh infeksi bakteri tuberkulosa masih sering
didapatkan di Indonesia, karena penyakit tuberkulosa di Indonesia prevalensinya
cukup tinggi dan masih merupakan masalah kesehatan.5 Berdasarkan hal ini,
meningitis tuberkulosa memerlukan diagnosa dini dan pemberian pengobatan
yang cepat, tepat, dan rasional.1 Komplikasi tuberkulosis yang berbahaya inilah
yang mendasari pentingnya untuk mengetahui dengan baik tentang meningitis,
khususnya meningitis tuberkulosa.

TUJUAN
Tujuan dari pembuatan tinjauan pustaka ini adalah untuk menambah
pengetahuan tentang penyakit infeksi pada selaput otak (meningitis), khususnya
meningitis tuberkulosa yang lazim terjadi sebagai komplikasi penyakit
tuberkulosis pada anak.

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter, araknoid, dan dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak
dan medula spinalis yang superfisial.6 Meningitis tuberkulosa adalah radang
selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer.7

EPIDEMIOLOGI
Meningitis tuberkulosa dilaporkan pertama kali oleh Robert Whytt pada
tahun 1768, namun sejak penemuan Streptomisin pada tahun 1974, kasus
meningitis tuberkulosa mulai berkurang. Jumlah kasus ini meskipun telah
berkurang, namun tetap merupakan masalah dalam bidang kesehatan anak,
terutama di negara-negara berkembang, karena angka kematian dan angka
kecacatan masih tinggi. Meningitis tuberkulosa merupakan yang paling banyak
menyebabkan kematian bila dibandingkan dengan jenis-jenis tuberkulosa yang
lain.8 Meningitis tuberkulosa adalah penyulit dari tuberkulosis yang mempunyai
morbiditas dan mortalitas yang tinggi, bila tidak diobati.1 Jumlah penderita
meningitis tuberkulosa kurang lebih sebanding dengan prevalensi infeksi oleh
mikobakterium tuberkulosa pada umumnya. 8
Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering
dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan. Meningitis
tuberkulosa jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan dan hampir tidak

pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.7 Meningitis ini paling sering pada
anak antara umur 6 bulan dan 4 tahun. Meningitis tuberkulosa merupakan
komplikasi dari sekitar 0,3% infeksi primer yang tidak diobati pada anak.3

ETIOLOGI
Etiologi dari meningitis tuberkulosa adalah kuman mikobakterium
tuberkulosa varian hominis,9 jarang oleh jenis bovinum atau aves.8

PATOFISIOLOGI
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis
primer di luar otak. Fokus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada
kelenjar getah bening, tulang, sinus nasales, traktus gastro-intestinalis, ginjal, dan
sebagainya, dengan demikian meningitis tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi
penyebaran tuberkulosis paru-paru.8
Meningitis terjadi bukan karena peradangan langsung pada selaput otak
oleh penyebaran hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil
(beberapa milimeter sampai satu sentimeter), berwarna putih. Tuberkel ini
terdapat pada permukaan otak, sum-sum tulang belakang, dan tulang. 8 Literatur
lain menyebutkan tuberkel ini terdapat di selaput otak dan jaringan otak di
bawahnya.9 Tuberkel tadi kemudian melunak, pecah, dan masuk ke dalam ruang
subaraknoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara
mikroskopik, tuberkel-tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel
di bagian lain dari kulit dimana terdapat pengejuan sentral dan dikelilingi oleh sel-

sel raksasa, limfosit, sel-sel plasma dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai
penutup atau kapsul.8
Penyebaran dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan
organ atau jaringan di dekat selaput otak seperti proses di nasofaring, otitis media,
mastoiditis, atau trombosis sinus kavernosus. Penyebaran kuman dalam ruang
subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada piamater dan araknoid, ruang
subaraknoid dan ventrikulus.8
Akibat reaksi radang ini, terbentuk eksudat kental, serofibrinosa dan
gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuklear,
limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fibroblas. Eksudat ini tidak
terbatas di dalam ruang subaraknoid saja, tetapi terutama terkumpul di dasar
tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh darah piamater
dan menyerang jaringan otak di bawahnya, sehingga proses sebenarnya adalah
meningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus Sylvii, foramen
Magendi, foramen Luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema papil,
dan peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga terjadi pada pembuluhpembuluh darah yang berjalan dalam ruang subaraknoid berupa kongesti,
peradangan dan penyumbatan, sehingga selain arteritis dan flebitis juga
mengakibatkan infark otak terutama pada bagian korteks, medula oblongata dan
ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak dengan segala
akibatnya.8

KLASIFIKASI
Rich membagi meningitis tuberkulosa dalam empat jenis berdasarkan
patologi anatominya, umumnya terdapat lebih dari satu jenis dalam setiap
penderita meningitis tuberkulosa. Klasifikasi meningitis tersebut antara lain:8
1. Tuberkulosis miliaris yang menyebar
Jenis ini merupakan komplikasi tuberkulosa miliaris, biasanya dari
paru-paru yang menyebar langsung ke selaput otak secara hematogen.
Keadaan ini terutama terjadi pada anak, jarang pada dewasa. Pada selaput otak
terdapat tuberkel-tuberkel yang kemudian pecah sehingga terjadi peradangan
difus dalam ruang subaraknoid. Tuberkel-tuberkel juga terdapat pada dinding
pembuluh darah kecil di hemisfer otak bagian cekung dan dasar otak.8
2. Bercak-bercak pengejuan fokal
Pada klasifikasi ini, terdapat bercak-bercak pada sulkus-sulkus dan
terdiri dari pengejuan yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa dan epitel, dari sini
terjadi penyebaran ke dalam selaput otak, kadang-kadang terdapat juga
bercak-bercak pengejuan yang besar pada selaput otak sehinhgga dapat
menyebabkan peradangan yang luas.8
3. Peradangan akut meningitis pengejuan
Jenis ini merupakan jenis yang paling sering dijumpai, lebih kurang
78%. Pada jenis ini terjadi invasi langsung pada selaput otak dari fokus-fokus
tuberkulosis primer bagian lain dari tubuh, sehingga terbentuk tuberkeltuberkel baru pada selaput otak dan jaringan otak. Meningitis timbul karena

tuberkel-tuberkel tersebut pecah, sehingga terjadi penyebaran kumankuman


ke dalam ruang subaraknoid dan ventrikulus.8
4. Meningitis proliperatif
Perubahan-perubahan proliperatif dapat terjadi pada pembuluhpembuluh darah selaput otak yang mengalami peradangan berupa endarteritis
dan panarteritis. Akibat penyempitan lumen arteri-arteri tersebut dapat terjadi
infark otak. Perubahan-perubahan ini khas pada meningitis proliperatif yang
sebelum penemuan kemoterapi jarang dilihat.8

MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada meningits tuberkulosa dihasilkan oleh proses
infeksi, eksudasi (dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan
menghasilkan hidrosefalus), serta vaskulitis (sekunder dari inflamasi pada
pembuluh darah, menimbulkan infark pada otak dan medula spinalis).10 Penyakit
ini mulainya pelan, terdapat panas yang tidak terlalu tinggi, nyeri kepala dan nyeri
kuduk, disamping itu juga terdapat rasa lemah, berat badan yang menurun, nyeri
otot, nyeri punggung, mungkin dijumpai kelainan jiwa seperti halusinasi dan
waham.9 Pemburukan klinis meningitis tuberkulosa dapat cepat atau perlahanlahan. Pemburukan cepat cenderung lebih sering terjadi pada bayi dan anak muda,
yang dapat mengalami gejala hanya untuk beberapa hari sebelum mulai
hidrosefalus akut, kejang-kejang, dan edema otak. Tanda-tanda dan gejala-gejala
lebih sering memburuk perlahan-lahan selama beberapa minggu dan dapat dibagi
menjadi tiga stadium.3

Stadium pertama, yang secara khas berakhir 1-2 minggu, ditandai oleh
gejala-gejala nonspesifik seperti demam, nyeri kepala, iritabilitas, mengantuk, dan
malaise. Tanda-tanda neurologis setempat tidak ada, tetapi bayi dapat mengalami
stagnasi atau gangguan perkembangan.3 Pada anak kecil, kenaikan suhu yang
ringan bahkan sering tanpa panas, muntah-muntah, tak ada nafsu makan, murung,
berat badan turun, tak ada gairah, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu,
dan kesadaran berupa apatis sering terlihat.8
Stadium kedua, biasanya mulai lebih mendadak, tanda-tanda yang paling
sering adalah lesu, kaku kuduk, kejang-kejang, tanda kernig atau brudzinski
positif, hipertoni, muntah, kelumpuhan syaraf kranial, dan tanda-tanda neurologis
setempat lain. Percepatan penyakit klinis biasanya

berkorelasi dengan

perkembangan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial, dan vaskulitis.


Beberapa anak tidak mempunyai tanda-tanda ensefalitis, seperti disorientasi,
gangguan gerakan, atau gangguan bicara.3
Stadium ketiga, ditandai dengan koma, hemiplegi atau paraplegi,
hipertensi, sikap deserebrasi, kemunduran tanda-tanda vital, dan akhirnya
kematian.3 Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang
disebabkan oleh terganggunya regulasi pada diensefalon. Pernapasan dan nadi
juga tak teratur dan terdapat gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes
atau Kussmaul. Gangguan miksi berupa retensi atau inkontinensia urin,
didapatkan pula adanya gangguan kesadaran makin menurun sampai koma yang
dalam. Pada stadium ini, penderita dapat meninggal dunia dalam waktu 3 minggu
bila tidak memperoleh pengobatan sebagaimana mestinya. 8

DIAGNOSIS
Anamnesis

diarahkan

pada

riwayat

kontak

dengan

penderita

tuberkulosis, keadaan sosio-ekonomi, imunisasi, dan sebagainya, sementara itu


gejala-gejala yang khas untuk meningitis tuberkulosa ditandai oleh tekanan
intrakranial yang meninggi, muntah yang hebat, nyeri kepala yang progresif, dan
pada bayi tampak fontanela yang menonjol.8
Tes tuberkulin terutama dilakukan pada bayi dan anak kecil. Hasilnya
seringkali negatif karena reaksi anergi, terutama pada stadium terminal. 8 Uji
tuberkulin yang tidak reaktif ada pada sampai 50% kasus. 3 Uji laboratorium yang
paling penting untuk mendiagnosis meningitis tuberkulosa adalah pemeriksaan
dan biakan cairan serebrospinal.3 Pungsi lumbal memperlihatkan cairan
serebrospinal yang jernih, kadang-kadang sedikit keruh atau ground glass
appearence. Bila cairan serebrospinal didiamkan, maka akan terjadi pengendapan
fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10-500/ml dan
kebanyakan limfosit, kadang-kadang oleh reaksi tuberkulin yang hebat terdapat
peningkatan jumlah sel, lebih dari 1000/ml. Kadar glukosa rendah antara 20-40
mg%, kadar klorida dibawah 600 mg%. 8 Kadar protein naik dan mungkin sangat
tinggi (400-5000 mg/dl) akibat hidrosefalus dan blokade spinal.3 Cairan
serebrospinalis dan endapan sarang laba-laba dapat diperiksa untuk pembiakan
atau kultur menurut pengecatan Ziehl-Nielsen.8 Jika 5-10 ml cairan serebrospinal
lumbal dapat diambil, pewarnaan tahan asam sedimen cairan serebrospinal positif
sampai pada 30% kasus dan biakan positif pada 50-70% kasus.3

Pemeriksaan radiografi dapat membantu dalam mendiagnosis meningitis


tuberkulosa. Tomografi terkomputerisasi (CT) atau citra resonansi magnetik
(MRI) otak penderita meningitis tuberkulosis mungkin normal selama stadium
penyakit. Bila penyakit memburuk, pembesaran basilar dan hidrosefalus
komunikan dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia setempat awal
merupakan penemuan yang paling sering.3

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap penderita meningitis secara umum dibagi
menjadi dua, yaitu:8
1. Perawatan umum, penderita meningitis tuberkulosa harus dirawat di rumah
sakit, di bagian perawatan intensif, dan dengan menentukan diagnosis secepat
dan setepat mungkin, pengobatan dapat segera dimulai. Perawatan penderita
meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh,
antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi pada umumnya,
posisi penderita dan pencegahan dekubitus, serta perawatan kandung kemih
dan defekasi, serta perawatan umum lainnya sesuai kondisi penderita.
Kebutuhan cairan, elektrolit , serta gizi dapat diberikan melalui infus maupun
saluran pipa hidung.8
2. Pengobatan, Terapi segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis
ke arah meningitis tuberkulosa.11 Saat ini telah tersedia berbagai macam
tuberkulostatika.

Tiap

jenis

tuberkulostatika

mempunyai

spesifikasi

farmakologik tersendiri, untuk itu perlu pemahaman yang sebaik-baiknya.

10

Beberapa contoh tuberkulostatika yang dapat diperoleh di Indonesia antara


lain:8
a. Isoniazida atau INH adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat
ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), dan bersifat
bakteriostatik terhadap kuman yang diam. INH diberikan secara oral
dengan dosis harian biasa 5-15 mg/kgBB/hari maksimal 300 mg/hari
pada anak, dan diberikan dalam satu kali pemberian. INH mempunyai
dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.11
b. Rifampisin, bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan
baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam
sebelum makan) dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam.
Rifampisin

diberikan

dalam

bentuk

oral

dengan

dosis

10-20

mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali


pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10
mg/kgBB/hari.11 Pada anak-anak dibawah 5 tahun harus bersikap hatihati karena dapat menyebabkan neuritis optika.8 Efek samping rifampisin
lebih sering daripada isoniazid berupa perubahan warna urin, ludah,
keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye kemerahan, selain
itu juga terjadi gangguan gastrointestinal dan hepatotoksisitas.11

11

c. Pirazinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh terutama


cairan serebrospinalis, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan
diresorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral
sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari.
Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksisitas, anoreksia, iritasi
saluran cerna.11
d. Etambutol, jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada
mata. Obat ini memiliki aktivitas bakterostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Etambutol diberikan dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari maksimal 1,25
gram/hari dengan dosis tunggal. Etambutol tidak berpenetrasi dengan
baik pada susunan saraf pusat, demikian juga pada keadaan meningitis. 11
Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optika dan buta warna
merah-hijau, sehingga penggunaannya seringkali dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatanya. 8,11
e. Streptomisin, bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini, streptomisin jarang digunakan
dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunannya penting pada
pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosa dan multidrug resisten
tuberkulosis. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis
15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari.11 Oleh karena bersifat

12

autotoksik maka harus diberikan dengan hati-hati, bila perlu dilakukan


pemeriksaan audiogram.8
Pada umumnya, tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi,
ialah kombinasi antara INH dengan jenis tuberkulostatika yang lain. 8 Terapi
tuberkulosis sesuai dengan konsep baku, yaitu 2 bulan fase intensif dengan 4-5
obat antituberkulosis (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan
etambutol), dilanjutkan dengan 2 obat antituberkulosis (isoniazid dan
rifampisin) hingga 12 bulan.11
Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 1-2
mg/kgBB/hari (dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 4-6
minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off)
selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen. 11 Pemberian
kortikosteroid seluruhnya adalah lebih kurang 3 bulan. 8 Indikasi kortikosteroid
antara lain tekanan intrakranial yang meningkat, adanya defisit neurologis,
mencegah perlekatan araknoidea pada jaringan otak.9

KOMPLIKASI
Komplikasi dari meningitis tuberkulosa ini antara lain, hidrosefalus,
epilepsi, gangguan jiwa, buta karena atrofi nervus II, tuli, kelumpuhan otot yang
disarafi nervus III, IV, VI, serta hemiparesis.9

13

PROGNOSA
Meningitis tuberkulosa yang tidak diobati, prognosisnya buruk sekali.
Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Prognosis ditentukan oleh
kapan pengobatan dimulai dan stadiumnya. Umur penderita juga mempengaruhi
prognosis.8 Bayi muda biasanya lebih buruk daripada pada anak yang lebih tua. 3
Literatur lain menyebutkan anak dibawah 3 tahun dan dewasa diatas 40 tahun
mempunyai prognosis yang jelek.8

14

PENUTUP

Kesimpulan
Meningitis tuberkulosa adalah radang selaput otak akibat komplikasi
tuberkulosis primer. Meningitis tuberkulosa paling sering pada anak antara umur 6
bulan dan 4 tahun, serta merupakan komplikasi dari sekitar 0,3% infeksi primer
yang tidak diobati pada anak. Penyebabnya adalah kuman mikobakterium
tuberkulosa varian hominis. Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari
proses tuberkulosis primer di luar otak. Klasifikasi meningitis ada empat, antara
lain tuberkulosis miliaris yang menyebar, bercak-bercak pengejuan fokal,
peradangan akut meningitis pengejuan, meningitis proliperatif.
Tanda dan gejala meningitis tuberkulosa dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Diagnosis didasarkan pada anamnesis yang baik serta pemeriksaan
penunjang yang tepat seperti uji tuberkulin, pemeriksaan cairan serebrospinal,
serta pemeriksaan lainnya. Penatalaksanaan dibagi menjadi perawatan umum dan
pengobatan dengan obat-obat tuberkulostatika serta kortikosteroid sesuai
indikasinya. Komplikasi dari meningitis tuberkulosa ini antara lain, hidrosefalus,
epilepsi, gangguan jiwa, buta karena atrofi nervus II, tuli, kelumpuhan otot yang
disarafi nervus III, IV, VI, serta hemiparesis. Prognosa ditentukan oleh kapan
pengobatan dimulai dan stadiumnya, serta umur penderita.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Djunaidi W, Gunawan B. 1980. Pengobatan Meningitis Tuberkulosa dengan


Gabungan

Prothionamide-INH,

Ethambutol,

dan

Streptomycin.

(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05PengobatanMeningitis017.pdf/05Pen
gobatanMeningitis017.html, diakses 26 April 2008)
2. Abdoerrachman, M.H. 1997. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak, Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI: Jakarta. hal 575,590
3. Starke, J.R. 1999. Tuberkulosis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume II Edisi
15. EGC: Jakarta. hal 1028,1034-1035
4. Mardjono, M, dan Sidharta, P. 2000. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat:
Jakarta. hal 319-320
5. Meisuri. 2002. Komplikasi neurooftalmologik Pada Anak dengan Meningitis
yang Disebabkan oleh Infeksi Bakteri Tuerkulosa Ditinjau dari Kedokteran
dan

Islam.

(http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jkpt

yarsi-gdl-s1-2002-meisuri-2729-neurooftal&q=Islam, diakses 26 April 2008)


6. Yoes, R. 2003. Meningitis Purulenta. Kapita Selekta Neurologi Edisi Kedua.
Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. hal 169
7. Nofareni. 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa, (http://library.usu.ac.id/download/fk/anak
-nofareni.pdf, diakses 1 Mei 2008)
8. Harsono,dkk. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta. hal 181-188

16

9. Yoes, R. 2003. Meningitis Tuberkulosa. Kapita Selekta Neurologi Edisi


Kedua. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. hal 165-168,
10. Lindsay, K.W, dkk. 1997. Neurology and Neurosurgery Ilustrated. Churchill
Livingstone: London. hal 474
11. Supriyanto, B. Dkk. 2007. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. UKK
Respirologi PP IDAI: Jakarta. hal 47-53,78

17

Anda mungkin juga menyukai